Creating Value

creating-value1

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

 

Salah seorang karyawan perusahaan BUMN menyatakan bahwa sebelum bekerja di perusahaan ini, ia bekerja di perusahaan asing. Di perusahaan sebelumnya, proses kerja sudah sangat baik dan sistem pun baku dan mapan. Hanya saja, nuraninya terganggu karena porsi terbesar keuntungan perusahaan dinikmati bukan oleh pekerja, tapi para pemegang saham di luar negeri. Ia pun meninggalkan perusahaan tersebut untuk bergabung dengan perusahaan BUMN, di mana praktik-praktiknya sangat berbeda dengan perusahaan sebelumnya. Begitu banyak inefisiensi di sana-sini. Ia lalu berusaha mengusulkan perubahan-perubahan dan bahkan kemudian menikmati semangat perubahan yang sedikit demi sedikit mulai diterima atasannya. Meski harus bekerja ekstra keras, ia puas karena paling tidak bisa memberi kontribusi pada negara sendiri. Kita tentu bangga melihat seseorang yang punya alasan kuat untuk mengorbankan “comfort zone”-nya demi negara. Inilah bentuk keputusan bahwa spirit dan motivasi individu bisa dilandasi ‘nilai’ yang dianutnya.

 

Ketika Jim Collins dan Jerry Porras menerbitkan buku Built to Last, pada tahun 1994, semua perusahaan secara mewabah menegakkan prinsip dan nilai sebagai pedoman bertingkah laku dan meyakini bahwa menggariskan prinsip dan dasar bertingkah laku adalah hal yang super penting dalam menjalankan perusahaan. Namun, sering kita menyaksikan praktik di perusahaan yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang digaungkan. Di tembok-tembok ruang rapat Enron, terpampang jelas nilai-nilai perusahaan: Communication, Respect, Integrity, Excellence. Namun, perusahaan ini malah menjadi demikian terkenal karena kecurangannya. Lalu, ke mana nilai integrity yang digaung-gaungkan? Mengapa tulisan integrity di dinding itu serasa tak bertenaga, tak bergigi dan tidak berarti? Apakah values-nya salah diterjemahkan? Apakah memang values dan praktik di perusahaan tersebut sekedar tidak ada hubungannya? Bila nilai dan praktik di lapangan tidak nyambung, bayangkan betapa sulitnya manajemen puncak dan para pimpinan ‘mengatur’ dan mengarahkan anggota tim. Bila nilai sekedar menjadi slogan kosong, bagaimana anggota tim bisa betul-betul happy dan merasa melakukan pekerjaan yang berarti?

Continue reading…

Handal

handal1b

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pernahkah kita secara serius mengukur berapa nilai profesionalisme dan kehandalan diri kita? Seberapa sering sikap kerja dan kualitas kerja Anda diacungi jempol oleh pelanggan? Seberapa sering pelanggan memberi komentar: “Saya memilih perusahaan ini karena Anda bisa diandalkan!”? Apresiasi pelanggan atas kehandalan kita tentu menimbulkan perasaan bangga. Pengalaman ini otomatis bisa membuat kita terdorong untuk mencari cara-cara lain yang bisa membuat pelanggan lebih puas, mendalami dan mencari celah untuk melakukan hal yang lebih baik lagi. Beginilah rasanya kalau kita dihargai karena upaya kita, dibayar dengan rela hati, dan merasa berkembang. Tanpa disadari, kualitas kerja kita juga kita dorong untuk meningkat, sadar bahwa pelanggan menikmatinya.

Setiap orang, setiap pekerja, mustinya sadar bahwa peningkatan kehandalan diri adalah prioritas utama. Kita melihat masih begitu banyak situasi yang kita temui, di mana para profesional yang dituntut memberikan layanan yang tepat waktu dan profesional, malah memberikan servis dengan angin-anginan, tidak mempraktekkan prosedur dengan benar, tidak tuntas dalam memenuhi kebutuhan yang diharapkan pelanggan. Seringkali pelanggan tidak mau repot-repot mengeluh, tetapi dengan gampang tidak lagi kembali dan mencari profesional lain. Ada perusahaan yang memindahkan keagenan produk ke perusahaan lain karena tidak puas, sampai akhirnya si produsen membuka kantor perwakilan sendiri. Lihat betapa para pasien bereksodus ke rumah sakit negara tetangga untuk mendapatkan pelayanan yang lebih profesional. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang “menyelundupkan” supervisor asing, sekedar untuk memandori buruh kita. Apa yang kita rasakan melihat dicaploknya rejeki dalam pariwisata, dengan pengelolaan asing yang dominan dalam industri pariwisata negara kita sendiri? Para “bule” menjadi wirausaha handicraft, sementara pekerja kita hanya sebagai pekerja kasar karena mereka tidak percaya bahwa orang Indonesia bisa profesional.
Continue reading…

Culture Capital

culture-capital1

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Baru-baru ini, abang saya yang bermukim di luar negeri memberi komentar mengenai sebuah hotel kecil di Malang. “Saat akan meninggalkan hotel, seluruh staf, termasuk ‘cleaning service’ dan ‘orang dapur’, berkumpul di lobby dan mengucapkan selamat jalan pada kami. Begitu mengesankan. Sudah pasti kami akan kembali ke hotel itu lagi.”, begitu ungkap beliau. Hotel yang biasa-biasa saja ini, segera merebut hati pelanggan, dengan keramahan yang ‘tanpa ongkos’. Bukankah ini gambaran nyata budaya perusahaan yang tidak hanya slogan, namun teraga, terasa, berdampak positif dan membedakannya dari yang lain?
Continue reading…

Kata Hati

Kata-Hati1

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah meeting untuk mengambil keputusan tentang promosi, terasa sekali betapa manajemen puncak bimbang dalam mengambil keputusan. Ada pimpinan yang bersikap super tegas dengan mengandalkan pengukuran kinerja yang objektif dan terukur. Ada juga pimpinan yang memberi pertimbangan berdasarkan hal lain, seperti loyalitas karyawan lama, perasaan karyawan yang sudah berusaha mati-matian, namun tidak mendapatkan hasil cemerlang karena situasi pasar maupun talenta yang memang tidak seberbakat temannya. Salah seorang manajemen puncak mengatakan, ”Keputusan harus mempertimbangkan yang obyektif dan faktual dengan faktor politis”. Ya, meskipun kita kerap menekankan pentingnya objektivitas dan keterukuran, namun apa jadinya bila “kata hati” tidak didengarkan? Continue reading…

Bohong

bohong1

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Suatu hari saya mengucapkan kata “bohong” kepada seorang anak dan tidak disangka-sangka ibunya protes, “Kami tidak menggunakan kata kasar itu di hadapan anak-anak“. Bukan main. Bila semasa kecil saya dipelototi orang tua untuk mengakui bila diduga berbohong, dihukum bila melakukan kebohongan kecil sekalipun, ternyata pendekatan positif dalam pendidikan era modern ini menekankan agar anak-anak terbiasa mendengar dan mendapatkan rangsangan positif saja. Kata “integritas” dan “jujur” lebih dipilih daripada kata “bohong”. Ini sesungguhnya hal yang sangat baik dan hasilnya juga terlihat nyata. Beberapa anak yang saya kenal, tidak mau pekerjaan rumahnya dikerjakan dengan bantuan orang tuanya. Anak terbiasa untuk menjaga integritasnya. Pertanyaannya, sampai kapan situasi ini bisa dijaga? Bagaimana kalau tontonan berita di media yang jelas-jelas menggambarkan orang berbohong? Bagaimana kalau kegiatan berbohong itu dikemas secara rasional sehingga anak tumbuh dengan kemampuan rasionalisasi yang kuat, sehingga berbohong pun kemudian terselimutkan dengan alasan-alasan yang masuk akal? Bagaimana menghadapi aparat yang begitu menyulitkan sehingga anak menyaksikan sendiri orangtua atau orang dewasa mengambil jalan pintas dan tidak bertumpu pada kebenaran dan mematuhi peraturan? Continue reading…

Inteligensi Positif

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang teman yang aktif di media sosial terpopuler sekarang, Twitter, memberi saran dalam “kultwit”-nya: “Bersikaplah selalu positif. Jangan mengeluh. Jangan membawa aura negatif. Bila perjalanan terhambat macet, katakan ‘untung masih bisa berkomunikasi’, bila hawa panas, ‘katakan untung tidak hujan’”. Meskipun kita semua tahu manfaatnya bersikap positif, namun kenyataannya terkadang memang tak mudah, apalagi dalam keadaan krisis moral dan kepercayaan yang kerap kita hadapi. Itu sebabnya kita memang perlu melatih diri untuk selalu melihat jalan keluar dari keadaan yang ada, memikirkan upaya “bounce back” dan bukannya malah merasa terpuruk dan ‘helpless’.

Orang sering mengartikan keadaan gembira sebagai konsekuensi dari suatu upaya atau keadaan. Bila saya dipromosikan, saya bahagia. Bila mencapai target, saya senang. Padahal keadaan senang ini ibarat ‘moving target’. Begitu kita mencapai target, kita senang, mengharapkan bonus, tetapi langsung atasan memancangkan sasaran baru lagi, sehingga kita berada dalam situasi yang lagi-lagi mengharap-harapkan kesenangan. Padahal, sebaliknya,  the “positive advantage” adalah modal untuk mencapai target. Sebanyak 225 studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti, seperti Sonja Lyubomirsky, Laura King dan Ed Diener,  menemukan adanya korelasi positif antara kepuasan hidup dengan kesuksesan binis.  Dengan ‘mindset’ positif, orang ternyata bisa melihat tantangan sebagai sesuatu yang positif. Dalam kondisi positif, produktivitas, kreativitas, dan niat untuk ‘engage’ menjadi lebih kuat.

Beberapa dekade yang lalu, kebahagiaan adalah area yang hanya dibicarakan para filsuf dan penyair. Para psikolog baru secara serius mempelajari pengaruh sikap positif dalam hidup dan kehidupan bekerja pada 20 tahun terakhir. Saat sekarang, para ekonom dan ahli syaraf pun beramai-ramai mulai memfokuskan perhatian pada keadaan positif dan bahagia ini. Ahli syaraf mencari bagian otak yang mana yang paling aktif bekerja bila individu mendapat ‘reward’. Para ekonom ingin tahu persis “nilai”  apa yang paling memotivasi individu. Hasilnya memang sangat masuk akal yaitu semua yang positif lebih baik dari yang negatif. Orang yang romantis lebih  happy dari yang tidak. Orang yang sehat lebih happy dari yang sakit. Orang yang rajin beribadah lebih happy dari yang tidak beribadah. Jadi, mengapa memilih pendekatan negatif? Atau berintelegensi negatif?

{mosimage}

Melatih Kebiasaan Positif

Seorang CEO, Burt’s Bees dan John Replogle, dalam menghadapi krisis di perusahaannya, memutuskan untuk tidak menyebarkan pesan-pesan dan tututan secara menegangkan. Mereka belajar bahwa dengan meningkatkan taraf kecemasan anggota tim, hasilnya malah meningkatkan kerja amigdala atau bagian otak yang menimbulkan ancaman, dan menghentikan daya kerja bagian otak yang berfungsi melakukan ‘problem solving’. Tindakan yang mereka lakukan justru mengirimkan email semangat setiap hari, berisi penghargaan terhadap anggota tim, yang melakukan sesuatu yang dipandangnya istimewa. Beliau juga mengingatkan pada manajer yang sedang sibuk sekali mengejar keuntungan finansial untuk meluangkan waktu membicarakan ‘nilai’ perusahaan yang tetap dianggap super penting. Dengan menerapkan kepemimpinan positif begini, para manajer ternyata semakin kohesif dan ‘engaged’ dan bahkan bisa melewati krisis yang berat.

Rasanya belum terlambat bila kita melatih otak untuk selalu bersikap positif. Mendengarkan presentasi para management trainee yang memang belum kompeten, kita bisa mulai komentar kita dengan penghargaan akan kerja kerasnya. Saat kita mendapatkan pertanyaan yang tidak ‘smart’ kita bisa memberi applause terhadap keberanian bertanya. Melatih otak sama persis seperti melatih otot tubuh kita. Otot yang terlatih bersifat lentur. Kita pun bisa mengupayakan neuroplasticity, di mana otak kita seakan diurai kembali dan membentuk konfigurasi yang lebih teratur dan fleksibel. Dengan melatih rasa bersyukur, mengeluarkan pernyataan positif kita akan terbiasa untuk bersikap tenang menghadapi kesulitan dan tantangan.

Mengembangkan “A Better Self”

Mari kita pikirkan, apa tujuan kita menyekolahkan anak? Apakah kita ingin ia menjadi bankir muda yang ambisius, mengejar gaji besar dan bonus tebal? Ataukah, kita ingin ia mengenal dirinya, berpegang teguh pada nilai-nilai moral, disukai orang di sekitarnya dan mengembangkan sikap untuk menjadi manusia yang utuh? Tentu kita memilih jawaban yang terakhir, bukan? “Self” yang kuat mampu menguatkan “sense of ownership” terhadap negara, perusahaan, dan masalah yang sedang dihadapi. Individu dengan self kuat, bersikap “excited” dalam menghadapi tantangan di depan mata dan lebih kuat belajar.

Penguatan “self’ ini perlu kita pikirkan bukan saja terhadap anak, tetapi juga karyawan. Apakah kita memang ingin  melihat karyawan yang hanya berlomba-lomba dan terengah-engah mengejar komisi dan bonus? Sebaliknya, kita tentu lebih senang menciptakan barisan karyawan yang tidak hanya puas dengan prestasi yang biasa-biasa, dan justru menuntut dirinya untuk kreatif. Kita bisa membentuk karyawan bermental arsitek, pembangun dan kreator masa depan. Kita tidak peduli apakah manusia yang kita bangun menciptakan lagu, buku, usaha kecil, ataupun gaya rambut terkini, yang penting individu berniat keras untuk maju dan menerjang status quo. Jadi, dalam perusahaan yang sedang mengalami kemajuan pesat ataupun yang mengalami krisis, kita memang harus terus memikirkan strategi untuk membuat tiap individu merasa ‘terisi’, berguna dan autentik. Sudah waktunya kita meninggalkan materi, uang, ekonomi dan politik sebagai motivator utama. Kita perlu meyakini bahwa individu akan lebih ‘happy” bila ia berada dalam keadaan positif, sehingga dapat mengerahkan potensi pribadinya, merasa ber’power’ dan mempunyai tenaga untuk membahagiakan dirinya. Asah inteligensi positifnya.

(Dimuat di KOMPAS, 11 Februari 2012)

articles/inteligensi-positif.jpg|||0||bottom||
articles/inteligensi-positif2.jpg|||0||bottom||

Work VS Play

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seberapa besar keyakinan Anda bahwa “fun” bisa mempengaruhi produktivitas kerja? Saat saya mengajukan usul sederhana, misalnya memulai rapat dengan ekspresi senyum pada satu sama lain dan bersama-sama membuat janji pada setiap yang hadir untuk menghasilkan hal yang positif, beberapa kolega penting di sebuah organisasi menghela nafas, bersandar mundur dan menunjukkan ekspresi segan, seolah berkata: “Program ‘ekstrakurikuler’ apalagi ini yang akan dijalankan?”. Bila dipikir-pikir, pendekatan yang lebih “asik” dan “fun” dalam rapat, hanya membutuhkan tambahan beberapa menit saja dibanding kebiasaan yang saat ini dilakukan, tidak butuh perombakan kebijakan, apalagi butuh biaya tambahan. Padahal, suasana fun dan positif dampaknya bisa luar biasa besar. Bayangkan kita keluar dari rapat yang singkat, padat, produktif, dan menghasilkan kesepakatan dengan hati yang terbuka dan lapang. Bukankah beban kerja jadi tidak terasa dan kita bahkan jadi bersemangat untuk maju terus mem’follow up” keputusan keputusan rapat tersebut?

Sebetulnya, secara simpel, kita bisa menghitung betapa “fun” bisa mempengaruhi produktivitas. Di sebuah bank yang terkenal pekerja keras dan menghabiskan waktu kerja minimal 14 jam sehari, setiap usai rapat, para peserta dengan bersemangat mengganti status pribadi di aplikasi jejaring sosial atau smartphone mereka, sesuai dengan spirit rapat yang baru dijalani. Disinilah kita melihat betapa “fun” mampu menciptakan magic sehingga para eksekutif ini terlihat punya energi begitu banyak, di tengah begitu besarnya beban kerja.

Seorang ahli manajemen Dr. David Abramis meyakini bahwa suasana kerja yang positif dan ‘fun” membuat orang lebih kreatif, produktif dan membuat keputusan yang lebih bermutu. Hasil penelitiannya juga menemukan bahwa tawa menghasilkan “endorphin” yang punya pengaruh terhadap emosi dan berkekuatan lebih besar daripada morphin. Endorphin menyebabkan rasa sejahtera dan optimis. Fakta inilah yang membuat makin banyaknya  perusahaan menyusul Southern Airways, Google dan Zappos untuk  menganut ‘fun’ sebagai corporate strategy. Perusahaan IT di Amerika, Acclaris, mengangkat khusus seorang “Chief Fun Officer”,  sementara sebuah perusahaan di Kanada mengembangkan sebuah departemen khusus untuk urusan menciptakan “Wow”. Kesemua usaha ini pada akhirnya kembali kepada tujuan bisnis, di mana 3 hal, yaitu empowerment, engagement dan kreativitas diharapkan meningkat. Pertanyaannya, masihkah kita tidak serius untuk menggarap “fun” sebacai cara untuk mencapai puncak kinerja dari ketiga hal tersebut?

{mosimage}

Menyelaraskan pikiran dan hati

Dalam budaya kerja, kita memang terbiasa memisahkan antara pikiran dan hati. Walaupun banyak slogan menyerukan bekerja dengan hati, banyak orang lebih meyakini bahwa bekerja memang didominasi oleh pikiran. Kita sering lupa, bahwa pada saat genting, di mana kita perlu mengambil keputusan, toh ternyata hatilah yang sering mendominasi keputusan kita. Kerjasama hati dan pikiran justru sangat erat. Pikiran menyediakan fakta, konsep dan membanding-bandingkan realitas satu dengan yang lain, sementara hati memberi arah dan memperkuat cara pandang kita terhadap suatu fenomena. Jadi, bila kita membandingkan kerja hati dan pikiran kita dengan situasi di pengadilan, maka pikiran kita adalah tim pembelanya, sementara hati adalah hakimnya. Namun demikian, dalam bekerja, kita sering menyaksikan ketidakseimbangan peran antara pikiran dan hati. Berapa banyak orang menggunakan pikirannya secara dominan, justru pada saat pikiran tidak boleh bekerja, misalnya saja ketika kita merayakan keberhasilan? Itu sebabnya, kita perlu menjinakkan pikiran kita dengan cara menyelaraskannya dengan hati. Pikiran dan hati perlu berjalan bersama, berpikir dengan hati, merasa dengan pikiran.

“Bermain’ dengan pikiran

Ayah saya yang memperkenalkan cara memainkan musik sederhana seperti harmonika dan suling, selalu menasehati ”Mainkan! tapi jangan main-main!”. Semangat untuk bermain ini ternyata kemudian sangat berguna dalam menghayati pekerjaan. Begitu kita menyukai apa yang kita kerjakan, tugas tersebut akan serasa sebagai permainan. Dengan penghayatan ini, kita pun jadi mempunyai sikap positif terhadap tugas yang kita lakukan, berusaha menjadi pemain yang perfek, menikmati prosesnya dengan bangga, bahkan ingin  selalu lebih baik dan tanpa ragu mengambil tanggung jawab dari seluruh pekerjaan secara utuh. Dalam setiap permainan, sesungguhnya kita memang otomatis akan menggenjot kekuatan pikir kita sebisa-bisanya. Katakanlah, saat menerbangkan layang-layang, kita akan memfokuskan diri untuk mencari ke mana angin bertiup dan berusaha keras agar layang-layang diterpa angin sehingga akhirnya bisa terbang. Dalam bermain, tidak ada konsentrasi pada kelemahan. Semua perhatian kita terarah dan terfokus pada apa yang kita bisa. Hati dan pikiran kita menyatu dalam upaya bermain. Bila dikaji lebih jauh, maka dalam bermain pun ada unsur ketepatan, pencapaian target, ‘fairness’, keadilan, dan latihan serta ‘coaching’. Justru dengan pendekatan ‘gaming’ dalam bekerja ini, kita tidak terlepas dari profesionalisme dan kompetensi, hanya saja hati berperan dalam memainkan ‘sense of humor’, ‘fun”, dan perspektif positifnya.

Di perusahaan, kita bisa menterjemahkan unsur “gaming” dan ‘fun” ini ke dalam  paket benefit yang tidak material. Anak muda sekarang, tentunya akan memilih waktu kerja yang fleksibel daripada ketentuan yang kaku. Individu tentu lebih memilih atasan yang bisa diajak berkomunikasi seperti teman sendiri, daripada birokrasi bersusun-susun yang ditempuh dengan keseriusan yang membuat stres. Kita sesungguhnya dapat selalu membawa unsur fun dalam kompetisi dan juga celebration di tempat kerja, sehingga pikiran dan hati senantiasa berkolaborasi menciptakan kinerja yang berlipat ganda.

(Dimuat di Kompas, 4 Februari 2012)

articles/work-VS-play1.jpg|||0||bottom||
articles/work-VS-play2.jpg|||0||bottom||

Keputusan

keputusan1

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah renovasi kecil di kantor, seorang anggota Board of Directors tiba-tiba memanggil pimpro renovasi ruang rapat tersebut. “Saya tidak mau ruangan ini terbuka dan berkaca semua, tolong diganti dengan dinding, karena di ruangan ini harus ada ‘privacy’”. Pimpro dengan sopan mengatakan bahwa penggantian tidak bisa dilakukan lagi, karena biaya akan melampaui budget dan lagipula ruangan tersebut sudah akan digunakan. Ketika anggota direksi tersebut semakin berang, pimpro menunjukkan perubahan-perubahan gambar yang sudah terjadi selama ini, bahkan sudah 8 kali. Di dalam hati, pimpro bergumam: “Siapa suruh tidak ikut rapat?” Pengambilan keputusan memang tidak bisa disepelekan. Pernahkah kita membayangkan betapa mahalnya biaya perubahan yang terjadi akibat keputusan yang tidak matang? Dapatkah kita menghargai keputusan yang sudah di-“ketok palu” dan tidak malah mementahkannya? Pernahkah kita mengatur diri, kelompok, ataupun perusahaan, untuk meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan? Pernahkah mandat untuk mengambil keputusan kita tinjau kembali, revisi dan diperkuat, agar supaya efisiensi maupun pengembangan kemampuan manajerial tim kita berkembang? Bukankah bila kita ingin mengembangkan praktik bisnis yang baik bahkan terpuji, kita juga perlu mengelola manajemen risiko dan kemudian mengatur tata cara mengambil keputusan?

Keadaan bisa lebih parah lagi, bila diantara pihak pengambil keputusan, masing-masing bisa mementahkan keputusan yang lain. Salah satu sudah mau maju, yang lain mengatakan: ”tunggu dulu!” Keadaan bagaikan ‘poco-poco’ ini bukan saja menghambat, namun jelas juga merugikan organisasi. Kita juga bisa melihat kejadian, di mana setelah terjadi kesalahan, tim pemutus malah saling tuding, “buang badan” alias cuci tangan, dan masing-masing berteriak: ”bukan saya”. Dalam situasi ini, kita tentu bertanya-tanya, bukankah dalam keadaan genting para pengambil keputusan perlu langsung merapatkan barisan, mengkompakkan diri dan berpikir bersama menemukan jalan keluar, dan bukan malah membuat semua kelemahan terlihat dari luar? Menyadari bahwa pengambilan keputusan merupakan bagian integral dari lembaga tersebut, masihkah kita mengabaikan dan tidak mengaturnya? Bagaimana dengan lembaga-lembaga pemerintah super penting, yang terasa belum siap menanggung risiko dan tanggung jawab atas keputusan beberapa milyar, sementara mereka harus bisa memutuskan dan mempertanggung jawabkan putusan yang nilanya puluhan bahkan ratusan trilyun? Dinamika “corporate governance” ini, bukan menjadi tuntutan di negara kita saja, namun sudah menjadi tren global, yang tidak bisa ditawar tawar lagi, bukan saja oleh lembaga bisnis saja, tetapi juga lembaga pemerintah, swadaya maupun para investornya juga.

keputusan2

Pentingnya Misi dan Patokan

Ada seorang teman yang berkomentar, “Di perusahaan ini, mengambil keputusan pengeluaran uang 5 juta, sama lamanya dengan pengambilan keputusan pengeluaran uang 10 milyar”. Keputusan yang bertele-tele tentu sama merugikannya dengan keputusan yang terburu-buru dan tidak matang. Dalam kondisi yang tidak menentu dan banyaknya kendala yang perlu kita hadapi, yang diperlukan sebetulnya adalah patokan bagaimana pengambilan keputusan ditata.

Seorang ahli manajemen mengemukakan patokan yang mudah diingat, bila kita ingin mengembangkan ‘corporate governance’ yang baik, yaitu: Culture, Leadership, Alignment, System dan Structure, disingkat CLASS. Perusahaan yang menginginkan efisiensi luar dalam, hanya bisa mencapainya dengan menetapkan  standar, mulai dari gaya berpakaian, sikap keterbukaan pada pemimpinnya, bahkan sampai cara berkomunikasi setiap individu dengan orang luar. Lembaga yang mewakili rakyat, misalnya DPR, rasanya pun perlu menyebarkan visi dan misinya secara jelas, mengenai tata cara, tata krama, serta gaya hidup yang dituntut terhadap anggota-anggotanya. Pengaturan mengenai mobil apa yang akan digunakan, suguhan makanan yang dipilih, produk dan gaya interior ruang rapat apa yang akan dimanfaatkan, kesemuanya perlu menggambarkan misi lembaga. Kita sudah melihat bahwa tidak pahamnya anggota kelompok, karyawan ataupun anggota tim terhadap kultur lembaganya seringkali mengakibatkan keputusan yang melenceng. Bila tidak diatur dan berpatokan pada misi yang jelas, kejadian kesalahan dalam pemilihan dan pemutusan sudah pasti akan berulang dan terus terjadi.

Menjaga Mutu & Akuntabilitas Keputusan

Pengambilan keputusan terjadi di setiap jajaran dan bukan melulu tugas pemimpin. Namun, pemimpin-lah yang tetap perlu mengingatkan, menggarisbawahi, dan kalau perlu merestruktur sistem pengambilan keputusannya dari waktu ke waktu. Pemimpin yang baik, tidak mungkin sibuk mempromosikan dirinya saja. Pemimpin perlu sensitif terhadap kebutuhan anak buah dan menyelaraskannya dengan kebutuhan organisasi. Hanya dengan pendekatan seperti inilah, hubungan antara atasan dan karyawan yang paling bawah menjadi dekat, transparan, dan “alligned”.

Keteledoran dalam memperhatikan tata cara mengambil keputusan sudah dibuktikan dengan  kasus-kasus seperti Enron, BP, krisis finansial global di luar negeri, dan juga kasus Lapindo di dalam negeri.  Disaat nilai dan budaya korporasi bisa mengangkat harga diri, ‘competitiveness’ bahkan mengundang investasi, kita pun perlu memfokuskan perhatian pada mutu keputusan dan akuntabilitas dari pemutusnya. Sistem dan struktur pembagian wewenang yang sudah digariskan dan diimplementasikan secara konsisten akan membuat seluruh organisasi seolah mempunyai ‘common language’ dan saling mengerti antara manajemen puncak dan bawahan. Bahkan, orang luar pun tidak bisa melacak, di mana sebetulnya kunci pengambilan keputusan organisasi dan organisasilah yang kemudian akan mendapat manfaat pencitraan dan ‘competitiveness’. Untuk meningkatkan kualitas diri, kita memang  perlu belajar mengambil keputusan yang bermutu, seperti kata pepatah Yugoslavia “If you wish to know what a man is, place him in authority”

(Dimuat di Kompas, 28 Januari 2012)

articles/keputusan1.jpg|||0||bottom||

articles/keputusan2.jpg|||0||bottom||

Creating Value

creating-value1

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Salah seorang karyawan perusahaan BUMN menyatakan bahwa sebelum bekerja di perusahaan ini, ia bekerja di perusahaan asing. Di perusahaan sebelumnya, proses kerja sudah sangat baik dan sistem pun baku dan mapan. Hanya saja, nuraninya terganggu karena porsi terbesar keuntungan perusahaan dinikmati bukan oleh pekerja, tapi para pemegang saham di luar negeri. Ia pun meninggalkan perusahaan tersebut untuk bergabung dengan perusahaan BUMN, di mana praktik-praktiknya sangat berbeda dengan perusahaan sebelumnya. Begitu banyak inefisiensi di sana-sini. Ia lalu berusaha mengusulkan perubahan-perubahan dan bahkan kemudian menikmati semangat perubahan yang sedikit demi sedikit mulai diterima atasannya. Meski harus bekerja ekstra keras, ia puas karena paling tidak bisa memberi kontribusi pada negara sendiri. Kita tentu bangga melihat seseorang yang punya alasan kuat untuk mengorbankan “comfort zone”-nya demi negara. Inilah bentuk keputusan  bahwa spirit dan motivasi  individu bisa dilandasi ‘nilai’ yang dianutnya.

Ketika Jim Collins dan Jerry Porras menerbitkan buku Built to Last, pada tahun 1994, semua perusahaan secara mewabah menegakkan prinsip dan nilai sebagai pedoman bertingkah laku dan meyakini bahwa menggariskan prinsip dan dasar bertingkah laku adalah hal yang super penting dalam menjalankan perusahaan. Namun, sering kita menyaksikan praktik di perusahaan yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang digaungkan. Di tembok-tembok ruang rapat Enron, terpampang jelas nilai-nilai perusahaan: Communication, Respect, Integrity, Excellence. Namun, perusahaan ini malah menjadi demikian terkenal karena kecurangannya. Lalu, ke mana nilai integrity yang digaung-gaungkan? Mengapa tulisan integrity di dinding itu serasa tak bertenaga, tak bergigi dan tidak berarti? Apakah values-nya salah diterjemahkan? Apakah memang values dan praktik di perusahaan tersebut sekedar tidak ada hubungannya? Bila nilai dan praktik di lapangan tidak nyambung, bayangkan betapa sulitnya manajemen puncak dan para pimpinan ‘mengatur’ dan mengarahkan anggota tim. Bila nilai sekedar menjadi slogan kosong, bagaimana anggota tim bisa betul-betul happy dan merasa melakukan pekerjaan yang berarti?

creating-value2

Mengejar ‘nilai tambah’ dari nilai

Hampir semua perusahaan meletakkan “customer focus” sebagai salah satu nilainya, namun kita bisa lihat penerapan dan dampaknya bisa begitu berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Sebuah perusahaan yang sudah mencantumkan “customer service” sebagai salah satu nilainya, bahkan sangat sempit menterjemahkan istilah “customer service”. Bagi mayoritas karyawan, bahkan pucuk pimpinannya, “service” lebih diartikan pada memperbaiki produk yang rusak, namun tidak ada hubungannya dengan memperhatikan kebutuhan pelanggan akan proses yang cepat dan handal. Penerjemahan yang keliru dan tidak diturunkannya nilai “customer focus” dalam berbagai prosedur kerja dan panduan pengambilan keputusan, berakibat sulitnya individu untuk “walk the talk”. Ujungnya, nilai yang dimiliki jadi tidak terasa, “tidak bunyi”. Padahal, nilai-nilai dalam sebuah institusi tidak hanya berfungsi untuk mengarahkan tingkah laku, namun juga sebagai perekat individu satu sama lain. Bukankah kita langsung merasa “dekat” dengan orang yang seiman, sepikiran dan sependapat?

Ada pula kejadian di mana sebuah perusahaan membatalkan pesanan pelanggan, karena salah hitung di tim internal. Padahal, pelanggan sudah memperhitungkan waktu kedatangan barang tersebut untuk menjalankan bisnisnya. Hal ini tentu tidak hanya membuat frustasi karyawan dan pelanggan, namun menyebabkan moral karyawan sulit diangkat lagi. Dengan demikian, tantangan kita adalah membayangkan apa nilai tambah yang bisa diberikan dari nilai-nilai yang kita anut. Singkatnya, prinsip dasar atau “value’ perusahaan, lembaga atau negara, tidak perlu digembar gemborkan bila tidak memberi nilai tambah. Bila karena prinsip dasar, pelanggan dan karyawan malah dibuat ribet, apa fungsi dan maknanya prinsip tersebut? Namun, bila prinsip dasar ini, dikaji, dijadikan kamus, dijadikan patokan penyelesaian masalah dan pada akhirnya membuat individu di dalam kelompok, lebih bisa mandiri dalam menjalankan tugas maka nilai tambah pasti akan didapatkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih bagus lagi bila panduan perilaku ini bisa dibukukan dan dijadikan patokan bagi karyawan yang baru direkrut, yaitu terkait cara-cara mengambil keputusan saat mengalami kesulitan, bahkan  dalam menghitung untung rugi dan resiko perusahaan.

Sosialisasi Nilai bukan ‘Marketing Launch”

Banyak perusahaan atau lembaga yang terjebak pada aspek aspek simbolis dari nilai nilainya. Ketika selesai menggariskan nilai perusahaan, banyak kita lihat dilakukan launching besar-besaran dan ‘celebration’ untuk, istilahnya, “menanamkan” ‘values’ tersebut. Pada kenyataannya, kita tidak bisa menanamkan nilai, mengalirkan nilai dalam darah, dan membumbui nilai dalam ‘mindset’ karyawan hanya melalui launching. Kita perlu banyak memfasilitasi internalisasi nilai dengan diskusi, tanya jawab dan meyakinkan semua karyawan bahwa nilai inilah dasarnya dalam berperilaku. Kita bisa mencontoh perusahaan yang serius, mengadakan “values communication plan” untuk melatihkan dan membahas kasus-kasus pelik yang perlu ditanggapi sesuai values yang benar , bahkan menggunakan  “key values indicators’ untuk mengukur perilaku dan prestasi. Dalam susah dan senang, values harus menjadi mercu suar.

Mari kita lihat juga Pancasila, dasar negara kita, yang dihafal, dikenal, disukai dan tidak pernah dipertanyakan rakyat. Namun, pernahkah kita merasa ‘sangat dekat’, meletakkan nilai luhur itu dalam hati kita dan mengalirkan di dalam darah kita, sampai kita betul-betul bisa mengatakan “Sedia berkorban untukmu”, sebagaimana lirik lagu Garuda Pancasila? Bagaimana seharusnya kita menghembuskan values yang sudah digariskan ini dan mengambil manfaat dari filosofi perusahaan, lembaga atau negara? Pertama-tama, kita memang mesti bertanya kepada pimpinan atau pengelola lembaga, apakah ia betul-betul menganut nilai ini atau ia sendiri memang berjarak dan tidak terlalu mengindahkannya. Hal yang juga penting adalah para tokoh dan pimpinan ini bisa menggambarkan nilai-nilai tersebut dalam perilaku atau paling tidak dalam dialog, pidato, problem solving dan penentuan prioritasnya. Negara, kelompok, institusi  yang warganya “Live their values” sudah pasti akan terlihat menarik, unik, dan dengan sendirinya menikmati ‘nilai tambah’-nya.

(Dimuat di Kompas, 24 Maret 2012)