Bela Diri

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sungguh menarik memperhatikan beragamnya reaksi orang saat menghadapi kritik, kegagalan dan kekurangan dirinya. Di sebuah rapat perusahaan, begitu grafik melorot angka pencapaian target ditayangkan, banyak pihak langsung melancarkan aksi bela diri. Ada yang mempertanyakan apakah data yang ditampilkan akurat atau tidak. Ada yang sudah siap dengan alasan panjang lebar untuk mengalihkan perhatian orang dari dirinya. Ada juga yang tanpa sadar “kill the messenger”, dengan mengatakan: “ah, menurut orang lain tidak begitu”. Tidak sedikit yang mengatakan “terimakasih masukannya”, namun dengan nada sinis sehingga pemberi masukan merasa tidak nyaman lagi.

Bila posisi kita sebagai penonton dan tidak terlibat langsung dengan situasi kegagalan, kita biasanya lebih mudah menganalisa reaksi bela diri yang ditunjukkan orang lain. Saat melihat ada orang yang reaksinya cuek seakan tidak mendengar, pura-pura tidak tahu atau bahkan menyerang balik pemberi kritik, kita kerap berkomentar,”Apa sih salahnya mengaku salah? Mengapa tidak langsung memperbaiki diri saja? Bukankah kita untung kalau masih menerima masukan?”. Sebaliknya, pernahkah kita menganalisa bagaimana biasanya kita bereaksi saat menghadapi kritik tajam? Apa reaksi awal saat ide atau proposal kita ditolak? Bagaimana kita bersikap saat pekerjaan kita dinilai buruk? Apakah kita biasanya langsung merasa tertohok dan mempertanyakan balik kebenaran fakta-faktanya ataukah kita siap menerimanya sebagai hal yang membangun? Harus kita akui bahwa dalam keadaan terusik, kita memang punya kecenderungan untuk bela diri dan mengamankan diri dengan berkilah, baik secara verbal maupun dalam hati: “bukan salah saya” , atau “bukan saya saja”. Pertanyaannya, sehatkah mekanisme bela diri yang kita lakukan? Apakah kita cenderung membangun benteng pertahanan diri yang begitu tebal sampai umpan balik mental? Seberapa besar kemampuan kita memanfaatkan kritik, kegagalan, kekurangan dengan cara-cara yang sehat sebagai alat untuk meperbaiki diri?

 

{mosimage}

Menjaga Image atau Menggarap Kualitas Diri?

Pribadi manusia atau yang secara populer disebut sebagai ‘ego’, memang mudah terluka dan rapuh. Itu sebabnya mekanisme bela diri adalah hal yang sangat wajar dan manusiawi, karena ego memang perlu dijaga betul agar tidak cedera. Cederanya kepribadian sering disebabkan karena rasa sakit hati, serangan terhadap diri kita, rasa rendah diri, keinginan-keinginan yang tidak terpenuhi dan semua hal yang menyebabkan individu tidak happy. Bila dalam situasi terpuruk, ego berhasil mengembalikan  kepribadian ke dalam kondisi stabil, artinya tidak tersisa luka, dendam, rasa minder, rasa bersalah yang besar, maka kepribadian dikatakan berhasil membentuk lapisan penguat sebagai hasil latihan mental yang sukses. Inilah proses bela diri yang sehat dan mendorong individu tumbuh lebih produktif dan bahagia.

Pentingnya mekanisme bela diri yang sehat membuat kita perlu meluangkan waktu untuk menganalisa, apakah proses bela diri yang kita lakukan sudah tepat dan sehat atau hanya semu dan malah menumpuk masalah. Kita lihat betapa gejala “pointing fingers” marak kita saksikan di berbagai media. Orang yang dinilai melakukan kesalahan banyak yang balik menyalahkan orang lain, pihak lain, situasi ataupun kebijakan. Belum lagi individu yang memproklamirkan bahwa ia adalah “victim” alias korban situasi. Ada juga orang yang senang mengeluarkan sindiran secara agak kekanak-kanakan yang bertujuan untuk menyelamatkan diri dari konflik atau menghindar dari upaya untuk menggarap diri lebih jauh. Misalnya saja, saat ia tidak diterima kerja di sebuah perusahaan, lalu berdalih, “Ah, perusahaan itu bermasalah. Mana bisa diterima kalau tidak ada koneksi..” Bila kita lebih mementingkan menjaga “image” ketimbang menggarap kualitas pribadi, kita bisa terjebak dalam sikap defensif yang kuat. Semakin sering individu membentengi diri dengan berbagai dalih dan alasan pembenaran diri, semakin sulit ia melaksanakan proses mawas diri. Tanpa disadari, akhirnya kepribadiannya seolah tertutup oleh lapisan tebal tanpa kemungkinan ia sendiri menembus dan bersikap jujur terhadap dirinya sendiri.

Perasaan sebagai Senjata Utama 

Mengakui emosi negatif yang kita rasakan kepada orang lain memang terkadang sulit. Namun sesungguhnya, menerima dan mengakui emosi adalah bagian dari melatih mekanisme bela diri yang sehat. Daripada mencari-cari alasan, kita bisa lebih mawas diri bila mengatakan: “Fakta rendahnya target penjualan di divisi saya sungguh membuat saya malu hati.”. Daripada berpura-pura tidak mendengar kritik yang kurang objektif, kita bisa berterus terang mengatakan,”Saya merasa sedih dan sakit hati mendengar komentar yang kamu sampaikan.” Komentar-komentar ini, walaupun terkadang sulit diucapkan, bukan saja membuat kita bisa mawas diri, tetapi membuat kita juga kelihatan ‘fair’ dan simpatik. 

 Kita memang harus menyadari bahwa tidak selalu orang akan bersikap ramah dan sopan. Tidak semua atasan sabar menunggu ‘timing’ yang tepat untuk menegur kita. Tidak semua orang mengerti bagaimana rasanya mengalami kekalahan dan menahan diri untuk tidak memaki maki bila kita, sebagai atlit kalah dalam membela negara. Apa yang harus kita lakukan bila benar-benar terluka dan tersinggung? Seorang ahli menyarankan untuk “back to basic” dan meninjau kembali idealisme dan misi hidup kita yang sudah pasti positif. Seorang teman yang mempunyai bos super galak bisa ‘survive’ dengan sehat karena ia tidak hanya merasa banyak belajar dari atasannya ini, tetapi juga pandai sekali ‘melupakan’ caci maki atasannya dan tetap ceria. Banyak argumentasi objektif yang bisa kita kembangkan untuk menyeimbangkan diri dan membuat diri kita lebih sehat. Kita pun bisa melihat kekurangan kita dengan penuh rasa humor sehingga meringankan beban perbaikan diri.

(Dimuat di KOMPAS, 12 Maret 2011)

articles/beladiri1.jpg|||0||bottom||
articles/beladiri2.jpg|||0||bottom||

Bekerja atau Berkarya

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saat diminta bantuan untuk lembur, beberapa orang karyawan di suatu bagian secara spontan nyeletuk: “Yah…, tergantung imbalannya” Mendengar hal ini, atasan pun berkomentar agar orang yang menolak lembur mengundurkan diri saja, karena melihat mereka sungguh-sungguh tidak memikirkan kepentingan perusahaan dan hanya memikirkan kepentingan diri pribadi saja. Meskipun loyalitas pada perusahaan oleh beberapa pihak dianggap sudah kuno, namun hitung-hitungan pekerjaan tentu sudah lebih ketinggalan jaman lagi. Bila kontribusi yang bersedia kita berikan selalu kita hitung dengan apa yang diberikan oleh perusahaan, bukankah kita sendiri yang rugi karena tidak bisa secara utuh menghasilkan karya terbaik kita? Apakah kita bisa happy bila bekerja dengan separuh hati saja? Bayangkan juga apa jadinya bila para prajurit tidak sepenuh hati membela negara karena hitung-hitungan dengan imbalan yang diterima dari negara.    

Seorang teman yang dikenal sukses dalam menerapkan perbaikan sistem dan pencapaian target, baru menyadari bahwa sudah tiga tahun terakhir semua usulan perbaikannya tidak mendapat persetujuan. Ia pun jadi kehilangan “purpose” dalam pekerjaannya dan mulai mempertanyakan “makna” bekerjanya. Di satu sisi ia tahu bahwa ia sudah memiliki posisi baik dan gaji yang lumayan, sehingga tidak mudah hengkang begitu saja ke tempat lain. Gairahnya untuk memahami manajemen dan menyamakan derap sudah hilang. “Saya kerja semata untuk hidup”, begitu komentarnya. Kita lihat hilangnya gairah kerja bisa terjadi di level manapun, mulai dari pelaksana sampai manajerial. Pertanyaan bagi perusahaan, bisakah kita mengandalkan karyawan yang hanya datang kerja dengan mental dan sikap kerja tanpa gairah seperti ini? Pertanyaan bagi individunya, apakah kita ingin meneruskan hidup tanpa gairah seperti ini?

{mosimage}

Ciptakan & Rasakan “Magic”

Pencipta logo "I © NY", Milton Glaser, pernah mengatakan bahwa bekerja hanya benar-benar di sebut kerja bila kita bisa berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tujuan obyektifnya. Seorang manajer HRD berkata: “Saya ingin zero absenteeism”. Berbagai upaya ia lakukan untuk mencapai targetnya tersebut, mulai dari sosialisasi peraturan, juga melakukan pendekatan persuasi. Ia sama sekali tidak tergantung atasan maupun manajemen perusahaan karena sudah menjadikan sasaran tugas sebagai obsesi pribadinya. Dengan rasa seperti itu, ia merasa bahwa ialah yang menjadi majikan bagi dirinya sendiri. Pekerjaan akan dirasakan sebagai karyanya bukan sekedar tugas. Kita lihat bahwa bila kita meletakkan kerja lebih tinggi dari tujuan objektifnya, kita bisa memiliki spirit, energi dan merasakan hal-hal misterius dan “magic” dari tugas tersebut.

Sebetulnya terkadang kita tidak bisa secara kasat mata membedakan seorang frontliner yang bekerja dengan passion sampai tingkat “artistik” dengan temannya yang sekedar melaksanakan pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Namun demikian, kita bisa melihat dampak dari hasil kerjanya berbeda. Individunya sendiri pun akan merasakan gairah yang berbeda, karena penemuan misteri, solusi, dan tantangan selalu ada dalam tugasnya. Ini membuat pekerjaan menjadi hidup dan eksperimental. Bagaimana dengan pegawai negeri yang terkenal cenderung digaji lebih kecil dari pegawai swasta? Kita lihat seorang petugas pembuat paspor sekalipun ada yang begitu trampil menguasai pekerjaannya dan begitu menikmati pekerjaannya, seolah tidak peduli pada imbalan yang ia terima. Individu seperti ini sudah mengintegrasikan emosi dan ‘passion’ dengan tugasnya. Sasaran kerjanya sangat personal dan bergreget. Kita lihat apapun pekerjaan dan jabatan kita, kita bisa menyusun standar pribadi yang bahkan lebih tinggi dari tuntutan jabatan atau perusahaan. Inilah yang bisa membuat kita merasakan “magic” dan bekerja dengan tingkatan yang lebih tinggi.

Gaya Kerja Relawan

Suatu kali saya mendapat kandidat yang istimewa. Saat wawancara ia bertanya apakah ia boleh memberi usulan perbaikan dan berpartisipasi dalam acara ‘brainstorming’ di perusahaan? Ia juga menggali apakah kalau ada kesempatan ia diperbolehkan menentukan prioritasnya sendiri dan sasaran-sasaran kecil sejalan dengan sasaran yang ditetapkan perusahaan. Alangkah mudahnya perusahaan berkembang bila memiliki kualitas karyawan yang ‘memilih’ cara untuk mencapai kepuasan kerjanya dengan rasa berkarya seperti ini. Guru manajemen, Peter Drucker pun mengatakan bahwa kita perlu memilih karyawan yang bersikap seperti relawan, mempunyai misi pribadi yang jelas, serta bisa memberikan alasan yang kuat mengapa mereka bergabung di organisasi. Karyawan mesti mengenal dan menyukai ‘game’-nya!.

Kita bisa belajar dari Google yang senantiasa mengupayakan rasa bekerja di “perusahaan kecil” pada karyawannya, sehingga apapun upaya yang dilakukan karyawan terdeteksi dan diapresiasi, agar  karyawan tetap kreatif dan berusaha untuk berkarya terus. Pekerjaan tidak lagi kaku dan berkesan formal, namun lebih kental bergaya mahasiswa atau relawan. Dengan gaya kerja seperti ini hubungan satu sama lain juga seperti hubungan dengan ‘teman main’. “Work & play” sudah tidak terpisahkan lagi. Bukannya tidak ada persaingan, tetapi persaingan lebih banyak pada keinginan untuk melebihi teman kerja dalam keunggulan karya dan buah pikiran masing masing. Hal yang sering dilupakan pemberi kerja adalah bahwa setiap individu mempunyai potensi untuk menjadi idealis. Dengan memberi kesempatan agar para karyawan berkarya sesuai dengan hal-hal yang dia anggap benar, mereka akan tumbuh lebih percaya diri dan berani mengembangkan idealisme profesinya. Tanpa perlu mengadakan Quality Control secara sengaja dan terpisah, seluruh karyawan sudah memperbaiki, bahkan bersikap kritis terhadap kualitas kerja. “Being a part of something that matters and working on products in which you can believe is remarkably fulfilling”. Life is beautiful.”Ini komentar CEO Google.

(Dimuat di Kompas, 26 Feb 11)

articles/bekerja-berkarya1.jpg|||0||bottom||
articles/bekerja-berkarya2.jpg|||0||bottom||

Menembus Dinding Pemisah

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Meskipun berada dalam satu atap atau bekerja di bawah satu bendera, kita sering melihat situasi sulitnya individu dalam dua departemen yang berbeda bekerjasama. Seorang ‘account officer’ bank berteriak marah ketika menceriterakan betapa pihak kantor pusat menggampangkan dan mengabaikan peringatannya untuk memperbaiki servis pada nasabah. Sebagai akibat, nasabah menarik seluruh dananya dari bank. “Apa sih salahnya ikut memikirkan kepuasan pelanggan? Sekarang kalau nasabah lari, siapa yang mau menanggung tidak tercapainya target cabang kami?”

Di perusahaan lain di mana distribusi merupakan tulang punggung kelancaran servis pada pelanggan, sikap mementingkan kepentingan sendiri juga menjadi masalah sehari-hari. Permintaan cabang untuk ‘meminjam’ stok barang cari cabang lain kerap tidak diluluskan oleh cabang tersebut. Alasannya, mereka khawatir kalau stok mereka sendiri habis, sehingga tidak bisa melayani pelanggan di cabangnya. Alhasil, lagi-lagi pelanggan dikecewakan dan perusahaan pun rugi. Kita lihat, upaya mementingkan diri sendiri atau divisi sendiri seolah menutup mata para karyawan akan pentingnya nilai pelayanan pelanggan yang senantiasa digaung-gaungkan. Padahal, kita semua tahu, hidup mati perusahaan ditentukan oleh kepuasan pelanggan.

Gejala “silo”-ing’ seperti ini memang sangat berbahaya, apalagi bila dibiarkan berlarut-larut. Seorang kolega, dalam sebuah kesempatan meeting tim, menganjurkan anak buahnya untuk tidak membeberkan borok divisi sendiri. “Masih banyak support dari divisi lain yang bisa kita beberkan”, ungkapnya. Bila hal ini terjadi di perusahaan yang sangat besar, tentu kita bisa lebih memaklumi. Namun, di  perusahaan dengan karyawan sejumlah 50 orang saja hal ini sangat bisa terjadi. Padahal, kita semua tahu bahwa cara paling jitu untuk mengefisienkan layanan kita adalah dengan mengurangi birokrasi dan menguatkan integrasi horizontal. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing bila antar divisi dalam perusahaan tidak ada upaya saling memahami, saling menolong, tidak adanya empati dan kesulitan untuk bekerjasama secara ‘seamless’? Hal yang dipentingkan pelanggan adalah kebutuhannya terpenuhi dan ia mendapat solusi atas permasalahannya. Jika itu tidak diperoleh, dengan mudah mereka beralih ke tempat lain. Pelanggan mana mau tahu tentang cara kita berorganisasi, berkomunikasi dan berkoordinasi.

{mosimage}

Tema Sasaran Bersama

Target yang terukur tentu saja hal yang positif karena bisa memotivasi kita untuk bergerak. Namun, bila kita terpaku pada target kuantitatif, misalnya saja target penjualan, kita bisa jadi seperti memakai kacamata kuda, berusaha untuk mencapainya tanpa peduli caranya. Inilah yang sering menjadi sumber ketegangan antar divisi. Sering terjadi satu pelanggan diperebutkan oleh beberapa cabang dalam satu perusahaan. Bisa juga pihak sales membuat janji pada pelanggan tanpa memikirkan kesulitan yang akan dihadapi oleh “back office”. Terkadang komunikasi macet hanya sampai di satu bagian, padahal kebutuhan pelanggan seharusnya diketahui oleh pihak atau divisi lain. Bila terjadi kesalahan, saling tudinglah yang langsung terjadi.

Keadaan cakar-cakaran seperti ini tentu harus dihentikan. Perusahaan yang lebih maju, tidak semata membuat target penjualan dan laba, tapi juga mengusung sasaran bersama yang berbentuk tema. “Kita sedang mengurangi tingkat kesalahan ‘order-processing’” atau ‘Kita sedang me’refresh’ pengetahuan kita tentang kebutuhan pelanggan”. Sasaran tematik ini ampuh untuk merekatkan bagian satu dengan yang lain, walaupun setiap divisi pasti mempunyai indikator prestasinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, kita bisa menemukan “common ground” yang membuat kerjasama antar divisi jadi lebih harmonis. Dengan semakin terbiasanya karyawan dengan sasaran kualitatif, mereka pun akan juga mulai berpikir  bukan sekedar uang, tetapi juga kualitas kerja. Bahkan, lebih jauh lagi, kualitas hidup. Gaung tema untuk jangka pendek tentu perlu juga ditunjukkan oleh komitmen pimpinan tertinggi, tidak bisa hanya ditugaskan kepada bagian kecil perusahaan yang bertugas mengumandangkan komunikasi ke seluruh perusahaan. Hanya dengan meng’cascade’ hal–hal kualitatif beginilah kita bisa mengembangkan hubungan yang lebih encer dan obyektif.

Bangun Kapasitas

Tentu kita pernah menemui petugas frontline yang salah melayani pelanggan, karena  kemampuannya yang terbatas. Sebelum kita menuduh ia tidak mau bekerjasama, kita sebaiknya memperhatikan, apakah teman kita ini tahu cara bekerja sama, tahu apa yang ditugaskan kepadanya dan sejauh mana pengetahuan yang ia miliki tentang penyelesaian masalahnya. Orang yang terpaku pada tugasnya saja dan tidak berkesempatan untuk melihat rantai pelayanan secara menyeluruh, bisa tampil sebagai orang yang ‘tambeng’ dan tidak mau tahu.

Kita memang tidak bisa menutup mata akan ungkapan: “Old habits die hard”, yang sering disinggung oleh para ahli “change management”. Hanya dengan pelatihan intensif yang  bersifat ‘multi-domain’ dan ‘boundary-spanning’ baru kita bisa berdansa dengan perkembangan jaman. Kita harus memastikan bahwa ‘manpower’ kita siap berkooperasi, bekerja sama dan berkoneksi dengan baik. Bukankah kita sendiri sering menyaksikan orang yang ngotot dan menekankan perbedaan sebagai orang yang ‘hilang akal’ atau tidak berkapasitas? Ini saatnya kita kembali dan terus menghidupkan semboyan yang sangat genius: Bhineka Tunggal Ika. Jika kita tidak mengembangkan kapasitas diri, hanya memikirkan diri sendiri, tanpa memikirkan kepentingan bersama, akan terpecah-pecahlah spirit kita.

(Dimuat di KOMPAS, 19 Feb 2011)

articles/menembus1.jpg|||0||bottom||
articles/menembus2.jpg|||0||bottom||

Generasi Elektronik

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Setiap generasi pastinya memiliki kekhasannya sendiri. Kita tidak bisa menutup mata bahwa perbedaan ini tak jarang menjadi sumber ketegangan. “Saya kapok mempekerjakan ‘fresh-graduate’. Saya lebih suka bila mereka belajar dulu di tempat lain barang setahun, agar mengetahui tata karma bekerja. Mereka perlu mendapat ‘coaching’ super ketat dari atasannya. Jujur saja, saya tidak sanggup melakukannya” demikian ungkap seorang manajer terhadap para “milenial” yang sebenarnya terkenal kreatif dan “tech-savvy”. Ada manajer lain yang mengeluh,”Universitas sekarang tampaknya tidak membuat para lulusannya menjadi pribadi yang matang. Seingat saya, saya lebih matang saat berusia 20 tahun.”

Kesejangan generasi memang sangat biasa terjadi. Gaya komunikasi, pola asuh dan kemajuan teknologi sudah jauh berbeda dari tahun ke tahun. Kita mengenal generasi yang baru dengan sebutan macam-macam: Generation Next, Net Generation atau Echo Boomers. Generasi ini, seperti generasi Beatles alias Flower generation pada masanya, banyak diberi komentar negatif  oleh generasi sebelumnya. Ada yang menyebutkan generasi sekarang lebih tidak bertanggung jawab, tidak bisa ‘ditembus’ dalam komunikasi dan tidak ‘komit’ dalam menghadapi pekerjaan. Benarkah itu? Bukankah di sisi lain kita melihat di era sekarang, teman-teman yang masih berusia di bawah 30 tahun bisa masuk dalam jajaran 100 orang terkaya di dunia? Banyak dari mereka juga terbukti lebih mandiri dalam bekerja dan menghasilkan karya-karya kreatif. Kita juga tidak bisa menutup mata bahwa para “Gen Y” ini sejak lahir sudah melek teknologi, sehingga mereka lebih mendominasi penyebaran informasi dengan media baru.

Bila di era The beatles generasi muda populasinya 11-12 % dari seluruh penduduk dunia, maka sensus terakhir menunjukkan bahwa mereka sekarang mengambil 24% dari populasi dunia. Kita pun pasti menyadari bahwa dalam kurun waktu tidak lebih dari satu dekade, mau tidak mau, kepemimpinan perusahaan akan dialihkan pada generasi ini. Masihkah kita menghindar dari kebutuhan untuk lebih memahami dan bekerjasama dengan generasi muda ini? Apalagi kita semakin menyadari bahwa saluran komunikasi akan beralih dari yang konvensional ke saluran komunikasi yang saat sekarang dikenal oleh generasi muda. Tidak ada pilihan lain, kecuali berusaha menjembatani kesenjangan ini dan mencari cara-cara baru dalam berkomunikasi dan berorganisasi dengan generasi baru.

 

{mosimage}

Generasi ‘Autis’ yang Semakin Sosial

Seorang karyawan berbakat yang dikenal mampu melakukan multitasking, kreatif, santun dan selalu dengan tekun menghadapi komputernya, tiba tiba mengajukan pengunduran diri.  Ketika ditanyakan alasannya, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa ‘bergaul’ di tempat kerjanya. Sebenarnya pernyataan ini cukup aneh, mengingat ia memang adalah pekerja mandiri dan memang tidak dituntut untuk banyak berkomunikasi verbal. Walaupun berbakat pendiam, ia memang terlihat aktif memainkan ponsel dan “blackberry”-nya terus menerus dan selalu muncul dengan komentar-komentar lucu di Twitternya. Kita lihat betapa kebutuhan interaksi sosial mereka begitu tinggi, tanpa harus bertatap muka.

Kita mungkin bisa lebih berempati bila membayangkan betapa generasi sekarang tumbuh ketika  komunikasi dan informasi bisa didapatkan dengan cara yang mudah dan murah. Hal inilah yang menyebabkan mereka mempunyai pandangan yang berbeda mengenai kesempatan. Bagi mereka, kesempatan memang sangat tidak berbatas. Bila sebelumnya kita memiliki hambatan untuk meng-global, tidak demikian dengan mereka. Anak muda sekarang biasa menembus jaringan tanpa batas, sehingga tumbuh menjadi generasi yang multikultural, interaktif dan kolaboratif dengan caranya sendiri. Mereka pun lebih mudah antusias terhadap apa saja yang ada dihadapannya, walaupun mungkin tidak terlalu tahu substansinya. “Ah, kita browse saja di internet”, itu keyakinan mereka. Mereka yang memang sudah tech savvy jadi lebih optimistis, lebih ‘care’ terhadap komunitas dan bahkan biasa  menjadi ‘multi tasker’ kronis. Dengan ditunjang kemudahan teknologi dan cara-cara interaksi personal, generasi muda sekarang memang berbeda secara bumi dan langit dengan generasi gaptek, penuh struktur dan berbirokrasi. Pertanyaannya, sampai kapan kita mau menstres perbedaan antara bumi dan langit ini? Mengapa justru kita tidak melihat tantangan untuk memanfaatkan talenta baru misalnya untuk untuk menemukan hal–hal yang dulu tidak terpikirkan oleh kita? Sebaliknya, kita juga perlu mawas diri tentang cara berkomunikasi kita, karena teman-teman muda kita ini mempunyai lifestyle digital dan juga sangat tribal dan terlibat dalam kelompok sosial kecil maupun besar.

Tembus Kesenjangan dengan Belajar

Dari mana Anda belajar mengenai kecanggihan komunikasi digital? Banyak sekali orang tua yang belajar memakai laptop dan membuka account facebook atau twitter karena bantuan anak, bahkan cucu mereka, bukan? Hasil survey menyebutkan bahwa 40% dari generasi non-Y belajar mengenai I-tunes, My space, You-tube dari adik-adik “GenY”.  Hal ini merupakan fakta bahwa ada jalan yang mudah  untuk menembus kesenjangan generasi ini.

Time Warner, perusahaan yang dikenal sangat kreatif ini pun memanggil mentor-mentor yang terdiri dari mahasiswa untuk mengajarkan bagaimana menulis blog, memposting video di You Tube dan memanfaatkan media-media baru untuk  memperkaya imajinasi  dan mendapatkan ide ide segar. Sebuah perusahaan konsultan yang berusia lebih dari 100 tahun pun mempercayakan  situs web komunikasi internalnya pada para management trainees yang belia. Hal ini disambut hangat oleh para senior dan bahkan menghasilkan peningkatan motivasi kerja yang sangat signifikan. Jadi, isunya adalah bukan menunggu mereka ‘behave’ dan menyesuaikan diri dengan kultur  lama yang sudah berlangsung, tetapi justru belajar dari teman-teman baru tentang hal-hal yang memang sudah merupakan keharusan untuk dikuasai.

Generasi baru yang terkenal pembosan ini juga menyukai tantangan. Mereka bisa diberi tugas-tugas riset yang menarik. Kita juga melihat betapa mereka pun menguasai cara-cara marketing elektronik yang banyak tidak dikenal yang langsung bisa kita manfaatkan untuk inovasi. Kitalah yang harus mempersiapkan organisasi untuk merangkul generasi selanjutnya. Kalau kita selama ini men-cap mereka tidak siap, pertanyaannya: mungkinkah kita yang tidak mempersiapkan diri menyambut mereka? 

(Dimuat di KOMPAS, 12 Februari 2011)

articles/generasi-elektron1.jpg|||0||bottom||
articles/generasi-elektron2.jpg|||0||bottom||

Keyakinan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mari kita melakukan refleksi diri sejenak. Apakah Anda termasuk orang yang yakin bahwa tahun ini pekerjaan, keluarga, ekonomi, sosial dan politik akan menjadi lebih baik? Atau, sebaliknya meyakini bahwa situasi akan semakin sulit dan bertambah sulit? Kita tahu namun seringkali lupa betapa keyakinan akan mempengaruhi hal-hal yang terjadi pada diri kita. Orang yang meyakini  bahwa dirinya memiliki hal-hal positif pada dirinya, pasti melihat masa depan dengan lebih optimis dan bersemangat, ketimbang orang yang meyakini bahwa dirinya memiliki kualitas bodoh atau malas. Sadarkah kita bahwa keyakinan adalah bahan penting dalam ramuan pengembangan pribadi kita? Bagaimana keyakinan kita terhadap kinerja perusahaan, kebijakan yang dibuat pimpinan kita, kebijakan pemerintah, serta aksi politik para pejabat? Perlukah kita memupuk keyakinan?

Semua tingkah laku kita dilatarbalakangi oleh tumpukan keyakinan yang kita pegang. Ketika belajar melompat dari papan 4 meter di kolam renang, kita yakin bahwa kita akan selamat, bahkan menikmati pengalaman tersebut. Saat memilih sekolah, kita tentu mengikuti keyakinan bahwa sekolah tersebut akan memberi bekal ilmu yang kita butuhkan. Begitu pula saat memilih karyawan, juga pemimpin. Kita tentu memilih seorang karyawan atau pemimpin karena keyakinan kita bahwa ia memiliki kualitas-kualitas diri positif yang akan bisa membawa kemajuan bagi organisasi, juga bangsa. Keyakinanlah yang memberi kekuatan untuk mengambil risiko, bertindak dan membuat keputusan. Keyakinan terkadang bekerja seperti “magic”. Saat kita sakit, kemudian pergi ke dokter langganan, seringkali kita langsung merasa sembuh meskipun belum diperiksa. Hanya dengan keyakinan positif kita berani menggantungkan nasib kita kepada banyak orang di sekitar kita, seperti supir taksi, guru sekolah, penjual makanan, karyawan, dan pemerintah. Mengapa tidak kita terus mengembangkan dan menularkan keyakinan positif pada diri kita dan lingkungan kita, jika kita mengetahui bahwa keyakinan positif akan membawa kebaikan bagi kita semua?

 

{mosimage}

Dampak Keyakinan

Pada suatu masa, manusia pernah meyakini bahwa bumi merupakan pusat tata surya. Belakangan disadari bahwa keyakinan itu keliru. Banyak keyakinan yang salah, padahal sudah dianut oleh manusia selama berabad-abad. Ketika Columbus mengungkapkan bahwa bumi itu bulat, semua orang pada masa itu mencemooh. Belakangan baru kita ketahui kebenaran dari apa yang diyakini oleh Columbus. Keyakinan adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh manusia saat ia merasa cukup tahu dan menyimpulkan bahwa dirinya telah mencapai kebenaran. Karena keyakinan merupakan suatu sikap, maka keyakinan seseorang tidak selalu benar — atau, keyakinan semata bukanlah jaminan kebenaran. Berarti, keyakinan yang kita miliki juga harus senantiasa dievaluasi dan diuji agar tidak menyesatkan dan menjerumuskan kita ke dalam sikap, tindakan dan pengambilan keputusan yang keliru.

Banyak orang mempertahankan sistem pembayaran tradisionil karena tidak meyakini penggunaan e-banking atau bahkan m-banking. Keyakinan yang sifatnya emosional ini bahkan bisa mempengaruhi orang saat bekerja. Bila seseorang yakin bahwa hitungannya sering salah, maka ia melakukan penghitungan berulang-ulang. Sebaliknya orang yang yakin bahwa ia telah bekerja dengan hati-hati dan menghasilkan hitungan yang benar, bisa menghemat banyak waktu karena tidak perlu selalu melakukan kerja ulang. Oleh sebab itu, perubahan perlu dilakukan tidak sebatas level tindakan, tapi mulai dari keyakinan yang paling dalam.

Bagaimana dengan keyakinan kita dalam berprofesi? Di universitas, tak jarang para senior menularkan sikap skeptis yang mempertanyakan alat, teori, bahkan praktik yang akan diimplementasikan. Hal ini tentunya wajar asalkan berakhir pada keyakinan berprofesi yang tepat dan berguna. Namun, sangat menyedihkan bila melihat banyak profesi yang ditinggalkan para sarjananya, karena tidak yakin akan manfaatnya, baik dalam kehidupan profesional maupun pribadi. Bukankah hal ini berdampak sangat besar sehingga bisa mematikan industri? Universitas memang perlu menjadi lembaga di mana keyakinan berprofesis tumbuh subur, namun individu pun mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan keyakinan tentang apa yang dilakukannya, berlatih sampai kemudian menjadi ahli dan piawai.

Keyakinan Positif adalah Pilihan

Kita seringkali dihadapkan pada situasi yang tidak bisa kita pilih. Kita tidak bisa dengan mudah memilih untuk pindah ke kota lain. Kita tidak bisa dengan mudah memilih untuk ganti pekerjaan. Kita juga seringkali tidak bisa leluasa memilih rekan kerja, klien ataupun boss kita. Tapi, kita perlu ingat bahwa kita bisa memilih emosi kita, apalagi keyakinan. Begitu kita menanamkan keyakinan, kita akan berfokus pada apa yang bisa dikerjakan dan apa yang mungkin terjadi. Saat kita menumbuhkan keyakinan positif, hambatan dan penyimpangan akan kita hayati sebagai bagian dari tantangan. Pendapat kita bisa dianggap remeh atasan, bisa juga tidak disetujui. Namun bila kita memiliki keyakinan bahwa ide dan pendapat kita bertujuan baik dan bermanfaat, tentu kita bisa bertahan, tetap tegar dan bersikap positif.

Sangat disayangkan melihat dalam banyak situasi masyarakat kita tumbuh dalam sikap skeptis. Tidak jarang kita mendengar ada orang yang mengungkapkan keyakinan negatif, misalnya “tidak ada orang jujur yang bekerja di lembaga-lembaga tertentu.”, “Setiap petugas hanya akan memberi servis bagus, bila diberi “uang pelicin”, atau “Setiap proyek perbaikan ujung-ujungnya menjadi ajang korupsi dan tidak mungkin berhasil.” Bisa kita bayangkan betapa kesalnya kita, kalau menjadi pembuat program atau penerima tanggung jawab yang belum-belum sudah tidak mendapat restu dari masyarakat atau calon pengguna program. Sikap skeptis dan tanpa keyakinan ini tentu saja sangat berbahaya. Bila kita dari awal sudah tidak mendukung perubahan, tidak meyakini jalan keluar, bahkan menunjukkan sikap berlawanan, bayangkan apa yang akan terjadi? Keyakinan negatif, perlahan tapi pasti menggerogoti keinginan untuk berubah. Bisa jadi, disinilah sumber kegagalan kita dalam mencanangkan perubahan. Bila kita bertanya-tanya, mengapa situasi tidak berubah, bahkan bertambah buruk, seharusnya kita bertanya pada diri kita sendiri dulu, apakah kita mendukung dan menanamkan keyakinan  positif untuk mewujudkan perubahan?

(Dimuat di KOMPAS, 29 Januari 2011)

articles/keyakinan_1.jpg|||0||bottom||
articles/keyakinan_2.jpg|||0||bottom||

Krisis Kreativitas

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Keadaan ekonomi yang masih terpuruk, tingkat pengangguran yang masih tinggi, keamanan dan tingkat kejahatan yang tetap marak di sekitar kita, tentu saja kerap membuat kita frustrasi. Mengapa kita begitu sulit keluar dari situasi ini? Masalah yang kita hadapi memang tidak sederhana. Namun, sangat disayangkan melihat kebanyakan kita bersikap helpless, hanya bengong, protes, dan menggantungkan harapan akan datangnya sebuah inspirasi cerdas dari orang pintar dan para pemimpin. Padahal, kita sadar bahwa kreativitas datang dari individu yang menghadapi masalah, menderita karenanya dan pada akhirnya ingin menciptakan hidup yang lebih baik, sehingga berkreasi. Banyaknya masalah seharusnya bisa mendorong banyak ide dan solusi kreatif yang membuat hidup jadi lebih baik. Bukankah sebagaian besar dari kita yang sudah mengenyam pendidikan di bangku sekolah sebenarnya mempunyai potensi besar untuk berpikir dan melakukan problem solving?

Masihkah kita punya pandangan bahwa kreativitas adalah semata area anak muda, pencipta lagu, artis, divisi riset ataupun para penemu teknologi baru? Kita seolah-olah bersikap sebagai “pelanggan” yang menunggu diciptakannya produk dan solusi baru oleh orang lain. Semangat kita bukan mencipta, tapi hanya mengkonsumsi. Kalau kita sekedar konsumen, siapa yang membuat terobosan? Kalau kita sekedar rakyat siapa yang menjadi pemimpin? Maukah kita terseret arus menjadikan diri konsumen besar daripada menjadi ‘kreator’? Tanpa kita sadari bahaya ‘status quo” ini kita ciptakan sendiri. Kreativitas tidak selalu berarti terobosan besar, namun mencakup kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Misalnya: bagaimana menembus pasar yang besar dengan salesman yang terbatas? Bagaimana menghadapi kemacetan tanpa stres? Bagaimana hidup nyaman dengan income pas-pasan? Bagaimana mengelola dokumen yang menumpuk sehingga mudah ditemukan? Dan, bagaimana mencapai sasaran hidup dengan efektif efisien tanpa melakukan korupsi atau tindakan yang tidak etis.

{mosimage}

 Kreativitas bukan Tempelan

Ketika akan meniti suatu jembatan kecil untuk menaiki sampan, saya ragu-ragu karena titian jembatan yang sungguh kecil. Dalam keragu-raguan ini, datanglah dua anak kecil dengan batang bambu yang panjang, dan langsung menjunjung tinggi bambu tersebut sehingga bisa difungsikan sebagai pegangan sepanjang jembatan. Bukankah ini kreativitas yang sangat sederhana? Kita lihat bahwa dalam jiwa anak-anak yang polos ini tersedia ruang dan keyakinan bahwa solusi selalu tersedia. Namun, mengapa di masyarakat modern dengan kecanggihan teknologi mutakhir begini, justru kita tidak memelihara kualitas dan keyakinan “can do” yang demikian? Ide pasti muncul dalam pikiran kita dan kita pulalah yang berusaha mengeremnya. Kita akan membiarkan ide mengalir hanya bila kita meyakini bahwa ide yang muncul itu bermanfaat.

Ide bisa muncul kapan saja dan dimana saja. Ide bisa datang saat kita berenang, di kamar mandi ataupun pada saat sibuk-sibuknya menghadapi klien. Individu yang “berkawan” dengan ide akan menghargai ide-idenya, membuat catatan seria mengujicobakan idenya sebagai penyelesaian masalah. Agar ide terus mengalir, kita juga perlu mengkontrol ‘inner critic’ kita agar tidak menghambat keluarnya kreativitas. Takut salah, takut risiko, tidak mau kecewa dan ragu untuk mencoba sering membawa kita kembali ke posisi nol, tidak berubah. Sebaliknya, semakin kita berpikir kita kreatif, semakin kreatiflah kita.. Semakin ide sering mengalir, semakin tidak perlu kita untuk ‘ngotot’ dan berpikir keras. Ini sama saja dengan hukum fisika, di mana memulai suatu gerakan lebih sulit daripada bila gerakan tersebut sudah berjalan.

Seorang teman dengan bangga mengatakan: “saya senang ide baru”. Meskipun penuh ide baru, namun sayangnya ia seringkali tidak menuntaskannya sampai bermanfaat untuk memperbaiki cara kerja. Ide yang masih mentah ini pun akhirnya tidak sampai bisa menghasilkan keuntungan lebih. Ide saja tanpa dibarengi follow up berupa pencarian fakta dan riset mendalam juga tidak berguna. Ide akan bertahan sebagai wacana saja. Kegiatan otak maupun kinerja individu perlu  merupakan ‘switching’ dari berpikir melebar, kemudian eksak, lalu setelah itu melebar lagi. Inilah yang harus menjadi habit setiap orang. Kreativitas bukanlah fungsi istimewa dari otak, melainkan pembiasaan kerja otak sehari hari. Hal yang penting adalah menjaga ‘mood’ yang aktif , senantiasa berpikir mengolah informasi, bermotivasi terbuka dan happy.

Kreativitas sebagai Prioritas

Kalau kita setuju bahwa kreativitas terancam, apakah kita akan membiarkan menyerahkan pekerjaan sulit hanya pada ‘yang berwenang’, atau  ‘ahlinya’? Perusahaan seperti Xerox, Pixar, Google, Apple bukanlah perusahaan di mana sekelompok orang pandai menjadi ‘otak’ perusahaan. Seluruh karyawan sangat paham bahwa berpikir kreatif adalah detak jantung perusahaan, semua orang mengkonsumsi informasi sebagai gizi vital perusahaan dan berusaha mengkombinasi, mengintegrasi dan mengkaitkan ide menjadi ide baru yang akan membuat perusahaan lebih maju lagi. Kreativitas dianggap sebagai aktivitas yang revolusioner, sehingga setiap orang berpikir ke depan, sibuk memanfaatkan riset data dan pendapat orang pintar lainnya.

Kreativitas sama sekali bukan berpikir ‘nyeleneh’ atau original saja. Kreativitas adalah keyakinan dan kemauan untuk terus menerus untuk mendapatkan solusi agar hidup kita jadi lebih baik. Dengan optimisme bahwa kita bisa menjadi bangsa yang kreatif, kita bisa memupuk rasa ingin tahu, sikap positif bahkan tertantang dalam melihat masalah. Sudah waktunya setiap individu, tim, organisasi bahkan negara mendorong kreativitas sebagai prioritas utama. Bukan sekedar produksi atau karya cipta artis saja tetapi dihasilkan di setiap rumah tangga.

(Dimuat di KOMPAS, 22 Januari 2011)

articles/krisis-kreativitas_2.jpg|||0||bottom||
articles/krisis-kreativitas_1.jpg|||0||bottom||

Servis

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Servis itu susah susah gampang. Hal ini kian saya rasakan semenjak terus mendalami servis dari waktu ke waktu. Di sebuah perusahaan yang punya reputasi hebat dalam pelayanan pelanggan, ternyata servis internalnya malahan bermasalah. Bagian HRD sengaja tidak mengangkat telpon pada hari-hari seputar penggajian, untuk menghindari pertanyaan, protes atau komen-komen yang menurut mereka ‘tidak penting’. Tindakan ini padahal sangat krusial, karena bisa sekali berdampak pada perasaan karyawan terhadap perusahaan yang diwakili oleh divisi tersebut. Bukankah hal ini membuktikan bahwa jiwa servis belum merata dan tidak sepenuhnya dirasakan berguna? Kita tentu tidak bisa mengklaim sebagai perusahaan dengan “service excellence”, bila servis belum dilakukan dari ujung ke ujung, luar-dalam, atau belum dirasakan dan dilakukan oleh setiap orang dan semua bagian.

Kesadaran akan pentingnya servis saat sekarang memang tidak lagi diperdebatkan. Maju tidaknya bisnis sangat bergantung dari bagaimana sentimen pelanggan pada perusahaan kita. Pelanggan menentukan bagaimana gaya hidup yang mereka pilih dan apa yang membuat mereka ‘happy’. Sebagus-bagusnya produk, perasaan pelanggan masih sangat-sangat menentukan keputusan mereka dalam memilih dan menggunakan produk. Dengan kemajuan teknologi dan informasi, pelanggan semakin pintar, tuntutannya pun semakin banyak. Itu sebabnya kita tidak bisa menggampangkan servis. Jika servis tidak dijadikan sebagai nilai penting dalam perusahaan, ketidakpuasan pelanggan dan karyawan otomatis menurunkan moral kerja, menciptakan inefisiensi, sehingga bisnis akan kehilangan gairah dan tidak mampu bersaing lagi.

Dalam skala negara, kita bisa melihat bagaimana Singapura sukses berjualan servis. Industri penerbangan, pariwisata, pendidikan, kesehatan sangat maju dan berkembang pesat karena orientasi untuk memberi pelayanan terbaik. Kita semestinya sadar bahwa kemajuan dan keberhasilan lembaga, parpol, pemimpin, bahkan negara pun ditentukan dari seberapa besar kepuasan individu dan masyarakat terhadap pelayanan yang diterima. Meskipun bangsa kita disebut-sebut ramah-tamah dan suka menolong, tapi kenyataannya kita memang harus banyak belajar dari negara-tetangga. Sebagai individu, lembaga, perusahaan dan bangsa, kita perlu serius memikirkan: nilai tambah apa yang bisa kita hasilkan? Apakah kita masih mau mempertahankan muka-muka asam?  Bagaimana kita berupaya keluar dari kebiasaan menjual sumber daya alam saja dan mulai berpikir kreatif serta memperkuat kepemimpinan untuk menjadikan servis sebagai keunggulan bersaing?

 

{mosimage}

 Investasi Biaya Rendah

Banyak perusahaan, salah satunya adalah Disney, yang sangat percaya bahwa hanya dengan ‘service excellence’ perusahaan bisa bertahan. Tukang sampah di Disneyland, secara antusias menyambut anak yang akan membuang sampah  dengan senyum dan muka gembira, sehingga anak mendapatkan ‘reward’ yang jauh lebih dalam daripada sekedar pujian mengenai perilakunya. Bukankah pengalaman berkesan ini yang senantiasa membuat pelanggan rindu datang kembali? Disney konsisten mempercayai servis, sehingga sejak rekrutmen, mereka hanya memilih wajah-wajah yang “enak dilihat”, murah senyum dan mempunyai ‘passion’ pada servis. Individu dipromosikan karena servis. atau sebaliknya, diberhentikan karena servis yang buruk.

Tony Hsieh, CEO  Zappos, perusahaan sepatu  on-line yang sukses, memulai bisnisnya dengan sebuah problem. Ia sulit menemukan sepatu dengan model, warna, ukuran dan lebar yang sesuai, baik secara on-line maupun off line. Ia kemudian berangan-angan mendirikan perusahaan pilihan pelanggan dengan servis terbaik. Melalui motto "With Zappos, the shoe store comes to you," setiap pelanggan bisa bebas mengungkapkan apa yang ia inginkan pada petugas ‘customer service’ sampai bisa menemukan sepatu yang paling tepat. Semua frontliners terkesan mempunyai waktu cukup untuk melayani setiap pelanggan, supplier ataupun vendor. Bila dikalkulasi, semua upaya ini tidak mengeluarkan biaya tinggi, asal seluruh jajaran manajemen mempunyai sikap dan menjiwai keinginan untuk melayani.

Tampil beda dengan servis beda

Inovasi tidak selalu menemukan mesin atau alat canggih. Kita tahu pelanggan rela membayar lebih mahal untuk kue dengan kemasan istimewa daripada yang dijual “begitu saja”. Begitu kita melakukan sesuatu secara beda dan terasa beda oleh pelanggan serta membuatnya ‘happy’ maka pelanggan akan kembali. Kita benar-benar bisa tertegun, bila menghitung perbedaan uang masuk dari perusahaan yang secara konsisten menerapkan  penanaman jiwa servis dibandingkan dengan perusahaan yang masa bodoh terhadap servis.

Kreativitas untuk menghadirkan servis yang berbeda memang perlu senantiasa ditumbuhkan dalam diskusi, meeting dan brainstorming di tempat kerja kita. Kita bisa menciptakan ide-ide pintar untuk menyambut kebutuhan pelanggan  dengan resep-resep yang simpel, sikap frontliners yang ‘helpful’ serta manajemen yang ringkas, reliable dan responsif.  Kita bisa membuat toko, lobby, bandara kita lebih harum daripada tempat lain. Kita bisa mengupayakan toilet-toilet yang super bersih. Kita bisa menyediakan sistem penanganan keluhan yang gesit dan peduli. Kita pun bisa menyediakan orang orang yang lebih ‘helpful’, mengerti pelanggan, mengerti duduk perkara dan lebih sigap daripada tempat lain.

Kita memang dituntut untuk berpikir jauh ke depan. Bila sumberdaya dan properti kita habis terjual, bagaimana kita menghadapi binis di masa depan? Bila pesaing kita sesama profesi bertambah banyak, bagaimana kita memberi nilai tambah? Secanggih-canggihnya teknologi, ‘judgement’ manusia pasti berlandaskan hubungan interpersonal. Kooperasi, apresiasi dan komunikasi adalah hal yang mutlak perlu kita kuasai dengan cermat. Satu-satunya jalan adalah meng-update dan mempercanggih kekuatan servis, menciptakan nilai tambah dari kelebihan itu dan menjadikannya bisnis. Dengan bertambah pintarnya pelanggan dan teknologi, kita  tetap perlu mengemas semua kecanggihan ini dengan fleksibilitas dan penciptaan ‘peace of mind’ pelanggan secara manusiawi.

(Dimuat di KOMPAS, 15 Januari 2011)

articles/servis_1.jpg|||0||bottom||
articles/servis_2.jpg|||0||bottom||

Pelajaran 2010

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita memang sudah “tutup buku” 2010 dan membuka lembaran baru 2011. Sebelum segala sesuatu yang berbau 2010 kita kubur dalam-dalam, di antara dokumen yang tidak terpakai,  maupun dalam ingatan kita, tentu sangat bijaksana untuk kita memperhatikan ‘lesson learnt’ yang bisa kita ambil, baik dalam prestasi yang membanggakan maupun kesedihan dan bencana untuk menjadikan kita lebih kuat dan lebih optimis menghadapi tahun mendatang dengan harapan yang lebih baik. “Pengalaman adalah guru terbaik.”, ini tentu ungkapan yang kita yakini bersama.

Di tahun 2010 lalu, kita banyak tertegun akan dunia yang seakan diputar balik. Bila tahun-tahun sebelumnya Eropa dan Amerika senantiasa mendominasi bisnis, tahun 2010 lalu mereka mengalami stagnansi alias tidak adanya ekspansi, terobosan ataupun pembaruan yang nyata. Eropa secara praktis mandek dengan krisis utang. Asia, khususnya Cina, sebaliknya mencatat pertumbuhan dan pembangunan besar-besaran, sehingga negara adidaya seperti Amerika tampak berusaha membendung ekspansi bisnis Cina. Kita tak pelak kaget saat beberapa korporasi raksasa kolaps, dunia perbankan sepi dan tak sedikit maskapai penerbangan besar mengalami krisis keuangan akibat debu vulkanik yang melanda Eropa. Dari turun naiknya bisnis yang dialami, misalnya saja Apple, Microsoft, IBM, Bank Century, kita diingatkan kembali bahwa dari kegagalan dan keterpurukan, terbuka luas pelajaran penting untuk kita menghadapi tahun-tahun berikutnya. Kemajuan tidak selalu berarti dalam bertambahnya modal dan fasilitas, tetapi juga spirit, moral, kebanggaan, inovasi, sportivitas, dan kematangan. Dalam ketidakpastian, bahkan keterbatasan, ternyata kita melihat senantiasa ada peluang yang bisa kita ambil untuk maju.

{mosimage}

 “Surprise”: Makanan Sehari-hari

Secermat-cermatnya perusahaan atau lembaga membuat rencana strategik, kita tahu bahwa realita di lapangan bisa sangat berbeda dari yang ada di atas kertas. Siapa yang pernah mengira bahwa abu vulkanik letusan gunung di Iceland sampai bisa melumpuhkan penerbangan hampir di seluruh negara eropa berhari-hari lamanya. Saat itu tak ada yang bisa mengantisipasi kapan berlalunya awan abu vulkanik tersebut. Seorang pejabat Inggris bahkan mengatakan bahwa awan tersebut bisa saja bercokol di tempatnya selama 20 tahun!

Kita memang memiliki keterbatasan dalam mengantisipasi. Betapa kita alami sendiri, bencana, seperti gempa dan gunung meletus, bisa datang bertubi-tubi tanpa bisa diprediksi. Namun demikian, kita selalu bisa belajar dan jadi lebih teruji untuk melalui situasi-situasi penuh “surprises” ini dengan daya tahan dan fleksibilitas yang lebih tinggi. Seorang pengusaha dadakan, seketika meraup untung besar dengan menginvestasikan uangnya untuk menyewakan truk pengangkut pasir muntahan gunung berapi. Candi Borobudur, setelah dengan sigap dibersihkan, malahan mampu mendatangkan pengunjung puluhan kali lipat. Kita tentu bangga karena banyak lembaga, petugas, dan pebisnis yang kini berusaha mengembangkan’action plan’ yang lebih cermat dalam suasana bencana. Kita lihat bahwa peluang selalu menghampiri orang-orang yang belajar dan siap menerima “surprises”. Tentu kita berharap, daya lenting dan kemampuan bangkit dari situasi sulit ini akan melekat dalam diri kita sebagai cara pikir bahkan ‘lifestyle’ baru yang menjadi sumber kekuatan kita di masa depan.

Terdepan dengan Inovasi

Wagyu beef yang saat sekarang dapat kita konsumsi di kebanyakan warung steak adalah salah satu contoh inovasi di dunia perternakan. Bayangkan, betapa ‘booming’-nya industri peternakan di Australia dan Selandia Baru akibat melonjaknya konsumsi “wagyu beef” beberapa tahun belakangan ini. Kita tahu, wagyu kualitas prima, harganya bisa jauh sekali dari wagyu yang kualitas rendah atau “KW 5”. Ini semua disebabkan karena kekuatan inovasi, komitmen untuk memberi nilai tambah dan dijaganya kualitas, sehingga konsumsinya pun bisa didistribusikan ke banyak lapisan, bukan oleh negara asalnya, tetapi justru industri di negara lain. Di sini kita belajar bahwa bila saja kita mempunyai kemauan kuat untuk berada di depan dalam inovasi, kita secara otomatis akan ada di posisi terdepan, ketimbang bila kita semata mengikuti arus saja.

Di tahun 2010 kita juga melihat, semakin banyak pihak berlomba-lomba untuk mengakselerasi penggunaan ‘social networking’ untuk kepentingan servis, komersial bahkan kampanye pribadi maupun golongan. Kita tentu masih ingat, betapa seorang pejabat yang salah bicara langsung diserang habis-habisan di media twitter. Perusahaan penerbangan pun menggunakan twitter dan facebook sebagai media komunikasi langsung dengan pelanggan sehingga pelayanan pelanggan dapat lebih terasa disamping perusahaan sendiri mendapatkan “crowdsource ideas´. Kita lagi-lagi diingatkan bahwa kemajuan teknologi adalah hal penting yang harus bisa kita manfaatkan untuk berinovasi. Teknologi begitu cepat usang dan digantikan dengan yang lebih canggih dan baru. Di tahun ini pula Apple mengeluarkan produk andalannya, Ipad, yang disambut gembira oleh konsumennya, sehingga mencapai 95% segmen dari pemakai komputer tablet. Tanpa kita sadari ‘public mind’ bahkan lifestyle juga terpengaruh. Tidak jarang kita menyaksikan para eksekutif bahkan pejabat yang tadinya bukan pemakai komputer langsung sekarang menggeser geserkan jarinya untuk membaca, browsing, bahkan menggantikannya dengan majalah, koran atau buku. Lambat belajar dan tidak bersahabat dengan teknologi otomatis membuat kita sulit menonjol. Sementara kita perlu membiasakan diri dengan ‘uncertainty’, kita pun bisa menikmati kemajuan teknologi yang di prakarsai oleh pemimpin–pemimpin yang inovatif dan berusaha keluar dari depresi ekonomi ini.

Lupakan privasi, biasakan transparansi

Pembocoran dokumen rahasia negara oleh Julian Assange memang  menimbulkan kontrovesi. Disatu pihak ia mendapat  penghargaan sebagai "situs yang benar-benar bisa mengubah berita” oleh New York Daily News, di sisi lain ia dicerca dan diburu oleh beberapa negara sekaligus. Kita belajar bahwa keterbukaan dan transparansi perlu menjadi pembiasaan di tempat kita bekerja, bahkan di negara kita. Tidak ada berita, keputusan yang masih bisa ditutup-tutupi dan tidak dipertanggungjawabkan. Narapidana yang “liburan” keluar penjara, sekejap saja dibuka kedoknya. Tidak ada lagi tempat “aman” untuk melakukan kecurangan proses, produk dan koruplsi. Pelanggan, wartawan bahkan rakyat sudah menjadi pandai dan tidak akan kembali dungu dan bisa dipecundangi.

Seorang futuris mengungkapkan: “Forget privacy, especially if you are a leader” Ia menambahkan lagi:“Leaders are always on. Microphones and video cameras are always on, too”, sambungnya.. Tahun 2010 telah menjadi sejarah, tetapi banyak sekali pelajaran yang akan tetap bisa diingat. Sudah pasti tahun 2011 ini tetap akan mendatangkan ‘surprises’ baru dan tetap menuntut kita untuk kreatif berinovasi dan mengembangkan kepemimpinan yang terbuka.

(Dimuat di Kompas, 8 Januari 2011

articles/2010_1.jpg|||0||bottom||
articles/2010_2.jpg|||0||bottom||

Kompak

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang peserta training dengan terbuka mengatakan bahwa hal yang dicarinya dalam pekerjaan adalah semata uang. Gaji, komisi dan bonus-lah yang menjadi alasan utama mengapa ia tetap bekerja di perusahaan. Atasannya mengakui anak buahnya ini berkinerja bagus. Namun, sangat sulit bagi anggota tim lainnya untuk mengajaknya berpartisipasi dalam ‘brainstorming’ ataupun memikirkan perubahan-perubahan yang terjadi diperusahaan. Banyak yang mengatakan ia bukan pemain tim. Bila kasusnya seperti ini, bisakah kita memperhitungkan individu untuk menjadi bagian penting dari perusahaan?

Kabar burung tentang karyawan potensial yang dibajak oleh kompetitor, dengan gaji dilipatgandakan dan paket tunjangan yang menggiurkan, tak pelak membuat kita kecut. Siapa pun sadar bahwa salah satu alasan utama kita bekerja adalah mencari uang. Namun, bagi perusahaan, “mengikat” seorang karyawan semata karena uang tentu hal yang juga berbahaya. “If you build your entire relationship with employees on money, and then the economy sours or you have a bad year and you can’t give raises or bonuses, then the basis of the relationship is gone.” demikian ungkap McElroy, seorang CEO perusahaan yang mengalami turnover besar. Di sini kita kembali diingatkan pentingnya pimpinan dan perusahaan membangun “ikatan” dan “komitmen” karyawan, serta relationship yang lebih dalam dan bermakna daripada sekedar uang dan keuntungan materi semata.

 

{mosimage}

 Kedekatan dan kejelasan

Seorang teman mengeluh betapa beban kerjanya banyak dan seakan tidak ada habisnya. Ia merasa perusahaan memeras habis tenanganya. Namun demikian, ia merasa berat untuk meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja. Walau gaji sedang-sedang saja dan pekerjaan banyak, namun teman kerja sangat suportif, “bahkan lebih dari saudara sendiri”, demikian ungkapnya. Ini membuktikan bahwa sebetulnya tidak selalu UUD (ujung-ujungnya duit). Kita lihat kekompakan tidak saja berdampak pada kinerja, tetapi juga employability perusahaan dan juga ‘happiness’ karyawan.

Bila kita sedikit lebih cermat, kita bisa langsung melihat bahwa dalam perusahaan dengan semangat kerja tinggi setiap individu merasa diri berharga dan ‘melakukan sesuatu’. Ini tentunya tidak terjadi begitu saja. Kejelasan mengenai kondisi perusahaan, sasaran, dan kemajuan baik perusahaan secara keseluruhan, divisi maupun dirinya sendiri membuat orang merasa dirinya berbobot dan melakukan pekerjaan yang bermakna. Kuncinya adalah menerangkan apa yang diharapkan dari karyawan dan berikan modal untuk berprestasi. Perasaan “doing a good job” menyebabkan karyawan berfokus pada kinerja. Dengan cara ini, sense of pride akan bekerja di dalam diri individu dan ia pun tak segan untuk menggerakkan pikiran, perasaan dan tangannya untuk men’deliver’ hasil yang baik.

Di sebuah perusahaan yang menetapkan ‘money back guarantee’ bila servis tidak memuaskan, semua karyawan berusaha memuaskan pelanggan agar tidak ada komplen. Ini terjadi karena policy dan aturan main diumumkan dengan jelas pada semua karyawan di semua jajajran yang menyadari visi perusahaannya untuk menjadi pen-servis nomor satu. Kita melihat bahwa dalam keadaan akrab karyawan bahkan bisa ikut menanggung resiko perusahaan tanpa takut-takut. Perasaan-perasaan ini selain lebih “kuat”, juga seringkali lebih‘longlasting’ daripada bonus besar di akhir tahun. Bonus memang menyenangkan, tetapi terbukti tidak bisa menciptakan perasaan berharga untuk jangka waktu yang lama.

Progress

Banyak orang bertanya-tanya mengapa di perusahaan yang berkembang pesat, karyawan tampak lebih bersemangat. Padahal upah yang diterima jauh lebih kecil dibanding perusahaan yang  sudah mapan, di mana karyawannya bergaji tinggi, tetapi pergerakan bisnisnya tidak pesat lagi. “Gerak’ membuat orang merasa nyaman. Perusahaan yang maju, membuka cabang-cabang baru, mencatat pertumbuhan penjualan tajam, membuat perasaan cerah pada karyawan yang bekerja. Fenomena ini tanpa disadari sudah bagaikan lingkaran malaikat, di mana perusahaan maju, karyawan merasakan ‘progress’, karyawan bersemangat untuk berkinerja lebik baik dan perusahaan pun akan jadi tambah maju lagi.

Bagaimana dengan perusahaan yang sudah melewati fase pengembangan yang ekstrim? Bisakah menimbulka perasaan ‘maju’ ini pada karyawannya? Kita sebenarnya bisa menyikapinya dengan menciptakan sasaran-sasaran kecil di dalam sasaran besar secara keseluruhan, sehingga dalam setiap pencapaian individu pun akan merasakan kemajuan. Perusahaan yang cerdik juga bisa menciptakan ‘sense of development” karyawannya. Misalnya, dengan mengadakan ‘cross training’ di mana setiap orang diberi kesempatan untuk mempelajari dan mengerjakan  tugas orang lain. Mungkin saja hasilnya tidak sempurna, tetapi manfaat lain yang didapat adalah perasaan berkembang individunya.

Fokus Personal

Banyak orang mengira bahwa pendekatan personal pada anak buah yang sekarang disebut-sebut dengan slogan “know your employee” berkaitan dengan pengenalan kebutuhan pribadinya. Di samping hal itu, kita pun perlu dengan cermat menangkap bawahan ketika individu melakukan sesuatu yang ‘betul’, bukan yang ‘salah’. Pengakuan ini menyehatkan jiwa dan merangsang karyawan untuk mendukung perusahaan lebih jauh, sehingga spirit  “Motivate, Drive and Deliver” akan menggulirkan aura positif di lingkungan kerja. Selain itu, di perusahaan dengan engagement tinggi atasan akan mampu melihat apakah seorang karyawan sudah terbebani tugas yang terlalu banyak, atau sebaliknya masih ingin diberi tugas yang lebih menantang. Kita tahu, bahwa kapasitas orang selalu berbeda beda. Inilah pendekatan personal yang bisa mengoptimalisasi bukan saja kinerja tetapi juga ‘heart, head dan hand karyawan.

(Dimuat di KOMPAS, 18 Desember 2010)

articles/kompak1.jpg|||0||bottom||
articles/kompak2.jpg|||0||bottom||

Jual Ide

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Beberapa peserta, setelah selesai mengikuti training, kami hubungi dan tanyakan apakah ide brilian dan action plan yang mereka buat saat pelatihan, sudah diimplementasikan di tempat kerja. Hal yang mengejutkan adalah hampir delapan puluh persen, tidak lagi terdengar sebersemangat ketika mereka sedang di kelas pelatihan. Ada yang mengatakan atasan atau pimpinan terlalu sibuk dan tidak mau mendengarkan ide mereka. Ada juga yang bilang, pemikiran atau ide mereka dianggap sesuatu yang nyeleneh, menyimpang jalur, bahkan dinilai sebagai upaya mencari perhatian saja. Di jaman di mana tuntutan untuk memberi “value adding” terasa begitu kuat dan kreativitas senantiasa disebut-sebut sebagai modal untuk memenangkan kompetisi, ternyata realitanya, masih banyak atasan atau pejabat yang enggan berubah atau tidak mau repot mengubah cara kerja lama yang sudah mapan. Padahal, kita semua tahu, bila kita lebih banyak berfokus  pada ‘here and now’ dan menganggap ide adalah hambatan, organisasi pasti tidak akan berkembang.

Dengan begitu kerasnya kompetisi, kita sadar bahwa organisasi tidak mungkin mempraktikkan pengambilan keputusan secara ‘top-down’ saja. Organisasi yang sehat mendorong keputusan juga diambil di kalangan manajemen tengah bahkan lapisan bawah. Dengan keyakinan ini, bagaimana kita survive memunculkan ide di perusahaan yang sudah mantap tapi alot untuk berubah?

{mosimage}

 Jangan Diam Saja

Posisi junior tidak pernah enak. Tak sedikit atasan yang mengeluhkan gejala di mana para ‘fresh graduate’ tidak mempunyai insiatif, banyak menunggu. Sebaliknya, banyak juga komentar negatif atasan terhadap pengajuan ide-ide para junior. Ada yang mengatakan bahwa apa yang dikemukakan anak muda terlalu banyak teori, belum terbukti dan teruji, tidak ‘ngambah tanah” atau bahkan ‘sok tahu’. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa ada kesenjangan antara apa yang dilihat oleh orang yang baru masuk, dengan orang yang sudah lama berada di dalam memang ada. Kesenjangan juga pastinya terasa antara individu yang  masih fresh dengan  ilmu yang baru dipelajari vs orang yang banyak berpraktek dan sudah makan asam garam. Siapa yang lebih berkuasa? Biasanya yang senior. Tampak bahwa baik yang senior maupun junior harus sama-sama sabar untuk mendengarkan, menyikapi perbedaan dan kesenjangan.

Gejala ‘merasa benar sendiri’ inilah yang sering menghambat kita dalam menjual ide. Terkadang kita juga melupakan kenyataan bahwa si pendengar presentasi mempunyai cara dan referensinya sendiri dalam menginterpretasikannya. Tidak semua orang siap menerima bahwa adanya “misunderstanding” ketika ide pertama kali diungkapkan adalah hal yang wajar. Beberapa orang yang saya temui survive menembus jaringan para senior selalu menyatakan kiat bahwa kita perlu siap dengan fakta, kita perlu banyak bertanya dan kita mengemukakan kasus, sehingga ide kita bisa dengan lebih mudah diserap oleh orang lain. Jadi, sebagai penjual ide, kita memang perlu aktif, tidak pernah pasif.

Tembus Pikiran Penerima Ide

Champions turn "no" into "yes."  Demikian ungkapan lama. Hal yang perlu kita ingat adalah bukan sekedar dicerna dan diterimanya ide kita, tetapi juga pemahaman mengenai proses berpikir si penerima ide. Bagaimana mungkin kita bisa memberi ‘brutal facts’ atau  mengusulkan program ‘free of charge’ untuk kepentingan marketing, mengusulkan promosi produk yang selama ini tidak pernah bisa terpasarkan dengan baik, atau bahkan memotong tunjangan tertentu dengan empuk dan langsung disetujui? Sikap keras kepala dipunyai semua orang. Mempengaruhi orang lain, terutama atasan atau para senior untuk mengambil alih inisiatif anda adalah sebuah paradox besar. Apalagi bila kita masih dianggap sebagai ‘outsider’. Tetapi, kita juga mesti tetap sadar bahwa dalam kehidupan karir kita, menjual ide tetap merupakan kewajiban.

Mengikuti arus, irama, bahasa yang beredar disebuah kelompok akan membawa efek ‘magic’ bila kita menawarkan ide baru. Apalagi bila dalam mempresentasikannya kita sudah siap menggunakan kata-kata yang positif, memuat manfaat bagi atasan dan organisasi, dan menyajikannya dalam “business case” yang didukung bukti-bukti. Kita pun bisa memperhitungkan bahwa tidak selamanya individu itu auditif, visual atau kinestetik. Untuk itu kita perlu bisa berganti gaya presentasi untuk menembus pikiran penerima ide. Terkadang dengan membantunya memvisualisasikan atau memperagakan ide kita. Inga : ”A picture is worth a thousand words.” Orang tidak senang mengaku bahwa mereka tidak mengerti, padahal setiap dari kita mengerti bahwa orang tidak akan membeli ide yang tidak dipahaminya. 

Pastikan “Alignment”

Tentunya ada alasan mengapa perusahaan melakukan praktik-praktik manajemen. Demikian juga ada alasan mengapa atasan memangku jabatan dan tugasnya. Seorang junior yang baru masuk dan ambisius bisa saja penuh dengan ide-ide baru. Hanya saja, ada kemungkinan bahwa ide baru itu belum sejalan dengan sasaran dan visi perusahaan. Untuk itu, kita pun perlu mengecek, memperhatikan dan bertanya apakah ide ini tetap sejalan dan menunjang upaya-upaya yang sudah ada saat ini.

Kita memang terkadang tidak bisa ambisius dan mengira jual ide bisa diselesaikan dalam sekejap atau satu kali saja. Kita perlu menggunakan multi media dan perlu berobsesi dalam menjual ide ini. Mengingat kita menjual ide ke manusia lain, hubungan antar manusia juga sangat menentukan kesuksesan kita dalam berjualan ide. Bila dalam mengungkapkan pendapat, salah satu ‘audience’ kita sudah mengenal ide tersebut dan sudah “membeli” sebagian ide kita, pastinya orang ini akan berperan sebagai ‘co-champion’ kita. Ide adalah produk manusia pekerja yang tidak pernah habis. Ide tidak ada artinya bila belum terimplementasi. Kadang-kadang kita perlu menunggu tahap demi tahap agar keseluruhan ide terealisasi. Namun, kita tetap perlu bergerak aktif, mencari celah untuk bisa menjual ide demi kemajuan tim dan organisasi.

(Dimuat di KOMPAS, 11 Desember 2010) 

articles/jual-ide1.jpg|||0||bottom||
articles/jual-ide2.jpg|||0||bottom||