Miskin

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Isu kemiskinan memang selalu menarik perhatian, seketika membangkitkan rasa “pahit” bagi kita. Dalam beberapa minggu terakhir, topik ini kembali diangkat sebagai headline berita Harian Kompas dan beberapa media lain. Diberitakan jumlah penduduk miskin meningkat dan angka kemiskinan bahkan berpotensi untuk terus meningkat. Ada beberapa daerah pedesaan yang angka kemiskinannya menurun, namun di daerah perkotaan justru malah angkanya naik. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi. Meskipun kita sudah masuk ke era kemajuan teknologi yang mutakhir, namun kemiskinan seakan terus menghantui negara-negara berkembang.

Begitu penting isu ini, sehingga kita tahu topik ini pun senantiasa dijadikan alat kampanye. Pengentasan kemiskinan seolah-olah bisa selesai, dengan membuat beragam program pemerintah. Kita melihat melalui berbagai pemberitaan betapa pemerintah pun telah mengupayakan berbagai langkah pengentasan kemiskinan, misalnya dengan pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya "bottom-up intervention", baik itu dengan padat karya, memberikan pelatihan kewirauasahaan, juga beragam pendidikan ketrampilan. Namun, setelah banyak pemikiran dan usaha dicurahkan, hasil yang diharapkan tidak juga kunjung terlihat. Benarkah kemiskinan merupakan sesuatu yang alergik, sehingga sulit dihindari oleh seluruh umat manusia?

{mosimage}

Kemiskinan yang Mana?

Kemiskinan secara dominan memang dianggap sebagai urusan yang bersifat ekonomis. Pembahasan kita biasanya difokuskan pada terbatasnya hak-hak dasar, seperti terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun, pernahkah kita memikirkan kemiskinan dari sudut lain dan berusaha melihatnya secara lebih multidimensional?,

Dari internet saya menemukan lagu suku Telugu, India, yang menggambarkan “Seven Kinds of Poverty Song”:

Lack of food , clothes , shelter is economic poverty.

Lack of education , skills, inability to think , is mental poverty.

Lack of social cohesion, disunity ,disregard for social responsibilities is social poverty.

Poor sanitation,poor hygiene, illness is bodily poverty.

Forgetting God, lack of Devotion, disregard for humanity is spiritual poverty.

Losing tradition ,losing arts and crafts ,is cultural poverty.

Apathy to vote, dirty politics ,lack of development is political poverty “.

Lagu ini menggelitik kita untuk merenungkan kembali apa yang menjadi kriteria kemiskinan dan memikirkan ulang skala kemiskinan yang kita gunakan. Nyata benar bahwa bangsa kita tidak hanya perlu berjuang untuk mengatasi keterpurukan dalam dimensi ekonomi, tapi kita pun perlu bahu membahu untuk mengangkat “kemiskinan” dalam segala dimensi. Bukan hanya tingkat pengangguran, kekerasan, putus sekolah, mahalnya pengobatan yang kita temui, tapi kita juga masih begitu dekat dengan kemiskinan dalam bentuk lain, yaitu kemunafikan dan sikap tidak peduli.

Sadar tidak sadar, kita sering membiarkan tumbuhnya sikap-sikap yang mendorong makin tingginya kesenjangan sosial. Kita pun belum sungguh-sungguh mengupayakan pemberantasan kemiskinan dari sisi mental maupun spiritual. Bukankah kita kerap melihat orang hanya bicara lalu membuang muka menghadapi kecurangan dan kemunafikan dalam menangani korupsi. Betapa kita membiarkan tradisi budaya bangsa ditelantarkan dan diganti dengan “budaya” baru yang sama sekali tidak berakar? Betapa kita seolah membuang muka terhadap ketidakmampuan orang di sekitar kita untuk menyekolahkan anak dengan layak? Betulkah kemiskinan adalah “helplessness”, tidak tertolong lagi?

Kesenjangan yang Dibiarkan

Apa yang kita lakukan bila melihat bocah kecil pengamen di samping mobil kita? Reaksi yang umum terjadi adalah mengingatkan anak kita untuk mawas diri, mengatakan bahwa hidupnya lebih beruntung, mengajarkannya berderma, memberi beberapa lembar rupiahan dan…, selesai. Terkadang kita tidak sadar bahwa partisipasi mengentaskan kemiskinan tidak sesederhana memberi uang pada kaum papa. Tidakkah kita sadari bahwa berbelanja berlebihan, mengkonsumsi makanan, air, listrik berlebihan, menyebabkan kita semakin tumpul mengira-ngira apa kebutuhan kita yang sebenarnya. Sikap apatis terhadap kecurangan, perusakan lingkungan, penggunaan kayu dan energi berlebihan pun sesungguhnya menyebabkan kita tidak bisa berhitung lagi apa yang perlu kita tegakkan untuk menjaga struktur dan menghindari timbulnya kesenjangan yang lebih besar.

Bayangkan apa jadinya bila kita terus memelihara sikap masa bodoh, malas berpikir dan tidak mau meluangkan waktu untuk memahami keindahan dan kekayaan alam, kebijaksanaan yang terkandung dalam tradisi kita? Kita harus kembali belajar untuk menghargai orang bukan dari apa yang ia miliki tetapi dari kekuatan mental dan daya pikirnya. Kita bisa berpartisipasi mengentaskan kemiskinan dengan membangun sikap cermat, kritis, menghargai pendapat, merespek orang lain, sehingga kita memiliki tabungan kekayaan pribadi yang bisa terus kita tularkan. Dengan demikian masyarakat tidak hanya melihat kaya-miskin dengan satu ukuran yaitu ukuran finansial saja.

Sikap Prihatin  sebagai Obat Kemiskinan

Memahami bahwa kemiskinan bukan semata dimensi ekonomi saja, kita tentu kini bisa menilai bahwa menggunakan zat pewarna tekstil untuk pewarna makanan untuk dijual dan mengkonsumsinya juga untuk keluarga sendiri adalah bentuk kemiskinan. Bila seorang sopir berusaha memenuhi keinginan anaknya  untuk memiliki telpon seluler  dengan upaya diluar etik dan norma kejujurannya, ini juga sisi lain dari kemiskinan.

Perilaku prihatin sama sekali bukan tanda kemiskinan. Justru kemiskinan adalah bila harga diri manusia dilekatkan pada benda-benda duniawi dan lupa pada ketulusan hati dan kebersihan jiwa. Dalam hidup prihatin sesungguhnya kita justru bisa lebih mempererat persaudaraan, lebih setia kepada sang pencipta. Menjauhkan pikiran dan tindakan menyombongkan diri, berhati-hati agar tidak merugikan orang lain dan alam pun adalah tindakan konkrit untuk mengatasi kesenjangan yang ada. Dengan sendirinya, kita bisa terhindar dari sifat mencari keuntungan pribadi. Bersamaan dengan itu kita pun bisa mengajak lingkungan di sekitar kita untuk menghemat pemanfaatan alam. Bangsa Indonesia tidak perlu menebang hutan berjuta hektar, mengeruk batu bara untuk mengentaskan kemiskinan. Memelihara sikap prihatin, bila dilakukan bersama-sama, akan bisa memberi energi dan kekuatan untuk kita bersama bangkit dari berbagai dimensi kemiskinan.

(Dimuat di KOMPAS, 24 Juli 2010)

articles/miskin2.jpg|||0||bottom||
articles/miskin.jpg|||0||bottom||

Modern

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Siapa pun akan ‘kesengsem’ bila memasuki sebuah restoran dan disambut dengan manis, informatif dan gesit oleh seorang ‘frontliner’. Ini bukan taktik dagang yang merupakan rahasia perusahaan lagi. Semua orang tahu, garda depan adalah andalan perusahaan. Namun, tidak semua kita segera bisa membayangkan berapa banyak waktu dan betapa rumitnya membentuk garda depan yang helpful, tangkas dan handal. Ketrampilan dan standar layanan, bisa saja diajarkan melalui training dua atau tiga hari. Tapi, ketrampilan saja tanpa diwarnai spirit melayani yang kental, tentu akan segera terasa “palsu” dan kakunya, tidak akan pernah bisa membuat pelanggan terkesan. Banyak sekali pemilik perusahaan, direktur dan manager mengeluhkan garda depan yang spirit melayaninya “naik – turun”, tidak konsisten. “Kalau pimpinan ada di lapangan, semua berjalan baik. Begitu kita tidak hadir, komplen berdatangan”

Membentuk dan menularkan spirit melayani, dari pucuk pimpinan sampai ujung garda paling bawah, memang senantiasa menjadi tantangan, bagi perusahaan kaliber nomor satu sekalipun. Di sini kita tidak lagi bicara masalah individu atau tim garda depan, tapi atmosfir dan budaya yang tidak hanya teraga, tapi juga harus terasa dalam setiap kata dan tindakan. Bukan saja di perusahaan jasa,  seorang teman di sebuah pabrik padat karya pun mengeluh: “Mengapa ya para pekerja tidak sadar bahwa kalau mereka mengerjakan tugasnya dengan penuh perhatian terhadap kualitas, perusahaan bisa lebih maju. Sekuat-kuatnya kita sebagai pimpinan jadi ‘role model’ pun tidak membantu“. Sebuah data survey menyebutkan, sekitar 60% perusahaan yang berusaha memompakan ‘corporate culture’-nya mengalami kemandegan, tidak sampai ke lapisan paling ujung. Padahal garda depan inilah yang berurusan dengan pelanggan ataupun produk yang dihasilkan perusahaan. Banyak orang berkomentar, lini tengah-lah yang sering tidak mampu meneruskan pesan manajemen. Benarkah begitu? Apa yang bisa kita lakukan?

Walaupun menelan pil pahit, kalah melawan Spanyol di semifinal piala dunia tahun ini, tim Jerman tetap menunjukkan fenomena baru di dunia sepak bola. “Modern lawan modern. Kolektif lawan kolektif. Keindahan lawan keindahan.” begitu ungkap penulis Sindhunata terhadap permainan Jerman saat melawan Argentina. Tim yang disangka akan bergaya panser, ternyata kemudian tampil seperti yang dikemukakan Sindhunata: lincah, cepat, ringan, agresif dan kreatif. Tim Jerman memperlihatkan betapa pendekatan barunya seolah bisa menciptakan ‘magic’. Setiap pemain bekerja keras, lari dan bertaktik. Semua pemain begitu sadar akan tugas pentingnya dan tidak ada seorang pemain pun yang terlihat tidak aktif berpikir untuk menempatkan bola-bola cantik. Tim-tim tangguh favorit juara, seperti Inggris dan Argentina pun harus mengakui ketangguhan tim Jerman. Kita yang menyaksikan pun tidak sekedar bisa menikmati menang kalahnya, tapi justru permainannya.

Kita pun bisa melihat kerjasama tim yang indah di kesebelasan Spanyol. Tim yang merajut kerjasama selama dua tahun ini kerap disebut “tidak punya siapa-siapa, tetapi bisa menjadi siapa pun”. Fleksibilitas yang ditunjukkan secara nyata terlihat menghasilkan keunggulan tim yang membuat kita mengacungkan jempol. Inikah pendekatan ‘modern’ yang disebut-sebut oleh para komentator bola? Seorang filsuf, Delanty, menyebutkan modernisasi sebagai: "The loss of certainty and the realization that certainty can never be established, once and for all." Tanpa adanya pendekatan baru, tampaknya memang sulit kita untuk menghadapi lawan yang unpredictable dan dominan. Di era mobilitas sosio ekonomi, di mana produk, permodalan, manusia dan informasi beredar bebas tidak berbatas, setiap orang tampaknya memang perlu memikirkan desain perubahan spesialisasi, segmentasi dalam masyarakat, sehingga mempengaruhi pola interdependensi dalam organisasi ataupun tim. Kita tentu perlu terus mengevaluasi sejauh mana kita sudah menerapkan cara-cara baru dalam bekerja dan bekerjasama? Seberapa jauh upaya kita untuk me-modern-kan cara pikir dan pola hubungan interpersonal kita?

 

{mosimage}

Bersantai dalam Keberbedaan

Keberhasilan adaptasi terhadap keragaman etnis dalam tim dan sudah tidak dinomorsatukannya senioritas lagi,  adalah sebagian contoh betapa pendekatan baru adalah strategi yang bisa membawa keunggulan bagi sebuah tim sepakbola. Pelatih Spanyol, Del Bosque, menyebutkan bahwa ia harus mengelola pemain-pemain usia muda . Para pemain menyatakan betapa permainan dan kerjasama tim bisa mereka nikmati sendiri. Xavi, motor dalam tim Spanyol, bahkan mengungkapkan: "We felt very much at ease on the pitch. That's what we want, that's what we are looking for."

Dalam dunia manajemen pun kita melihat hal yang sama. Seorang anak muda berpenampilan ABG muncul di jajaran direksi sebuah bank besar milik pemerintah. Anak muda yang berhasil mencapai puncak karir dalam usia relatif muda ini pun tidak “cupu” (baca: culun punya) bahkan ‘gaul’. Kecemerlangannya diakui oleh setiap orang. Ia memperlihatkan betapa dirinya begitu terbuka dan bahkan lebih ‘happy’ bila bisa berhubungan dengan banyak orang. Ia pun menikmati dan mencari kesempatan untuk melakukan sebanyak-banyaknya sharing pengalaman, pendapat, minat  dengan orang yang berbeda suku, negara ataupun bangsa. Seorang anak muda yang saya temui di pesawat mengatakan dirinya berkebangsaan Australia, sementara dari penampilannya terlihat ia beretnis Cina. Menariknya, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia ‘berbeda’ dari suku-suku bangsa yang lain. Ini membuktikan bahwa generasi ‘modern’ lebih cair dan lebih mampu ‘sharing’ daripada generasi sebelumnya.

Dengan kondisi ini, organisasi yang saat sekarang masih mengagung-agungkan sikap stereotipik dan birokratis tentu saja terlihat usang. Bayangkan betapa besar kerugiannya bila dalam sebuah divisi atau organisasi masih ramai terdengar keluhan mengenai tidak harmonisnya hubungan antar divisi, tidak nyamannya berhubungan dengan atasan karena alasan birokrasi, atau lambatnya tindakan karena sikap segan pada atasan. Kita bisa menilai sendiri betapa perusahaan-perusahaan seperti ini tidak efisien dan efektif, bahkan membuang kesempatan untuk  menguatkan barisan dalam mencapai tujuannya. Suka tidak suka, saat ini kita dihadapkan pada situasi di mana segala sesuatu  seolah tidak berstruktur. Bawahan akan memilih siapa yang akan dipanut untuk menjadi mentornya. Mereka pun akan menghindari perusahaan yang membatasi kegiatan ‘networking’ mereka. Perusahaan yang terus bisa mempertahankan keunggulan, seperti Time Warner, Cisco dan Booz Allen, bahkan terus mendorong kesempatan berbagi ‘know how” dan memberi fasilitas untuk mengembangkan network yang tidak berbatas. Citibank dalam kampanyenya menuliskan “to work where and how you want”. Fleksibilitas memang perlu diciptakan dalam beragam bentuk yang kreatif. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang berbentuk “remixed” perlu dipersiapkan bila ingin menerapkan manajemen modern.

Bentuk Organisasi Modern

Tidak bisa diperdebatkan lagi apakah kita mau mencari pola baru dalam berorganisasi. Kita memang harus berubah. Organisasi baru harus mengakomodir proses ‘gunting-copot’ dengan cepat. Karyawan senior tentu saja memiliki “kecanggihannya” sendiri, misalnya untuk pekerjaan yang mengandalkan “tacit knowledge”, pengalaman serta kepemimpinan. Amex dan Novartis, misalnya, menjaga dampak negatif dari  peremajaan perusahaan, dengan tetap mempekerjakan para ahli senior yang keahliannya memang tidak tergantikan sampai mereka berusia 65 tahun secara ‘part time’. Di sisi lain, perusahaan perlu jeli mengoptimalkan kecanggihan yang dikuasai oleh ‘boomers’ dan ‘gen Y’, misalnya kepandaian multitasking, ketajaman dalam  menarik data dan informasi, serta  kreativitas yang tinggi.

Dalam tim sepakbola, kita melihat bagaimana para pro cabutan berkumpul dalam satu tim dan kemudian bersatu dalam ambisi dan idealisme “membela negara”. Keliru bila kita membatasi peran strategis kaum muda dengan anggapan bahwa generasi muda tidak punya ambisi, tidak punya idealisme dibanding generasi sebelumnya. Bukankah kita bisa lihat banyak anak muda berani memilih pekerjaan dengan gaji kecil pada perusahaan yang berorientasi ramah lingkungan, ‘eco’ dan ‘green’ dan begitu peduli pada pengembangan masyarakat. Ambisi dan idealisme inilah yang sebetulnya bisa menjadi perekat dalam organisasi modern untuk membangun tim dengan “bentuk baru” yang lebih kuat. Tidak heran bila perusahaan seperti Virgin, Google, Facebook, Microsoft bisa terus mendobrak maju karena sistem yang dianut mengakomodasi keinginan anak muda kreatif yang juga sekaligus idealis.

(Dimuat di KOMPAS, 17 Juli 2010)

articles/modern.jpg|||0||bottom||
articles/modern2.jpg|||0||bottom||

As-Bun

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Terkadang kita dibuat bingung, mendengar komentar-komentar para pejabat, wakil rakyat atau para public figure di media. Apa yang disampaikan kemarin, bisa beda dengan yang diungkapkan hari ini. Saat pernyataan dikonfirmasi atau dikonfrontasi lebih lanjut pada kesempatan lain, ada individu yang berkelit, kemudian merasa tidak pernah mengatakan hal dimaksud. Tak jarang, kita pun bengong dengan “adegan” perang mulut, saling bantah atau bahkan juga ungkapan “no comment” dari pejabat berkepentingan yang penjelasannya ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Ketika seorang pejabat baru-baru ini menyatakan kecewa bahwa para wakil rakyat tidak menanggapi pertanyaan yang diajukan secara serius, kita pun bertanya-tanya, bisakah seorang yang memangku jabatan penting sekedar “asal ngomong” saja? Bukankah sangat berbahaya jika kita punya pikiran bahwa orang yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan “besar” di negeri ini tidak bisa dipegang kata-katanya? Bagaimana dengan kita sendiri, yang situasinya jauh lebih “mikro” daripada lingkup tanggung jawab para pejabat negara?

Di dalam keluarga, di tempat kerja, seberapa sering kita menemui gejala ‘asal bunyi’ seperti itu? Pernahkah kita bicara, mengeluarkan usulan, kemudian keluar dari ruang rapat tidak kita follow up lagi, bahkan bersikap seolah-olah pembicaraan tidak pernah terjadi?  Tak jarang pula, saat suatu rencana ketahuan macet atau gagal, kita mendengar individu mengeluarkan berbagai alasan “cerdas” untuk menghindar dari konsekuensi atau tanggung jawab. Dengan sikap seperti ini, bukankah kita malahan menodai integritas kita dan tidak menghormati diri kita sendiri? Padahal, sebetulnya kita punya peluang untuk membentuk  karakter pribadi dan menganalisa “lesson learnt” dari setiap perkataan yang kita sampaikan dan tindakan yang kita lakukan.

 

{mosimage}

Integritas = Ujian Konsistensi

Banyak orang yang menyamakan integritas dengan kejujuran, padahal integritas adalah sesuatu yang mendasar dan luas. Dalam berbagai rapat kita sering mendengarkan para peserta rapat menyuarakan kata “setuju” dan komit untuk melakukan ‘action’ tertentu. Begitu dicek ulang mengenai apa yang akan dikerjakan, ia mengatakan belum tahu caranya, bahkan tidak terlalu paham apa yang dimaksud dalam rapat. Bukankah ini juga termasuk contoh tidak adanya integritas? Orang sering tidak merasa bersalah bila ia tidak paham tentang suatu hal dan tidak mengakuinya, bahkan membiarkan ketidakpahaman terebut menjadi dasar tindakannya. Hal seperti ini sering tidak terdeteksi di banyak perusahaan padahal inilah pangkal tolak dari tidak optimalnya kinerja individu, tim, bahkan organisasi.

Pengecekan ucapan kita versus tindakan adalah pengukuran integritas yang paling mudah dan paling tepat. Integritas langsung bisa dilihat melalui kecocokan apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Bila tidak mau dicap sebagai orang yang tidak punya integritas, kita tentu harus betul-betul menimbang kata-kata “ya” yang keluar dari mulut kita. Kita bisa menghormati diri kita sendiri dengan betul-betul bersikap konsisten terhadap apa yang kita sepakati. Bila tidak bisa melaksanakan atau molor dari waktu, bukankah lebih baik kita merevisi kata-kata kita dan memikirkan kerugian apa yang sudah diakibatkan oleh ucapan kita itu. Seorang filsuf mengatakan :”Think for a moment about the Law of Gravity: there is no such thing as ‘good’ or ‘bad’ gravity; like integrity, it just ‘is’”.

Jangan Permainkan Integritas

Integritas tentu saja bukan sekedar “atribut” tempelan pada kepribadian pegawai. Integritas bukan sesuatu yang ‘nice to have’, melainkan  keseluruhan dan keutuhan kepribadian individu. Saat lembaga atau seorang pejabat mengeluarkan sebuah komitmen atau pernyataan, misalnya saja tidak akan ada pemadaman listrik terjadi di pulau Jawa, tentu saja kita meyakini bahwa hal ini sudah melalui sebuah pengkajian dan pengujian yang matang, di mana para ahli ini sudah tahu duduk perkaranya, bagaimana menyelesaikan dan bagaimana menjamin bahwa komitmen ini tidak “as-bun” dan bisa dilaksanakan. Saat seorang menyatakan komitmen di depan publik, ia tentu sadar bahwa dirinya mewakili kepentingan orang banyak. Begitu sebuah komitmen diucapkan, kita harus sadar bahwa jaminannya adalah keutuhan pribadi, di mana kita tidak bisa mengelak sedikit pun dari komitmen yang telah kita sampaikan. Integritas tidak bisa dilaksanakan setengah-setengah

Saat krisis tahun 1997, kita tahu banyak sekali perusahaan tidak bisa memenuhi komitmennya untuk mensuplai barang, membayar atau melakukan langkah yang sudah disepakati dalam kontrak. Kita jadi berpikir apakah komitmen dan integritas bisa berkompromi pada saat kita terancam kerugian? Saya teringat seorang teman yang menceritakan pengalamannya dengan sebuah maskapai penerbangan. Ia dan keluarganya di upgrade ke kelas bisnis karena kesalahan pihak airline yang melakukan overbook’ penumpang pesawat. “Keeping your word” benar-benar menjadi ‘policy’ bisnis karena kesadaran bahwa sekali komitmen dilanggar, reputasi, kepercayaan dan integritas bisa saja selama-lamanya tidak kembali. Kesalahan tentu saja akan menimbulkan kerugian, namun di sekolah bisnis mana pun, sudah pasti tidak ada pelajaran untuk mengingkari janji sebagai kebijakan menghindari kerugian. Banyaknya perusahaan yang berlomba menjual kredit tanpa agunan dengan bunga mencekik leher tanpa perhitungan yang matang mengenai pengembaliannya tentu perlu berpikir ulang untuk tidak bermain-main dengan integritas.

Menghormati Janji Pribadi

Di salah satu akun facebook, seseorang menuliskan status “Bagaimana mengajarkan kejujuran pada anak di situasi yang tidak menentu begini?” Sebenarnya kita bisa  kembali ke ‘basic’ saja, dengan mengajari anak untuk menghormati apa yang ia katakan. Bila ia berjanji, maka janji tersebut betul-betul harus dikatakan secara jelas, sehingga didengar dan dihayatinya sendiri. Kita pun bisa memperkenalkan kepada anak-anak dan bawahan kita betapa jauh lebih ksatria dan terhormat untuk mengakui kegagalan dalam memenuhi janji atau target daripada bersikap defensif, berkelit atau “cuci tangan”. Kita bahkan bisa ‘surprised’ bila menyadari betapa rasa percaya orang lain bisa tumbuh lebih pesat bila kita mengakui kesalahan atau kealpaan kita secara ‘gentleman’. Merespek kata-kata sendiri betul betul merupakan praktik yang diperlukan setiap individu untuk membentuk kepribadian diri yang kian ‘utuh’ dari hari ke hari. Seperti dikatakan orangtua orangtua kita: “Watch your thoughts, for they become words. Watch your words, for they become actions.Watch your actions, for they become habits. Watch your habits, for they become character.Watch your character, for it becomes your destiny.”

(Dimuat di KOMPAS, 31 Juli 2010)

articles/asbun.jpg|||0||bottom||
articles/asbun2.jpg|||0||bottom||

Garda Depan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Siapa pun akan ‘kesengsem’ bila memasuki sebuah restoran dan disambut dengan manis, informatif dan gesit oleh seorang ‘frontliner’. Ini bukan taktik dagang yang merupakan rahasia perusahaan lagi. Semua orang tahu, garda depan adalah andalan perusahaan. Namun, tidak semua kita segera bisa membayangkan berapa banyak waktu dan betapa rumitnya membentuk garda depan yang helpful, tangkas dan handal. Ketrampilan dan standar layanan, bisa saja diajarkan melalui training dua atau tiga hari. Tapi, ketrampilan saja tanpa diwarnai spirit melayani yang kental, tentu akan segera terasa “palsu” dan kakunya, tidak akan pernah bisa membuat pelanggan terkesan. Banyak sekali pemilik perusahaan, direktur dan manager mengeluhkan garda depan yang spirit melayaninya “naik – turun”, tidak konsisten. “Kalau pimpinan ada di lapangan, semua berjalan baik. Begitu kita tidak hadir, komplen berdatangan”

Membentuk dan menularkan spirit melayani, dari pucuk pimpinan sampai ujung garda paling bawah, memang senantiasa menjadi tantangan, bagi perusahaan kaliber nomor satu sekalipun. Di sini kita tidak lagi bicara masalah individu atau tim garda depan, tapi atmosfir dan budaya yang tidak hanya teraga, tapi juga harus terasa dalam setiap kata dan tindakan. Bukan saja di perusahaan jasa,  seorang teman di sebuah pabrik padat karya pun mengeluh: “Mengapa ya para pekerja tidak sadar bahwa kalau mereka mengerjakan tugasnya dengan penuh perhatian terhadap kualitas, perusahaan bisa lebih maju. Sekuat-kuatnya kita sebagai pimpinan jadi ‘role model’ pun tidak membantu“. Sebuah data survey menyebutkan, sekitar 60% perusahaan yang berusaha memompakan ‘corporate culture’-nya mengalami kemandegan, tidak sampai ke lapisan paling ujung. Padahal garda depan inilah yang berurusan dengan pelanggan ataupun produk yang dihasilkan perusahaan. Banyak orang berkomentar, lini tengah-lah yang sering tidak mampu meneruskan pesan manajemen. Benarkah begitu? Apa yang bisa kita lakukan?

{mosimage}

 Komunikasi Bolak-balik

Banyak direktur dan manager mengeluhkan alotnya proses “buy-in” pada karyawan saat dilakukan “cascading” dalam penanaman nilai, misalnya saja nilai “cinta pelanggan” atau “cinta kualitas”. Kata ‘cascading’ yang sering digunakan untuk menggambarkan sosialisasi budaya ataupun nilai-nilai perusahaan, sering membuat kita secara prinsipil merasa bahwa nilai-nilai tersebut harus di ‘guyur’-kan dari atas. Seolah-olah doktrin-doktrin yang sudah digariskan, bagai 10 perintah Allah yang harus dipatuhi. Namun, kita sendiri pun pasti mempertanyakan, seberapa efektif nilai-nilai bisa tumbuh dalam diri individu dan tim, bila mereka baru sekedar hapal tanpa penghayatan mendalam?

Sebuah perusahaan yang komit untuk memantapkan nilai dan budaya perusahaan, sangat menyadari bahwa diskusi-diskusi untuk mengumpulkan ‘masukan dari bawah’ sangat penting. Jumlah karyawan yang mencapai lima belas ribu orang membuat mereka melaksanakan tak kurang dari 5000 rapat untuk “menjangkau” seluruh karyawan. Di sinilah terlihat jelas betapa komitmen dari manajer-manajer lini tengah dan para supervisor diperlukan karena merekalah yang menghandel rapat-rapat kecil, mendengar baik-baik dan mengumpulkan masukan. Dari kegiatan ini, tidak hanya isi masukan yang jauh lebih berharga dari riset manapun, namun “engagement” karyawan pun lebih kuat karena mereka merasa hasil pemikirannya “didengar” dan diterapkan oleh perusahaan.

Dalam proses pembentukan nilai, kita pun perlu menyadari bahwa doktrin satu arah tidak akan membuahkan hasil terbaik. Komunikasi bolak-balik diperlukan untuk menjamin tumbuhnya penghayatan. Aktivitas “cascading” yang efektif harus membuka seluas-luasnya kesempatan bagi individu untuk merasakan, terlibat, mendiskusikan, membahas kasus-kasus di lapangan dan mempertanyakan nilai-nilai yang ada, sehingga terjadi “inner dialogue” yang membuat nilai bisa tumbuh dan kemudian mengakar.

Suntikkan ‘Nilai’, bukan Sekedar Cara

Sebuah bank dengan reputasi standar servis yang sangat baik, masih merasa perlu melakukan benchmark pada sebuah rumah sakit yang dinilai bisa membuat pasien nyaman. Dari luar tampaknya rumah sakit ini tidak mempunya SOP (Standard Operations Procedure) yang tegas. Semua pasien di dekati dengan cara yang berbeda-beda, tergantung penyakit, usia, suku bangsa, dan karakteristiknya. Dengan perlakuan ini, pasien yang datang segera bisa merasa nyaman, berkurang rasa takutnya, bahkan merasa betah dan ‘ingin kembali’.

Dari pengalaman benchmark, bank tersebut makin menyadari pentingnya memberikan pelayanan yang personal pada pelanggan yang mempunyai 1001 keunikan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Pemrosesan dokumen tentu harus singkat, cepat dan dilakukan dengan sigap, namun penanganan personal adalah kunci untuk memenangkan hati pelanggan. Manajemen bank segera menyadari bahwa sebelum mengarahkan pada pelayanan nasabah, karyawan pun juga perlu merasakan penanganan personal dari para atasannya. Karyawan juga perlu didekati secara tatap muka, ‘face to face’, hati ke hati. Selain karyawan perlu digelitik dengan persoalan bisnis seperti bagaimana membuat pelanggan lebih betah, bagaimana meningkatkan transaksi pelanggan dan memikirkan bagaimana perusahaan bisa menjadi ‘word of mouth’ dari para pelanggan yang puas, karyawan pun perlu terlebih dulu merasa ‘happy’ dan di ‘treat’ secara personal.

Satu hal lagi yang bisa kita “benchmark” juga adalah pihak manajemen bank mendorong pimpinan dan manager untuk mengumpulkan contoh-contoh pengambilan keputusan para karyawan dalam menghadapi kebutuhan pelanggan yang unik dan berubah-ubah. Mereka meyakini pendapat: "New ideas pop up from the pressure of trying to solve a problem for the customer". Pengalaman dari karyawan ini yang kemudian di ‘share’ dan dijadikan ajang belajar antar karyawan. Kita lihat bahwa standar layanan seharusnya memang tidak “menyandera” garda depan sehingga jadi bersikap statis dalam memberikan pelayanan pada pelanggan. Penghayatan pun harus dinamis. Hanya dengan cara inilah perusahaan bisa:”Moving beyond outputs”.

(Dimuat di KOMPAS, 3 Juli 2010)

articles/garda-depan.jpg|||0||bottom||
articles/garda-depan2.jpg|||0||bottom||

Tata Krama

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Tidak hanya gol-gol indah dan cantiknya permainan tim yang membuat kita tersihir pada ajang Piala Dunia tahun ini. Kericuhan, adu mulut, pertengkaran, juga “pemberontakan” di balik laga pun tentu jadi perbincangan kita, seperti yang kita saksikan terjadi pada tim bola Perancis. Kita pun dibuat geleng kepala menyaksikan betapa individu bisa tiba-tiba begitu keukeuh membela ego pribadi, tidak mau mengalah, tak lagi menghayati kerja tim, juga tidak patuh pada pemimpin atau coach. Begitu harmoni tim sudah tidak lagi terasa saat latihan, kapten dan coach tidak mampu membuat para pemain sehati, sejiwa dan berlatih atau bekerja bersama-sama untuk menyerang lawan, seketika kematangan teknik tiap-tiap individu tidak lagi berarti dan tidak bisa mengangkat tim untuk berpestasi. Tim yang begitu disegani, juara Piala Dunia 1998 ini pun kocar-kacir. Sungguh disayangkan, kekuatan tim Perancis untuk melambungkan  fenomena "from Zero to Hero" tidak terlihat di tahun ini.  

Tidak hanya di lapangan hijau, dalam rapat-rapat perusahaan atau parlemen pun sering kita lihat gejala saling menyerang dan saling menjatuhkan, misalnya saja saat seseorang mempresentasikan pendapatnya.  Seorang teman yang kecewa melihat hal ini suatu waktu berkomentar, “Individu seakan tidak lagi bisa melihat sisi positif, manfaat dan kelebihan anggota tim lain, bila di kepalanya sudah terisi keinginan menyerang.” Bayangkan apa jadinya tim, perusahaan, juga negara, bila yang dikedepankan adalah saling menyerang, sementara tata cara, tata krama dan aturan main dilanggar?

Di tengah makin canggihnya sistem manajemen, sebut saja “balanced scorecard”, “ISO”, “corporate governance” dan segala macam inovasi manajemen untuk mengelola bisinis yang lebih efektif, yang perlu kita pikirkan juga adalah bagaimana hubungan interpersonal di dalam kelompok di atur agar lebih efektif. Pernahkah kita mengantisipasi konflik, keterasingan, individualism di dalam tim?  Seseorang yang merasa tidak dilibatkan sebelumnya dalam diskusi, tentu memilih diam saja dalam rapat, meskipun dia mempunyai ide-ide cemerlang. Hubungan interpersonal ini memang tidak bisa dilihat berkontribusi langsung dengan keuntungan perusahaan, namun sebaliknya kita nyata-nyata saksikan kerugian perusahaan yang terjadi bila tidak ada kekompakan, keterlibatan perasaan dan pikiran dalam kelompok. Kita tentu perlu serius memikirkan cara untuk “back to basic”, menegakkan norma kelompok dan masyarakat, sehingga kemajuan teknologi, kecanggihan media komunikasi serta semakin kompleksnya cara berpikir ini bisa dilandasi oleh aturan yang bisa dipatuhi bersama dan menciptakan harmoni.

 

{mosimage}

 Menjunjung Sikap Sportif

Sportivitas adalah hal yang senantiasa menumbuhkan respek dan membuat kita yang melakukan merasa bangga. Kita bisa temukan betapa pertandingan yang paling sadis pun tetap dimulai dan diakhiri dengan menghormati lawan dan negara. Semua taktik, trik, dan teknik dalam olahraga pun dilakukan dengan aturan main yang super ketat. Tidak hanya saat berlaga di arena saja olahragawan dituntut untuk berkompetisi jujur, saling menghormati dan patuh pada apapun hasil pertandingan, namun olahragawan yang sekarang ini sudah menjadi selebriti dan senantiasa berada di bawah lampu sorot, diharapkan menjaga perilaku dan tata krama bergaul, sebagai bagian dari “showmanship”-nya. Meski bukan atlet,  kita pun bisa memilih bersikap fair menghadapi kekalahan, disiplin, tidak main curang, namun tetap mampu mempresentasikan buah pikiran kita secara ‘straightforward’ dan benar.

Kita bisa belajar dari Lionel Messi. Ia yang sesudah tiga kali pertandingan tidak kunjung mencetak gol, berkomentar: "Saya tahu, saya belum mencetak gol. Tapi, saya tak terganggu dengan kenyataan ini. Saya ingin sekali mencetak gol dan Saya yakin gol itu akan datang dalam waktu dekat ini.” Kata-katanya sungguh menunjukkan tanggung jawabnya  terhadap harapan fans, negara, pelatihnya dan tim. Praktik sikap sportif ini hanya bisa dikembangkan melalui learning by doing. Orang tidak lahir dengan pemahaman norma kelompok. Norma kelompok ini tumbuh di dalam diri individu sebagai hasil interaksi dirinya dengan kelompok dan komunitasnya, dan mencontoh perilaku role model-nya.  Itu sebabnya sikap sportif perlu kita upayakan tumbuh dalam setiap situasi, baik di rumah, kantor maupun dalam rapat, tanpa perlu banyak alasan.

Maju Terus sesudah Konflik

Reaksi ‘patah arang’, ‘ngambek’, ‘walk out’ sesudah konflik keras sering terjadi dalam kerja kelompok. Ini tentu tidak bisa dibiarkan jadi kebiasaan, apalagi dijadikan contoh. Kita tahu bahwa konflik pasti terjadi, bahkan tak jarang malah akan memperkaya kekuatan kelompok. Namun, saat umpan balik diberikan dan kesalahan ditunjukkan, sering kita lihat anggota kelompok yang langsung defensif, merasa di nilai jelek  atau bahkan merasa dipersalahkan. Terkadang ini berujung pada pemikiran untuk tidak lagi berkontribusi dalam proyek, tidak lagi “all out” dalam menyerang pasar atau memenangkan persaingan. Tanpa memupuk kedewasaan, tentu sulit untuk kita maju, menyerang dan berprestasi.

Ada sebuah perusahaan, di mana pada setiap awal meeting dibacakan tata krama rapat. Isinya antara lain ketentuan penggunaan handphone, keharusan tiap individu mengeluarkan pendapat, dorongan bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, fokus pada upaya mencari jalan keluar serta sikap merespek setiap pendapat tanpa melupakan tanggung jawab bersama untuk tercapainya sasaran rapat dengan optimal. Dengan cara seperti ini, terbukti setiap orang  jadi terdorong untuk bersikap dewasa menghadapi perbedaan pendapat, sudut pandang dan persepsi. Mereka pun bisa mengalahkan kepentingan dirinya pada saat memikirkan kepentingan kelompok dan perusahaan.

Kemenangan atau kekalahan, sebagaimana dalam pertandingan olahraga, adalah hasil yang sering tidak bisa diganggu gugat. Bagaimana pun juga, hasil yang diperoleh adalah buah kerja keras yang harus diterima dengan lapang dada. Saling tuding antar kelompok, antara pelatih dan pemain, bahkan kilas balik permainan pun sudah tidak bisa mengubah hasil. Tidak ada salahnya kita di dunia komersial dan  pemerintahan mempelajari sikap ini. Kalau kita mau berjuang  dan ‘fight’, lakukanlah pada saat ‘bermain’, bukan sesudahnya.

(Dimuat di KOMPAS, 26 Juni 2010)

articles/tata-krama.jpg|||0||bottom||
articles/tata-krama2.jpg|||0||bottom||

Interviu

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Setiap orang pasti akan meningkat kewaspadaannya bila sedang menghadapi interviu. Bagi fresh graduate ataupun orang yang melamar pekerjaan, situasi interviu seringkali menjadi situasi yang menegangkan. Bagi karyawan yang diinterviu untuk kepentingan promosi atau pindah ke bagian lain pun, perasaan deg-degan juga biasa menyertai. Kita bisa menyaksikan, banyak sekali ulah para kandidat dalam menghadapi wawancara. Ada yang diam dan menjawab seperlunya karena terlalu tegang, ada yang “ja-im”  (baca: jaga image) sampai-sampai berperilaku dibuat-buat dan tidak wajar, sementara ada juga yang berlatih keras menghafal jawaban atas pertanyaan-pertanyaan standar yang tercantum di kebanyakan buku-buku di pasaran.

Dalam wawancara, kita kerap melihat bukan hanya kandidat yang “sibuk” dan tegang, namun pewawancara pun tak jarang juga tegang. Ada pewawancara yang kelihatan bingung mau bertanya apa dan sibuk mencari-cari pertanyaan yang tepat. Ada juga yang sepanjang wawancara sibuk membolak-bailk CV kandidat  dan akhirnya sekedar menegaskan apa yang sudah tercantum di dokumen yang ada. Bahkan, ada juga pewawancara yang lebih banyak berbicara sehingga si kandidat terlihat hanya manggut-manggut saja. Kadang kita dengar komentar frustasi pewawancara: “Saya tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk”. Tak jarang juga kita temukan komentar:“Ah, saya tidak senang menentukan nasib orang…”.

Krusialnya proses wawancara memang menuntut baik pewawancara maupun orang yang diwawancara untuk melakukan persiapan yang matang. Di satu sisi, kita menghadapi kenyataan tenaga yang menganggur di negara kita jumlahnya sangat banyak, sementara di sisi lain perusahaan pun mengeluhkan susahnya menemukan kandidat yang cocok untuk dipekerjakan. Bila saja kandidat dan pewawancara sedikit berupaya lebih keras lagi untuk saling mengerti dan membuka diri, persentase keberhasilan rekrutmen pasti bisa ditingkatkan.

{mosimage}

Menerawang Jabatan

Dalam situasi interviu, tugas seorang pewawancara adalah menerawang kandidat untuk mengetahui apakah yang bersangkutan cocok untuk menduduki jabatan yang dilamar. Tentu saja bukan hanya “terawangan” mengenai kapabilitas kandidat untuk bisa mengerjakan pekerjaan tersebut dengan sempurna, namun juga sikap apa yang mendukung, tipe kepribadian apa yang cocok dan ketrampilan khusus apa yang dibutuhkan. Dengan waktu bertemu yang terbatas, yaitu satu jam atau paling lama dua jam, tanggung jawab ini memang tidak ringan.

Kita sering melihat sebuah pekerjaan, katakanlah teller sebuah bank, secara “taken for granted”, alias dipahami oleh siapa saja. Jika kita bertanya pada seorang kandidat: “Anda tahu apa tanggung jawab dalam pekerjaan teller?” Maka dengan segera mereka bisa menjawab: “menerima dan membayarkan uang”. Tetapi kalau pertanyaan diteruskan, “Apakah anda tahu seberapa lelahnya kerja seorang ‘teller’?”, maka ia pun terdorong berpikir keras mengenai tenaga, intensitas dan kegiatan  seputar pekerjaan tersebut. Dengan pemahaman yang tajam, proses penggalian bisa dilakukan lebih mendalam dan “penerawangan” bisa dilakukan dengan lebih mudah.

Seorang pewawancara bisa saja sudah sering melakukan interview, namun demi ketepatan proses interviu, ia memang dituntut untuk selalu menerawang jabatan yang akan diisi sehingga bisa mempersiapkan pertanyaan yang tajam. Hanya dengan analisa spesifik mengenai jabatan yang akan diisi ini, pembicaraan akan lebih terfokus. Pewawancara pun tinggal mencocokkan pengalaman sukses dan gagal yang dimiliki kandidat dengan tuntutan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kultur perusahaan. Dengan begitu, masing-masing pihak tidak membuang waktu untuk menegaskan spesifikasi pekerjaan pada saat interviu.

Menemukan Daya Tarik

Dalam interviu kita akan berhadapan dengan kandidat, satu lawan satu, “face to face”. Suasana tegang akan terus terpancar, bila pewawancara sudah enggan untuk membangun koneksi dengan si kandidat. Sebagai pewawancara, kita perlu percaya bahwa setiap individu pasti punya keunikan. Bila kita tidak meyakini bahwa tiap individu punya daya tarik, pastinya akan sulit menemukan kandidat-kandidat yang cocok. Betapa seringnya, saya ‘menemukan’ kandidat potensial justru setelah beberapa waktu kita secara subyektif mencari hal yang menarik dari individunya. Ini bukan berarti bahwa kita meninggalkan objektivitas, namun pendalaman tentang apa yang disukai dan apa yang tidak disukai, apakah seseorang itu ‘gampang diatur’ atau tidak, bahkan potensi kepemimpinannya, hanya bisa ditemukan bila kita betul-betul mau ‘mendalami’ seseorang.

Sebaliknya, di pihak kandidat, tidak ada salahnya menampilkan daya tarik, sesuatu yang khas diri sendiri. Bukan berarti bersikap seksi, seduktif, berlebihan, tetapi justru saat seseorang nyaman menjadi dirinya sendiri, maka ia serta merta akan menjadi pribadi yang menarik.

Upaya Sadar Menghindari “Bias”

Manusia memang selalu berasumsi. Demikian pula, manusia memang tidak bisa melupakan pengalaman masa lalunya, baik positif maupun negatif. Mau tidak mau proses interviu menggunakan penilaian yang subyektif dari pewawancara. Misalnya, kita menilai seseorang dari suku bangsanya, latar belakang sekolah atau jurusannya, bahkan kemiripan dia dengan seseorang yang kita kenal. Di satu sisi, intuisi kita, bila dilatih dan diasah, bisa jadi senjata yang baik untuk menganalisa dan mengambil kesimpulan. Namun sebaliknya, sebagai pewawancara kita pun harus berhati-hati agar tidak terkecoh dengan pengambilan kesimpulan yang tergesa-gesa. Kita harus sadar akan upaya kandidat untuk memenangkan kesan pertama, misalnya dengan memoles diri dengan penampilan yang menarik atau menggunakan kata-kata yang “mengangkat” hati kita. Untuk bisa mendapatkan penilaian yang akurat, kita perlu keluar dari jebakan stereotip dan senantiasa mencari bukti-bukti objektif dan kuat sebelum mengambil kesimpulan tentang diri seseorang.

(Dimuat di KOMPAS, 19 Juni 2010)

articles/interviu.jpg|||0||bottom||
articles/interviu2.jpg|||0||bottom||

Zona Tidak Nyaman

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Perusahaan tentu saja berharap para karyawan baru menunjukkan sikap ‘excited’ dengan tempat kerja barunya. Dalam sebuah sesi orientasi karyawan baru, seorang pimpinan unit kerja menyampaikan pada sejumlah karyawan, betapa pentingnya mengkontribusi pikiran dan hati di tempat kerja. Seorang karyawan kemudian mengajukan pertanyaan,”Bagaimana bila hati kita tidak bisa kita curahkan sepenuhnya, karena kita belum benar-benar happy dengan tempat kerja kita?” Ini tentu saja pertanyaan jujur dan seringkali sulit kita jawab.

Terus terang, inilah kenyataan yang kerap dihadapi, baik oleh pemberi kerja ataupun orang yang bekerja. Tak jarang lingkungan atau tempat kerja tidak selalu nyaman sebagai tempat berkreasi atau rekreasi buat kita. Bisa saja kita tidak cocok dengan suasana kerjanya, suasana pertemanan, atasan yang tidak adil, cara berkomunikasi, praktik bisnis atau bahkan kultur perusahaan. Namun, bisakah kita langsung mengambil langkah menghindar dari suasana kerja tidak nyaman seperti itu? Tentu tidak semudah itu, bukan? Kita pasti mempertimbangkan penghasilan, tunjangan yang kita terima dan keluarga yang butuh “dihidupi”. Lalu, bagaimana harus bersikap? Apakah kita harus seumur hidup bertahan, berangkat kerja setiap hari dengan perasaan berat?

Suasana tidak nyaman yang kita hadapi bisa juga karena situasi yang lebih luas. Misalnya saja: Kondisi jalan macet, jarak rumah kantor yang harus ditempuh dalam 2 jam, kasus-kasus korupsi yang tidak kunjung terang, ketidakjelasan aturan bermasyarakat, yang semuanya menyebabkan kita merasa ‘tidak betah’ di lingkungan, bahkan negara sendiri. Pertanyaannya, ke mana kita mau lari? Betapa banyak orang yang bernasib seperti kita, dengan alasan-alasan yang bervariasi. Tentu tantangannya adalah tetap berpegang pada prinsip, profesionalisme dan menjaga sikap agar tidak lebih dalam lagi tenggelam dalam rasa ‘tidak happy’ tadi.

 

{mosimage}

 "Wake up Call"

Seorang professor di Harvard, Timothy Butler, penulis buku: “Getting Unstuck: How Dead Ends Become New Paths”, mengemukakan sesuatu yang kurang populer. Menurut beliau, langkah pertama untuk melepaskan diri dari “uncomfortable zone” adalah dengan menelaah ke dalam diri dulu, bukan serta-merta menyalahkan lingkungan. Sering terjadi, tidak mampunya kita melihat sisi positif dari lingkungan kerja kita disebabkan karena daya adaptasi kita yang kurang optimal. Misalnya saja, kita kerap frustasi karena kurangnya support dari bagian lain ataupun pengadaan alat yang lambat sehingga pekerjaan kita terhambat. Padahal, terkadang kita sendiri yang kurang asertif dan kurang tuntas dalam mengupayakan pendekatan dengan bagian lain untuk memuluskan proses kerja tersebut. Bukankah kalau kondisinya begini, kita pun adalah bagian dari masalahnya sendiri? Pernyataan ‘tidak happy’-nya kita sesungguhnya adalah alarm bahwa kita sedang ada di garis depan dan harus melakukan suatu perbaikan.

Kalau dipikir-pikir, tidak pernah ada situasi yang sempurna. Semua sistem, seterkini apa pun, pasti membutuhkan perbaikan. Perasaan tidak puas dari karyawan atau anggota kelompok manapun perlu kita lihat sebagai cikal bakal suatu perbaikan. Teman saya yang bekerja paruh waktu di sebuah rumah sakit di negeri Belanda, bertugas mengganti seprei pasien setiap hari. Untuk seorang yang cerdas dan kreatif sepertinya, pekerjaan ini terasa sangat berat dan membosankan. Ia pun kemudian mencari jalan yang mudah dan efisien untuk mengganti seprei pasien yang tidak bisa duduk atau berdiri dari tempat tidur. Caranya yang lebih mudah, akhirnya ditiru oleh teman-temannya. Bahkan, 20 tahun kemudian, ketika ia berkunjung ke rumah sakit tersebut, seorang temannya mengatakan bahwa penggantian seprei yang dia lakukan dulu sudah dijadikan sistem di rumah sakit tersebut. Ini adalah hasil karya seorang yang tidak happy dengan pekerjaannya.

Realitas sebagai Landasan untuk Maju

Berada di satu posisi yang baik dalam waktu lama pun bisa membuat kita bosan dan menyebabkan kita merasa ‘uncomfortable’. Namun, membiarkan perasaan tidak puas bersarang tanpa action tentunya akan merusak pribadi. Kita tahu bahwa menebar keluh kesah, tanpa mengolah diri sendiri, tak akan menghasilkan sesuatu yang positif, apalagi perbaikan. Di luar semua ketidakpuasan dengan pekerjaan, kita tentu harus bersyukur karena paling tidak masih punya pekerjaan di tengah keadan ekonomi yang tidak bersahabat.

Kita sering tidak menyadari bahwa dengan kreativitas dan daya inovasi yang kita miliki, sesungguhnya 100% otonomi dalam pekerjaan berada di tangan kita. Keyakinan ini yang harus kita tanamkan dulu bila kita ingin membuat pekerjaan kita lebih menarik. Dengan keyakinan ini, kita jadi punya power untuk me-“re-energize” dan menciptakan image baru dalam pekerjaan kita, kemudian menterjemahkannya ke dalam motif, kekuatan dan ‘passion’ yang segar. Jika kita mau sedikit berusaha, kita bisa lihat banyak sekali hal yang bisa dilakukan tanpa perlu mengganggu konstelasi pekerjaan yang ada. Kita bisa bersikap proaktif dan melakukan ‘brainstorming’ kecil-kecilan untuk melakukan perbaikan dengan biaya seminimal mungkin. Kita masih punya pilihan untuk meningkatkan tanggung jawab, misalnya dengan mengajak teman-teman mengambil hal yang terbaik dari yang terburuk.

Kotak-katik cara kerja, pembenahan hubungan kerja dan persepsi kita mengenai pekerjaan pemetaan ulang daftar tugas kita betul betul bisa membawa nuansa baru dalam pekerjaan kita. Dengan spirit “job crafting’ , kita bisa merasakan timbulnya energi untuk bukan sekedar berbuat lebih baik dari waktu ke waktu, tetapi juga berusaha menikmati tugas dan pekerjaan sebagai hasil kreasi kita. Dengan perasaan:” sayalah penentu cara kerja saya” , “sense of control” menguat terhadap apa yang kita kerjakan, sehingga kita bebas menarikan,menyanyikan dan berlari dalam pekerjaan sendiri.    

(Dimuat di Kompas, 12 Juni 2010)

articles/zone-tidak-nyaman.jpg|||0||bottom||
articles/zone-tidak-nyaman-2.jpg|||0||bottom||

Kerja Tim

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di sebuah perusahaan yang berusia lebih dari 50 tahun, bertumbuh pesat dan terdiri dari ribuan karyawan, muncul wacana mengenai program untuk memantapkan kerja tim. Lucunya, ini justru terjadi pada “ring 1”, pentolan-pentolan organisasi. Padahal, seyogyanya beliau-beliau ini sudah piawai dalam meng-handel tim untuk melakukan “kerja tim”-nya, tanpa perlu diingatkan dan diajarkan lagi. Kedengarannya memang aneh, tapi inilah kenyataannya. Divisi-divisi yang bekerja di  bawah mereka  menunjukkan gejala ‘silo’ yang parah, alias tidak mau tahu urusan lain dan tidak ada niatan untuk berkoordinasi satu sama lain. Bahkan, menginformasikan perubahan saja terasa sangat sulit bagi masing-masing departemen. Anehkah hal ini? Apakah ini suatu gejala yang ‘luar biasa’?


Banyak perusahaan, bila mau menelaah ke dalam dan berusaha meneropong jujur ke dalam tindakan, sikap dan perilakunya, pastilah mengakui bahwa butuh upaya ekstra keras dan konsisten untuk menggalang kerja tim yang solid. Pantas saja, ada juga suara-suara yang mengatakan bahwa beberapa menteri dalam kabinet pun tidak berkomunikasi lancar satu sama lain. Lucunya, banyak orang, bila disadarkan bahwa komunikasi dalam timnya kurang, cenderung membela diri. Mereka kerap tidak menyadari, bahkan memaparkan contoh-contoh betapa meeting rutin sudah berjalan di timnya, komunikasi tatap muka dan email dilakukan intensif dan satu sama lain pun tidak menolak kerjasama. Jadi, di mana letak ‘kesalahan’nya, mengapa kerja tim bisa melempem?

 

{mosimage}

 Menciptakan Chemistry

Seorang teman saya mempertanyakan, apakah tidak eratnya kerja tim disebabkan tidak adanya ‘chemistry’ diantara anggotanya? Pertanyaannya kemudian disusul dengan pertanyaan standar: “Apakah kita perlu pelatihan “outbound’ lagi?” Meskipun kita bisa merasakan keakraban dan pemahaman yang lebih baik mengenai anggota tim melalui program outbound yang singkat, namun pertanyaan yang menggelitik adalah apakah kita tidak meyakini bahwa kita bisa menciptakan koneksi dengan orang lain dan meracik ‘chemistry’ dalam keseharian kita di tempat kerja? Pepatah lama mengatakan: “There are no misunderstandings; there are only failures to communicate”. Dari sini kita menyadari bahwa sebenarnya kita tidak bisa mempermasalahkan buruknya ‘chemistry’ di antara sekelompok orang jika kita belum secara sungguh-sungguh berupaya membuat koneksi yang berkualitas.

Teman saya berkelakar, “masak kalah sama semut. Semut saja bila bertemu dengan sesamanya meluangkan waktu sejenak untuk bertegur sapa”. Bagaimana dengan kita? Bukankah kita banyak membuang kesempatan untuk membangun koneksi, apakah itu saat bertemu di dalam lift, berpapasan di jalan,  bertegur sapa di pagi hari, bahkan saat harus berdiskusi mendalam untuk memecahkan masalah, membahas “daerah abu-abu” ataupun mengkomunikasikan komitmen yang perlu diangkat. Jangankan orang yang baru dalam tim, kita bahkan seringkali absen membangun koneksi dengan orang yang sudah hidup dan bekerja sama selama bertahun tahun.

Seorang peserta pelatihan berkali-kali menekankan pentingnya respek dalam membangun koneksi. Saya juga setuju bahwa apresiasi bisa kita tunjukkan tanpa pujian yang melambung, tetapi lebih pada upaya untuk memahami lawan bicara dan berusaha menggali ‘point’-nya. Banyak orang merasa kikuk untuk membina hubungan akrab di tempat kerja, bahkan menganggap hal itu hanya diperlukan dalam hubungan informal dan hubungan kekeluargaan di luar bisnis. Upaya  pendekatan ke orang lain, terkadang dinilai hanya dibutuhkan oleh para salesman dan humas. Ada juga yang menganggap bahwa ini adalah kegiatan yang mengarah pada hal-hal yang feminin. Padahal, banyak sekali potensi dan kesempatan yang bisa kita raih demi kebersamaan tujuan, asal kita mau sedikit berusaha untuk membangun koneksi satu sama lain. Bukankah kita sama sama menyaksikan, bahwa hal yang paling ditekankan oleh menteri keuangan RI yang baru adalah semangat tim Departemen Keuangan, sebelum masuk ke substansi  bisnisnya?

Kejelasan

Kita pasti bisa merasakan bila spirit individu dalam tim mengendur. Banyak orang yang tidak mengerti mengapa personil yang pandai-pandai dan berdedikasi, bisa tiba-tiba kehilangan semangat berbagi informasi, tidak disiplin, malas ber-brainstorming dan seolah tidak henti memikirkan kepentingan diri sendiri. Seorang karyawan yang berada dalam situasi itu berkomentar,”Kalau dalam tim, satu orang dengan yang lain tidak jelas tentang  standar kualitas dan tindakan yang harus dilakukan, serta kabur akan sasaran kelompok, bagaimana kita akan menyerahkan pikiran dan hati sepenuhnya pada tim?”

Tidak jelasnya prinsip dan arah perusahaan atau lembaga, memang sering menyebabkan spirit kelompok menjadi kendur. Apalagi bila atasan pun mencla-mencle, tidak mengedepankan koordinasi, bahkan sedikit-sedikit mengadu domba. Orang hanya bisa menjadi ‘selfless’, bila tujuan organisasi sangat ‘clear’. Itu sebabnya, kita melihat turunnya semangat kerja tim pada perusahaan yang sedang terguncang  dan tidak memperjelas keadaan pada masa-masa krisisnya.  Sebaliknya, organisasi yang bertujuan jelas, bisa dengan mudah meningkatkan kerja tim dan bahkan   menciptakan  kompetisi seru antar  kelompok-kelompok, baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan substansi bisnisnya maupun  di luar itu.

Bila individu satu sama lain sudah terkoneksi melalui rasa percaya dan jelas terhadap tujuan kelompok dan organisasi, tentu tidak butuh energi besar untuk mendorong tim mencapai kinerja terbaik. Bahkan, kita pun tidak usah terlalu khawatir untuk mem-“bolak-balik” atau meng-“gunting copot” individu dalam tim, karena secara otomatis tim punya kekuatan untuk dengan cepat me-“reorganize” dirinya kembali.

 

(Ditayangkan di KOMPAS, 5 Juni 2010)

articles/kerja-tim.jpg|||0||top||
articles/kerja-tim2.jpg|||0||top||

Penonton

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di sebuah perusahaan yang berusia lebih dari 50 tahun, bertumbuh pesat dan terdiri dari ribuan karyawan, muncul wacana mengenai program untuk memantapkan kerja tim. Lucunya, ini justru terjadi pada “ring 1”, pentolan-pentolan organisasi. Padahal, seyogyanya beliau-beliau ini sudah piawai dalam meng-handel tim untuk melakukan “kerja tim”-nya, tanpa perlu diingatkan dan diajarkan lagi. Kedengarannya memang aneh, tapi inilah kenyataannya. Divisi-divisi yang bekerja di  bawah mereka  menunjukkan gejala ‘silo’ yang parah, alias tidak mau tahu urusan lain dan tidak ada niatan untuk berkoordinasi satu sama lain. Bahkan, menginformasikan perubahan saja terasa sangat sulit bagi masing-masing departemen. Anehkah hal ini? Apakah ini suatu gejala yang ‘luar biasa’?


Banyak perusahaan, bila mau menelaah ke dalam dan berusaha meneropong jujur ke dalam tindakan, sikap dan perilakunya, pastilah mengakui bahwa butuh upaya ekstra keras dan konsisten untuk menggalang kerja tim yang solid. Pantas saja, ada juga suara-suara yang mengatakan bahwa beberapa menteri dalam kabinet pun tidak berkomunikasi lancar satu sama lain. Lucunya, banyak orang, bila disadarkan bahwa komunikasi dalam timnya kurang, cenderung membela diri. Mereka kerap tidak menyadari, bahkan memaparkan contoh-contoh betapa meeting rutin sudah berjalan di timnya, komunikasi tatap muka dan email dilakukan intensif dan satu sama lain pun tidak menolak kerjasama. Jadi, di mana letak ‘kesalahan’nya, mengapa kerja tim bisa melempem?

{mosimage}

 Sasar Penguatan Ego

Kegiatan ‘menonton’ memang semakin sulit dihindari. Media audiovisual sudah demikian lekatnya berperan dalam  kehidupan kita. Rasanya sulit menemukan keluarga dari golongan menengah yang tidak mempunyai televisi. Bila dulu kita bisa bosan dan tidak berminat menonton, sekarang pilihan demikian banyak, sehingga hampir semua jenis tontonan bisa disesuaikan dengan minat kita. Suguhan tontonan yang demikian intensif, informatif dan komprehensif membuat kita dengan mudah mempelajari, bahkan mengomentari berbagai ilmu ekonomi, olahraga, bahkan politik. Betapa kita lihat, golongan menengah seperti para ‘driver’ di parkiran pun bisa meng-”update” berita politik dengan intensif. Komentar mengenai ditangkap atau dilepasnya jenderal ‘anu’ atau dicekalnya pengusaha ‘itu’ dibicarakan  dengan komentar-komentar yang lumayan ber-’teori’.

Sebagai penonton setia olahraga bola basket, sepakbola dan bulutangkis, kita bisa sangat bersemangat mengomentari taktik dan teknik pemain. Padahal belum tentu bila kita yang berada di “lapangan” kita bisa dengan baik menerapkan apa yang kita katakan. Sebagai penonton, kita pun bisa merasakan keterlibatan emosional yang mendalam, pro – kontra dengan sepak terjang para eksekutif dan legislatif serta berbagai trik-trik politik pihak yang berseteru. Meskipun kita lihat banyak individu yang sebenarnya menganut nilai-nilai yang bisa membawa perubahan, namun jarang sekali ada yang benar-benar mampu mempengaruhi dan menggerakkan perubahan tersebut. Kesannya, komentar individu hanya “omdo” alias omong doang, namun seolah-olah tidak bertenaga. Pertanyaannya, jika lebih banyak dari kita yang sangat menikmati peran sebagai penonton, lalu siapa yang akan bergerak dan mendorong perubahan?

Pemain Kecil pun Berharga

Teman saya yang memimpin organisasi selalu mengingatkan bawahannya untuk tidak menjadi penonton. “Lakukan sesuatu, jangan hanya melihat, mengamati dan berkomentar”. Ketika seseorang mempertanyakan sistem pengawasan atasan yang seolah memperlakukan temannya dengan tidak fair, lagi-lagi teman saya ini memperingatkan untuk tidak menjadi penonton. “Banyak sekali di antara kita yang pandai membahas, bukan ‘berbuat“.

Saya teringat cucu saya yang mendisiplinkan dirinya untuk mengurangi penggunaan kertas tisu dan penggunaan kertas. Ia diajarkan di sekolah: “Lebih banyak memakai kertas, lebih banyak tanaman yang ditebang”. Meski tidak semua orang sempat menjadi aktivis dan politisi yang punya power memberi pengaruh luas, namun kita semua sebetulnya punya kesempatan untuk berpartisipasi menerapkan kebiasan-kebiasan baru yang kita yakini bisa bermanfaat bagi diri kita, lingkungan, juga organisasi dan bangsa. “Pemain kecil”, melakukan tindakan kecil, tentu lebih berharga daripada sekedar berteriak tentang lingkungan tetapi tidak menyadari pemborosan listrik air dan tidak berusaha berhemat karena alasan itu.

Strategi vs Implementasi

Morale alias motivasi kelompok sangat tergantung dari dinamika, gerak dan ‘action’. Saat angka penjualan merosot, kita lihat ada tim yang sibuk rapat menganalisa dan pointing fingers, sebaliknya ada tim yang langsung bergerak memperbaiki proposal, menjaga moral tim, juga mengecek data prospek yang belum di-follow up dengan sempurna. Banyaknya orang yang berusaha, menyebabkan tidak sempatnya orang saling menyalahkan atau berteori dulu baru bergerak. Prinsip “work smart, not hard” memang tidak salah. Strategi yang ‘smart’ memang perlu disusun agar kita bisa lebih fokus dan efektif dalam menyusun langkah yang akan diambil. Dalam organisasi, kita tahu penyusun strategi adalah orang-orang pintar. Kemampuan mereka untuk membuat analisa yang tajam tidak diragukan, apalagi bila sudah menyandang gelar S2. Namun, strategi dan implementasi tetaplah dua hal yang berbeda. Itu sebabnya teman-teman pembuat strategi perlu memiliki daya imajinasi yang kuat tentang situasi pelaksanaan, seperti atmosfir, waktu, deadline, enerji, tekanan, situasi sosial yang perlu dirasakan di dalam sistem syaraf, otak dan badan individu. Tanpa pemahaman lapangan yang kuat, rekomendasi dan analisa akan berakhir di kertas saja, bahkan bisa jadi sasaran olok-olok saja.

Biasakan Terlibat

Seorang teman mengatakan bahwa meski bekerja dalam satu “atap”, ia banyak tidak kenal karyawan bagian lain. Padahal, ia mengakui sendiri bahwa jumlah karyawan di kantornya tidak terlalu besar, tidak sampai 80 orang. Saat ditanyakan lebih lanjut proyek apa yang sedang dikerjakan oleh rekan di bagian lain, ia pun hanya geleng kepala. Situasi ini ternyata kerap terjadi di banyak organisasi. Seorang ahli manajemen mengemukakan hasil penelitiannya bahwa !9% karyawan dalam organisasi, secara aktif membatasi diri dan memotong keterlibatannya dengan bagian lain. Ini berarti mereka memang sengaja menutup hubungan dengan bagian lain alias “tidak mau tahu”. Dalam sebuah negara maju, ujar ahli manajemen ini, kerugian sebagai akibat dari ke-’cuek’-an sikap ini bisa mencapai 300 milyar dolar per tahun!

Di dalam organisasi, kita memang tidak selamanya mempunyai akses ke bagian lain atau kantor lain. Hal yang sering tidak kita sadari adalah bahwa kita tidak pernah dilarang untuk tertarik dan mengenal lebih dalam apa yang dilakukan oleh bagian lain. Padahal, rendahnya keinginan mengenal bagian lain, membuat diri kita jadi tidak siap untuk berpartisipasi. Sebagai individu, setiap dari kita yang ingin sukses, perlu mengingatkan diri bahwa ‘engagement’ perlu kita lakukan. Bentuk keterlibatan bisa sangat beragam, seperti menjaga kesamaan visi dengan organisasi dan atasan, juga “walk extra miles” untuk melibatkan keyakinan dan minat di luar tugas yang sudah menjadi tanggung jawab kita. Hanya dengan ‘passion’ yang tinggi terhadap kerja, organisasi dan bahkan negara, kita akan bisa memelihara enerji untuk bergerak, melakukan sesuatu dan bukan sekedar menganalisa dan bicara. Orang yang memilih untuk ‘melakukan lebih’ pasti akan lebih sukses daripada orang yang membatasi diri.

(Dimuat di KOMPAS, 15 Mei 2010)

articles/penonton1.jpg|||0||top||
articles/penonton2.jpg|||0||top||

Harga Diri

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Masyarakat Indonesia sekarang bisa mengerti dan mengetahui berapa “harga” Sri Mulyani, mantan menteri keuangan RI, sebagai seorang profesional. Media massa secara gamblang memaparkan sekian milyar gaji, sekian milyar tunjangan pensiun, serta sekian milyar tunjangan lain-lain yang akan diterima beliau nanti sebagai salah satu direktur Bank Dunia. Seorang pebisnis sukses, sering juga secara berkelakar bertanya pada saya, berapa ia akan dihargai oleh dunia profesi, bila ia menjadi seorang profesional. Terlepas dari kesuksesan seseorang, kita tahu bahwa banyak orang bertanya-tanya dan menggunakan gaji yang diterima ataupun pangkat yang dimiliki sebagai salah satu cara mengukur “harga” dirinya, juga “harga” orang lain.

Pertanyaan yang menggelitik adalah seberapa tepat orang bisa mengukur “harga diri”-nya dengan upah yang ia terima? Pernahkah kita yang punya pangkat dan gaji besar, merasa diri tidak ada artinya saat pendapat kita tidak didengarkan oleh publik? Dengan kedudukan yang kita miliki, pernahkah kita menghadapi sorot mata yang mempertanyakan, “Siapa Kamu?”, saat kita menginstruksikan sesuatu? Kita yang terkadang terlalu materialistis dan mengejar kekayaan, pastilah ada rasa tertampar juga, misalnya saat menonton film Laskar Pelangi, yang memperlihatkan betapa orang mengejar nilai-nilai yang lebih luhur dan mengebelakangkan upah dan kekayaan. 

Kita memang perlu merasa “berharga” untuk membuat kita mampu berdiri tegak, merasa bermakna dan happy di tengah lingkungan kita. Harga diri bisa menjadi masalah kita, terutama saat menghadapi situasi-situasi pelik, di mana kita terjebak di dalam situasi yang sudah tidak obyektif lagi. Kita lihat bahwa seseorang tentu saja pantas membela diri, menyatakan ia benar, bila ia dipermalukan di depan publik. Namun, apa sebenarnya perbedaan antara bersikap defensif dengan tindakan bersikeras menjaga muka profesi, jabatan ataupun diri? Cukupkah untuk meyakini bahwa dengan lurus memegang prinsip kita bisa tetap survive di situasi sosial yang penuh dengan ‘trick’ agresivitas, politik dan kecurangan ini? 

{mosimage}

 Sasar Penguatan Ego

Banyak orang menggunakan kata ego secara salah kaprah. Jika mengacu pada teori yang disampaikan bapak ilmu Psikologi, Sigmund Freud, ego adalah kekuatan penyeimbang pertarungan antara dorongan naluriah untuk mencapai kehendak (Id) dengan tuntutan untuk menuruti nilai-nilai sosial dan budaya (superego). Semakin banyak individu berhasil menyelesaikan konflik, apakah melalui kontrol emosi, rasionalisasi, komunikasi ataupun tindakan yang berfokus pada penyelesaian masalah, maka akan semakin kuat egonya. Seorang yang kuat egonya, mempunyai cukup enerji untuk melawan tekanan, godaan, bahkan hinaan, tanpa harus bersikap defensif atau menyerang balik. Sebaliknya, setua apapun individu, bila ia tetap tidak berhasil menumpuk keberhasilan balancing dalam hidupnya, akan tetap  panik dan kurang kontrol, tidak kenal dirinya dan sering mengambil tindakan yang tidak yakininya sebagai tindakan yang benar.

Dalam dunia kerja, eksekutif, birokrasi maupun otokrasi, kita kadang mendengar pengakuan pejabat yang melakukan sesuatu yang tidak sesuai hati nuraninya karena “diminta oleh atasan”. Bahkan, ada juga individu yang menekan prinsip pribadi dan bertindak atas nama segolongan orang, untuk bertindak tidak fair. Orang yang sedang berjuang untuk menjaga jati dirinya tentu harus berjuang untuk tidak mengalah pada prinsip “cari aman”. Seorang ahli Kimia, Helen Keller, pernah mengatakan : “Security is mostly a superstition. Avoiding danger is no safer in the long run than outright exposure. Life is either a daring adventure, or nothing.” Individu yang matang tetap harus berpegang pada sasaran dan rencana pribadinya, dalam setiap situasi. Kemenangan pribadi inilah yang bisa menjadi sumber kekuatan moral selanjutnya. Kemenangan mental ini akan menjadi modal kebahagiaan yang bukan main besar nilainya. Orang boleh tidak banyak uang, tetapi bila mentalnya kuat, ia tetap mampu berbahagia. Beginilah cara orang membangun ego-nya.

Tumbuhkan Rasa Berharga

Di sebuah perusahaan, banyak karyawan muda potensial mengeluhkan sulitnya untuk mengemukakan pendapat secara terbuka di depan pimpinan. “Di sini haram hukumnya untuk kita berargumen, apalagi mengatakan tidak.” ungkap mereka. Kita lihat ternyata masih banyak orang dan organisasi yang tidak menyadari betapa menciptakan lingkungan yang asertif sangat besar peranannya untuk menumbuhkan rasa ‘berharga’ dalam diri individu dan tim.

Lingkungan yang tidak asertif, di mana saran dan ide kerap dipatahkan, di mana kita tidak diperkenankan mengemukakan pendapat secara terbuka, serta dianggap kurang ajar bila mengatakan ‘tidak’, sering membuat orang tidak mempunyai kesempatan untuk menghidupkan ‘social smartness’-nya.Demikian juga, social smartness tidak akan berkembang di lingkungan yang tidak tahu cara berbantah, berdiskusi,berdebat tanpa harus mempermalukan lawan bicara.  Situasi seperti ini menyebabkan seseorang tidak mempunyai rasa ‘berharga’ bila bisa mengekspresikan cara pikirnya, memilih dan membuat keputusan. Dalam lingkungan seperti ini, seseorang tumbuh tanpa kesempatan merespek dirinya, kurang terasah untuk mengkotak-katik nilai-nilai yang dia anut, apalagi mengkaji ‘wants’ dan ‘needs’-nya. Kita perlu sadar bahayanya tidak bisa merespek diri, karena individu seperti ini tidak akan pernah bisa merespek orang lain secara wajar pula.

“Living Consciously”

Dalam sebuah aktivitas pelatihan, saat saya meminta peserta untuk secara intensif memikirkan diri sendiri, sering saya menghadapi wajah-wajah yang meragukan. Ada yang sambil tertawa-tawa berkomentar: “kalau begitu, kita egois dong…” Kita terkadang memang sering lupa bahwa mengaktifkan pikiran dan mempunyai kesadaran penuh atas apa yang kita hadapi secara internal dan eksternal adalah kunci kematangan dalam bertindak. Kalau kesadaran diri menurun, kita bisa seperti anggota dewan wakil rakyat yang tersorot media namun tidak sadar bahwa ia melakukan tindakan yang kekanak-kanakan. Kitalah yang harus secara aktif, bahkan proaktif, memilih untuk menghadapi situasi eksternal sambil menyadari penuh proses di dalam diri kita, dasar tindakan, motif, nilai, sasaran dan keinginan kita. Bukankah tidak ada seorang pun yang lebih bertanggung jawab menggarap diri kita selain diri kita sendiri?

(Dimuat di KOMPAS, 8 Mei 2010)

 

articles/harga-diri.jpg|||0||top||
articles/harga-diri2.jpg|||0||top||