Simplicity in Life

“The simplest things are often the truest.”

“Simplicity is the nature of great souls.”

“Simplicity is an art! It is an art of living higher… it is the opposite of its vice.. elegant is opposite the crude.”

“Out of clutter, find simplicity.”
~Albert Einstein

“Less is More.”
~Mies van Der Rohe

“Simplicity, carried to an extreme, become elegance.”
~John Franklin

The best things in life are nearest: Breath in your nostrils, light in your eyes, flowers at your feet, duties at your hand, the path of right just before you. Then do not grasp at the stars, but do life’s plain, common work as it comes, certain that daily duties and daily bread are the sweetest things in life.
~Robert Louis Stevenson

Live simply that others might simply live.
~Elizabeth Seton

As you simplify your life, the laws of the universe will be simpler; solitude will not be solitude, poverty will not be poverty, nor weakness weakness.
~Henry David Thoreau

We don’t need to increase our goods nearly as much as we need to scale down our wants. Not wanting something is as good as possessing it.
~Donald Horban

“Simplicity is the final achievement. After one has played a vast quantity of notes and more notes, it is simplicity that emerges as the crowning reward of art.”
~Frederic Chopin

“Simplicity is indeed often the sign of truth and a criterion of beauty.”

KEPRIBADIAN ORGANISASI

Beberapa waktu lalu di berbagai jejaring sosial, kita menyaksikan wajah-wajah gembira peserta reuni akbar sebuah bank internasional terbesar. Meskipun banyak di antara peserta reuni tersebut mungkin bahkan sudah bekerja di bank lain yang notabene merupakan kompetitornya, namun masih terbersit rasa cinta terhadap organisasi yang membesarkannya itu. Momentum reuni bisa jadi disamakan dengan cinta lama bersemi kembali (CLBK). Kita banyak merasa adanya ikatan emosional dan tidak tahu penyebab yang membuat kita tidak bisa melupakan institusi tersebut, lepas dari alasan yang membuat sesorang harus meninggalkan organisasinya; yang bisa karena hubungan yang sudah tidak harmonis lagi, bisa karena kebutuhan untuk mencari tantangan yang lebih besar, bisa karena alasan keluarga maupun alasan-alasan lainnya. Sangat terasa adanya hubungan emosional antara organisasi dengan individu sehingga pada akhirnya hubungan ini seperti hubungan antara dua individu yang saling merindu. Jadi, bukan individu saja yang berkepribadian. Organisasipun bisa berkepribadian bahkan bisa dipersonifikasikan.

Ada teman yang bercerita bahwa ia sulit sekali menghilangkan rasa rindu dari organisasi yang ditinggalkannya sampai sering duduk di kafe depan kantor tersebut sekedar untuk memandang dari jauh dan mengingat rasa ketika ia masih menjadi bagian penting dari organisasi. Ada pula yang selalu meng-update kabar apapun yang terjadi di kantor tersebut baik situasi, pekerjaan maupun kabar individu-individu di dalamnya. Ada yang berinisiatif untuk temu kangen rutin, sekedar melepas rindu. Apa sebetulnya yang dirindukan dari suatu organisasi? Gareth Morgan, Arie de Geus, Peter Senge, Meg Wheatley dan masih banyak penulis manajemen berkeyakinan, “organizations are not machines; they are as unpredictable, unruly, self-organizing, and even sentient as any living beings”. Karena organisasi ini hidup seperti halnya manusia, maka banyak hal , khususnya yang  rutin dan teratur terjadi di situ akan membuat kita merindukannya. Misalnya saja suka duka berhadapan dengan pelanggan sulit, diskusi dan bergadang hingga tengah malam untuk memenuhi permintaan klien yang ajaib, atau sekedar kebiasaan berebut oleh-oleh manakala ada yang datang dari luar kota bisa menjadi sebuah  kekuatan emosional organisasi. Dari sinilah kita melihat bahwa banyak hal yang bisa menguatkan dan memberi warna suatu organisasi, di balik sekedar struktur organisasi, prosedur, aturan perusahaan dan deskripsi tugas. Bagaimanapun juga, organisasi bisa berfungsi layaknya orang tua, yang mengolah, membentuk dan menempa kepribadian individu-individu di dalamnya dan terus dibawanya meskipun ia sudah tidak lagi berada di organisasi tersebut. Jadi, kepribadian organisasi itu nyata adanya, meskipun tidak teraga dan kemudian bisa membentuk tingkah laku seperti kerja keras, pantang menyerah, berpikir kreatif dan beragam keyakinan positif orang-orang di dalamnya.

Kepribadian organisasi = cara bereaksi

Saya pernah bertanya pada seseorang mengenai kesan pertamanya ketika ia baru memasuki suatu organisasi. Ia berkesan, bahwa hal yang khas adalah bahwa hampir semua orang dalam organisasi ini gigih melaksanakan pekerjaannya, gembira dan bersemangat. Mungkin bila diteliti lebih lanjut, tidak ada hal hakiki yang membuatnya unik. Tidak ada training motivasi rutin yang dijalankan. “Culture is how organizations ‘do things’,” kata Robbie Katanga seorang ahli dalam budaya organisasi. Bukan karena doktrin-doktrin yang disuntikkan melalui beragam slogan, bukan karena training motivasi meriah di hotel mewah. Insentif materi yang dianggap sebagai kunci sukses penumbuh motivasi seringkali hanya menimbulkan lonjakan sesaat saja. Bisa jadi semangat dalam melihat kesulitan sebagai tantangan  justru yang menjadi virus positif dalam organisasi.

Mekanisme “self healing”

Kita sering lupa, dalam suatu organisasi, ada mekanisme otomatis yang  tidak disadari oleh kita-kita di dalamnya dan justru memiliki penularan yang sangat kuat. Mekanisme inilah yang perlu kita jaga dan pelihara. Apakah itu sistem pemberianfeedback yang menarik dan menyenangkan. Apakah itu buddy system yang selalu menawarkan pertolongan bagi individu yang mengalami kesulitan. Atau bahkan metode coaching dan mentoring intensif yang membuat setiap individu merasa sangat terayomi bekerja di organisasi itu. “Fun” di sela-sela kegiatan dan waktu yang terbatas seperti olahraga bersama, sering membuat tim menjadi lebih terinspirasi giat. Oleh karena itu, organisasi perlu melihat gejala apa sebenarnya yang sedang menular? Hal positif apa yang bisa membuat individu di dalamnya saling tular menular?

Kesamaan reaksi inilah yang dapat menjadi perekat organisasi dan menumbuhkan shared values di dalam individu. Dalam kondisi ini kita bisa menyaksikan bahwa organisasi yang mempunyai kepribadian kuat dan berpengaruh dapat sekaligus berfungsi bagaikan sistem imun sehingga organisasi mampu mengatasi beberapa kesulitan dan bertahan dalam situasi sulit. Yang jelas, tidak ada kambing hitam atau obat cespleng dalam menguatkan kepribadian organisasi. Organisasi perlu menjaga mekanisme self healing nya secara mandiri.

Dimuat dalam KOMPAS, 15 Agustus 2015

KEPRIBADIAN KUNCI SUKSES

Hampir semua orang setuju bahwa kecerdasan adalah salah satu kunci utama kesuksesan seseorang, sebagai motor kinerja. Oleh karena itu tes kecerdasan seringkali menjadi tes wajib untuk menyaring individu dan memisahkan antara yang dianggap kompeten dan tidak kompeten. Sementara tes kepribadian dianggap sebagai tes pelengkap manakala organisasi memiliki budget yang lebih besar. Bahkan ujian masuk perguruan tinggi pun biasanya hanya didasarkan pada tes kecerdasan semata tanpa penelusuran mendalam terhadap apakah kepribadiannya akan cocok dengan jenis pekerjaan yang diwakili oleh bidang studi tersebut. Kepribadian dianggap bisa disesuaikan di kemudian hari, selama individu memiliki kapasitas berpikir yang mumpuni untuk menyelesaikan pendidikannya. Ketika organisasi menghadapi calon karyawan dengan inteligensi yang cemerlang dengan kepribadian yang kurang sesuai, seringkali organisasi beranggapan bahwa kepribadian individu bisa diasah belakangan. “Toh orangnya bisa menurut dan bisa bekerja sama. Pasti ia juga bersedia untuk dikembangkan”. Padahal beberapa tahun mendatang ketika sudah waktunya bagi individu untuk dipromosikan kita baru menyadari bahwa inisiatif, ambisi dan kreativitas individu tetap tidak berkembang seiring dengan kecerdasannya. Bayangkan seorang pemimpin yang cerdas tetapi penakut dan selalu ragu ragu. Bukankah ia tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai pemimpin?  Memang kita pernah mendengar cerita mengenai beberapa pemimpin organisasi yang sangat sukses ternyata memiliki kecerdasan jauh di atas rata-rata namun dengan kepribadian yang kurang “menyenangkan” bagi anak buahnya. Kelemahan kepribadian mereka diatasi oleh kecerdasannya. Namun berapa banyak populasi yang amat sangat cerdas seperti itu? Sebagian besar populasi dengan kecerdasan yang rata-rata perlu meyadari bahwa kecerdasannya akan semakin “menjual” bila ditopang dengan kepribadian yang tepat. Kekuatan seseorang dalam pelayanan pelanggan dan bekerja tim, menentukan sebagian besar kesuksesannya.

Kepribadian bukan sekedar style, preferensi, atau ciri-ciri temperamen seseorang. Kepribadian bisa menjadi peluru ampuh atau malah menjadi penghambat kesuksesan karir seseorang bilamana tidak disadari oleh individu. Untuk memanfaatkan kekuatan pribadi, seseorang harus dengan jujur dan tulus mengenal pribadinya sendiri, menerima kekuatan dan kelemahannya lalu mengotak-atiknya. Banyak cara yang bisa ditempuh oleh seseorang untuk mengenal dirinya sendiri. Bisa melalui atasan, mentor ataupun rekan kerjanya. Bisa dibantu dengan sistem umpan balik 360 derajat ataupun hasil observasi obyektif dari kegiatan sehari hari. Prof Robert Hogan menggambarkan kepribadian sesorang pada pekerjaan dalam 3 bagian yang saling terkait. Yang pertama adalah the Bright Side, kepribadian yang menunjang karirnya. Bagian kedua adalah the Dark Side yang menggambarkan reaksi  yang cenderung  muncul ketika seseorang mengalami kesulitan atau konflik. Sementara bagian yang ketiga lebih menggambarkan nilai-nilai yang dipentingkan individu dalam berkarir yang dapat memotivasi dia untuk semakin berprestasi

Bright Side vs Dark Side

Belakangan ini dikenal konsep strength based yang berfokus pada kekuatan ketimbang memperbaiki kelemahan seseorang. Individu yang mengenal kekuatannya perlu mencari jalan agar kekuatan ini bisa semakin ditonjolkan dalam kondisi yang pas. Seorang yang senang mengamati sesuatu secara mendetil akan dengan mudah berprestasi ketika pekerjaannya sangat membutuhkan ketelitian dan pencatatan. Tidak semua orang perlu lancar berbicara dan pandai bergaul. Para pendiam, asal tekun dan kuat “‘mengulik” bisa sukses sebagai engineer dan programmer. Pepatah cina kuno juga mengatakan bahwa bibit yang baik akan tumbuh subur di lahan yang cocok. Karena itu perlu sekali bagi organisasi untuk mengkaji, membuat prioritas, menyusun kompetensi yang tepat untuk membedakan kunci kesuksesan individu sehingga tidak didapati kompetensi yang sama dan standard di semua bidang pekerjaan dan jabatan. Mengingat kepribadian juga bagaikan dua sisi mata uang, individu juga perlu menyadari reaksi-reaksi apa yang seringkali dimunculkan manakala ia dalam keadaan tertekan maupun menghadapi konflik. Konflik pastinya akan selalu muncul, bahkan seringkali menjadi batu ujian menuju kesuksesan. Pernyataan :” Itu memang saya..” tidak lagi bisa dijadikan alasan bilamana sukses adalah tujuan Anda. Kita perlu bersikap proaktif terhadap munculnya dark side kita, dan pandai pandai meredam reaksi yang merugikan.

Kekuatan Motivasi

Banyak orang yang beranggapan bahwa motivasi itu berubah-ubah tergantung pada stimulus eksternal, sehingga motivator-motivator terkenal banyak dipanggil untuk memberi suntikan motivasi. Padahal sebetulnya motivasi bermuara pada talenta dan potensi kepribadian kita, suatu motor penggerak di dalam diri yang membuat kita bisa berkutat lama pada tugas tanpa mengeluh. Karenanya kita perlu memahami profil kepribadian dan menentukan dengan lebih tepat, situasi dan tugas apakah yang akan membuat kita lebih bermotivasi. Jadi seyogyanya setiap individu dan atasannya, harus sama-sama mengerti sumber motivasi individu yang dapat mendorongnya berkinerja optimal. Pada saat itulah kita sudah memegang 80 % kesuksesan.

Di muat dalam KOMPAS, 8 Agustus 2015

BERSIKAP MUDA

Acara halal bihalal Experd tiba-tiba dimeriahkan oleh tamu penting, Hasnul Suhaemi mantan CEO XL Axiata. Harapannya, beliau akan menceriterakan pencapaian pribadi dan bagaimana beliau mengangkat XL menjadi mobile provider nomor 2 di Indonesia. Kumpulan slide dengan terpampang slide bertema “Menjadi Makhluk Pembelajar”, yang sudah dipersiapkan sebelumnya dan akan dipresentasikan salah seorang Gen Y, secara  diam-diam kami tambah dengan judul “Belajar dariBaby Boomers”. Ternyata, tanpa persiapan, beliau langsung menyambar tema ini dan mengungkapkan 2 pertanyaan penting. Pertanyaan pertama terkait dengan tantangan mendekati krisis di negara kita, “Anda sedang di jalan tol ketika melihat asap tebal di depan. Anda tidak bisa menghindar atau mundur. Apa yang Anda lakukan: Berhenti? Berjalan pelan-pelan? Ataukah menerjang terus?“ Pilihan sikap ini menentukan apakah Anda tergolong generasi lama, baby boomers, ataukah gen Y. Umumnya, Gen Y akan menerabas dengan mengambil risiko tinggi. Sementara itu baby boomers akan memilih cara untuk berjalan lambat-lambat.

Pertanyaan kedua, “Apa perbedaan hakiki dari generasi-generasi ini?” Dalam menyikapi perubahan, ada yang memilih untuk membuat perubahan, mengantisipasi perubahan, diminta berubah, atau bahkan tidak mau berubah. Tentunya golongan yang tidak mau berubah adalah golongan yang sudah harus pensiun. Yang diminta berubah adalah generasi baby boomers. Tersisa kita, yang hidup di era millenium, untuk memilih antara membuat perubahan atau mengantisipasi perubahan. Inilah semangat genY.

Apakah ini sikap yang “baru”? Sama sekali tidak! Pada masa krisis tahun 1998 perusahaan operator seluler merasakan keterpurukan. Kebanyakan perusahaan menghentikan perkembangan, tetapi Telkomsel sama sekali tidak bersikap demikian. Mereka justru masuk ke daerah-daerah terpencil, membagikan Sim card gratis kepada pelanggan potensial, dan tetap menginvestasikan perangkat  jaringan meski berhadapan dengan kurs dolar AS yang melonjak. Hasilnya terlihat hingga sekarang. Telkomsel tidak pernah bisa dikalahkan sebagai mobile operator terdepan dengan lebih dari 100 juta pelanggan. Pilihan tindakan Telkomsel ketika itu benar-benar revolusioner, membuat hal yang “beda”. Apakah Telkomsel saat itu dipimpin oleh seorang gen Y? CEO Telkomsel pertama tahun 1995-1998 adalah Ibu Koesmarihati. Meski berusia 55 tahun, sikap dan manuvernya benar-benar muda. Spirit genY inilah yang perlu diadaptasi pada masa-masa kritis seperti sekarang. Pasar berubah, keadaan politik tidak stabil, sumber daya alam habis, dan perkembangan teknologi melesat sampai kita terengah-engah mengikutinya. Bisakah kita masih mengkaji dan mengkaji ulang ungkapan-ungkapan yang mengenang “the good old times” tanpa mengambil manfaatnya dan mengkaitkannya dengan keadaan masa kini?  Sejarah memang penting untuk dipelajari, tetapi bukan disawang-sawang, dikenang-kenang, bahkan diratapi. Kami di Experd, yang menginjak usia 27 tahun, merasa terbangun untuk segera menjadi perubahan itu sendiri. Apalagi saat anggota tim termuda kami Ranggih Wukiranuttama mengatakan bahwa ia ingin menggambar visi Experd 5 tahun ke depan, tapi nyatanya visi itu sulit juga digambarkan secara gamblang karena perubahan yang begitu cepat terjadi. Yang jelas, ungkap Ranggih, kita harus siap dengan membuat produk dan servis baru dan segar sehingga tidak pernah berada di posisi belakang, selalu maju dan menjadi pionir dalam teknologi pengembangan SDM.  Dengan kata lain, kitalah yang  harus “muda” terus. Adakah pilihan untuk bersikap lain, kecuali menjaga keremajaan kita atau perusahaan?

Belajar secara “unconventional”

Kita lihat bahwa menjalankan pembelajaran linear di perusahaan sudah tidak bisa mengejar perkembangan lagi. Kita tidak bisa menunggu para teknisi mempelajari keterampilan baru dari nol. Di samping waktu yang diperlukan terlalu lama, seringkali teknologi yang digunakan sudah tidak sama dengan pelajaran yang diperoleh saat duduk bangku kuliah. Kita perlu memikirkan terobosan untuk menanamkan pengetahuan baru dengan cara-cara yang tidak lazim. E-learning yang dibuat interaktif dan “bermain”, akan mendatangkan fun of learning. Proses coaching yang tadinya bagaikan hubungan ayah-anak dengan ayah membimbing dengan sabar, harus dibuat lebih fleksibel. Bukankah Gen Y lebih cepat mempelajari hal-hal baru, dan lebih tahu perkembangan beberapa bidang? Kenapa coaching dan sharing tidak diterapkan secara bolak-balik atau resiprokal? Bisa saja kita yang sudah makan asam garam masuk ke kelas anak muda untuk belajar tentang pemanfaatan media sosial. Pembelajaran di perusahaan, seperti mentoringcoaching dan bahkan sistem pembentukan kelompok, perlu menghasilkan hal-hal beyond learning. Perlu ada ‘aha’ exitement di setiap karya, sekecil apapun. Setiap individu perlu menjadi pembelajar, tidak peduli usia dan posisi. Rasa ingin tahu dan ingin mencari jawaban perlu tumbuh di setiap sudut divisi dalam perusahaan. Kemampuan mendapatkan, mengumpulkan, dan memaknai informasi harus merupakan kegiatan ilmiah sehari hari. Tidak perlu ada laboratorium untuk menemukan hal baru, karena  yang terpenting adalah keberanian untuk mencoba yang belum pernah dilakukan dan menciptakan sesuatu yang belum ada. Support danengagement dari sahabat, rekan kerja, bawahan, dan atasan akan menjadi kekuatan untuk menerjang hal-hal yang konvensional ini. Artinya, engagement yang baru bukanlah engagement biasa; sekarang waktunya untuk knowledge engagement.

Dimuat dalam KOMPAS, 1 Agustus 2015

DINAMIKA KOMPETENSI

Template-bodyemail-artikel-ER-DINAMIKA_03

Organisasi berubah, lingkungan pun berubah. Pasar yang tadinya membeli barang atau jasa tanpa banyak pertimbangan, sekarang menjadi lebih pintar berbelanja karena informasi tentang produk bukan lagi monopoli penjual. Ini bukan terjadi di sektor tertentu saja. Di semua bidang, ada teman atau lawan yang bisa bergerak lebih cepat dari kita. Keadaan ini ada yang disadari dan ada pula yang dibiarkan oleh organisasi sampai berlarut-larut sehingga tanpa sadar organisasi terkena proses penuaan yang dipercepat. Disinilah sebenarnya organisasi harus secara  progresif dan berkala meninjau kembali kekuatan SDM-nya. Perlu selalu dipertanyakan, apakah kompetensi karyawan tetap up-to-date dengan perubahan yang ada? Kita perlu mengecek, apakah karyawan yang sepuluh tahun lalu begitu cemerlang berperan dalam kesuksesan organisasi masih tetap bersinar untuk menghadapi kemajuan dan kompetisi di masa mendatang? Tidak jarang kita temui individu yang tiba-tiba kehilangan keahliannya manakala ia dituntut untuk berperan lebih banyak, mengemban tanggung jawab lebih besar. Padahal ketika merekrut, kita yakin bahwa kelaknya ia akan menjadi pemimpin yang mumpuni. Wawancara seputar kinerja masa lalu sering dianggap bisa memprediksi kesuksesan di masa mendatang. Namun rupanya ada banyak faktor yang perlu kita sadari “beyond” kompetensi ini. Banyak juga bukti yang menunjukkan bahwa individu yang dulu pernah sukses tiba-tiba kempes kinerjanya ketika masih mencapai usia produktif yang jauh dari masa pensiun. Artinya faktor penyebab kesuksesan masa lalu tidak serta merta dapat diulang begitu saja untuk menghadapi masa depan dengan perubahan yang tidak bisa diramalkan ini.

Banyak organisasi merasa bahwa set kompetensi yang mereka miliki sudah mumpuni karena mengacu pada kompetensi yang dicetuskan oleh David McClelland 40 tahun yang lalu serta mencakup kompetensi yang up to date seperti EQ,judgementintegritasglobal mindset, daya lenting, dan kemampuan belajar. Ternyata perusahaan sebelah pun membuat kompetensi yang kurang lebih sama. Artinya, tanpa kita sadari, kita pun melupakan peranan budaya perusahaan terhadap kesuksesan individu. Strategi perusahaan harus berubah untuk mengikuti perubahan lingkungan, keadaan pasar dan pelanggan. Para eksekutif diharapkan bukan sekedar fleksibel, namun juga mampu mengantisipasi perubahan ini bahkango beyond dengan menciptakan perubahan itu.

Mahluk pembelajar

Semua orang tahu bahwa knowledge is power. Mereka yang berwawasan lebih luas, lebih maju, dan lebih mendalam akan menjadi pembentuk masa depan. Namun kesadaran bahwa kita hidup di era “knowledge economy” tidak bisa hanya sekedar kita anggap sebagai hal yang “nice to know” saja. Tidak jarang sekarang, orang yang sudah banyak makan asam garam, dengan mudah dilangkahi oleh anak millenial yang hanya bermodal ponsel untuk mencari tahu dan mem-broadcastpengetahuannya. Dan ini bukanlah kenyataan yang fancy dan trendy. Kalau dulu kita masih mempertimbangkan lahan untuk berproduksi agraria, lalu mempertimbangkan teknologi di era otomasi, sekarang teknologi informasi yang tidak berlahan dan tidak perlu dipikirkan rumusnya sudah menguasai hidup kita. Filsuf Socrates sejak jaman dahulu sudah mengatakan, “To know, is to know that you know nothing. That is the meaning of true knowledge”. Organisasi tidak bisa lagi hidup dan membayar tinggi karyawan yang “sudah tahu” dan tidak mau belajar lagi. Yang perlu dihitung adalah daya serap, daya olah, daya adaptasi, dan kreativitas para karyawannya. Itu pun perlu diwarnai kekuatan pribadi, kepemimpinan dan kemampuan bersosialisasi yang kuat. Dalam merekrut, mungkin deskripsi jabatan individu ini belum bisa dibuat apalagi di tegaskan, karena pekerjaan harus diciptakan terlebih dahulu. Itulah sebabnya di Google setiap karyawan diizinkan menggunakan 10% dari waktunya untuk mengulik sendiri pengetahuan dan passion-nya untuk menemukan cara, teknologi dan ide-ide baru. Untuk menciptakan pemimpin, Bank ANZ melakukan rotasi ekstrim di mana setiap calon pemimpin harus merasakan peran-peran kritis dalam bisnis, dan juga menyerap sebanyak-banyaknya aspek-aspek geografis, kultural, produk, pengalaman menghadapi klien serta internal audit untuk lebih memahami seluruh proses bisnis. Hasilnya, ANZ mendapatkan pemimpin-pemimpin muda yang bisa beradaptasi dengan baik ketika ditempatkan di berbagai negara

Menemukan “nilai”

Hal yang tidak pernah lekang dimakan jaman adalah nilai-nilai kemanusiaan. Di sinilah kita bisa melihat bahwa kaum Gen Y dan bahkan para milenial justru sangat kritikal dalam meng-engage dirinya dengan suatu organisasi. Individu muda, hanya akan bergabung pada organisasi yang mereka percaya bisa menjadi rumah aspirasinya. Dengan penetrasi teknologi di tempat kerja dan hubungan interpersonal banyak dimediasi  oleh teknologi, tetap saja soft skills yang menjadi primadona kompetensi, di mana keputusan-keputusan strategik dilakukan melalui kemampuan membangun chemistry dan intuisi hasil hubungan interpersonal. Masyarakat tetap perlu orang yang jujur, bisa diandalkan, bisa hidup dalam tekanan dan stres. Kita juga perlu memilih orang-orang yang memiliki nilai lebih “dalam”, ketimbang sekedar pengejar uang semata. Kita mencari profesional yang menyukai kemajuan, tantangan dan mampu memberi value adding melalui pekerjaannya. Beginilah situasinya, dan tanpa kita sadari, dengan begini kita sudah mengadaptasi nilai nilai generasi Milenial.

Dimuat dalam KOMPAS, 25 Juli 2015

ANTUSIASME

Template-bodyemail-artikel-ER-antusiasme_03

Hampir semua orang merasakan kelesuan ekonomi dan pasar belakangan ini. Bahkan datangnya bulan Ramadhan yang biasanya bisa memberikan angin segar karena kebutuhan masyarakat yang biasanya cukup tinggi di bulan ini pun rupanya belum mampu menunjukkan angka yang menggembirakan. Hal ini bukan sekedar dirasakan oleh para wirausaha, tetapi juga karyawan. Belum lagi tekanan dunia luar yang selalu menyebut negara kita sebagai the most important emerging country, menyebabkan dunia luar berbondong bondong masuk, dengan segenap teknologi dan pengetahuan mereka yang bisa jadi lebih maju dari kita. Tekanan yang bertubi-tubi ini seperti tidak memberikan ruang gerak bagi kita untuk bernafas. Padahal rasanya kita sudah going extra miles lebih dari biasanya. Batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi sudah semakin menipis, keluarga bisa jadi mengeluh akibat waktu bersama mereka yang semakin lama semakin berkurang. Tekanan-tekanan seperti ini, sering mendominasi persepsi kita, membuat kita lupa pada kekuatan dan simpanan enerji yang justeru  bisa mengembangkan “kekuatan profesional” dan daya saing kita. Sebagai manusia, seharusnya kita tidak mungkin kehilangan rasa haus akan perkembangan, apalagi pengetahuan dan pengalaman. Namun, dengan tuntutan pekerjaan, kualitas, juga kepuasan pelanggan, terkadang kita lupa menghidupkan api semangat ini. Kita bisa kehilangan fokus akan apa yang seharusnya penting, dan menyusun strategi yang tepat. Alih-alih berinovasi, kita malah terjebak pada sikap reaktif semata yang ujung-ujungnya dapat mengakibatkan hilangnya semangat.

“Fire”, “focus”, dan “faith”

Alan Fine, seorang psikolog, mengingatkan kita bahwa manusia normal mempunyai 3 unsur F yang sangat penting untuk terus berkembang, yaitu: faith, keyakinan, focus dan fire, yaitu api semangat. Sebagai profesional yang berakal budi, sewajarnyalah kalau kita senantiasa “bermain otak” dalam setiap usaha untuk mencapai tujuan. Namun kita tidak boleh lupa akan kekuatan kepercayaan, fokus dan motivasi yang menciptakan dan memproduksi energi kita. Itulah sebabnya, kita perlu yakin bahwa pekerjaan kita ini memang membawa makna diri yang tepat. Ada yang mengatakan bahwa people dont leave because things are hard, they leave because it’s no longer worth it. Nilai pekerjaan perlu dikaitkan dengan prinsip hidup kita, terutama saat-saat kita mengalami kesulitan ataupun dilema dalam sebuah persimpangan. Kita mempertanyakan, apa yang kita anggap penting, apa yang kita bela, demi apa kita bekerja, nilai apa yang kita pegang saat itu. Kita perlu untuk bisa mengatakan pada diri sendiri, bahwa tanggung jawab yang berat atau yang bahkan bertambah justru membawa nilai yang positif dalam hidup kita. Begitu keyakinan kita mantap barulah kita bisa menentukan fokus jangka pendek dan jangka panjang serta memperkuat konsentrasi agar hal yang kita kerjakan benar-benar membawa hasil yang nyata , terlihat dan terasa. Faith dan focus yang tepat akan membangkitkan fire, motivasi kita sedikit demi sedikit.Sense of importance kita akan tumbuh, dan hal inilah yang akan mendorong kita untuk kembali melipatgandakan energi untuk maju.

Evolusi kerja sejalan dengan evolusi industri

Tidak ada industri yang statis. Industri keuangan bukan monopoli industri perbankan saja, demikian pula industri telekomunikasi pun sudah disusupi oleh perdagangan dan industri kreatif lainnya. Kerja, karenanya juga tidak bisa statis. Tidak ada pekerjaan tanpa ide baru, kemajuan teknologi maupun pergantian personel. Kalau cara kerja dan cara pandang kita tidak sejalan dengan evolusi yang terjadi di industri, otomatis kita akan tergilas oleh pihak-pihak yang lebih revolusioner. Sayangnya, masih banyak orang yang berfikiran bahwa untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan, ia perlu melakukannya secara formal. Tidak jarang individu menyalahkan organisasi yang tidak mengalokasikan budget pelatihan maupun seminar untuk mereka. Padahal hanya dari membuka mata lebar-lebar dan menajamkan daya observasi saja, kita bisa mengamati, belajar  dan mem”bench mark” apa yang dilakukan oleh orang lain. Education is practical. Kita bisa belajar dari rekan kerja, kompetitor, bahkan mungkin orang-orang di sekitar kita yang tidak ada hubungannya sekalipun dengan kita. Kita tidak boleh lupa bahwa kita pun perlu memperbaiki praktek kita. Saat sekarang kesempatan untuk  memberi added value pada pekerjaan kian mudah. Menyamakan visi dan tujuan kerja tidak perlu dilakukan di raker-raker yang berongkos tinggi. Kita bisa menciptakan grup on line dengan mudah sehingga komunikasi bisa terjadi dengan cepat, bahkan real time. Berganti alat kerja, menggunakan perangkat lunak baru, belajar menggunakan bahasa lain dalam komunikasi juga termasuk hal-hal yang mengundang perubahan. Meskipun pekerjaan kita sebenarnya sama seperti biasanya, kita tetap dapat melakukan pendekatan baru yang berbeda dan tentunya juga akan memberikan hasil yang berbeda. Ingat terus bahwa “if you act enthusiastic, you will become enthusiastic”. 

Dimuat dalam KOMPAS, 11 Juli 2015

MENGELOLA MANUSIA

Template-bodyemail-artikel-ER-mengelolamanusia_03

 

Semakin lama kita berkecimpung di dalam organisasi, semakin kita akan menyadari bahwa kebanyakan dari masalah-masalah yang dialami dalam organisasi sebagian besar bersumber dari manusia. Mulai dari kompetensi yang semakin dirasa tidak memenuhi spesifikasi masa kini, sampai kepada masalah konflik yang tidak terselesaikan. Banyak di antara kita bersikap pasif terhadap kenyataan ini, ataupun menunda untuk mencari solusinya, banyak dengan alasan bahwa ada hal hal lain yang lebih penting. Padahal sudah nyata nyata terbukti, bila manusia tidak digarap, tidak terjadi perbaikan. Ironisnya sangat sedikit pendidikan tentang manusia yang kita peroleh di bangku sekolah. Bahkan pendidikan tinggi psikologi, yang kesarjanaanya dapat dituntaskan dalam 4 tahun, belum menjamin lulusannya menjadi piawai menghadapi manusia. Sampai sekarang, manusia masih tetap merupakan misteri terbesar semesta ini. Tetapi, kenyataan ini tetap tidak membuat kita sadar bahwa kita sering taking for granted mengenai masalah pengelolaan manusia, dan bahkan menempatkan hal ini sebagai prioritas paling akhir di manajemen. Mungkin hal ini wajar, karena kita pikir tanpa perlu di gerakkan, manusia yang mau bekerja, pasti tahu bahwa ia harus bekerja. Namun kita sering menyaksikan betapa misi dan visi pemimpin yang bagus, ternyata sering tidak bisa terwujud karena manajemen manusia yang terlantar. Dengan banyaknya realitas mengenai buruknya koordinasi, komunikasi dan kerjasama dalam tim, antarlembaga, antardepartemen, apakah kita masih mengira bahwa pengelolaan manusia ini memang suatu hal yang mudah? Pengelolaan manusia yang tampaknya common sense ini, memang tidak ada pendidikan formalnya. Namun, itu bukan berarti bahwa hal ini mudah digarap. Ada ahli yang mengatakan, ”Just because something is common sense doesn’t mean it’s commonly practiced”. Sekolah kepemimpinan manapun tidak bisa mendera kita untuk menjadi  piawai mengelola manusia. Memang buku-buku dan teori pengelolaan manusia sangat banyak. Namun, kita tentu kerap membuktikan, apa yang tertera di buku-buku sering tidak bisa dipraktekkan dengan efektif. Kita sering mengumpamakan seorang pemimpin ibarat konduktor orkestra yang seharusnya mengatur bekerja samanya beberapa departemen dengan sasarannya masing-masing menjadi suatu harmoni. Namun harmonisasi indah itu sering sulit menjadi kenyataan. Manajemen bisa diibaratkan sebagai orkestra yang selalu sedang menghadapi keribetan gladi resik di mana semua tetap harus dimonitor dan diperiksa. Konduktor manajemen lebih tepat disebut berperan sebagai montir yang membenahi masalah yang timbul.

Kita tidak pernah menjadi “expert” tentang manusia

Seorang psikolog, Daniel Kahneman dalam bukunya Thinking, Fast and Slow, menyatakan bahwa banyak sekali perkiraannya yang dibuat mengenai manusia  berdasar penglihatan yang seringkali keliru dikarenakan kita terlalu cepat membuat kesimpulan meskipun sebenarnya kita juga sadar bahwa harus bersikap obyektif. First impression begitu mempengaruhi kita. Kita kemudian berusaha mencari referensi yang ada di benak kita, menggunakan kerangka berfikir yang ada, untuk mengkonfirmasinya. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai manusia kita, tanpa disadari sering tidak berkembang. Pemahaman dan penilaian yang salah bisa membawa kita pada strategi pengembangan yang salah. Kita perlu memiliki pola pikir bahwa manusia yang dikelola ini adalah organisme hidup yang bergerak terus, berkomunikasi, bersatu , berpisah dan bisa bersatu lagi. “We recruited these people, we trained them, we managed them. If our people aren’t good enough, it’s not their fault, it’s our fault.” Apakah hal ini juga berlaku untuk orang orang berkaliber tinggi, sampai ke menteri di pemerintahan? Mengkoordinasi kabinet berarti menyelami dan berkomunikasi mendalam dengan salah satu, atau dua, bahkan keseluruhan tim untuk menyamakan visi. Ini perlu terjadi setiap hari. Bukankah kita tidak bisa berkerja sama dengan orang yang tetiba menjadi asing dan tidak kita kenal lagi setelah kurun waktu tertentu?

Jangan lupa tetap “employee-centric”

Mudah mudahan sekarang kita semakin meyakini bahwa manajemen itu tidak semudah teorinya. Manusia yang dikoordinasi tidak selamanya pekerja keras, bersikap keren dan bertalenta luar biasa. Ada yang pintar tetapi keras kepala. Ada yang pandai bekerjasama tetapi tidak cemerlang. Ada yang agresif namun tidak produktif  dan mereka semua tercampur baur dalam organisasi kita. Kita harus menerima kenyataan bahwa pengelolaan manusia memang sangat rumit. Semua masalah manusia perlu kita sikapi sebagai teka teki yang harus kita tuntaskan. Konflik tidak bisa diredam ataupun dilawan. Kita perlu menganggap bahwa konflik adalah bahan pengaduk tim yang paling ampuh. Conflict is the currency of management. Dari konflik, kita bisa belajar tentang persepsi masing-masing anggota tim kita. Dari kompromi penyelesaian konflik kita juga bisa melanjutkan kerja sama dengan resolusi yang lebih konstruktif. Jadi, kepemimpinan memang adalah kepandaian mengelola intrik, konflik, dan mendapatkan wawasan yang lebih holistik tentang manusia,  lalu mencari solusi yang lebih efektif.

Dimuat dalam KOMPAS, 4 Juli 2015

NILAI SUKSES

Template-bodyemail-artikel-ER-nilaisukses_03

Beberapa orang akhir akhir ini sibuk dengan jabatan yang ia pangku. Sebentar sebentar kita mendengar ancaman pencopotan, penunjukan, pengangkatan atau pergeseran. Bayangkan apabila jabatan diwarnai dengan hawa politik, apalagi kalau sampai disertai ancaman reshuffle. Betapa akan sibuknya beberapa individu  mewarnai perjuangan mereka bukan dengan berkarya sesuai dengan jabatannya, tetapi dengan strategi mempertahankan posisi jabatannya. Bisa jadi mereka lupa mendefinisikan apa makna jabatan, apa tugas dan tanggung jawabnya, apa sasaran, dan siapa yang akan menikmati keberhasilannya. Bahkan ada yang begitu ditunjuk sebagai menteri, langsung membuat syukuran besar besaran, seolah ia kejatuhan rejeki nomplok. Padahal seperti petuah Paman Ben, paman dari Peter Parker sang Spiderman:with great power comes great responsibility. Ukuran kesuksesan rasanya memang sudah berbeda dengan keadaan 50 tahun yang lalu di mana kejujuran, integritas, kesederhanaan, pengorbanan masih mendapat posisi yang terhormat di kalangan masyarakat. Sekarang ini banyak sekali yang menilai materi sebagai  ukuran sukses yang dominan. Berapa rumah yang sudah  dimiliki, apa mobil yang dikendarainya, apakah gadgetnya merupakan keluaran terbaru. Jabatan lengkap dengan segala atribut kesuksesannya sering membuat orang silau, lupa pada beban tanggung jawab yang diemban, lupa pada mereka-mereka yang menaruh harapan padanya untuk membawa kehidupan menjadi lebih baik.

CEO pribadi

Kita harus ingat bahwa terlepas dari berbagai faktor eksternal yang bisa menjadi penentu nasib karir kita, kitalah CEO pribadi karir kita sendiri. Setinggi apapun jabatan kita, kepuasan pekerjaan tetap ada di tangan kita sendiri. Ada yang merasa lebih puas bila ia berada di organisasi milik pemerintah, di mana stabilitas dan keamanan lebih terjamin. Sementara orang lain, senang berkarir di perusahaan kecil di mana ia dapat mengambil peranan penting dalam proses perkembangan, pengambilan resiko, dan kemajuan perusahaan. Keduanya bisa sama-sama merasa bahagia walaupun bentuk dan ukuran suksesnya tidak sama. Ada orang yang meskipun dituntut untuk mencari pekerjaan lain yang bisa membawa rejeki yang lebih bagi keluarganya, tetap bertahan pada idealismenya untuk berkarir di pekerjaan yang ia anggap berguna bagi orang banyak. Inilah sebabnya dalam berkarir kita perlu menjaga dan meningkatkan kesadaran tentang keberadaan kita, tingkat kepuasan kita dan apa yang sesungguhnya kita cari di masa depan, mempertanyakan kembali nilai-nilai apa yang kita anggap terpenting dalam hidup kita. Ada yang menjunjung tinggi profesi, ada juga yang menganggap uang sebagai sasaran hidup utama, tetapi ada juga yang mementingkan integritas dan sikap profesional dalam hidupnya.

Tanggungjawab interpersonal 

Dalam kehidupan di masyarakat, jarang sekali ada kesuksesan yang murni atas upayanya sendiri; apakah ia artis, ilmuwan ataupun atlit. Hampir semua orang sukses karena ia mendapat dukungan dari orang lain. Kita bisa menganggap bahwa kita memang mandiri dalam mengatur karir kita, tetapi hal tersebut tidak pernah lepas dari kontribusi orang lain.

Kita perlu bertanya, apakah kita cukup memanusiakan orang di sekitar kita secara seimbang dengan cara kita memandang diri kita sendiri. Apakah kita mencatat, bahwa setiap bawahan juga mempunyai kekuatan mereka sendiri, cara sendiri serta nilai-nilai yang dia junjung tinggi. Artinya untuk bisa mendapatkan hasil yang optimal dalam hubungan ini, mau tidak mau kita perlu memahami dan menggarap kualitas diri mereka yang mendukung kita ini. “The first secret of effectiveness is to understand the people you work with so that you can make use of their strengths” .

Hal lain yang juga sering dilupakan orang dalam berkarir adalah kewajibannya untuk berkomunikasi. Orang yang sudah menduduki jabatan yang tinggi biasamya merasa berhak untuk memilih apakah ia mau  berkomunikasi atau tidak dengan orang lain, khususnya kepada bawahannya. Kapan konflik dapat diselesaikan juga tergantung dari kesediaannya. Terkadang, alih-alih menyelesaikan konflik, banyak orang cenderung menghindar sambil berharap konflik itu akan selesai sendiri, atau bahkan ia malah tidak menyadari akan adanya konflik di lingkungan bawahan. Hal ini  bisa disebabkan karena ia memang tidak pernah bertanya dan berbicara dari hati ke hati dengan bawahannya.

Organisasi sekarang tidak lagi tumbuh subur bermodal kekuasaan semata. Organisasi tumbuh dari rasa percaya. Orang yang percaya satu sama lain tidak perlu saling suka, asal mereka mengerti peran dan keadaan satu sama lain, serta mempunyai tujuan yang sama. Tengok duet gubernur DKI dengan wakilnya. Mereka tidak sama dan tidak pula selalu sejalan bukan? Bertanggung jawab untuk berkomunikasi, bukan sekedar penting, tetapi merupakan keharusan.

Jadi marilah kita kenali ukuran kesuksesan diri kita pribadi  serta tingkatkan komunikasi dengan mereka yang ada di sekeliling kita, karena merekalah kunci kesuksesan kita.

Dimuat dalam KOMPAS, 27 Juni 2015

AGENDA SUMBER DAYA MANUSIA

Siapa sih yang tidak menyadari pentingnya sumberdaya manusia? Pimpinan mana yang berani mengatakan bahwa kesuksesannya tidak terletak pada orang-orangnya? Istilah intangible asset pun sudah cukup populer di kalangan manajemen. Dalam organisasi-organisasi yang mapan, departemen pengembangan SDM dilengkapi dengan personel yang lengkap, mulai dari yang berfungsi merekrut, mengupayakan performance management sampai kepada membina hubungan karyawan dan perusahaan secara legal. Kita bisa melihat adanya evolusi fungsi divisi SDM sepanjang abad ke-20. Dari penamaan departemen yang dulunya lebih dikenal sebagai bagian personalia sampai menjadi departemen HRD ataupun human capital sekarang ini. Perkembangan pun terus terjadi. Dari minimnya penerimaan terhadap wanita bekerja, sampai adanya fasilitas day care dan ruang bagi ibu meyusui. Dari sekedar mencatat kehadiran dan pendisiplinan karyawan, mempercanggih cara-cara rekrutmen, sampai meningkatkan motivasi, tingkah laku dan budaya organisasi. Ada organisasi yang memasang target keras pada departemen SDM nya baik dari rekrutmen, evaluasi kinerja maupun intensifnya pelaksanaan pelatihan-pelatihan. Namun di pihak lain, para pelaku pengembang sumber daya manusia seringkali mengeluhkan sulitnya menarik komitmen para pimpinan terhadap kegiatan-kegiatan divisi SDM. “Acara saya selalu dinomorduakan,” demikian keluhan salah satu manajer SDM. Betapa banyaknya pimpinan perusahaan yang selalu hadir dalam rapat-rapat bisnis namun sulit sekali dimintai keterlibatan pada event-event budaya dengan berargumen “ Yang bisnis lebih mendesak untuk jalan.” Jadi, secara umum kita memang perlu mengakui, bahwa kita sendiri sering tidak yakin kalau pengembangan manusia akan berujung pada pengembangan bisnis. Sasaran pengembangan sumberdaya manusia memang harus berdampak pada laba perusahaan. Jangan sampai ada stigma “HR doesn’t do numbers”.

Mitra bisnis tulen

Jarang sekali kita melihat, menyadari, bahkan berani mengambil sikap dan tindakan terhadap pengelola sumberdaya manusia perusahaan dengan bobot sama pentingnya seperti terhadap keputusan bisnis itu sendiri. Kita bisa melihat, apakah pejabat HR yang ditempatkan di unit bisnis, juga dilibatkan dalam rapat penentuan pelepasan kredit di bank atau strategi sales di perusahaan dagang? Apakah kita yakin bahwa para praktisi HR memiliki pemahaman yang sama dengan praktisi bisnis lainnya? Apakah kita mempersyaratkan para praktisi HR memiliki pengetahuan bisnis mulai dari membaca neraca, laba rugi sampai kepada managing people di lapangan? Sementara itu bisakah kita membayangkan bagaimana sulitnya seorang pimpinan pusat pelatihan mengatur kurikulum pelatihan bila ia tidak pernah turun menangani bisnis di garis depan? Bagaimana ia bisa mengkritisi kesesuaian metoda dan materi pelatihan yang diberikan dengan kebutuhan di lapangan. Bukankah bisnis memang dijalankan oleh manusia? Dan bukankah kita memang mau mencetak talenta yang dapat menguasai bisnis di masa depan? Alangkah borosnya bila pengembangan sumber daya manusia ini kita serahkan pada orang orang yang bersikap steril dan tidak menghayati bisnis sama sekali. Tanggung jawab para profesional HR di perusahaan sebagai mitra bisnis adalah mengisi organisasi dengan manusia yang cukup, efektif dan siap menghadapi tantangan masa depan. Bila tidak, organisasi sendiri yang akan menderita.

Manajemen talenta

Saat ini, masalah manusia memang sudah terangkat ke permukaan. Betapa kita melihat pemerintah sulit menempatkan profesional-profesional yang mumpuni untuk menangani suatu departemen, lembaga atau BUMN. Para calon  MT dan ODP sendiri juga mencari perusahaan atau profesi yang dipandang cool oleh mereka. Karenanya, organisasi juga harus berstrategi kuat untuk menarik talenta-talenta yang bagus dari institusi-institusi pendidikan. Untuk dapat bersaing secara global, operasi organisasi pun harus mengglobal lebih dari sekadar berbahasa Inggris. Organisasi terpaksa atau harus berinisiatif untuk melakukan hal-hal baru yang lebih kompleks dan membutuhkan pengetahuan baru agar manusia-manusia di dalamnya siap menghadapi masa depan yang begitu cepat berubah. Masihkah kita merasa bahwa fokus akan talenta ini harus kita nomor duakan ketimbang  teknologi dan finance? Seorang praktisi HR harus mampu mengkaitkan antara talenta dengan pengembangan bisnis masa depan perusahaan, bukan sekedar terhadap apa yang sedang terjadi saat ini. Mereka perlu menyiapkan para difference makers. Google adalah contoh baik dari perusahaan yang dapat menentukan dengan tepat minat talenta muda untuk dapat menjadi pionir perusahaan di masa mendatang. Calon karyawan diminta mempresentasikan proyek idamannya. Karyawan pun dapat meluangkan 10% waktunya untuk mengembangkan proyek pribadi yang menarik minat mereka. Proyek yang menarik akan dibeli perusahaan, dan karyawan akan memiliki proyek itu dengan bangga. Apalagi yang bisa lebih baik dari karyawan yag merasa bangga dan memiliki perusahaan?

Dimuat dalam KOMPAS, 20 Juni 2015

RIGHT MAN ON THE RIGHT PLACE

by Eileen Rachman & Emilia Jakob

Teman saya yang seorang pengusaha kecil, berkali-kali gagal mendelegasikan tanggung jawab bisnisnya kepada orang kepercayaan. Setiap kali bisnis di serahkan, bisnis akan merosot. Sekarang, ketika ia menemukan seorang GM baru yang berhasil mengembangkan bisnisnya, ia langsung berambisi untuk memperluas bisnisnya lagi. Sayang sekali teman ini tidak menyadari bahwa kunci keberhasilan yang diraihnya ini justru terletak pada karakteristik GM-nya yang istimewa. Bukankah ia seharusnya memikirkan bagaimana caranya mendapatkan orang dengan karakteristik yang sama dengan GM tersebut barulah ia bisa mengembangkan bisnis selanjutnya? Banyak orang mengecilkan peranan manusia di dalam bisnis dan kegiatan pengelolaan, sehingga akibatnya sering ditemui organisasi yang seperti ‘ban kempes’ begitu terjadi pergantian pucuk pimpinan. Tidak jarang organisasi meminta bantuan pihak ketiga yang dianggap berpengalaman dalam melakukan penilaian manusia untuk melakukan assessment calon pejabat. Tetapi apakah itu cukup? Apakah organisasi sudah benar-benar memahami tugas dan tanggung jawab dari pekerjaan itu. Apakah organisasi dapat menggambarkan dengan tepat tantangan yang mungkin akan dihadapi individu kepada pihak ketiga yang akan melakukan assessment? Apakah pihak ketiga mampu mengimajinasikan kompleksitas peran dan tanggungjawab pekerjaan itu serta keunikan budaya organisasi untuk nantinya melihat pengalaman dan menggali potensi yang dimiliki individu dalam mencari kesesuaian?

Pemegang jabatan di sebuah lembaga haruslah orang yang mumpuni, tahu lika-liku, suka duka dan cara-cara berkinerja di lembaga tersebut. Seorang yang S3 dalam ilmu farmasi, belum tentu bisa mengelola lembaga bisnis yang memperdagangkan obat-obatan. Sebaliknya ada juga S3 yang belum tentu dapat menginovasi obat namun memiliki kemampuan mengembangkan bisnis dengan baik. Tentunya kedua orang ini mempunyai talenta yang berbeda satu sama lain. Sama-sama ahlinya, tetapi tidak sama dalam kapasitas memajukan bisnisnya. Kita mungkin ingin mendapatkan orang yang dapat menguasai keduanya, baik menemukan obat serta mumpuni dalam menjalankan bisnis. Namun mencari orang ini bisa jadi bagaikan mencari jarum dalam tumpukan jerami meskipun bukan berarti mustahil. Fokus kita yang terbagi antara menjalankan roda lembaga, berpolitik atau berbisnis, membuat kita sering tidak terlalu yakin bahwa 95 persen kesuksesan kita terletak pada bagaimana kita memilih orang dalam organisasi. Begitu salah memilih orang, sebaik apapun teknik dan sistem yang tersedia, kita akan mengalami kesulitan menjalankan roda bisnis sesuai rencana. Hampir semua masalah terjadi karena salah orang. Jadi teman kita yang ingin mengembangkan bisnisnya itu perlu sekali untuk membedah kunci sukses sang GM dan menemukan kompetensi kunci apa saja yang dibutuhkan oleh pemegang jabatan serupa. Istilah kloning memang tepat sekali digunakan di sini. Jim Collins yang terkenal dengan buku Good to Great, mengatakan: “You can’t start off by asking which direction you’re headed in… First you figure out if you’ve got all the right people on the bus, then you figure out where to drive”.

“Point of Excellence”

Organisasi seringkali memiliki tuntutan kesempurnaan baik dengan ISO maupun berbagai program seperti Total Quality Management. Namun seharusnya kita juga perlu melihat apakah manusia yang direkrut sudah memenuhi kriteria kesempurnaan tadi. Di suatu lembaga bergengsi, standar ganda sengaja digunakan untuk menentukan kriteria rekrutan eksternal dari fresh graduate dengan rekrutan internalnya yang merupakan pegawai lama. Kepada fresh graduatediterapkan ukuran yang jauh lebih tinggi daripada  utuk pegawai lama. Hal ini dilatarbelakangi oleh keluhan para atasan yang menginginkan agar anak buahnya tetap bisa dikembangkan walau tidak terlalu memenuhi syarat. Alhasil, para fresh graduate yang terpilih dan bergabung dalam organisasi, sering merasa frustrasi karena derap yang tidak seirama dan ide-ide baru yang sering tertolak oleh rekannya yang memiliki tingkat kompetensi lebih rendah. Ini adalah contoh lembaga yang berkompromi terhadap excellence dalam pemilihan manusia, yang pada akhirnya akan harus juga berkompromi padaexcellence sistem manajemen lainnya bila manusia-manusianya tidak mampu untuk beradaptasi dengannya. Kekhawatiran mereka adalah bagaimana kalau semua yang kita wawancara tidak memenuhi syarat? Bisakah kita berkeyakinan bahwa manusia memang bisa diasah untuk kelaknya memangku jabatan tertentu? Kita bisa meyakini hal ini asal kita memang tidak secara genting memerlukannya untuk mengisi jabatan tertentu. Kita harus berfikir bahwa the show must go on. Dunia tidak menunggu kita selesai mengembangkan orang-orang kita sampai mereka siap. Merekrut orang yang salah sudah pasti membuat motivasi kita kendur. Itulah sebabnya, lebih baik menggunakan waktu yang lebih panjang dalam merekrut daripada bercepat-cepat, tetapi akhirnya tidak happy. Better late than sorry kata pepatah.

Dimuat dalam KOMPAS, 6 Juni 2015