{mosimage}
By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Manusia memang aset terpenting dari perusahaan. Namun, sampai saat ini kita memang sulit untuk bisa menghitung dengan tepat berapa “kekuatan” sesungguhnya yang dimiliki seorang karyawan. Tidak seperti mesin yang bisa dengan jelas kita ukur kapasitas produksinya, kita sadari bahwa kinerja dan kontribusi karyawan bisa digenjot naik, bisa juga turun secara tajam. Bukankah banyak karyawan yang dalam assessment dinilai memiliki kompetensi tinggi, tapi di tempat kerja melempem dan sama sekali jadi tidak menonjol? Ada karyawan yang berprestasi di satu tim, namun begitu dipindahkan ke tim atau lokasi lain langsung melorot kinerjanya. Sebaliknya, kita juga melihat ada tim yang jumlahnya kecil atau kemampuan individualnya biasa-biasa saja, bisa jadi tim yang sangat hebat dan produktif, bahkan mengalahkan tim yang jumlahnya lebih besar. Di sini kita jelas melihat bahwa ada “kekuatan” lain yang tidak bisa dilihat dan diukur dengan analisa beban kerja sekalipun. Terbukti pula bahwa, kekuatan individu itu memang bisa dilipatgandakan.
Seorang kepala cabang yang dituntut untuk meningkatkan penjualan sering berdalih kekurangan orang dan meminta tambahan anggota tim. Sering terjadi, kalau orangnya sudah ada juga, namun tetap saja penjualan tidak kunjung bergerak mencapai target. Divisi SDM sering mengeluhkan, mengapa SDM yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Seakan tambahan karyawan baru menjadi investasi yang sia-sia. Jadi, individu sendirian tidak bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa yang kita garap tidak selamanya individunya tetapi justru perilaku kolektif dari sekelompok orang.
Kita tak bisa menyangkal bahwa uang memang penting. Uang harus dicari, bahkan dikejar agar kita bisa makan, hidup layak, menikmati pelayanan kesehatan dan mengenyam pendidikan yang baik. Di satu sisi, kita sama-sama mengetahui bahwa masyarakat kita menilai rendah orang yang “mata duitan”, karena kita anggap tamak bahkan tidak bermoral. Secara bersamaan, kita juga dibuat terheran-heran, menyaksikan gejala akhir-akhir ini, betapa orang dengan “tabungan” banyak hasil korupsi bisa berekspresi tenang-tenang saja, tampil di publik dengan percaya diri, seakan yakin bisa menyogok siapa saja di dunia ini.
Kita memang tidak lagi terkejut, saat seorang mantan menteri secara blak-blakan mengatakan bahwa berpolitik di negara kita sudah sulit tanpa memperhitungkan peranan uang. Dalam kampanye, bukankah tidak lagi malu-malu orang untuk membayar orang lain agar bisa mendapatkan dukungan? Teman saya bahkan mengatakan bahwa orang yang berduit cenderung tampak lebih ‘sexy’ daripada yang tidak berduit. Mau tidak mau, kita perlu mengakui bahwa uang memang berkuasa dan mempunyai kekuatan. Kita tahu ada pepatah: “Those with the gold make the rules.” Hal ini juga bisa kita buktikan dari dibelokkannya pembuatan undang undang negara, demi kepentingan bisnis tertentu. Negara miskin di kontrol oleh orang kaya. Bahkan perang pun sering bukan didasari pertengkaran politik semata, semuanya kembali ke uang. Begitu “sexy”-nya uang, sampai-sampai bisa mendorong banyak orang rela mengotori dirinya dengan korupsi, menciptakan istilah gratifikasi, dan berbagai alasan untuk berbuat curang.
Pada akhirnya, bukankah banyak – sedikit, berguna atau tidaknya, serta nilai uang akan kembali ke masing-masing individu? Bagi individu tertentu gaji 2 juta bisa mencukupi pendidikan dan hidup layak sebuah keluarga, tetapi bagi individu lain uang 2 juta hanya dianggap sebagai upah kepada seorang petugas untuk ‘mengurus surat-surat’. Apakah kita memang akan mendewakan uang untuk bisa membangun pengaruh, mendapatkan respek dan tampak “sexy” di mata orang? Apakah tidak ada hal lain yang bisa menandingi uang, untuk membuat kita merasa punya kekuatan, memiliki pengikut dan merasa puas dan sejahtera?
{mosimage}
Tidak “Ujung-Ujungnya Duit”
Saya mencuri dengar pembicaraan sekelompok orang yang baru melakukan perjalanan dinas dari luar negeri. Seketika timbul pertanyaan di benak saya: apa keahlian orang-orang ini? Apa misi rombongan? Apa yang didapat dari perjalanan dinas yang dibiayai lembaga ini? Pertanyaan ini terus menggelitik karena hasil tanya jawab saya membuktikan bahwa apa yang mereka amati, alami dan bicarakan dalam kunjungannya sama sekali tidak berbuah pemikiran baru atau paling tidak pelajaran baru. Sulit rasanya memunculkan respek terhadap individu yang tampak cukup berduit dari belanjaannya.
Saya jadi teringat presenter berbadan mungil, Sarah Sechan yang mempunyai follower lebih dari dua ratus lima puluh ribu orang di di twitter-nya. Para follower seakan senantiasa antusias untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Sarah. Ketika ada inisiatif membantu korban Merapi, Sarah hanya berulang kali menyampaikan pesan pada para pengikutnya bahwa sumbangan bisa di kirim ke alamat tertentu. Ia mengatakan dirinya akan berada di sana. Kepedulian yang ditunjukkannya menumbuhkan respek. Truk demi truk sumbangan barang pun berdatangan, membuktikan bahwa tokoh muda ini ‘punya pengaruh’. Perez Hilton, seorang jago media sosial terkenal karena blognya dikunjungi orang berulang kali. Orang seakan tidak ada bosannya mengunjungi websitenya karena respek terhadap karya, pikiran, dan hasil kerja individu. Orang yang ingin berpengaruh, bisa mempengaruhi orang lain melalui respek yang tumbuh terhadap dirinya.
Jika kita membuka mata lebar-lebar, kita akan menyadari banyak orang bisa mendapat “pengikut” tanpa harus mengeluarkan cash. Lihat saja, Irfan Bachdim, yang dalam semalam mendapatkan followers lebih dari dua puluh ribu orang, sesaat setelah menampilkan permainan cantik saat timnas kita mengalahkan Malaysia dengan 5-1. Lihat juga jagoan hip-hop Talib Kweli yang direspek tua muda. Gary Vay-ner-chuk yang bisa membuat analisa ‘wine’ dengan pendekatan gonzonya, juga bisa membuat passion-nya berpengaruh. Tentu sangat ketinggalan jaman, jika kita masih berpikiran bahwa uang semata yang bisa memberi kekuatan dan membuat diri kita berpengaruh, Seseorang ahli manajemen perubahan mengatakan:” — in business as well as in politics — is that these three much-celebrated resources are almost always overvalued as tools for leading change and making an impact. The surest way to fail is to rely for your success on money, power, and fame.“
Menambah Daya Tarik
Arkadi Kuhlmann, founder dan chairman dari ING Direct, yang sangat terobsesi dengan service leadershipnya, membuktikan bahwa ambisi, misi, dan hasil karya kita bisa membuat daya tarik. Beliau meyakini bahwa simpati, rasa hormat memiliki kekuatan yang menghasilkan pengaruh yang lebih genuine.”It is never about you. It is always about the mission. And people will follow you if you're prepared to get a mission done, something with a goal that is a little bit beyond the reach of all of us”, begitu ungkapnya. Orang akan merespek orang yang ‘berisi’, yang misinya berpengaruh karena dipercaya, jernih, dan berbobot.
Jane Harper, veteran IBM meyakinkan para pembacanya, bahwa pendekatan yang rendah hati dibarengi dengan ambisi yang kuat, walaupun tidak usah seekstrim Mahatma Gandhi, akan membuat publik atau pengikut merasakan bobot. Kita perlu jujur mengakui bahwa kita tidak mungkin juara di segala bidang. Tetapi, di dunia yang kompleks, fast-moving dan sulit dipahami ini, kita perlu yakin bahwa respek yang kita dapatkan dari pihak lain sangat kita perlukan untuk survive, apakah itu di bidang politik, bisnis, ataupun di rumah tangga. First you get the respect. Then you get the power. After you get the power, the money will follow you.
(Dimuat di KOMPAS, 4 Desember 2010)
articles/money-power-fame1.jpg|||0||bottom||