Bicara

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Isu perombakan kabinet yang kabarnya sudah santer terdengar sejak berbulan-bulan lalu akhirnya diumumkan secara resmi oleh pemerintah. Proses reshuffle yang sedemikian panjang menyebabkan banyak orang mengatakan bahwa hasilnya akan menjadi antiklimas. Banyak pembicaraan dan diskusi yang kemudian berkembang mengenai pengambilan keputusan yang tertele-tele, tidak tuntas, bahkan mengambang. Terkadang, kita melihat komentar begitu mudah diucapkan, seolah-olah mengambil keputusan adalah suatu hal yang mudah dan lumrah. Padahal, dalam situasi seperti ini, apalagi yang rumit dan kompleks, belum tentu kita pun bisa melahirkan keputusan yang bermutu. Kita sebetulnya bisa merefleksikan pada pengalaman kita pribadi: bagaimana kualitas pengambilan keputusan kita selama ini? Apakah kita terbiasa memperhatikan pendapat dan respons orang lain dalam mengambil keputusan yang melibatkan orang banyak? Akan lebih baikkah keputusan kita bila dilakukan tanpa proses diskusi atau konsultasi? Sejauh mana kita perlu membicarakan pertimbangan, pendapat sebelum mengambil keputusan?

Pengambilan keputusan memang tidak mudah. Dalam sebuah rapat kerja yang membahas peluncuran produk yang butuh investasi lumayan besar dan risiko kegagalan yang cukup tinggi, suasana terasa hening. Para peserta rapat melihat ke kiri dan ke kanan, menunggu seseorang untuk membuka suara. Akhirnya suara CEO memecah keheningan, beliau mengajukan beberapa, namun terasa tidak menyerang. Semua peserta rapat pun dapat membaca bahwa sang pemimpin mendukung proyek tersebut. Seketika, banyak orang berkomentar dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan positif. Ruangan menjadi ramai kembali, namun suasana hanya bagaikan air suam-suam kuku, tidak memanas. Di situasi lain, seorang pimpinan rapat dengan antusias menyerang pembuat proposal dengan pertanyaan-pertanyaan tajam. Ia mempertanyakan, bagaimana cara mencapai angka penjualan yang agresif dengan barisan salesman yang tersedia. Ia pun bertanya bagaimana cara menyerang kompetitor dan apakah kebutuhan pelanggan sudah dipahami dengan baik. Pertanyaannya yang disampaikan dengan nada menyerang, malahan melahirkan dialog-dialog yang malah mempertajam pandangan seluruh peserta ruangan.

Dari dua situasi di atas, menurut Anda, mana diskusi dan pembicaraan yang lebih efektif? Apakah suasana yang “harmonis” menjamin kita membahas permasalahan dengan lebih tajam? Sebaliknya, pembicaraan dalam situasi yang “menekan”, apakah akan menghasilkan keputusan yang melulu buruk? Keberhasilan dialog memang dipengaruhi banyak hal. Namun tidak banyak orang yang menyadari bahwa Salah satu kuncinya terletak dari apakah saat kita berbicara satu sama lain, terdapat koneksi dan engagement yang baik. Dari sebegitu banyak meeting dan dialog yang kita lakukan selama ini, seberapa besar perhatian kita untuk membangun koneksi dan engagement untuk membawa kita mengalami meeting yang benar-benar produktif dan berkualitas?

{mosimage}

Menyatukan Kekuatan Hati

Kita bisa melihat betapa kualitas dialog bisa berbeda satu sama lain. Sama-sama berdialog, rapat, berurun rembug, berseminar dan berapat kabinet, tetapi mutu keputusan yang dihasilkan bisa sama sekali berbeda. Di tingkat pemerintah bahkan sampai turun instruksi untuk memangkas meeting-meeting yang tidak berkualitas karena cenderung menghabiskan banyak biaya. Kualitas pertemuan juga bergantung dari bagaimana informasi dikumpulkan, bagaimana informasi tersebut diproses dan bagaimana perasaan yang beredar terhadap satu sama lain dan terhadap keputusannya sendiri. Keakraban yang terbangun antar satu orang dengan orang lainnya dalam lebih bisa membuat semua pemikiran keluar dengan bebas, dibandingkan dengan formalitas, birokrasi atau aturan rapat yang ketat.

Kita bisa saja menjumpai keputusan palsu alias mengambang. Keputusan seperti ini biasanya terjadi bila fakta dan informasi yang diperoleh tidak kuat, karena banyak individu yang seharusnya menyokong pendapat atau informasi tidak mempunyai kualitas interaksi yang kondusif untuk bicara. Komitmen terhadap keputusan bisa saja jadi hanya bersifat formal dan tidak mempunyai bobot emosi. Padahal, kita semua tahu bahwa untuk mempelajari suatu situasi kita memerlukan kekuatan hati untuk mengalahkan asumsi, keinginan untuk tidak berbagi dan kekuatan untuk menyatakan ketidaksetujuan.

“Social Operating Mechanism”

Setiap individu, terutama pemimpinnya perlu menyadari bahwa kualitas keputusan justru ditentukan pada  proses alias dialog pengambilan keputusannya. Para ahli yang menelaah  kualitas dialog mengatakan bahwa di samping prosedur yang teraga, ada “Social Operating Mechanism” yang melandasi kualitas  tindak lanjut  dan umpan balik tadi. Ada kelompok yang katakanlah memang merupakan kelompok penentu kebijakan perusahaan, seperti kelompok manajemen puncak di perusahaan yang tiap minggu bertemu secara hambar, tidak melancarkan dialog dialog yang seru dan tidak pernah secara entusias mengakhiri pertemuan. Inilah kelompok, yang bisa dikatakan, melahirkan keputusan keputusan yang "palsu". Sebaliknya, kelompok dengan “Social Operating Mechanism” yang berkualitas, akan bisa langsung ‘tercium’  keterbukaannya. Artinya, setiap individu membuka perspektifnya untuk alternatif jawaban  dan pilihan yang bisa saja datang secara tidak terduga dari anggota kelompok lain.

Kita perlu sadar bahwa diantara kita sering ada "silent liars", yaitu orang yang enggan mengemukakan pendapatnya dan menyetujui setiap komitmen tanpa berkomit untuk melakukannya dengan hati. Ada pula golongan “sidetrackers", yaitu mereka yang kerap mengecoh kita untuk mem-"benchmark" situasi yang sudah tidak perlu di “benchmark”. Individu seperti ini sering mengemukakan praktik-praktik yang dikenalnya diperusahaan yang lalu, atau pengalamannya 10 tahun yang lalu. Seorang pemimpin yang baik, perlu mendorong anggota timnya untuk “to speak the unspeakable“, mengisi komitmen-komitmen yang belum disebutkan dan mangangkat konflik yang tersembunyi menjadi dialog yang terbuka. Peserta rapat juga harus mempunyai niat yang sangat kuat untuk melahirkan keputusan yang bermutu. Sebenarnya, bila hal ini terjadi, keputusan akan terhindar dari pekerjaan yang diulang-ulang karena adanya hal hal yang tidak terpikirkan..

Pada akhir dari suatu pertemuan, kecil atau besar, setiap pihak harus mengetahui mengapa isu ini penting, apa yang harus dilakukannya sebagai tindak lanjut dan kapan kita harus menggaraplnya. Rapat-rapat evaluasi, analisa dan reviu pun tetap membutuhkan tindak lanjut. Dialog atau percakapan adalah dasar dari produktivitas dan pertumbuhan: jadi mustahil dianggap enteng. Kita sama sama perlu menjaga nada dan memastikan "isi"nya.

(Dimuat di KOMPAS, 22 Oktober 2011)

articles/bicara1.jpg|||0||bottom||

articles/bicara2.jpg|||0||bottom||

Rasa Percaya

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita sering kecewa karena tidak adanya sinergi. Padahal, begitu banyak hal yang harus dibenahi dan tantangan untuk memperbaiki kinerja terus digaungkan sebagai urgensi. Tidak jarang kita melihat pejabat atau orang-orang penting di satu perusahaan menolak untuk bicara lebih dalam mengenai konflik yang terjadi. Padahal, di sisi lain, mereka bisa dengan santainya makan siang bersama-sama. Keterbukaan yang digembar-gemborkan para atasan sebagai “my door is open” kerap berupa slogan saja, namun tidak serius dijalankan. Ketika atasan menyadari bahwa ide-ide, protes-protes, bahkan kekecewaan tidak “mengalir” ke mereka, para atasan ini tidak berusaha memperbaiki situasi. Bila keterbukaan tidak tumbuh di dalam tim dan antar individu, jangan heran bila kemudian yang tumbuh adalah atmosfir sindir menyindir, salah menyalahkan, kelelahan, ‘loneliness’, apatis, bahkan hilangnya inisiatif. Padahal, kita sangat menyadari, bahwa perbaikan prosedur dan proses bisnis tercanggih di dunia pun tidak bisa lancar tanpa adanya ‘rasa percaya’ antar tim  yang berakar secara mendalam pada masing-masing individu

Dunia kita makin kompleks, di mana tim dituntut bersinergi dalam rangka globalisasi dan desentralisasi. Di dunia kerja, makin maraknya ‘outsourcing’ dan posisi pada setiap fungsi organisasi yang kerap berjauhan menjadikan setiap manajer ditantang untuk memimpin tim dari jarak jauh. Alat-alat monitoring, komunikasi secara cyber, dan segala macam elektronik tetap tidak bisa menggantikan hubungan tatap muka, sehingga kita menyadari kemungkinan tidak terkuaknya masalah, adanya kesalahan, salah pengertian dan tercampur aduknya masalah yang ujung-ujungnya tidak gampang untuk mengurainya kembali. Di satu pihak ada atasan yang mengatakan, “Jangan terlalu percaya pada anak buah. Anda harus turun tangan dan melakukan inspeksi sendiri”. Namun sebaliknya, kita sangat menyadari bahwa ‘rasa percaya’ harus kita tumbuhkan bila ingin mengembangkan tim virtual begini.

Begitu pentingnya rasa percaya, sehingga berbagai disiplin ilmu, baik para neuroeconomist,  behavioral economists dan para psikolog sosial mempelajari berbagai teknik dan cara untuk mempelajari tumbuhnya rasa percaya. Namun, kita bisa menemui individu yang walaupun  sangat berniat untuk mengembangkan rasa percaya ini, tetap tidak mudah mempercayai orang disekitarnya. Bisa saja ia tidak percaya pada ‘fairness’ dan keterbukaan atasannya sendiri, maupun tidak mempercayai apa yang dilaporkan anak buahnya. Bila saja separuh karyawan di sebuah organisasi mempunyai perasaan yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya atmosifr kerja di lingkungan tersebut.

{mosimage}

To Trust is Human

Pada mahluk lain, rasa percaya itu beroperasi secara intuitif, namun manusia mengembangkan rasa percara sebagai fungsi otak. Segera setelah dilahirkan, bayi sudah bisa membaca mimik pengasuh atau ibunya, bahkan sudah memalingkan muka ke arah suara yang dikeluarkan ibunya. Seorang psikolog sosial mengatakan: “We’re born to be engaged and to engage others, which is what trust is largely about.” Meskipun para ahli juga menemukan bahwa ada zat tertentu yang secara rutin di produksi kelenjar tubuh kita yang berfungsi menghubungkan kondisi emosional dengan hubungan sosial yang positif, yaitu oksitosin, para ahli tetap berkeyakinan bahwa rasa percaya memang tumbuh secara rasional.

Hal lain yang perlu kita pahami juga adalah dari sebuah penelitian terhadap sejumlah mahasiswa, didapatkan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa penilaiannya benar. Dengan demikian, setiap individu cenderung tidak mengkonfirmasi ulang penilaiannya. Selain itu, manusia juga sering didominasi oleh ilusi semacam unrealistic optimism di mana keyakinan bahwa semua hal yang baik-baik akan terjadi pada dirinya. Hal ini kadang menghambat pikiran kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap penilaian yang kita buat. Disadari atau tidak, kita memang sering mempunyai kecenderungan yang menetap. Apakah terlalu curiga atau sebaliknya terlalu percaya. Tantangan kita adalah secara sadar menjaga, mengevaluasi dan menuntut penilaian kita untuk mengolah, bekerja keras dan tidak mengambang.

Kirimkan Sinyal

Pada tahun 1980-an, ketika komputer masih dianggap barang mahal, Hewlett Packard membuat kebijakan, bahwa karyawannya diijinkan membawa pulang laptopnya masing masing untuk bekerja di rumah. Pesannya jelas. Perusahaan percaya pada karyawannya. Signal ini langsung mewarnai kayakinan karyawan akan perusahaannya dan seketika berdampak pula pada keyakinan karyawan pada anggota tim lain, seperti atasan dan teman kerjanya.

Rasa percaya memang beresiko. Bila kita melancarkan kritik, kita malah bisa ‘dipukul balik”. Bila kita menyampaikan “brutal facts”, tak jarang malah bernasib: “messenger get killed”. Curhat pada teman yang salah bisa berakibat gosip beredar. Namun untuk maju, kita tidak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa percaya pada rekan, atasan, perusahaan dan juga negara. Sikap menghindar dan menjauhi orang yang tidak kita percaya, hanya akan berakibat turunnya kinerja tim dan ketidaknyamanan situasi kerja. John F. Kennedy pernah membuktikan bahwa mengembangkan sikap saling percaya berhasil menumbuhkan kolaborasi positif. Dalam pidatonya di sebuah universitas di Amerika pada tahun 1963, ia mengemukakan tentang sifat baik orang Rusia dan betapa ia ingin bekerja sama dengan pemerintah Rusia dibidang persenjataaan nuklir. Pernyataan ini membuat Nikita Khrushchev terkesan dan akhirnya membuka hubungan diplomatik. Dari sini kita belajar bahwa pesan dan sinyal bahwa kita bisa dipercaya dan bisa mempercayai orang lain perlu dilakukan secara sengaja dan juga penuh kesadaran sehingga pihak lain pun sadar bahwa kita tidak ‘main-main” ingin membangun rasa percaya.

(Dimuat di KOMPAS, 12 November 2011)

articles/isi-ulang1.jpg|||0||bottom||

articles/rasa-percaya2.jpg|||0||bottom||

Inspirasi

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sepekan setelah meninggalnya Steve Jobs, banyak orang masih meletakkan foto CEO cemerlang ini ataupun memampangkan logo perusahaan Apple di “profile picture” mereka, seperti facebook, twitter, maupun gadget seperti blackberry. “Tokoh ini nampak begitu sulit dilupakan, beliau begitu menginspirasi”, begitu ungkap banyak orang. Kita terinspirasi tidak hanya dengan karya, tapi juga berbagai pidato, prinsip dan seruan yang diungkapkan olehnya. Betapa kita diingatkan bahwa kita perlu memanfaatkan waktu selagi masih hidup. Kita pun diingatkan untuk berdialog dengan diri sendiri. Betapa Steve membakar diri kita dengan slogan sederhana tetapi penuh makna: “stay hungry, stay foolish”. Di sini kita bisa merasakan betapa energi satu orang bisa mempengaruhi begitu banyak orang dengan kekuatan pribadinya. Kita kemudian bertanya-tanya, apakah orang sekaliber Steve Jobs ini memang sulit ditemui sehingga kelangkaannya begitu terasa dan berdampak besar dalam hidup kita?

Orang atau pemimpin yang bisa menginspirasi dan membawa perubahan memang akan selalu kita kenang. Salah seorang putra teman saya, menyimpan kumpulan pidato Bung Karno bahkan sampai hafal semua judul dan ungkapan-ungkapannya. Anak muda ini tidak pernah menyaksikan bung Karno dalam keadaan hidup, namun hanya terinspirasi oleh nama besar dan jalan pikirannya. Michelangelo dan  Leonardo de Vinci menggugah para ahli matematika, ilmuwan, seniman serta penyair lainnya untuk berpikir “beda”, sehingga masa mereka hidup kemudian dinamakan jaman Renaisance: the Scientific Revolution. Inspirasi mereka tidak hanya mengubah persepsi dan cara pikir orang di sekitarnya saja, tapi juga dunia. Orang yang inspiratif seolah bisa merasuk dan menghipnotis pikiran kita, sehingga kata-katanya teringat terus. Inspirasi yang kita terima, membuat kita ingin mengembangkan diri, melakukan lebih dari keadaan sebelumnya. Di sisi lain, kita bisa juga menyaksikan pemimpin, pejabat atau atasan yang tidak membawa dampak dalam hidup kita. Kata-katanya, pengumumannya, pidatonya seolah lewat begitu saja, tidak menggelitik kita untuk memikirkan apa yang diungkapkan ataupun mengadakan dialog dengan diri sendiri. Mengapa ada orang yang bisa begitu kuat menginspirasi namun sebaliknya ada orang yang seolah hanya punya ‘pepesan kosong’ dalam ekspresinya?

{mosimage}

Obsesi yang Penuh Passion

Orang yang mampu menginspirasi orang lain, tentunya mempunyai kekuatan ekstra. Para  ‘speaker’ yang menyebutkan diri mereka ‘motivator’ sekalipun, tidak selamanya mampu mengubah hidup pendengarnya secara signifikan. Seorang ahli mengatakan bahwa orang seperti Martin Luther King yang berhasil mempengaruhi kaum kulit hitam maupun putih mengenai persamaam hak, mempunyai obsesi yang tidak pernah lepas dari dirinya. Obsesi ini sudah melalui penolakan orang, keraguan, bahkan tidak jarang menyebabkan individu dipenjara.  Buah pikiran yang dibawa ke mana-mana dan mengalami cobaan kiri kanan ini akan dengan sendirinya menjadi kuat, keras, besar, bergreget bahkan mulia, karena mewarnai seluruh kehidupan pribadi dan pembicaraan-pembicaraan serta ‘sharing’ kita dalam pergaulan.

Orang yang mampu menginspirasi orang lain, juga memberikan gambaran mengenai masa depan yang lebih baik, positif dan cerah. Oprah Winfrey, selalu obsesif mengenai pengembangan kepercayaan diri setiap individu, walaupun individu yang mengalami trauma seberat apapun. Orang yang inspiratif mengajak masyarakat untuk menyadari kenyataan, membuka mata lebar-lebar, sekaligus memberi alasan-alasan yang bisa diterima agar tetap optimis. Itu sebabnya kita tidak mungkin berhasil menginspirasi orang lain bila apa yang kita katakan tidak tercermin dalam kehidupan pribadi kita. Seorang ahli mengatakan:” if you really want to inspire others to do something then this ‘something’ should be a big part of your life.”

Inspirasi adalah Kualitas Hidup

Dalam kehidupan kerja, bermasyarakat dan berbangsa yang tidak pernah lepas dari berbagai tantangan dan masalah, jelas kita butuh orang yang bisa menginspirasi untuk melakukan perubahan dan mengambil tindakan nyata. Setiap individu sebetulnya bisa menjadi orang yang inspiratif, tidak perlu menunggu punya jabatan, jadi pimpinan ataupun menunggu tua dulu. Anak-anak muda yang baru lulus kuliah dan mengikuti program “Indonesia Mengajar”, terbukti mampu menginspirasi tidak hanya “adik” didik, namun guru serta orang-orang di daerah penempatannya untuk lebih maju. Gerakan mereka pun senantiasa membuat kita terharu dan memaksa kita memikirkan kontribusi yang bisa kita berikan untuk kemajuan bangsa. Ibu saya, seorang ibu rumah tangga biasa, berhasil menempelkan pesan pesan, gaya hidup serta prinsip penting dalam kehidupan putra putrinya, sehingga mampu menyangga kehidupan kami agar ‘stay positive’. Dalam peran kita sebagai orang tua, saudara, karyawan, atasan pernahkah kita berpikir bagaimana kita bisa berguna bagi orang lain dan memberi inspirasi bagi orang lain?

Untuk bisa menginspirasi, hal pertama yang perlu kita pertanyakan pada diri sendiri adalah apakah diri kita terinspirasi oleh pemikiran kita sendiri? Banyak orang lebih sibuk ‘melihat keluar’ sampai tidak pernah memikirkan apakah ia sendiri mempunyai greget terhadap satu prinsip, visi maupun misi tertentu. Kita bisa berkomitmen untuk hidup sehat, menjalankannya, mempengaruhi orang di sekitar, memberi informasi, menolong orang lain melalui apa yang kita yakini, sehingga akhirnya buah pikiran kita itu benar-benar mewarnai diri kita. Hanya dengan sikap hidup dan prinsip yang keras kita bisa menarik kesimpulan dan memperdalam keyakinan kita. Hidup dengan prinsip itu menyebabkan kita memiliki pengalaman seputar prinsip tersebut, sehingga kita bisa berceritera mengenai hal-hal yang menarik dan bisa dipegang oleh orang disekitar kita. Setiap orang perlu berstrategi bagaimana memberi ‘input’ kepada orang di sekitarnya, sambil juga siap menerima masukan, komentar, dan pemikiran mengenai prinsip  yang dikumandangkan. Tidak sulit, bukan?

(Dimuat di KOMPAS, 15 Oktober 2011)

articles/inspirasi.jpg|||0||bottom||

articles/inspirasi2.jpg|||0||bottom||

Kekuatan Daya Pikir

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Steve Jobs sudah meninggalkan kita semua. Kepergiannya diiringi derasnya komentar, mulai dari Presiden Obama, bahkan para kompetitor, mengenai kehebatan cara berpikir serta kapasitas inovasinya. Tidak ada yang menyangkal bahwa Jobs adalah seorang jenius yang sulit tergantikan dan melegenda. Berbagai bentuk kecanggihan teknologi komputer dan gadget yang dulu sama sekali tidak pernah kita bayangkan, nyatanya bisa terwujud dan bisa kita nikmati berkat kejeniusan dan ketajaman pemikirannya. Sedikit banyak, tentu kita berdecak kagum dan tergelitik oleh daya pikir serta spirit inovasi yang ia tunjukkan. Mampukah kita juga menghidupkan spirit inovasi pada diri kita, sehingga kita pun senantiasa bisa memberi nilai tambah pada tim kerja, lingkungan dan bangsa kita?

Di beberapa perusahaan, seperti Apple, kreativitas membuat perusahaan menjadi superkaya karena nilai kreasinya. “In 1996 apple was in debt of 650 million usd, and now they have more cash than the US treasury of 76.4 billion usd”. Kita tentu bertanya-tanya, apakah Steve Jobs melakukan penciptaan ide secara “solo” alias sendirian? Hal ini dijawab oleh seorang ahli manajemen, Scott Black. Ia berkomentar:”The key thing is, this guy is a genius not only at design, but also at tapping into an idea before anyone else.” Jadi kehebatan Steve Jobs adalah pada bagaimana ia memetik buah pemikiran orang lain, kemudian mengolah dan meramunya menjadi ide yang brilian. Ini tentu kabar baik untuk kita semua karena ternyata semua inovasi dan hasil pemikirannya yang hebat, berasal dari sekelompok orang di perusahaan. Donald Blohowiak, penulis buku “How To Lead Your Staff To Think Like Einstein, Create Like da Vinci and Invent Like Edison”, mengingatkan kita bahwa aset perusahaan yang paling penting adalah otak atau pemikiran yang ada di kepala setiap individu. Namun, betapa sering kita tidak mempertanyakan apakah setiap otak di perusahaan itu sudah dioptimalkan?

Kita pasti menyadari bahwa usaha untuk menumbuhkan kreativitas di perusahaan memang bukan tanpa hambatan. Ketika ada usulan mengganti praktek lama ke cara baru, pernahkah kita mengatakan: “Kita tidak pernah melakukan cara seperti itu sebelumnya…” Donald Blohowiak menggambarkan keadaan itu sebagai fenomena “Idea Inertia”, di mana pemikiran dalam kondisi mati suri di perusahaan. Pernahkah kita merasa seolah tidak bisa melihat jalan keluar dari permasalahan yang sedang kita hadapi? Bila ini terjadi, kita juga perlu mengevaluasi apakah birokrasi dan sistem di perusahaan menghambat tumbuhnya kreativitas. Bila kita setuju bahwa kreativitas merupakan jawaban “adding value” bagi perusahaan, berbagai hambatan berpikir bebas ini tentu perlu kita benahi.

 

{mosimage}

Berpikir Mendalam

Beberapa waktu lalu, banyak perusahaan mematikan jaringan internet atau menghalangi karyawan untuk browsing. Akses internet dikhawatirkan akan membuat karyawan sibuk dengan kegiatan yang tidak terkait pekerjaan dan kehilangan fokus dalam bekerja. Namun, kecanggihan teknologi memang tidak bisa dihalangi. Melalui gadgetnya, kini individu sudah terbiasa mencari informasi lewat Google, belanja online atau memesan tiket murah lewat internet. Menyadari bahwa internet juga merupakan gudang ilmu dan sekaligus sumber untuk menemukan berbagai solusi, banyak perusahaan sekarang berbalik mendorong karyawan memanfaatkan internet untuk berbagai kebutuhan kerja. Perusahaan sendiri pun kini terus mencari cara untuk mengoptimalkan dan mengefisienkan proses kerja secara online, baik pencatatan progress kerja, penerimaan order, penerimaan surat lamaran, psikotes, juga penilaian karyawan. Jika derasnya informasi dan kecanggihan sistem internet ini tidak bisa kita bendung, maka kita tentu perlu berstrategi dan menyiasati untuk mengoptimalkan keuntungan dari informasi tersebut, memaksimalkan dampak positif yang bisa kita dapatkan.

Kita tahu beberapa perusahaan sudah tidak menggalakkan perpustakaannya lagi, mengingat informasi yang lebih terkini mengenai segala macam pengetahuan yang dibutuhkan ada di internet. Tidak sedikit perusahaan yang mulai mengelola ‘knowledge management’ untuk mengambil manfaat dari informasi dan ilmu yang ada. Kita tak bisa menutup mata bahwa banyaknya informasi yang tersedia dari internet malah terkadang membuat kita tidak lagi berpikir jauh mendalam. Seringkali, informasi yang diunduh masih mentah dan sebatas apa yang diperlukan saja. Jika kita ingin mendapat manfaat dari internet, kita perlu memikirkan juga seberapa seriuskah kita memfasilitasi dan mendorong individu untuk mengolah informasi yang ada menjadi ‘insight’, pemahaman, fokus dan penilaian yang lebih dalam?

Ajak Individu Berpikir

Semua orang tahu bahwa “thinking is the core of most professional work”. Namun, betapa sering kita mengalami kegiatan brainstorming direspon oleh anggota tim secara sopan, tetapi tidak melahirkan terobosan yang berdampak. Kita tahu bahwa setiap individu, selain memiliki pemikiran juga pasti menganut nilai dan keyakinan tertentu. Kebutuhan individu pun berbeda, sehingga pikiran setiap individu berbeda. Bila kita ingin memahami individu, kita juga perlu mendalami persepsi dan cara berpikir setiap orang. Kepandaian Steve Jobs justru pada menemukan esensi dari bagaimana para anggota timnya ‘melihat’ suatu gejala. Justru dari keberbedaan persepsi inilah kita bisa mengintegrasikan beberapa pemikiran baru ke dalam solusi dan terobosan berpikir.

Bila para professional tidak di’tagih’ pemikirannya dan tidak diminta untuk mengendapkan semua pengetahuannya, berpikir, menganalisa dan mengeluarkan beberapa ide, seringkali daya pikir yang ada tidak membuahkan hasil apapun. Betapa ruginya bila pengetahuan dan informasi yang ditemukan para karyawan ini tidak diracik dan ditenun agar menjadi informasi yang relevan buat perusahaan dan bisa digunakan serta diimplementasikan. Tantangan kita adalah membangun kebiasaan yang membawa tim ke dalam rasa ingin tahu terus-menerus dan menjadikan kegiatan berpikir sebagai gaya hidup. Saat ini terjadi seolah akan tercipta dorongan untuk menantang status quo dan mendobrak batasan batasan lama yang sudah basi.

(Dimuat di Kompas, 8 Oktober 2011)

articles/kekuatan-daya-pikir_1.jpg|||0||bottom||
articles/kekuatan-daya-pikir_2.jpg|||0||bottom||

Tumbuh

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Negara kita yang saat ini berusia 66 tahun, memang masih bisa dianggap muda dibanding dengan negara-negara yang sudah berabad-abad merdeka. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam hati kecil, kerap terasa kurang adanya ‘progress’ yang nyata. Bila ada progress pun di sana sini terasa timpang, kurang seimbang. Kita sadari bahwa mendorong negara dan organisasi untuk tumbuh memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak faktor eksternal yang begitu sulit dikontrol. Dengan keadaan sekarang yang begitu kompetitif, pertumbuhan yang stabil bahkan bisa tidak terasa sebagai pertumbuhan. Ada anggapan, bila kita mengerjakan hal yang sama dengan yang biasa kita kerjakan dalam 5 tahun terakhir, bisa dipastikan perusahaan akan mengalami penurunan kinerja. Ini berarti, kita tidak boleh nyaman menjalankan “business as usual”. Perusahaan atau bahkan negara, perlu memikirkan pertumbuhan secara terpisah dari sekedar menjalankan apa yang sudah direncanakan.

Kita semua setuju bahwa industri telekomunikasi adalah industri yang baru, tempat para C-generation berkarya. Namun sadarkah kita bahwa tetap harus ada yang diperbaharui dari praktik-praktik yang kita terapkan sekarang? Apa jadinya perusahaan Apple, bila Steve Jobs pada tahun 1996 tidak kembali dan melakukan perombakan? Apakah mungkin kita akan menikmati I pad 2 yang akan segera disusul dengan I pad 3? Ungkapan Steve, bahwa ia ‘tidak happy’ dengan kerjasama yang selama ini berjalan mulus. Ungkapan bahwa ia merasa bosan dengan prosedur yang standar dan hasil yang dicapai perusahaan, memang cukup membuat karyawan terkejut, bahkan merasa aneh. Namun, untuk tumbuh kita memang perlu melakukan perubahan yang ekstrim. 

Kita perlu mensadari bahwa pertumbuhan bukan sekedar menyangkut strategi, keputusan, kepemimpinan dan risiko. Pertumbuhan terutama menyangkut diri kitanya sendiri. Bila kita hanya bermain di masa kini, tentu kita tidak bisa berharap akan bisa tumbuh dengan optimal. Bila kita sungguh-sungguh ingin mengejar dan menikmati pertumbuhan, kita memang harus berinvestasi pada spirit, ‘mindset’ dan pemikiran-pemikiran baru. Diri kita dan organisasi akan mendapatkan dampak dari peran yang kita mainkan dari diri kita sendiri.

 

{mosimage}

Fokus pada Manusianya

Tidak jarang kita sendiri merasa, bahwa apa yang sudah kita dapatkan, dari hasil brainstorming yang giat, dan kemudian menjadi solusi untuk masanya, perlu kita jaga, dan kita implementasikan secara konsisten. Dengan berhasilnya kita melakukan sesuatu, ada kecenderungan kita untuk mempertahankan cara itu, kalau bisa, seumur hidup. Mana pernah kita mempunyai keyakinan bahwa pada saat sistem ini kita terapkan kita sudah harus beranjak untuk menemukan expertis, tantangan, bereksperimen, dan bahkan melakukan ‘trial dan error’ baru untuk menghadapi masa depan yang sulit diprediksi. Sayangnya, pasar tidak diam. Alangkah bahayanya, bila kita merasa bahwa perusahaan sudah bisa mempraktikkan cara-cara secara autopilot, tak perlu banyak pembenahan apalagi bila sudah mencetak laba.

Kita menyaksikan betapa awalnya perusahaan-perusahaan telekomunikasi pernah mati-matian membuka pasar dan berhasil meng-’cover’ pasar seluler yang kemudian sudah bergulir sendiri. Namun belakangan, banyak kita lihat pemain seluler yang hanya bisa berperang harga, tanpa bisa memberi nilai tambah yang bisa dijual ke pelanggan. Dari kenyataan ini kita belajar bahwa sekuat-kuatnya modal dalam hal finansial ataupun perangkat keras lainnya, tetap yang paling penting adalah manusianya dalam organisasi. Bila mentalitas manusianya tidak digarap, dengan mudah organisasi akan kehilangan derap untuk tumbuh. Bila proses pembelajaran mandeg, mandeglah juga spirit untuk berkembang. Bila macetnya kerjasama dianggap sebagai suatu hal yang lumrah dan tidak diprioritaskan untuk dibenahi, kita harus siap menanggung dampak turunnya produktivitas dan profit.

Ide Baru Saja Tidak Cukup

Tuntutan untuk berpikir kreatif dan inovatif saat sekarang ternyata tidak cukup. Banyak perusahaan sampai membuat “boot camps” agar semua isi pikiran kreatif bisa menelurkan inovasi. Namun, alangkah seringnya kita menemukan ide-ide yang setengah masak, alias sulit diimplementasikan, bahkan tidak “strategic fit”. Jika kita menelaah, segera kita bisa melihat bahwa ketuntasan mengimplementasikan ide baru lebih disebabkan karena sikap ragu untuk mengganti praktik existing, ketakutan akan kegagalan, sikap “bukan tugas saya”, serta terlalu banyak “silo”. Proses-proses manusiawi di dalam organisasi ternyata tetap yang nomor satu untuk dibenahi. Kita harus meyakini bahwa pertumbuhan organik di dalam jiwa manusia di setiap organisasilah yang menjadi penentu kemajuan perusahaan.

Inovasi yang menggebrak sudah pasti menjanjikan “added value’ yang besar. Perubahan arah dan semangat transformasi sudah pasti menghentikan kebiasaan kebiasaan lama yang ada. Namun, tidak secara otomatis individu dalam organisasi mempunyai persepsi dan terjemahan yang seragam terhadap sasaran dan cara mencapainya. Ada orang yang lari untuk mengejar sasarannya, tetapi ada juga yang ragu-ragu dan agak mengerem langkahnya. Tantangan kita adalah menggaungkan arah dan sasaran bersama ini ke seluruh organisasi. Bila sasarannya relevan, jelas dan berguna bagi kepentingan umum, maka individu dalam organisasi pasti akan mengerakkan spirit dan energinya untuk menuju sasaran itu sehingga kemungkinan suksesnya lebih terjamin.  Peluang masih terbentang luas, di luar apa yang sedang kita tekuni. Kita harus tumbuh pesat dan cerdas menyambut peluang tersebut.

(Dimuat di KOMPAS, 1 Oktober 2011)

articles/tumbuh1.jpg|||0||bottom||
articles/tumbuh2.jpg|||0||bottom||

It’s Complicated

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mendengar atau membaca berita di media massa belakangan ini, seringkali malah membuat kita jadi tidak bisa melihat apa permasalahannya dengan jelas. Sebut saja, asal muasal pengeroyokan wartawan yang simpang-siur, sampai-sampai kita sulit menggambarkan situasi yang ada dengan jelas. Belum lagi masalah korupsi yang saling tuding, saling menghindar, saling terkait dan komentar berbagai pihak yang saling timpal-menimpali, sehingga kita tidak tahu lagi siapa yang benar, apa yang salah, bahkan sampai-sampai tidak bisa melihat bagaimana masalah tersebut harus diselesaikan. “Kompleksitas” situasi, saat ini memang sudah menjadi kata yang populer di dunia  politik, binis maupun pergaulan. Kerap orang menggambarkan kerumitan permasalah yang ada dengan meminjam istilah populer di akun facebook, mengenai status hubungan pribadi:”it’s complicated”.

Situasi yang membingungkan, disadari ataupun tidak, sering dijadikan ‘excuse’ bagi para eksekutif yang gagal. “Bagaimana saya bisa fokus, bila setiap pos berkaitan satu sama lain?”, “Bagaimana saya mempertanggungjawabkan suatu kegagalan, bila kesuksesan saya sangat tergantung pada orang atau bagian  lain?”. Ya, situasi yang kompleks memang dihadapi oleh hampir semua orang. Bila kita tidak bisa berpikiran jernih dengan mudah kita melihat permasalahan seperti ‘lingkaran setan’, tidak bisa kita uraikan lagi. Masalah banyak dan ‘challenging’, jawabannya seolah yang tidak ada. Ada orang yang kemudian menjadi dengan enteng mengemukakan: “Masalahnya terletak di…”, tanpa merasa berkewajiban mengemukakan solusinya. Ada pula atasan yang merasa tidak perlu bertanggung jawab apalagi mengundurkan diri, bila bawahannya berbuat kesalahan. Kompleksitas sesungguhnya bukan sekedar merupakan keadaan yang perlu kita hadapi, tetapi kita jugalah yang memegang peranan dalam menciptakan situasinya. Dengan demikian, kita sebetulnya juga punya tanggung jawab untuk mengurai dan menemukan esensi serta solusinya.

Banyaknya keberbedaan di masyarakat, apakah itu pendapat, nilai maupun pandangan, menyebabkan orang yang berusaha mensimplifikasikan masalah kerap sulit mendapatkan solusi, bahkan ujung-ujungnya bisa dianggap tidak responsif. Di sisi lain, kita sadar bahwa respons yang tidak berhati hati, sering mengakibatkan kita tidak mampu memprediksi hasilnya. Standar yang sebenarnya dibuat untuk menyamakan “bahasa”, sekarang malah muncul dalam berbagai versi. Standar profesi, yang dikeluarkan oleh negara di Eropa, belum tentu diakui di Amerika, demikian pula sebaliknya. Jadi situasi yang:”ever-increasing uncertainty” dan sulit dibaca ini memang terjadi dimana-mana dan menyebabkan para analis keuangan atau politik pun sulit mengambil kesimpulan. Logika sebab-akibat sudah tidak bisa digunakan lagi. Solusi yang kita gunakan hari ini, mungkin sekali basi dalam waktu yang dekat. Pertanyaanya, sampai kapan kita akan membiarkan diri tenggelam dalam kompleksitas situasi, tanpa urgensi untuk menghadirkan solusi?

 

{mosimage}

Berpegang pada Fakta

Beberapa pimpinan perusahaan, entah disadari atau tidak, sering mengambil kebijakan yang merugikan karena tidak sabar melihat perkenbangan perusahaan, misalnya saja mengadu 2 divisi atau channel distribusi. Dalam industri manufaktur, terkadang ada kebingungan untuk mengikuti standar internasional versus respons terhadap pasar lokal. Pejabat yang mengajukan ide pemberantasan korupsi secara tidak lengkap atau individu yang memberi komentar “asal-asalan” mengenai cara penanggulangan kemacetan, tak jarang menuai caci maki habis-habisan di media. Itu sebabnya kita memang perlu senantiasa belajar berpegang pada fakta yang mendukung sebelum menyikapi kompleksitas yang ada.

Tidak salah bila dalam tahap awal kita mengeluarkan berbagai hipotesa penyebab masalah yang ada. Dalam berbagai metode perbaikan kualitas pun kita diajarkan untuk mengidentifikasi semua hal yang bisa menjadi penyebab masalah. Namun, jangan lupa bahwa ujungnya tetap kita harus memilih satu-dua akar masalah yang paling mendasar dan mencurahkan energi dan fokus kita untuk menyelesaikan hal-hal yang mendasar itu.

Keyakinan Diri sebagai “Guiding Star”

Bersikap kalang kabut dan menjawab kompleksitas dengan kompleksitas sudah pasti bukan solusi yang baik. Perusahaan ABB pernah membuat struktur organisasi berbentuk matriks yang bersisi 6, tak lama sesudahnya kembali menyederhanakannya. Bila kompleksitas ini tidak bisa diurai, maka kita perlu kembali menelaah diri kita sendiri yang justru adalah pos yang bisa kita kontrol. Bila saja kita tetap mengacu pada sebuah “guiding star” yang jelas, maka kita bisa mempunyai cakrawala yang lebih jelas dan paling tidak bisa menentukan prioritas. Seorang ahli manajemen menyatakan : “Ramalan cuaca juga tidak pernah benar 100 %. Tetapi adanya ancaman bencana tetap  banyak dimonitor oleh ramalan tersebut juga”. Ada masanya memang kita tidak perlu kejelasan yang benar benar factual. Kita cukup mempunya Dos dan donts yang jelas, sehingga tidak terperosok ke hal hal yang tidak termasuk jalur aman. Selebihnya kita tentunya tetap maju menuju sasaran yang sudah kita canangkan.

Ketika di perjalanan kita mendapatkan ‘warning’ bahwa situasi sedang tidak ‘aman’ maka kita memang perlu menentukan plan B. Namun, “Purpose and values” yang kuat akan membuat kita kokoh, dan lebih tahan banting menghadapi kompleksitas ini. Pada akhirnya kita akan tampil sebagai orang yang berkeyakinan tinggi dalam menghadapi segala macam situasi.

(Dimuat di Kompas, 24 September 2011)

articles/its-complicated1.jpg|||0||bottom||
articles/its-complicated2.jpg|||0||bottom||

Mendesain Masa Depan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang peserta program “management trainee” yang baru saja menyelesaikan berbagai pendidikan dan pembekalan, dengan suka cita siap menerima tugas barunya. Ia merasa sangat dihargai karena pimpinan divisi mengumpulkan semua staf dan memaparkan kembali tentang misi perusahaan, tantangan-tantangan yang dihadapi, bagaimana posisi perusahaan saat ini serta bagaimana para karyawan bisa membuat ‘impact’ yang mengena pada kinerja perusahaan. Di akhir sesi, ternyata ia malahan bingung mengenai apa yang diharapkan darinya dan bagaimana ia harus mengaitkan semua yang dipaparkan dalam tugasnya sehari-hari nanti, “Saya tidak paham benar apa yang beliau katakan. Bagi saya, semua seperti teori, namun tidak menggambarkan apa yang saya lihat di lapangan.” Apakah Anda familiar dengan situasi serupa ini? Betapa sering kita melihat strategi perusahaan dipaparkan dalam bahasa yang canggih, namun pada kenyataannya sering tidak 100% dimengerti.

Kita tahu,  mendesain strategi itu sangat penting untuk mengarahkan kita pada tujuan. Bagaimana mungkin kita akan bisa menang saat “berperang” melawan kompetitor jika tidak didukung strategi yang matang? Bagaimana kita bisa menjamin tidak akan dilibas oleh para pesaing, bila masing-masing individu bingung harus berbuat apa dan harus bergerak ke mana? Bila kita melihat strategi perusahaan sering tidak bisa diimplementasikan dan tidak bisa membuat individu dalam organisasi bergerak, kita tentu perlu mengecek, apakah strategi yang disusun diatas kertas, bisa diijalankan di lapangan? Kita tentu tidak ingin, strategi yang dibuat dengan bahasa keren dan dikemas cantik berwarna-warni malah membingungkan dan hanya bisa menghasilkan gerak minim pada organisasi. Pertanyaannya, mengapa strategi sering demikian berjarak dari ‘real world’ yang dihadapi karyawan sehari-hari?

{mosimage}

Pentingnya Memperkuat Imajinasi

Bekerja dengan arsitek senior, Tan Tjiang Ay, membuat saya belajar banyak. Beliau tidak menyajikan banyak usulan gambar, namun meminta saya untuk secara mendetil menggambarkan semua kebutuhan dan kegiatan di dalam gedung yang akan kami tempati. Dari tidak mengenal aktivitas kami sama sekali, beliau jadi mengerti dan bisa membayangkan kesibukan yang akan terjadi di dalam gedung tersebut, bahkan memberi komentar-komentar dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai efisiensi. “Saya membutuhkan pemahaman ‘intuitif’-imajinasi yang lengkap dalam pemikiran- saya, sehingga saya bisa mendesain sebuah wadah kegiatan yang tepat”. Pada akhirnya, bangunan yang dibuat ‘terasa’ pas, sangat fleksibel terhadap perubahan dan tampak sederhana. Kecanggihannya terletak pada jawaban-jawaban tersembunyi terhadap kebutuhan manusia yang berada di dalam gedung. Kita lihat, seorang desainer yang piawai tidak semata berpikir ‘outside the box’, namun perlu bisa berimajinasi kuat-kuat. Imajinasi penting karena karena desain yang kita buat adalah untuk menyambut masa depan, bukan untuk  kebutuhan sekarang.

Seorang pakar manajemen menggambarkan betapa orang sulit menggambarkan perbaikan kualitas di jaman sebelum dikemukakan Edwards Deming. Kekuatan dari Edwards Deming adalah ia bisa membayangkan, menggambar dan akhirnya menemukan apa itu namanya ‘kontrol kualitas’ dan bagaimana mengembangkannya. Dari sini kita melihat bahwa dengan gambaran dan visualisasi yang jelas, orang menjadi sadar dan tergerak untuk meningkatkan kualitas dan punya arah untuk menggarapnya lebih lanjut. Dengan pendidikan hitung-hitungan yang dominan, kita para professional kerap tidak dilatih untuk berpikir menjadi desainer. Oleh karena itu, organisasi perlu serius untuk menumbuhkan kegiatan berpikir desain ini. Strategi organisasi perlu disusun agar setiap orang dalam organisasi ikut berpikir dan bisa mengimajinasikan sasaran, sehingga mendorongnya untuk menjadi inovatif. Perangkat lunak, sistem, proses bisnis, sistem logistik, semua perlu di desain. Desain yang dibuat bisa berbelit-belit, namun juga bisa ringkas. Desain yang tidak sempurna sangat bisa menimbulkan banyak masalah. Bila kita tidak menyadari bahwa masalahnya ada pada desain, kita tidak akan berpikir bahwa banyak sekali perbaikan yang bisa kita buat.

Kenali “Real-World” dari Berbagai Sudut Pandang

Seorang CEO menceriterakan bahwa setelah beliau berkeliling ke berbagai cabang di seluruh Indonesia, beliau akhirnya mempunyai gambaran yang berbeda mengenai organisasinya.  Contohnya, bibit-bibit pemimpin yang oleh departemen Human Capital-nya kerap dikatakan tidak ada, dengan mudah ia temui di antara karyawan-karyawan di cabang yang ia kunjungi. Jane Fulton Suri, dalam bukunya Thoughtless Acts?, mengatakan: "Directly witnessing and experiencing aspects of behavior in the real world is a proven way of inspiring and informing new ideas.” Bayangkan, betapa sering kita membuat strategi atau keputusan lainnya, berdasarkan asumsi saja, tanpa “feel’ yang kuat terhadap apa yang terjadi di   -nya.

Kita tidak bisa lagi berdiam di dalam “sepatu” kita saja, tanpa membuat waktu untuk merasakan pelanggan dan mengalami sendiri kejadian-kejadian di pasar. Untuk memperkuat visualisasi, para pejabat, misalnya di perkeretaapian, harus sudah pernah merasakan bepergian dari Jakarta ke Rangkasbitung dan mempunyai wawasan mengapa orang bersedia menantang bahaya dengan naik ke atap kereta. Para kepala cabang juga perlu secara teratur mengobservasi situasi banking hall atau bahkan turun langsung menjadi frontliners, agar bisa memahami tantangan nyata yang dihadapi anak buahnya sebelum berceramah mengenai apa yang harus dilakukan oleh tim ujung tombak itu.

Dalam menjawab kebutuhan yang senantiasa berubah, kita juga perlu mengembangkan diri sebagai manusia tipe “T”. Tonggak vertikalnya melambangkan kekuatan profesinya, sementara tiang horisontal menggambarkan kekuatan untuk menjangkau disiplin ilmu lain. Bila kedua tonggak ini tidak direntang baik-baik, tentu sulit tercipta keseimbangan. Kita perlu tim yang berisi individu yang terbuka mengeksplorasi pandangan profesi lain. Ahli perkeretaapian, perlu meminta pendapat ahli sosiologi, antropologi dan psikologi untuk menanggulangi kapasitas transportasi yang tidak seimbang. Setiap profesional perlu memaksa dirinya untuk menjadi observer yang tajam, melihat apa yang belum dilihat orang. Kita perlu melihat tidak sebatas dengan mata saja, tetapi menggunakan seluruh panca indera dan seluruh pemikiran. Brainstorming di ruangan tertutup hendaknya diikuti dengan menerjunkan karyawan ke lapangan, agar wawasan semakin terbuka dan panca indera tiap orang dirangsang sehingga ide- ide yang datang bukan ide-ide mentah, tetapi dekat dengan kenyataan di pasar dan pelanggan.

(Dimuat di Kompas, 17 September 2011)

articles/mendesain-masa-depan1.jpg|||0||bottom||
articles/mendesain-masa-depan2.jpg|||0||bottom||

Mentalitas Entrepreneur

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Apa yang pertama kali terlintas di benak Anda saat mendengar istilah “mentalitas entrepenur”? Banyak orang langsung mengartikannya sebagai mentalitas pedagang yang berorientasi meraup sebanyak-banyaknya untung dan tujuannya “UUD” alias “ujung-ujungnya duit”. Dengan pengertian ini, banyak orang yang secara halus ataupun terang-terangan menolak untuk mengembangkan mentalitas entrepeneur. Ada yang merasa tidak berbakat, ada pula yang menilai mentalitas ini tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ia pegang karena ia lebih mengunggulkan nilai-nilai lain ketimbang berfokus pada upaya untuk mencari uang saja. Sebagian orang beranggapan bahwa entrepreneur atau wirausaha adalah sebuah profesi atau alternatif profesi, ketika misalnya ia sudah pensiun. Dengan pandangan yang sempit mengenai kewirausahaan, tak heran bila kita melihat banyak orang yang banting setir menjadi wirausahawan malahan tidak berhasil.

Istri teman saya, yang suaminya bekerja sebagai pegawai negeri, mempunyai sebuah kebiasaan positif. Setiap menempati pos baru, ia mengajak suaminya bersilaturahmi ke tetangga baru dan para pejabat di kota itu. Setelah berkeliling selama satu minggu, sang istri biasanya sudah akan mengantongi beberapa murid yang berminat belajar bahasa Inggris dan belajar merangkai bunga di rumahnya. Sang istri yang berprofesi sebagai guru les ini, selain happy, nyatanya juga berpenghasilan lebih dari gaji suami sehingga keluarga hidup nyaman dan tidak berkekurangan. Kita lihat bahwa nafas berwirausaha tidak sebatas ada pada para pedagang atau pengusaha. Seorang ibu rumah tangga yang berprofesi sebagai guru les saja bisa mempunyai semangat berwirausaha dan tidak pernah kehilangan kesempatan. Mentalitas wirausaha ini sebetulnya ditandai dari adanya semangat berprestasi dan kejelian menangkap serta menciptakan peluang untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Apakah semangat entrepreneur yang demikian ampuh ini tidak perlu dikembangkan dalam diri para karyawan dan pekerja kantoran?

Dalam keadaan ekonomi di mana kemapanan sudah tidak ada lagi, kita memang selalu akan dituntut untuk melakukan perbaikan. Perbaikan selalu bermuara pada kebutuhan pasar dan juga inovasi produk yang menjawab kebutuhan tersebut. Seorang pemilik perusahaan atau CEO memang dituntut untuk berpikir kreatif, melihat jalan keluar dan menemukan produk-produk baru. Namun, bila perusahaan dipenuhi karyawan yang menjauhi mentalitas entrepreneur, siapa yang akan mengusung misinya dan mengimplementasikan ide-ide si pucuk pimpinan? Apakah perusahaan bisa survive bila dalam kultur perusahaan tertanam faham bahwa yang perlu berpikir secara wirausaha, hanya individu bagian tertentu saja atau bahkan cukup si empunya perusahaan dan CEO-nya? Bukankah para karyawan-lah yang akan menggerakkan roda perubahan bisnis yang disuarakan oleh para pucuk pimpinan?

 

{mosimage}

Ukuran Sukses

Dalam organisasi besar, di mana manajemen kinerja sudah dikembangkan dengan mantap, ukuran sukses kerap dihubungkan dengan pencapaian KPI (key performance indicator). Kita tahu bahwa memastikan pencapaian KPI adalah hal yang sangat penting dan positif, namun kita tentu sadar bahwa perusahaan kita ada di ambang masalah bila banyak karyawan berpuas diri dengan mengatakan: “Pokoknya, KPI kami sudah tercapai.” Kita pasti segera menyadari bahwa bahwa mekanisme fleksibilitas, menyusun prioritas, mendahulukan kepentingan pelanggan, mengendus perubahan pasar dan mengetatkan barisan karena serangan kompetitor tidak bisa dijamin oleh pengukuran-pengukuran ini.

Mengembangkan mentalitas entrepreneur berarti mengajak setiap individu untuk melihat dirinya sebagai profesional sukses, di mana kesuksesan tersebut sambung menyambung dan terus hidup untuk menyambut tantangan baru. Pengusaha kripik home-industry di kota Bandung, yang bisa meraup keuntungan puluhan juta rupiah per hari, mengungkapkan bahwa mereka mengembangkan pemasaran dari para rekan-rekan dan karyawan yang mereka sebut sebagai “jendral”. Para “jendral” dengan mentalitas entrepreneur yang terus berpikir kreatif inilah yang menghidupkan bisnis dan terus memperluas jaringan. Hal ini bisa dilakukan dengan membangkitkan rasa percaya diri dan memberi tanggung jawab kepada individu sehingga setiap orang bisa merasakan seolah dirinya adalah mesin produksi yang selalu memutar roda giginya dan berkata pada dirinya sendiri: “Saya Bisa! Saya Bisa!”

Menciptakan Sukses

Pengertian sukses sebagai profesional sekarang perlu mengacu pada konsep diri yang lebih dalam. Kita tidak bisa lagi mengembangkan konsep diri sebagai ‘ambtenar’ yang menunggu instruksi dari ‘pusat’ atau ‘atas’. Setiap individu, apapun dan di manapun posisinya, harus sudah menjadi pemain dalam bisnis yang dijalankan perusahaan. Ini berarti kita sendiri yang mesti punya visi mengenai seperti apa kita nantinya di masa datang. Dengan sasaran pribadi yang jelas, kita otomatis akan lebih siap untuk menguatkan intensitas kerja dan lebih tahan terhadap kesulitan yang menghadang. Paradigma bahwa perusahaan yang bertanggung jawab untuk menyediakan sukses karir, kenaikan pangkat, penambahan fasilitas, sudah usang. Sukses karir hanya bisa dijamin oleh diri sendiri. Semua orang tahu bahwa kesempatan itu sebenarnya ada, bahkan gratis, tetapi harus ditemukan. Inilah salah satu inti dari mentalitas entrepreneur.

Kita juga perlu sadar bahwa kesempatan hanya bisa diraih oleh individu yang sudah punya ancang-ancang. Daud tidak mungkin bisa mengalahkan Goliat, bila ia tidak beribu kali berlatih bermain katapel. Itu sebabnya kerja keras, berlari kencang, bekerja dengan ‘passion’ sudah harus ‘standby’ ketika kesempatan datang. Tidak ada yang mengatakan bahwa mengembangkan mentalitas entrepreneur ini hal yang mudah. Namun, sikap mental yang sekedar menunggu sudah jelas tidak mendapatkan tempat lagi di kancah persaingan profesi sekarang ini.

(Dimuat di KOMPAS, 10 September 2011)

articles/entrepreneur.jpg|||0||bottom||
articles/entrepreneur1.jpg|||0||bottom||

Mentalitas Pengikut

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di saat maraknya perayaan “tujuh-belasan” seperti sekarang ini, melalui media dan dalam pembicaraan sehari-hari, kita senantiasa dibawa untuk mengingat kepahlawanan para pejuang kemerdekaan. Kita pun merasa ini saat yang tepat untuk memikirkan kualitas kepemimpinan. Sayangnya, dalam obrolan mengenai kepemimpinan ini, banyak sekali olok-olok dan cercaan yang muncul, entah itu mengenai karakter, kebijakan ataupun lemahnya kontrol dari para pemimpin yang menyebabkan perubahan urung terjadi. Semua orang setuju, bahwa baik-buruknya suatu institusi, perusahaan atau bahkan negara, tergantung dari pemimpinnya. Beberapa orang yang menuding kesalahan dan ketidakefektifan para pemimpin, kerap berteori: “Suasana kepemimpinan di Indonesia masih masih paternalistik, sehingga peran pemimpin bahkan semakin kuat pengaruhnya”. Di saat semua mata menyoroti kelemahan para pemimpin, adakah kita juga terlintas untuk mencermati peran para pengikut? Bila dipikir-pikir, bukankah para pengikut yang justru berperan untuk mendukung gerakan dan menjalankan “action” yang distrategikan oleh pemimpin? Mana mungkin seorang pemimpin merealisasikan visi, misi dan sasarannya, bila pengikutnya tidak menjalankan  instruksi sesuai  pemikiran, prinsip, ‘passion’ dan irama yang diinginkan?

Handry Satriago, Presiden General Electric Indonesia, dalam pidato disertasinya mengatakan pentingnya memahami para pengikut. “Followership studies are still limited and it has important role in the process of leadership formation and can improve  performance of the leaders." Kita sering lupa bahwa, tanpa pengikut, pemimpin tidak ada. Seorang pemimpin baru bisa eksis, bila ada pengikut, meskipun hanya satu orang sekalipun. Perilaku dan sikap pengikut akan menentukan kualitas kepemimpinannya. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan baru efektif bila para pengikutnya patuh penuh pada atasan, tidak suka protes, tidak sering bersuara sumbang? Bukankah duet Soekarno-Hatta, juga konon sering berseberangan prinsip, tidak selalu  diwarnai kepatuhan Bung Hatta sebagai bawahan? Bahkan Stanley Milgram, tokoh yang melakukan penelitian psikologi klasik mengenai kepatuhan, menyimpulkan bahwa kepatuhan buta bisa sangat berbahaya. Jadi, bagaimana idealnya peran pengikut yang bisa mendukung suksesnya kepemimpinan dan efektif mendorong perubahan?

{mosimage}

Pengikut Aktif

Sering kita mendengar cerita mengenai organisasi di mana manajemen menengahnya frustrasi menghadapi manajemen senior yang sulit dipengaruhi untuk pembaharuan organisasi. Anak-anak kemarin sore yang begitu haus inovasi dan ingin mencoba tantangan baru, kerap tidak bisa bergerak karena ide-idenya banyak ‘dimentahkan’ oleh pimpinan organisasi. Para senior yang selalu berpidato mengenai perubahan dan menganggap dirinya ‘change agent’ sering  kembali ke praktik-praktik lama yang memang membuat mereka tetap nyaman dan ‘tidak usah repot-repot’. Bahkan, bila diantara  kelompok senior ada yang sedikit melawan arus dan membawa misi dari yang muda-muda untuk melakukan perubahan, tidak jarang kemudian si senior tadi dianggap orang yang memang sudah waktunya untuk  pergi. Beginilah alur proses tidak terjadinya inovasi. Para senior berperan sebagai “roadblock’ bukan ‘road’ bagi inovasi. Bagaimana tidak, individu yang melawan ditumpas, sementara orang yang menurut akan dipuji dan dianggap potensial. Kita harus sadar bahwa budaya keseragaman, kebiasaan berkelompok ibarat burung yang melakukan perilaku yang sama bisa menyebabkan organisasi, baik bisnis maupun pemerintahan, tidak inovatif. Apa jadinya kalau semua pengikut hanya bersikap ‘yes-man’ saja. Padahal, dari segi jumlah saja, pengikut pasti sudah memiliki kekuatan pikir yang jauh lebih besar daripada satu orang pemimpin saja Bukankah akan terjadi kesenjangan komitmen yang memberatkan pemimpin? Kita tentu harus berhati-hati agar tidak membentuk pengikut atau bawahan yang cuma menunggu perintah dan tidak menggunakan daya pikirnya sendiri untuk memecahkan masalah. Organisasi seperti ini, sangat rentan serangan dan persaingan, karena tidak adanya kekuatan di tubuh organisasinya.

Saat ini, masyarakat kita tampaknya terbiasa menengok “ke atas” terlalu banyak, menumpukan harapan pada pemimpin secara berlebihan. Kita terlalu sibuk mencintai kepemimpinan, sampai tidak mempedulikan kualitas diri kita sebagai pengikut. Bukankah dengan cara ini kita mengakui bahwa kita adalah pengikut yang lemah? Kita kerap lupa melatih diri kita sendiri dan bawahan kita untuk menjadi pengikut yang kuat, yang tidak menurut saja, yang berdiri tegak dan memprotes bila ada praktik yang janggal atau merugikan. Kebiasaan untuk berpikir keras ini seharusnya kita lakukan sejak berada di posisi yang paling bawah sekalipun. Bukankan sebuah ‘learning organization’ hanya dimungkinkan bila seluruh organisasi belajar, mempertanyakan, bersikap kritis dan berpikir aktif?

Followership is leadership

Pemimpin yang jagoan, tentunya sangat mengerti bahwa ia hanya akan ‘survive’ melalui anak buahnya. Bukan ‘power over’ tetapi lebih ‘power through’ anak buahnya.  Dalam keadaan yang semakin kompleks dan membingungkan, pemimpin yang mampu menciptakan suasana terbuka, penuh pendapat dan komunikasi yang jujurlah yang akan mampu menyusun kekuatan, ‘active engagement’ dan enerji dalam kapasitas penuh. Kepemimpinan yang matang mengembangkan bawahan, anggota kelompok ataupun rakyat yang percaya diri, merespek diri dan orang lain, serta jujur secara rasional maupun emosional. Hanya dengan cara ini, para pengikut bisa memberi kontribusi nyata, memiliki ‘ownership’ terhadap masalah dan situasi yang terjadi, serta berinisiatif untuk memecahkan masalah. Bukan menjadi pengikut seperti robot. “It may be that we are puppets-puppets controlled by the strings of society. But at least we are puppets with perception, with awareness.” Stanley Milgram.

(Dimuat di KOMPAS, 20 Agustus 2011)

articles/pengikut1.jpg|||0||bottom||
articles/pengikut2.jpg|||0||bottom||

Introspeksi

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ramadhan memang bulan yang istimewa! Bagi warga Jakarta, kemacetan lalu lintas yang kerap membuat kita tidak berhasil berbuka puasa di tempat yang dituju, membuat bulan ini bahkan semakin istimewa. Istimewanya, kemarahan dan kekesalan yang selama ini sudah sama-sama kita sadari sebagai cobaan, semakin meningkat. Bisakah kita menjadi lebih sabar selama puasa? Kita tahu, rasa lapar seringkali bisa ditanggulangi, tetapi bagaimana dengan keadaan emosi kita? Amarah yang kerap tidak tertahan, pendapat atau kata-kata yang sering dikeluarkan tanpa pikir panjang, serta pengambilan keputusan yang tidak matang, adalah hal-hal yang pasti merugikan. Bisakah kita memanfaatkan bulan istimewa ini untuk betul-betul mengasah diri kita agar berkembang dan tidak menjalankannya hanya sebagai rutinitas? Bagaimana kita mengambil manfaat dari momentum ini lebih lanjut?

Di media sosial, banyak ungkapan yang membesarkan hati mengenai manfaat puasa. Ada yang mengatakan puasa membuat kita semakin cantik. Banyak pendapat yang sudah juga membuktikan bahwa dengan berpuasa tubuh memperbaiki metabolismenya dan mekanisme ‘detox’ terjadi dengan sendirinya. Hal ini adalah ‘hadiah’ alami yang bisa kita rasakan. Namun demikian, banyak hal yang yang bisa kita manfaatkan dan tidak bisa kita dapatkan secara otomatis, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional kita. Teman saya pernah mengatakan, bahwa kebiasaan puasa senin kamis membuat dia lebih peka. Artinya, hal-hal yang tidak dirasakan sebelumnya, tiba-tiba bisa ia rasakan. Bisakah kita juga memanfaatkan puasa untuk mempertajam indera dan melatih kesadaran kita?

Kita tahu, para ahli psikologi sudah lama membagi kesadaran ke dalam 3 lapisan. Ada tingkat kesadaran yang bisa terlihat, terdengar dan terasa seketika. Ada tingkat sub-sadar, yang bisa kita ketahui bila kita berusaha keras untuk memfokuskan pikiran, namun bila tidak kita gali akan terpendam, bahkan tenggelam ke tingkat yang lebih dalam yaitu ke ketidaksadaran. Orang yang lapisan ketidaksadarannya tebal, sering tidak tahu bahwa ia sedang membohongi diri sendiri, tidak bisa melihat kesalahannya sendiri dan sebagai akibat sulit berubah. Dalam filsafat India, hubungan antara kesadaran dan ketidaksadaran ini sering diibaratkan dengan manusia yang menunggang gajah. Manusia ibarat kesadaran, gajah ibarat ketidaksadaran. Pertanyaannya: sanggupkah manusia, si kesadaran, mengendalikan “si gajah”, ketidaksadaran, yang lebih besar dan ‘powerful’. Ternyata, hal ini hanya bisa dilakukan bila kita rajin melakukan observasi diri, dan menelaah isi pikiran, keinginan, situasi, serta ‘rasa’ kita, sehingga kita berkenalan bahkan menjadi familiar dengan ketidaksadaran kita yang kebanyakan berisi hal-hal yang tidak enak dan negatif. Sudah pasti latihan menelaah ketidaksadaran ini akan sangat bermanfaat.

{mosimage}

Refleksi : Menyusun Kekuatan

Fakta psikologis mengatakan bahwa pengembangan karir seorang profesional atau manajer sangat bergantung pada konsep dirinya. Ini sebabnya proses memotret diri, kesadaran untuk menggali umpan balik, menelaah dan memanfaatkan hasil asesmen psikologi, serta memanfaatkan kegiatan coaching dengan optimal adalah hal yang sangat penting dalam pengembangan karir individu. Orang yang tidak mempunyai gambaran yang jelas mengenai dirinya, “self-image”-nya, maupun persepsi orang lain terhadap dirinya, akan sulit mengembangkan diri. Apakah kita lamban atau terburu-buru? Apakah kita kurang berkomunikasi? Apakah kita sering salah paham? Seberapa besar kita mempunyai hasrat utuk selalu menang? Sadarkah kita akan dampak dari sikap dan perilaku serta karakter kita pada lingkungan dan pada proses pencapaian hasil kerja?

Idealnya, ‘Aku’ dibalik layar, ‘Aku’ yang berada di realitas dan ‘Aku’ yang dikenal orang, kita sadari semaksimal mungkin. Contohnya, bila seseorang sedang marah, dia bisa menyatakan dengan jelas bahwa dia marah, tetapi bila ada yang mengatakan bahwa ia marah-marah, belum tentu ia mengakui bahwa sikapnya demikian. Dalam ilmu psikologi situasi ini disebut sebagai “I syndrome” di mana orang hanya melihat apa yang ingin ia lihat dan hanya mengandalkan persepsinya. Bahkan, ia pun tidak mendengarkan perasaannya, padahal perasaan selalu mewarnai keputusan keputusannya. Dari sini kita bisa belajar, betapa pentingnya kita berkenalan dengan ketidaksadaran melalui kesadaran kita. Dengan kemampuan ini kita akan terlatih untuk meningkatkan kontrol diri yang akan berpengaruh pada kekuatan mental kita.

Komit pada “Action Plan”

Kontrol diri tidak akan bermanfaat bila kita tidak menindaklanjuti dengan agenda perubahan. Pemahaman pengertian tentang emosi, perasaan kita, perlu kita ikuti dengan komitmen pada diri sendiri untuk berubah. Bila kita berjanji, pada saat marah tidak akan “marah-marah”, maka kita bisa mengatakan kepada sahabat karib kita untuk selalu mengingatkan bila hal ini terjadi lagi. Bila kita mengakui bahwa kita punya kecenderungan menyalahkan orang lain dalam suatu masalah, kita bisa berjanji untuk selalu bertanya dahulu pada diri saya sendiri: ”Apa kontribusi saya dalam masalah ini?”, sebelum melihat kesalahan pada pihak eksternal. Perubahan selalu berat, bahkan sering gagal. Namun penyadaran diri hanya bisa dianggap aktif bila terjadi peningkatan pada kebiasaan dan cara kita menghadapi situasi. Bayangkan berapa kali kita sudah mengalami bulan Ramadhan dan berapa kali kita sebetulnya mempunyai kesempatan mengembangkan diri. Dengan berada dalam kondisi sebulan penuh berpuasa, maka kesempatan kita untuk mengumpulkan kekuatan refleksi ini menjadi semakin besar. "…why should we not calmly and patiently review our own thoughts, and thoroughly examine and see what these appearances in us really are?" (plato)

(Dimuat di KOMPAS, 13 Agustus 2011)

articles/instropeksi1.jpg|||0||bottom||
articles/instropeksi2.jpg|||0||bottom||