Rasa Aman

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pergantian pucuk pimpinan beberapa lembaga tinggi negara yang perannya sangat strategis telah menyedot perhatian kita dalam beberapa minggu terakhir ini. Tidak habis-habis diulas, dikupas, dibahas kualitas dan kompetensi pemimpin yang perlu dimiliki oleh sosok yang nantinya akan mengisi jabatan tersebut. Apakah pemimpin perlu tahu segala hal sampai ke detil? Ataukah lebih baik yang sekedar paham “big picture”-nya saja? Apakah lebih tepat yang cepat ambil tindakan ataukah lebih baik yang mau mendengarkan berbagai pendapat dan membuat pertimbangan yang matang dalam tiap langkah? Bagaimana komposisi yang “pas”? Tidak hanya di tingkat negara, namun di banyak perusahaan pun kita kerap melihat sulitnya memilih dan menentukan sosok yang bisa mewakili harapan banyak pihak.

Dalam pembahasan mengenai leadership, kita kerap membaca ulasan mengenai bedanya “manajer” dan “leader”. Di lapangan dan di atas kertas, kita memang melihat bahwa pemimpin punya “derajat” yang lebih tinggi dari manajer. Manajer lebih dipandang sebagai ahli dalam pelaksanaan dan motor untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sementara, pemimpin dipandang memiliki peran yang lebih strategis. Ia harus punya visi ke masa depan, menentukan arah, memilih strategi dan sekaligus memiliki kemampuan persuasi untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya bergerak ke arah yang diinginkan. Ahli manajemen, Peter F. Drucker pun berkomentar "Management is doing things right; leadership is doing the right things." Pertanyaannya, apakah kita membutuhkan pemimpin dengan kemampuan manajerial yang kuat atau manajer dengan kepemimpinan yang kuat?

Banyak teman merindukan masa kecilnya. Hal yang dirindukan bukan pada fasilitas, tapi lebih pada ketentraman yang begitu kental mereka rasakan dulu. Banyak dari mereka bisa dengan detil menceriterakan masa-masa mereka merasa bebas untuk berteman, aman untuk melakukan perjalanan, juga menikmati fasilitas publik walaupun wujudnya sangat sederhana. Bandingkan dengan kondisi kita sekarang. Kita, orang tua di perkotaan, membatasi anak-anak kita untuk berhubungan dengan orang asing, takut dihipnotis. Kita pun tidak berani dengan nyaman pergi ke mall, takut ancaman bom. Meski hobi berolahraga, kita tidak berani bersepeda di jalan raya, takut di serempet. Apakah kemajuan dunia juga mengembangkan situasi yang kurang tenteram? Ataukah struktur sosial politik masyarakat yang tidak ditata dan belum dibenahi secara optimal? Di tempat kerja pun kita sering mendengar orang merindukan rasa aman, bukan? Dalam suasana kerja yang begitu sibuk, dengan proyek bertumpuk, seringkali masih ditambah juga berbagai ketakutan. Ketakutan pada atasan, tidak percayanya satu sama lain, baik antar divisi ataupun teman kerja. Bahkan, hubungan atasan bawahan juga diwarnai rasa curiga dan was-was. Rasa aman dan tentram yang kita bahas ini tentu saja tidak sama dengan ‘comfort zone’ yang sering didengung-dengungkan orang. Melihat situasi ini, kita tentu bertanya-tanya, benarkah rasa aman sudah menjadi hal yang langka?

{mosimage}

 Menghindari ‘Mind Games’ 

Kita tentu kenal dengan teori piramida kebutuhan yang dipopulerkan oleh Abraham Maslow, psikolog abad ke-20. Beliau jelas-jelas mengatakan bahwa bila kebutuhan akan rasa aman, keteraturan dan stabilitas individu belum terpenuhi, maka individu akan sulit memperhatikan hubungan interpersonal dengan orang lain, apalagi berprestasi dan memiliki ‘passion’ pada apa yang ia kerjakan. Bagaimana organisasi atau tim bisa mendapatkan karyawan yang bekerja penuh ‘passion’ dan ambisi bila rasa tidak aman masih berkecamuk di benak para karyawan? Di Amerika, ada penelitian yang mengatakan bahwa UFO lebih terlihat pada saat-saat masyarakat sedang mengalami stres yang lebih berat. Sikap ‘parno’ alias curiga berlebihan tumbuh lebih subur pada saat saat individu merasa galau, tidak jelas dan tidak mempunyai pegangan. Hasil penelitian juga mengatakan bahwa individu yang mempunyai jaminan kesehatan menampilkan masa penyembuhan yang lebih cepat daripada individu yang tidak memiliki jaminan kesehatan. Di perusahaan di mana individu tidak mempunyai pegangan dan rasa aman, gosip mengenai perubahan jabatan, pergantian pemimpin, kesalahan orang ataupun kebijakan-kebijakan yang dirasakan merugikan karyawan menjadi lebih santer, bahkan dilebih-lebihkan. Kita lihat bahwa “mind games” memang akan subur menggerogoti kesehatan individu dan tim, bila individu mempersepsi rasa tidak aman. Dalam masyarakat kita, kita juga melihat bahwa mind games bisa begitu berbahaya dan tumbuh menjadi kebencian antar ‘gang’, antar agama dan antar suku yang tidak jelas ujung pangkalnya. Bukankah kita sama-sama bisa jelas melihat bahwa kebencian ini tidak berdasar?

Menghadirkan “Clarity”

Rasa aman, terutama secara fisik, memang perlu diupayakan pertama kali. Kita tentu bisa meniru perusahaan-perusahaan yang serius untuk menyediakan program pinjaman, perumahan, asuransi, dan berbagai program yang membuat karyawan bisa merasa “aman”, sehingga dapat lebih berkonsentrasi pada kinerjanya. Bagaimana dengan rasa aman secara emosional dan psikologis? Kita lihat bahwa perusahaan yang mengupayakan clarity atau kejelasan bagi karyawan, secara sukses bisa menekan munculnya gosip.

Di jaman informasi seperti ini, kita sering beranggapan informasi yang ada sudah cukup dan memang bisa dicari sendiri oleh karyawan atau rakyat. Padahal kenyataan bisa saja informasi kemudian berkembang ke dalam stereotip-stereotip yang negatif, sikap defensif, bahkan agresif. Kita tentu masih ingat, headline Kompas beberapa waktu lalu: “Pemerintah seakan Tidak Hadir” untuk menyelesaikan berbagai masalah yang mendera negeri ini. Membaca berita diatas, secara psikologis, terasa kita seketika kehilangan pegangan, menggapai-gapai mencari rasa aman dan kejelasan. Ini tentu saja sebuah panggilan bagi pihak otoritas untuk membuat keadaan menjadi lebih jelas, memberikan fakta-fakta yang membuat masyarakat bisa menumbuhkan “sense in control”. Bukankah kita akan merasa lebih aman saat berada dalam gedung yang memiliki petunjuk yang jelas mengenai cara mengamankan diri bila ada bencana?

Masyarakat perlu kepercayaan diri bahwa ada hal hal yang masih bisa dikontrol. Jelas-jelas tatanan dan manajemen keamanan perlu dikomunikasikan secara clear. Tidak berarti bahwa kabar baik yang melulu efektif membawa rasa aman. Apapun faktanya, positif atau negatif, kabar baik ataupun buruk, semuanya akan tetap bermanfaat memberi kekuatan. Kita juga perlu berkeyakinan bahwa tiap individu memiliki kapasitas untuk mengolah dan menumbuhkan kekuatan bagi dirinya sendiri. Rasa aman tidak harus disuapkan terus menerus. Bahkan Hellen Keller, penulis dan guru yang tuna rungu sekaligus tuna netra mengatakan bahkan rasa aman itu tidak tersedia , yang ada hanyalah kekuatan mengarungi ‘adventure” yang kita hadapi.  Berarti kekuatan untuk memperoleh ‘rasa aman’ ini datang dari hal hal yang tidak langsung.Selama pimpinan bisa mengkomunikasikan harapan yang jelas, menjelaskan apa yang harus dilakukan, memaparkan dampak yang muncul dari tindakan yang akan diambil, berkomunikasi dan melakukan evaluasi dari waktu ke waktu, tentu tiap individu akan bisa menumbuhkan kekuatan dirinya, menghadapi krisis,  bahkan bisa menularkan semangat “rasa aman” ini bagi orang lain di lingkungannya.

(Dimuat di KOMPAS, 9 Oktober 2010)

 

articles/rasa-aman1.jpg|||0||bottom||
articles/rasa-aman2.jpg|||0||bottom||

Wawasan Kebangsaan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pemilihan Puteri Indonesia, kejuaraan tingkat dunia yang diikuti oleh atlet nasional kita, keikutsertaan siswa-siswi Indonesia dalam olimpiade Fisika, Informatika dan masih banyak lagi ajang lomba internasional tentu sedikit banyak membangkitkan diskusi yang akan menyentuh rasa kebangsaan kita. Kita sejenak berkesempatan memikirkan dan mengimajinasikan negara kita dengan belasan ribu pulau, ratusan suku bangsa, keragaman bahasa, budaya dan kekayaan alam, serta berjuta kekayaan yang tidak bisa kita sebutkan satu per satu. Bukankah hati kita masih tergerak bangga bila mendengar ada individu yang mengharumkan nama bangsa. Ini tentu tanda bahwa di hati kita “ruang” bagi wawasan kebangsaan masih ada dan seakan memanggil-manggil ingin “disuburkan”.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita cukup ‘shock’ bila menyaksikan pemahaman yang tidak mendalam mengenai apa sebenarnya hakikat kebangsaan Indonesia itu. Hiras M.S. Turnip, di sebuah situs menuliskan: “Saya tidak yakin (bukan berarti pesimis) jika kita ambil sampel di tempat-tempat umum (misalnya mall-mall,) apakah pemuda-pemudi kita hafal 100% Lagu Indonesia Raya? Tanyakan pula, siapa pencipta lagu Bagimu Negeri? Sekali lagi, meskipun kadar kebangsaan seseorang tidak semata-mata diukur dengan bisa tidaknya menyanyikan lagu kebangsaan, atau mengetahui lagu-lagu wajib perjuangan, paling tidak hal ini menjadi suatu peringatan bagi kita pencinta bangsa dan negara ini.” Ya, mungkin tidak salah bila sekarang ini kita katakan bahwa pemahaman dasar wawasan kebangsaan tidak lagi dipahami oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Ini juga mungkin yang melatarbelakangi tidak jelasnya alasan kita memilih pemimpin bangsa atau wakil rakyat. Bukankah kita terkadang merasa “asal coblos” saja, tanpa mempertimbangkan kualitas dan visi pemimpin yang kita pilih?

Ujian terhadap rasa kebangsaan tentu saja bisa terlihat dari dari cara kita merespon berbagai situasi. Berapa banyak orang yang segera turun tangan membantu saat bencana longsor dan banjir terjadi? Bukankah kita kerap bersikap cuek, “berjarak”, bahkan memikirkan diri sendiri saat menyaksikan keterpurukan, konflik dan sikap merendahkan bangsa sendiri? Sebagai profesional dan pekerja, apakah kita senantiasa memikirkan memberi kontribusi bagi bangsa dalam bekerja? Ataukah sekedar mengejar kenyamanan dan kesejahteraan pribadi? Tentu saja kita tak bisa terus diam melihat rasa kebangsaan terkikis oleh  rasa ‘helpless’ dan sikap “cuek” yang berkepanjangan.

 

{mosimage}

 Globalisasi vs Nasionalisme

Globalisasi dan terbukanya arus informasi membuat kita sekarang ini bisa dengan mudah mem-benchmark kondisi kita dengan negara lain. Kondisi masyarakat kita yang masih belum berkemakmuran dan belum tertata, tak jarang menumbuhkan rasa kecewa dan frustasi saat kita menyaksikan kemilaunya nilai-nilai kontemporer di kawasan internasional. Kita yang berkesempatan melakukan banyak interaksi eksternal, bepergian ke negara-negara maju, menikmati fasilitas publiknya yang begitu nyaman dan modern pun mudah sekali mengalami konflik antara mengagumi kemajuan yang dicapai negara lain dengan menghargai apa yang kita punya di tanah air. Rasa frustasi dan tidak menghargai tanah air dan bumi yang kita pijak, tentu saja sangat berbahaya. Bukankah kita lebih baik bersama-sama menumbuhkan akar pemikiran yang dalam mengenai peran dan kontribusi kita dan memikirkan ‘mengapa kita di sini’?

Kita memang tidak bisa menghindari globalisasi. Itu sebabnya kita perlu memutar otak dan memanfaatkan imbas globalisasi ke arah hal-hal yang positif. Bila kita terus mengembangkan rasa cinta, rasa hormat, rasa memiliki, semangat ingin memajukan bangsa, dan niat untuk menjaga martabat bangsa dan negaranya, globalisasi tentu akan terasa sebagai peluang untuk menunjukkan kebanggaan kita pada bangsa, memamerkan keluhuran nilai dan budaya yang ada. Bukankah globalisasi juga menjadi ‘timing’ yang baik untuk memasarkan produk Indonesia ke market internasional? Memang adalah tanggung jawab kita untuk membangun budaya bangsa. Ingat bahwa budaya tidak semata produk seni dan gaya hidup belaka, sebagaimana ungkapan Pemimpin India, Jawaharlal Nehru: “Culture is the widening of the mind and of the spirit.”

Mengisi Wawasan Kebangsaan

Saya terperangah, menyaksikan lomba cerdas cermat mengenai wawasan Indonesia yang dilakukan di sebuah sekolah “nasional plus”. Soal-soal yang diberikan bukan semata hafalan Pancasila atau lagu-lagu wajib, tetapi para peserta juga diminta untuk menjelaskan perbedaan prinsip antara wayang golek dan wayang kulit. Para murid ini pun diajukan pertanyaan mengenai kecenderungan bereaksi dan cara menunjukkan sikap berbangsa dalam menghadapi situasi-situasi yang berkonflik. Memang sangat terasa, semakin kita mengenal bangsa kita, semakin tumbuh rasa bangga dan cinta pada bangsa. Saya jadi bertanya-tanya, apakah pelajaran ini memang wajib ada di setiap sekolah dasar sampai sekarang? Bukankah hal ini tak kalah pentingnya dengan orientasi global, sains, dan teknologi? Tentu tak cukup bila wawasan bernegara atau pelajaran bela negara hanya diberikan kepada militer saja, bukan?

Banyak ujian dan pertanyaan yang perlu kita jawab untuk menyikapi “krisis” kebangsaan yang kerap kita lihat di depan mata kita. Kita perlu bertanya, sudahkah kita menangkap aspirasi pelajar juara kompetisi sains dan peneliti-peneliti pintar agar mereka tidak membaktikan dirinya kepada institusi di luar Indonesia? Bagaimana dengan pengembangan produk Indonesia? Sudahkah kita memberi ruang dan memakai produk buatan dalam negeri, meskipun belum 100% sama kualitasnya dengan buatan asing? Bukankah hanya dengan memberi kesempatan dan menggunakan produk Indonesia kita menolong produk Indonesia untuk bisa berkompetisi di arena global secara mandiri? Tentu kita juga harus bertanya, sudahkan kita menjaga agar kreasi, kesenian, desain, arsitektur masyarakat tetap dikembangkan dan tidak terimbas pada budaya instan yang hanya bisa membeli, membeli dan membeli? Ini memang panggilan untuk kita semua yang tentu saja memiliki wawasan kebangsaan. Kitalah yang perlu aktif mengembangkan, memanfaatkan dan memakai, dan tidak sekedar mengkritik, kecewa dan ikut memperluas krisis kebangsaan. Tak ada kata terlambat untuk mulai lebih memahami, kemudian menunjukkan dalam tindakan nyata rasa bangga dan kecintaan terhadap tanah air, dari hal yang kecil, sejak dari sekarang.

(Dimuat di KOMPAS, 16 Oktober 2010)

articles/wawasan-bangsa1.jpg|||0||bottom||
articles/wawasan-bangsa2.jpg|||0||bottom||

Bahasa Action

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pergantian pucuk pimpinan beberapa lembaga tinggi negara yang perannya sangat strategis telah menyedot perhatian kita dalam beberapa minggu terakhir ini. Tidak habis-habis diulas, dikupas, dibahas kualitas dan kompetensi pemimpin yang perlu dimiliki oleh sosok yang nantinya akan mengisi jabatan tersebut. Apakah pemimpin perlu tahu segala hal sampai ke detil? Ataukah lebih baik yang sekedar paham “big picture”-nya saja? Apakah lebih tepat yang cepat ambil tindakan ataukah lebih baik yang mau mendengarkan berbagai pendapat dan membuat pertimbangan yang matang dalam tiap langkah? Bagaimana komposisi yang “pas”? Tidak hanya di tingkat negara, namun di banyak perusahaan pun kita kerap melihat sulitnya memilih dan menentukan sosok yang bisa mewakili harapan banyak pihak.

Dalam pembahasan mengenai leadership, kita kerap membaca ulasan mengenai bedanya “manajer” dan “leader”. Di lapangan dan di atas kertas, kita memang melihat bahwa pemimpin punya “derajat” yang lebih tinggi dari manajer. Manajer lebih dipandang sebagai ahli dalam pelaksanaan dan motor untuk mencapai hasil yang diinginkan. Sementara, pemimpin dipandang memiliki peran yang lebih strategis. Ia harus punya visi ke masa depan, menentukan arah, memilih strategi dan sekaligus memiliki kemampuan persuasi untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya bergerak ke arah yang diinginkan. Ahli manajemen, Peter F. Drucker pun berkomentar "Management is doing things right; leadership is doing the right things." Pertanyaannya, apakah kita membutuhkan pemimpin dengan kemampuan manajerial yang kuat atau manajer dengan kepemimpinan yang kuat?

 

{mosimage}

Meramu Kompetensi Manajerial dan Kepemimpinan

Banyak nasehat yang beredar mengenai teknik kepemimpinan untuk lebih melihat permasalahan secara menyeluruh, dari sudut pandang helicopter dan melihat jauh ke depan. Padahal, di sisi lain, kita tahu Xerox tidak akan selamat dari keterpurukan bila Anne Mulcahy tidak membenahi setiap detil perusahaan itu, pada masa-masa awal kepemimpinannya. Di samping mimpi dan visi yang jauh dan progresif, jagoan-jagoan seperti Francis Ford Coppola atau Steve Jobs pun ternyata adalah orang-orang yang sangat mendalami industri dan keahlian yang diperlukan dalam lini bisnisnya dan selalu mempelajari semua persoalan secara in-depth. Ini berarti pemisahan antara fungsi kompetensi manajerial dan kepemimpinan sudah tidak bisa kita lakukan secara ekstrim. Bahkan, perlu kita akui bahwa di samping kapasitas kepemimpinan yang harus digali dari seorang manajer, seorang pemimpin juga perlu mewarnai kapasitas memimpinnya dengan hal-hal yang berbau “how it will be done”.

Saya jadi teringat nasehat seseorang yang sudah bisa tergolong begawan di dalam lini bisnis telekomunikasi. Ketika seorang CEO baru berkunjung dan mempertanyakan kegagalan-kegagalan pendahulunya. senior ini hanya menganjurkan untuk berkunjung ke ‘pasar’ dan mendapatkan ‘rasa’ dan ‘pengalaman pelanggan’ yang sesungguhnya. Nasihat ini tentu menyadarkan bahwa pemimpin tidak akan bisa membuat terobosan dan keputusan yang tajam, bila ia tidak menjiwai, merasakan dan menghayati kebutuhan anak buah dan “pelanggan” di lapangan.

Harus kita akui, banyak sekali pemimpin yang dianggap oleh anak buahnya sebagai “ahli teori”, namun tidak mengenal keadaan anak buahnya sama sekali. Pemimpin tipe “big picture only” ini mungkin saja tersandung pembuatan keputusan yang hanya berdasarkan data di kertas, namun tidak mempunyai akses pada realita di lapangan. Tak heran bila kita pun sering mendengar komplain adanya keputusan yang kaku dan “tidak mau tahu”. Ini juga tampaknya yang mendasari tuntutan agar para pemimpin harus senantiasa ingat untuk “walk the talk”. Tidak bisa sekedar memberi instruksi perubahan atau pengembangan di atas kertas, namun harus senantiasa mengikuti sampai implemetasinya. Bukankah ini juga yang bisa kita pelajari dari Steve Jobs. Secara teratur ia mendatangi Apple store di setiap kota yang dia kunjungi. Kedekatan dan pemahaman dengan kondisi di lapangan inilah yang membuatnya bisa senantiasa mengambil keputusan dan tindakan progresif yang terbukti membawa perusahaannya menjadi terdepan.

“Action” Tidak Bisa dipertukarkan dengan Konsep

Seringkali pemimpin berhadapan dengan masalah, berkutat membahas, menganalisanya berhari-hari. Pada saat menyusun action plan, entah karena habis tenaga atau memang menganggap bahwa action itu mudah dan ‘taken for granted’, perumusan tindakan pun digambarkan seadanya saja. Padahal action plan pun harus ditelaah kembali, perlu betul-betul dipastikan apakah memang akan bisa membawa perubahan signifikan atau tidaknya. Action plan juga dbutuhkan untuk menjamin follow up dan mempermudah pengecekan. Bisa kita lihat sendiri betapa kebijakan kebijakan yang dibuat oleh penguasa negara sering tidak berbuah perubahan, karena tindak lanjut yang tak jelas.

Dari sebuah simulasi kegiatan pada pelatihan kepemimpinan, tidak satu pun kelompok yang mendapat tugas merancang perubahan, menyertakan time frame dan action plan yang mendetil. Di sini kita bisa berkaca bahwa sosok pemimpin yang dibayangkan  seringkali adalah sosok yang tidak perlu ‘go into details’. Padahal  jarak antara perancangan dan tindakan ini bagaikan jurang yang dalam yang bahkan terkadang misterius. Dengan tidak diterjemahkannya konsep ke dalam ‘action’, kita tidak bisa melihat nilai, konflik bahkan ketakutan-ketakutan apa yang menghambat pelaksanaan perubahan. Setiap anak buah pastinya menunggu-nunggu pernyataan pemimpin untuk menggerakkan perbaikan proses,sumberdaya manusia, infrastruktur dan mental di lembaga yang dipimpinnya. Semakin nyata instruksi mengenai sasaran, tindakan apa yang perlu dilakukan, kapan dan seberapa besar cakupannya, akan semakin bisa kita menjamin adanya langkah perubahan dan perbaikan proses. Sehebat-hebatnya visi pemimpin, arahan tindakannya harus jelas.

(Dimuat di KOMPAS, 2 Oktober 2010

articles/bahasa-action1.jpg|||0||bottom||
articles/bahasa-action2.jpg|||0||bottom||

Lestari

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita banyak melihat pengusaha yang merintis usaha dari nol dan kemudian tumbuh jadi besar, misalnya saja Bob Sadino. Dari sekedar tukang telur, beliau kemudian kita kenal sebagai pionir pasar modern. Saat supermarketnya dirobohkan dan diganti apartemen, banyak orang dengan sedikit melankolis mempertanyakan, apakah Kemchicks masih akan bertahan? Apakah suasana ‘homey’, daging dengan kualitas nomor satu, dan pelayanan ekstra yang diberikan suami istri Bob bila pengunjung membludak, masih bisa dirasakan oleh pelanggan? Apakah karyawan yang ‘happy’ dan siap memberi informasi masih akan eksis di perusahaan yang sudah berubah menjadi ‘franchise’ dan ‘mungkin saja’ berubah kepemilikan? Apakah Kemchicks akan bisa bertahan dan hidup terus sebagai lembaga yang melegenda? Tentu saja ada alasan kuat mengapa kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita tahu, betapa mengelola “sustainability”, menjaga kualitas, mempertahankan kesuksesan bukan hal mudah.

Tidak bisa kita pungkiri, kita akan segera melihat dan membicarakan siapa pemimpinnya, bila sebuah tim, organisasi atau bahkan negara berhasil menorehkan catatan sukses, atau sebaliknya, mandek bahkan tenggelam. Suksesi kepemimpinan tak jarang disorot sebagai penyebab kegagalan dalam meraih atau mempertahankan prestasi, gengsi dan nama baik. Bukankah kita sering menyaksikan suksesi kepemimpinan yang dikomentari dengan sinis oleh “orang dalam” maupun “orang luar”. “Perusahaan kita sudah tidak seperti dulu lagi…”. “Waktu dipimpin pak Anu kami merasa diperhatikan, komunikasi lancar, laba perusahaan pun terasa oleh karyawan.”. Perusahaan seperti 3M atau Citibank yang bisa bertahan berjaya meskipun berulang kali berganti kepemimpinan tentu mengundang kekaguman kita. Para ex-karyawan Citibank dengan Citicorps nya senantiasa berbicara mengenai hal-hal baik tentang perusahaan dan mantan tempat kerjanya. Bagaimana dengan negara kita setelah 65 tahun mengalami 6 kali pergantian kepemimpinan? Mengapa terasa betapa rasa bangga sebagai bangsa terkikis dan tidak berkembang? Apakah generasi baru kita sudah terseret dalam suatu era teknologi yang begitu canggihnya, sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk melihat kehebatan bangsa dan merasakan nasionalisme seperti dulu? Apakah memang kondisi sosial, ekonomi dan politik dunia mengharuskan tatanan dan kebijakan ekonomi meninggalkan  dasarnya? Atau, para suksesor, pemimpin dan pejabat negara, tidak lagi berusaha keras untuk menjaga “core perspectives” yang sudah dicanangkan oleh ‘founders’ negeri ini? Mengapa ada lagu :”nenek moyangku orang pelaut” dan kenyataan bahwa negara kita negara maritim terbesar di dunia, karena 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan, tapi kita ragu ragu menangkap ‘pencuri ikan’? Apakah kita meragukan  prinsip bahwa kita memang negara maritim?

{mosimage}

Menjaga Benang Merah

Setiap memulai tahun baru, kita biasanya ingin mempunyai resolusi baru, perubahan terhadap kebiasaan yang usang dan tidak efektif lagi. Saat baru mendapat promosi, kita pun merasa punya spirit dan tekad untuk menunjukkan sisi dan peran diri kita yang baru. Gejala ini juga bisa kita rasakan saat seseorang diangkat menjadi pemimpin baru. Secara alamiah ia akan terdorong untuk bertindak menjawab tantangan dan harapan dari para bawahan akan adanya perubahan baru. Jack Welsch dan Cacuk Sudarijanto terkenal dengan tindakan berani “tidak populer”, yaitu memangkas sumber daya manusia besar-besaran, agar perusahaan tetap produktif dan tidak kolaps. Terbukti, apa yang dilakukannya berhasil membawa perusahaan terus mencatat laba dan kesuksesan. Pertanyaannya, apakah memang setiap pemimpin perlu melakukan perombakan total, mengambil langkah berbalik 180 derajat?

Jim Collins, dalam bukunya “Built to last”( 1997), memberi kiat pada para pemimpin yang ingin menjaga keberhasilan, “Leaders must be prepared to change everything about itself except its basic beliefs as it moves through corporate life.” Ini berarti bahwa seorang suksesor, sebetulnya bisa memanfaatkan sejarah, dan praktik praktik lama yang belum usang dan efektif. Tuntutan jaman memang otomatis menuntut pemimpin untuk jeli dan kuat dalam menelurkan inovasi dan inisiatif baru. Namun, praktik-praktik yang terbukti sukses tentu perlu dipelajari dan dilestarikan. Pemimpin perlu sadar akan tuntutan untuk menjaga “benang merah” dari organisasi atau lembaga, mengidentifikasi dengan tegas apa yang harus diubah dan apa yang harus dipertahankan. Pemimpin ibarat tetap menggunakan waktu sebagai patokan tetapi tidak hanya menonton menunggu waktu. Ia boleh menciptakan jam baru, tetapi detak dan ketukan jam perlu tetap terjaga.

Ujian Visi

Hal yang nyata-nyata membawa perubahan adalah bahwa sumberdaya alam kita semakin terbatas, sehingga hidup perusahaan dan negara tidak seleluasa dulu. Pemimpin betul-betul harus cermat mempertimbangkan efektivitas dan efisiensinya. Teknologi, sebagai sumber daya baru, pun perlu dioptimalkan agar kita bisa terus kompetitif menghadapi persaingan. Bagaimana dengan sumber daya manusia? Kita lihat, meskipun sumberdaya manusia begitu tak terbatas potensinya, namun tak jarang pemimpin menghindar untuk “menggarap”-nya, karena bersifat vokal, ntur, licin, “hidup” dan bisa mengkritik. 

Tidak hanya pengelolaan sumber daya yang menjadi “ujian” bagi seorang pemimpin, namun visi pun juga bentuk ujian kepemimpinan. Tak heran, para direktur di perusahaan legendaris, GE, harus menjalani ujian tahunan  seputar visi perusahaan. Dalam buku “Built to last”, Jim Collins juga menyebutkan bahwa bahwa perusahaan atau lembaga yang mempunyai visi yang benar adalah perusahaan atau lembaga yang mempunyai ‘impact’ terhadap sekitarnya, bahkan dunia. Perusahaan tersebut perlu menggugah “stakeholders’-nya secara konstan dan selalu sadar akan tuntutan untuk menciptakan ‘moments of truth’. Impact ini hanya bisa bergaung bila memperhitungkan akumulasi  maneuver-manuver perusahaan atau lembaga, yang sukses,  terdahulu.

Negara Indonesia pun bisa mempelajari manuver apa yang dilakukan para pemimpin kita ditahun 1945, 1948, 1955, dalam mempengaruhi dunia, untuk ‘mendunia’ di masa sekarang.  Artinya, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar, seorang pemimpin perlu sekaligus mempersiapkan organisasinya untuk menghadapi perubahan-perubahan terkini. Perusahaan 3M tetap jaya setelah puluhan kali gonta ganti pemimpin, karena semboyan “keep innovating” mewarnai  seluruh aktivitas dan proses binis perusahaan. Meski tiap CEO memiliki gayanya masing-masing, namun inovasi terus menjadi spirit yang dijaga dan dilestarikan. Ini tentunya berbeda dengan semangat “ganti pimpinan, ganti kebijakan”.   

Kita sadar bahwa tuntutan jaman, keadaan pasar, keadaan ekonomi bertambah kompleks. Populasi bertambah, karakteristik manusianya pun sangat berbeda dari generasi puluhan tahun lalu. Namun, kita memang sama-sama harus serius mengambil langkah untuk memastikan keberlanjutan dari sebuah usaha, prestasi, maupun good governance. Sebagai bangsa yang sudah 65 tahun merdeka, kita  juga tentu ingin benang merah, core values dan core perspectives kita jelas. Supaya paling tidak  kita tahu ke mana kita akan  mengembangkan karir anak cucu kita.

(Dimuat di KOMPAS, 21 Agustus 2010)

articles/lestari1.jpg|||0||bottom||
articles/lestari2.jpg|||0||bottom||

Ciamik

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di sebuah perusahaan, sekelompok orang tengah berbangga hati, karena proposal proyek yang mereka garap memenangkan tender. Menurut mereka, proposal yang dikerjakan sangat bagus dan menarik. Dalam kondisi seperti ini, siapa sih yang tidak ingin dipuji oleh atasan? Ketika secara antusias melaporkan kesuksesan mereka pada pimpinan, beliau hanya berkomentar bahwa kualitas proposal dan perencanaan yang mereka buat memang telah memenuhi kriteria pelanggan dan kebutuhan pasar. Namun, Pak Direktur lebih lanjut mengatakan bahwa proposal itu tidak istimewa dan belum memenuhi standar dirinya. Tim pembuat proposal lemas. Seketika muncul gerutuan di antara mereka: “Mengapa sih, kerja kita tidak dihargai pimpinan?” “Mengapa pimpinan kita tidak ada puas-puasnya?”. Dalam situasi ini, seorang manager berkomentar, menyetujui pendapat pimpinan perusahaan:”Rasanya kita memang tidak boleh cepat puas dengan standar kerja yang biasa-biasa saja. Standar of excellence  kita harus lebih tinggi dari tuntutan perusahaan, atasan dan pelanggan. Hanya dengan mencanangkan standar tinggi, dan mendera diri untuk berkinerja sangat-sangat baik, kita bisa kompetitif.”

Kalau direnungkan lagi, kita semua pasti setuju bahwa memang sulit untuk bersaing, bila kinerja kita biasa-biasa saja. Kita segera akan dilindas oleh orang yang berkinerja sedikit lebih baik saja. Hanya dengan lari jauh di depan dan berkinerja sangat baik kita bisa menarik pelanggan tanpa harus “berdarah-darah” berkompetisi dengan yang lain. Dengan berprestasi sedang-sedang saja, bagaimana mungkin kita bisa menciptakan bahasa programming yang canggih? Tanpa standar of excellence yang tinggi mana mungkin tercipta teknologi I-Mac atau VW Beetle yang bisa bertahan puluhan tahun? Jika kita tidak memasang standar tinggi dan mendera diri untuk melampaui standar yang ada, bagaimana bisa kita membuat terobosan dalam produk, servis dan prestasi yang bisa mengharumkan nama bangsa?

 

{mosimage}

Anti ‘biasa-biasa saja”      

Seorang teman berkomentar, tentu saja semua orang ingin berprestasi prima. Tidak sedikit orang yang berupaya keras untuk mencapai prestasi terbaik. Tantangan kita sebenarnya adalah kinerja yang tidak stabil, alias turun-naik. Disadari ataupun tidak, kita sering kali mentolerir kesalahan, membiarkan kesalahan terjadi berulang kali dan menganggap bahwa kesalahan adalah hal yang “manusiawi”. Padahal, suatu produk atau jasa baru bisa disebut excellent bila ia sempurna 100%. Bagaimana kalau kita mentolerir ada 1% saja kejadian malpraktek dalam operasi bedah di rumah sakit? Jika setiap pekan terjadi 500.000 operasi di seluruh dunia, berarti kita mentolerir 5 ribu kejadian malpraktek. Bukankah hal ini sangat membahayakan? Itu sebabnya kita tidak bisa mentolerir kinerja yang tidak konsisten, tidak stabil atau “on-off”.

Saya merasa ‘surprised’ saat seorang dokter yang saya kunjungi minggu lalu menelpon dan menanyakan apakah obat yang ia berikan mempan atau tidak? Sikap terkejut dengan ‘standard of excellence’ orang lain sebetulnya sama dengan sikap kita yang longgar dan cenderung ‘memaafkan’ diri sendiri terhadap mutu kinerja kita yang tidak sempurna. Bila kita benar-benar ingin menonjol, excellence harus menjadi gaya hidup dan sikap dalam semua aspek hidup kita. Bagaimana kita bisa mencapai ambisi untuk berprestasi prima di bidang olahraga, jika kita tidak merasa bersalah bila menunda waktu latihan? Saat sudah mencapai suatu keberhasilan, bukankah banyak orang yang merasa marah atau kesal bila ia dikritik oleh orang lain? Padahal excellence adalah ‘mindset’ dan sikap proaktif, di mana kita tidak cepat puas dengan keberhasilan kita, senantiasa berusaha melakukan kritik diri sebelum dikritik orang lain dan selalu waspada terhadap berkurangnya mutu kinerja kita. Kita lihat bahwa kesulitan untuk mempertahankan sikap tersebut terutama berada di dalam diri kita sendiri.

Berbeda secara Signifikan

Ratusan, bahkan ribuan orang, mengikuti kontes putri kecantikan atau ajang pencarian bakat yang sedang menjamur. Apa yang membuat seorang kontestan terpilih dan mengalahkan kontestan yang lain? Jawabannya hanya satu: Excellence! Seorang putri kecantikan sudah pasti tidak bisa sedikit gendut, atau sedikit pendek, atau sedikit bodoh ataupun sedikit tidak berkepribadian. Dia harus memiliki semua komponen dengan ciamik dan dramatik. Barulah ia bisa menonjol dan dibedakan dari pesaingnya.

Secara personal maupun professional, bila kita sudah terbukti berbeda dan memiliki tingkat “excellence” yang tidak bisa “digoyang”, kita tentu tidak lagi perlu lelah-lelah memasarkan diri. Itulah sebabnya, setiap individu maupun organisasi perlu berpikir dua kali, bila di dalam misinya tidak tercantum keinginan untuk mencapai tingkat kinerja yang sangat-sangat baik. Kita perlu memerangi sikap toleran terhadap kondisi sedang, biasa-biasa atau mediocre. Tom Peters, seorang ahli manajemen yang sangat berobsesi pada sikap dan keyakinan mengenai excellence, dalam buku terbarunya “The Little BIG things”, mengemukakan: “Excellence is sooo….cool! Let’s punish mediocre success”.

Bagaimana memerangi “mediocre”? Langkah pertama adalah mengidentifikasi kondisi yang “baik”, tapi belum bisa diacungi 2 jempol. Misalnya, dalam sebuah restoran, pengunjung berkomentar:”Yah…, lumayan. Makanannya segar, tapi rasanya tidak bisa dibilang special”. Kondisi inilah yang perlu kita anggap sebagai titik awal upaya perbaikan kita. Kita tidak boleh ragu untuk menggeser standar kualitas ke tingkat terbaik, tanpa kompromi. Standar memang diciptakan untuk digeser-geser. Standar memang digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan tingkat konsistensi kita. Pribadi atau lembaga yang mengejar ‘standard of excellence’ biasanya  lebih action oriented, dekat dengan pelanggan, tidak birokratis, ber’jiwa’muda, penuh rasa ingin tahu, dan ceria. Jadi, ”standard ef excellence” menjadi bagian dari keseharian dan tidak menciptakan stres.

(Dimuat di KOMPAS, 4 September 2010)

articles/ciamik2.jpg|||0||bottom||
articles/ciamik1.jpg|||0||bottom||

Gaya Baru

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Satu – dua dasawarsa lalu, kita masih banyak menemukan kantor-kantor atau toko tutup jam 2 siang dan menerima situasi tersebut sebagai hal yang biasa. Bila kita menemukan situasi semacam itu sekarang, kita pastinya tertawa dan akan segera memberi cap “jadul” (jaman dulu)! Kini, tidak hanya rumah sakit yang memberi pelayanan 24 jam. Apotik, supermarket, perbankan, wartel, bengkel dan toko kebutuhan sehari-hari pun berlomba-lomba memberi layanan sepanjang hari. Bukankah kini tidak aneh lagi kita melakukan diskusi, meeting, pelatihan dan pertemuan bisnis sampai tengah malam? Bekerja “long hours” telah menjadi rutinitas, bekerja saat wiken seakan sudah menjadi hal yang biasa. Bisakah kita bayangkan, apa jadinya bila kita tidak menemukan gaya baru dalam menghadapi situasi yang serba berubah seperti ini?

Kita lihat banyak organisasi yang menuntut karyawannya untuk bekerja lebih keras, lebih cepat dan menerapkan prosedur dan disiplin yang kaku. Namun, ternyata tetap saja mereka mengeluhkan kinerja dan produktivitas yang tidak sesuai harapan. Di tengah situasi kerja menekan, kita pun sering mendengar karyawan mengeluhkan atasannya: yang tidak ada puasnya lah, yang sering berubah-ubah lah atau memeras tenaga. Bagaimana kita menyikapi suasana kerja yang seakan-akan tidak lagi menyenangkan? Tuntutan ekonomi, sosial dan global begitu mengharuskan kita berpikir keras untuk me-“refresh” gaya kerja kita. Bila kita merasakan organisasi tidak berganti gaya selama puluhan tahun dan suasana bekerja tidak lagi bergairah, bukankah itu juga tanda-tanda kuat kita perlu berganti gaya atau bahkan berganti arah?

{mosimage}

Tertutup atau Terbuka?

Mana yang menurut Anda lebih baik, menahan dan menjaga rapat-rapat “rahasia dapur” kita atau membiarkan desain, produk dan distribusi kita bebas diakses dan dimanfaatkan seluas-luasnya? Tahukah Anda bahwa banyak akademisi handal di negara kita ternyata menyimpan rapat hasil penelitian mereka yang canggih dan bisa bermanfaat luas? Ada yang kuatir hasil karyanya dicontek orang, ada yang berstrategi untuk bertahun-tahun mencari mitra dan waktu yang tepat untuk mempublikasikan karyanya, sampai tak jarang karyanya sama sekali tidak sempat terpublikasikan atau bahkan menjadi basi. Masih bisakah kita menerapkan pendekatan menahan, menjaga dan menyimpan di jaman yang terus berubah seperti ini?

Dulu, perusahaan yang jeli menangkap kebutuhan pelanggan, jago memprediksi tren pasar, memiliki sistem dan prosedur yang lengkap, bisa kita pastikan akan merajai pasar. Mereka bisa “menangkap” banyak pelanggan dengan pendekatan yang kita kenal dengan “Push Platform”.  Namun, beberapa perusahaan kelas dunia sekarang justru meninggalkan “mindset” ini. Mereka tidak lagi mengejar pelanggan, tak lagi berorientasi memenuhi kebutuhan pelanggan, namun mereka membebaskan diri berinovasi, membuka diri terhadap masukan, belajar dari bidang yang berbeda, menciptakan nilai-nilai baru, menonjolkan keunikan produk dan layanan mereka. Ujung-ujungnya, pelanggan yang malah “mengejar” mereka. Gaya baru, “Pull Platform” inilah yang memampukan organisasi tidak sekedar bisa mengejar ketinggalannya, namun sebaliknya meng-“attract values”.

Perusahaan atau individu yang berorientasi menahan, menjaga, merahasiakan, apalagi memikirkan keuntungan diri sendiri kita lihat jadi sulit untuk bersaing dengan perusahaan yang terbuka, fleksibel, berinovasi dan mengandalkan strength values. Bukankah kita melihat perusahaan-perusahaan Cina dan India maju begitu pesat dengan “open production”, “open distribution” dan proses design yang kreatif? Contoh yang paling nyata adalah bertahannya perusahaan seperti Linux yang mengumandangkan “open source”, melawan Microsoft yang tertututup, menahan dan men-’charge’ semua layanannya. Tengok juga apa yang dilakukan Adidas dalam Adidas X David Beckham 2010 Lookbook. Manajemen Adidas mengungkapkan:” Adidas is going from strength to strength” . Kompetisi sudah tidak bisa kita lakukan dengan parameter uang lagi, demikian ungkap mereka, tetapi lebih kepada value creation.

Kolaborasi vs Senioritas

Bila dulu orang takut memangkas semua yang berbau senioritas karena bukti bahwa pengalaman sangat diperlukan dalam menjalankan bisnis, saat sekarang pembuktian terbalik sudah terjadi. Semakin kita menunggu orang agar berpengalaman, semakin lambat juga perkembangan perusahaan. “Satu satunya jalan adalah berkolaborasi. Semakin banyak partisipasi dan interaksi, semakin kinerja terakselerasi.” Inilah gaya kerja dan manajemen perusahaan perusahan India dan Cina,  seperti Li & Fung, Dachangjiang Group, Tata Group. Mereka yang dulunya terbelakang, sekarang menjadi buah bibir dan fokus bahasan manajemen gaya baru, karena pendekatan yang memanfaatkan upaya “network-centric”- nya.

Sebagai individu, kita masing-masing pun perlu “terbuka” dan berorientasi untuk berkolaborasi. Hal yang sering terlupakan adalah menelaah dan menghargai diri sendiri dan perusahaan kita sebagai kekuatan yang penting. Kita sendiri sering tidak sadar bahwa ada enerji lebih dan ‘power’ di dalam diri kita. Kita perlu meyakini kekuatan kita untuk bereksperimen, mengambil resiko, bahkan membuat perubahan. Kita perlu berpikir apa kekuatan diri kita yang bisa kita kontribusikan untuk menjadi nilai tambah pada tim dan pada pasar. Selanjutnya, Kita perlu memompa dan menggali apa yang secara lembaga atau individu bisa kita ‘kawinkan’, ‘campur’, kooperasikan dengan pihak lain. Bayangkan bila dalam sebuah perusahaan yang isinya 1000 orang semua orang berniat membuat 1 perubahan saja. Apalagi setiap individu itu kemudian mengkolaborasikan upayanya dengan teman yang lain. Perusahaan seperti ini pasti bisa membuat inovasi tanpa susah-susah berpikir keras lagi. Kita perlu meyakini bahwa kita memang terlahir imajinatif dan “resourceful”.

Menyuburkan “Passion”

Setiap CEO yang ditanya apa yang paling penting dalam organisasinya, akan menjawab satu kata: manusia. Namun, bila pengembangan talenta dalam organisasi mandek, biasanya top manajemen akan langsung menunjuk pada program-program pelatihan, coaching, mentoring dan segala macam upaya pengembangan SDM yang canggih dan mahal. Bila manusia dan talenta benar-benar penting, mengapa jarang kita dengar CEO yang segera menyingsingkan lengan baju untuk menangai sendiri orang-orang “penting” yang butuh pengembangan? Mengapa tidak banyak CEO yang menyatakan komitmen terhadap peningkatan “passion” di perusahaan? Padahal, ‘passion’ jauh melampaui kepuasan, baik pelanggan maupun karyawan. Hanya bermodalkan ‘passion’-lah, kinerja bisa meningkat ekstrim. Hanya passion yang menyebabkan karyawan tidak melakukan hitung2an “What’s in it for me”. Kita lihat, pendekatan pada manusia pun membutuhkan gaya baru. Jika tidak, kita tidak hanya membuat diri kita rawan kehilangan pasar dan pelanggan, namun juga ditinggalkan karyawan kita sendiri.

 

articles/gaya-baru-1.jpg|||0||bottom||
articles/gaya-baru-2.jpg|||0||bottom||

Lestari

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita banyak melihat pengusaha yang merintis usaha dari nol dan kemudian tumbuh jadi besar, misalnya saja Bob Sadino. Dari sekedar tukang telur, beliau kemudian kita kenal sebagai pionir pasar modern. Saat supermarketnya dirobohkan dan diganti apartemen, banyak orang dengan sedikit melankolis mempertanyakan, apakah Kemchicks masih akan bertahan? Apakah suasana ‘homey’, daging dengan kualitas nomor satu, dan pelayanan ekstra yang diberikan suami istri Bob bila pengunjung membludak, masih bisa dirasakan oleh pelanggan? Apakah karyawan yang ‘happy’ dan siap memberi informasi masih akan eksis di perusahaan yang sudah berubah menjadi ‘franchise’ dan ‘mungkin saja’ berubah kepemilikan? Apakah Kemchicks akan bisa bertahan dan hidup terus sebagai lembaga yang melegenda? Tentu saja ada alasan kuat mengapa kita mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kita tahu, betapa mengelola “sustainability”, menjaga kualitas, mempertahankan kesuksesan bukan hal mudah.

Tidak bisa kita pungkiri, kita akan segera melihat dan membicarakan siapa pemimpinnya, bila sebuah tim, organisasi atau bahkan negara berhasil menorehkan catatan sukses, atau sebaliknya, mandek bahkan tenggelam. Suksesi kepemimpinan tak jarang disorot sebagai penyebab kegagalan dalam meraih atau mempertahankan prestasi, gengsi dan nama baik. Bukankah kita sering menyaksikan suksesi kepemimpinan yang dikomentari dengan sinis oleh “orang dalam” maupun “orang luar”. “Perusahaan kita sudah tidak seperti dulu lagi…”. “Waktu dipimpin pak Anu kami merasa diperhatikan, komunikasi lancar, laba perusahaan pun terasa oleh karyawan.”. Perusahaan seperti 3M atau Citibank yang bisa bertahan berjaya meskipun berulang kali berganti kepemimpinan tentu mengundang kekaguman kita. Para ex-karyawan Citibank dengan Citicorps nya senantiasa berbicara mengenai hal-hal baik tentang perusahaan dan mantan tempat kerjanya. Bagaimana dengan negara kita setelah 65 tahun mengalami 6 kali pergantian kepemimpinan? Mengapa terasa betapa rasa bangga sebagai bangsa terkikis dan tidak berkembang? Apakah generasi baru kita sudah terseret dalam suatu era teknologi yang begitu canggihnya, sehingga mereka tidak punya kesempatan untuk melihat kehebatan bangsa dan merasakan nasionalisme seperti dulu? Apakah memang kondisi sosial, ekonomi dan politik dunia mengharuskan tatanan dan kebijakan ekonomi meninggalkan  dasarnya? Atau, para suksesor, pemimpin dan pejabat negara, tidak lagi berusaha keras untuk menjaga “core perspectives” yang sudah dicanangkan oleh ‘founders’ negeri ini? Mengapa ada lagu :”nenek moyangku orang pelaut” dan kenyataan bahwa negara kita negara maritim terbesar di dunia, karena 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan, tapi kita ragu ragu menangkap ‘pencuri ikan’? Apakah kita meragukan  prinsip bahwa kita memang negara maritim?

{mosimage}

Menjaga Benang Merah

Setiap memulai tahun baru, kita biasanya ingin mempunyai resolusi baru, perubahan terhadap kebiasaan yang usang dan tidak efektif lagi. Saat baru mendapat promosi, kita pun merasa punya spirit dan tekad untuk menunjukkan sisi dan peran diri kita yang baru. Gejala ini juga bisa kita rasakan saat seseorang diangkat menjadi pemimpin baru. Secara alamiah ia akan terdorong untuk bertindak menjawab tantangan dan harapan dari para bawahan akan adanya perubahan baru. Jack Welsch dan Cacuk Sudarijanto terkenal dengan tindakan berani “tidak populer”, yaitu memangkas sumber daya manusia besar-besaran, agar perusahaan tetap produktif dan tidak kolaps. Terbukti, apa yang dilakukannya berhasil membawa perusahaan terus mencatat laba dan kesuksesan. Pertanyaannya, apakah memang setiap pemimpin perlu melakukan perombakan total, mengambil langkah berbalik 180 derajat?

Jim Collins, dalam bukunya “Built to last”( 1997), memberi kiat pada para pemimpin yang ingin menjaga keberhasilan, “Leaders must be prepared to change everything about itself except its basic beliefs as it moves through corporate life.” Ini berarti bahwa seorang suksesor, sebetulnya bisa memanfaatkan sejarah, dan praktik praktik lama yang belum usang dan efektif. Tuntutan jaman memang otomatis menuntut pemimpin untuk jeli dan kuat dalam menelurkan inovasi dan inisiatif baru. Namun, praktik-praktik yang terbukti sukses tentu perlu dipelajari dan dilestarikan. Pemimpin perlu sadar akan tuntutan untuk menjaga “benang merah” dari organisasi atau lembaga, mengidentifikasi dengan tegas apa yang harus diubah dan apa yang harus dipertahankan. Pemimpin ibarat tetap menggunakan waktu sebagai patokan tetapi tidak hanya menonton menunggu waktu. Ia boleh menciptakan jam baru, tetapi detak dan ketukan jam perlu tetap terjaga.

Ujian Visi

Hal yang nyata-nyata membawa perubahan adalah bahwa sumberdaya alam kita semakin terbatas, sehingga hidup perusahaan dan negara tidak seleluasa dulu. Pemimpin betul-betul harus cermat mempertimbangkan efektivitas dan efisiensinya. Teknologi, sebagai sumber daya baru, pun perlu dioptimalkan agar kita bisa terus kompetitif menghadapi persaingan. Bagaimana dengan sumber daya manusia? Kita lihat, meskipun sumberdaya manusia begitu tak terbatas potensinya, namun tak jarang pemimpin menghindar untuk “menggarap”-nya, karena bersifat vokal, ntur, licin, “hidup” dan bisa mengkritik. 

Tidak hanya pengelolaan sumber daya yang menjadi “ujian” bagi seorang pemimpin, namun visi pun juga bentuk ujian kepemimpinan. Tak heran, para direktur di perusahaan legendaris, GE, harus menjalani ujian tahunan  seputar visi perusahaan. Dalam buku “Built to last”, Jim Collins juga menyebutkan bahwa bahwa perusahaan atau lembaga yang mempunyai visi yang benar adalah perusahaan atau lembaga yang mempunyai ‘impact’ terhadap sekitarnya, bahkan dunia. Perusahaan tersebut perlu menggugah “stakeholders’-nya secara konstan dan selalu sadar akan tuntutan untuk menciptakan ‘moments of truth’. Impact ini hanya bisa bergaung bila memperhitungkan akumulasi  maneuver-manuver perusahaan atau lembaga, yang sukses,  terdahulu.

Negara Indonesia pun bisa mempelajari manuver apa yang dilakukan para pemimpin kita ditahun 1945, 1948, 1955, dalam mempengaruhi dunia, untuk ‘mendunia’ di masa sekarang.  Artinya, tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar, seorang pemimpin perlu sekaligus mempersiapkan organisasinya untuk menghadapi perubahan-perubahan terkini. Perusahaan 3M tetap jaya setelah puluhan kali gonta ganti pemimpin, karena semboyan “keep innovating” mewarnai  seluruh aktivitas dan proses binis perusahaan. Meski tiap CEO memiliki gayanya masing-masing, namun inovasi terus menjadi spirit yang dijaga dan dilestarikan. Ini tentunya berbeda dengan semangat “ganti pimpinan, ganti kebijakan”.   

Kita sadar bahwa tuntutan jaman, keadaan pasar, keadaan ekonomi bertambah kompleks. Populasi bertambah, karakteristik manusianya pun sangat berbeda dari generasi puluhan tahun lalu. Namun, kita memang sama-sama harus serius mengambil langkah untuk memastikan keberlanjutan dari sebuah usaha, prestasi, maupun good governance. Sebagai bangsa yang sudah 65 tahun merdeka, kita  juga tentu ingin benang merah, core values dan core perspectives kita jelas. Supaya paling tidak  kita tahu ke mana kita akan  mengembangkan karir anak cucu kita.

(Dimuat di KOMPAS, 21 Agustus 2010)

articles/lestari1.jpg|||0||bottom||
articles/lestari2.jpg|||0||bottom||

Pamer Kuasa

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita tentu bersungut-sungut saat ada pejabat atau individu yang memanfaatkan ajudan-ajudannya untuk menerobos kemacetan, menutupi jalur jalan umum, meminta dispensasi atau menyelak proses. Seketika terasa kita seolah-olah tidak punya hak yang sama untuk menggunakan fasilitas publik yang tersedia, harus mengalah dari orang yang punya “kuasa”. Ini mungkin salah satu sebab orang berlomba-lomba mengejar kekuasaan, karena seakan-akan individu jadi punya “kesaktian” lebih untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Terkadang kita sendiri pun mencatut atau memakai nama atasan untuk bisa mendapatkan informasi atau dukungan dari orang lain, bukan. Apakah benar yang kita amati bahwa begitu orang merasa kuat, ada kecenderungan dia “menginjak” kaki orang lain?

Saya pernah punya pengalaman berkesan, saat suatu maskapai penerbangan membatalkan jadual penerbangan. Penumpang yang ada pun kemudian berebut mendapatkan tempat di penerbangan maskapai lain. Semua orang punya kepentingan, semua orang berjuang untuk mendapatkan tempat yang terbatas. Tiba-tiba terdengar suara keras:”Anda tahu saya ini siapa?” Semua orang pun menoleh mencari sumber suara tersebut, sambil memasang muka bertanya-tanya, mengekspresikan ketidaktahuan. Ada seseorang di belakang, berbisik:”Mungkin saja dia nge-top di TV atau di kantornya, tapi di bandara tetap tidak nge-top”. Dalam situasi itu, petugas tiba-tiba menyodorkan“boarding pass” kepada seorang ibu yang membawa bayi dan neneknya. “Ini sudah prosedur kami, Pak” ujar petugas tersebut menjawab komplain penguasa yang ingin didahulukan. Pada situasi seperti ini, petugas maskapai-lah yang paling “berkuasa”. Ternyata dalam beberapa situasi, dengan uang sebanyak apa pun atau pangkat sebesar apa pun, individu tidak selalu mampu berbuat apa-apa. Pangkat, jabatan dan wewenang memang salah satu sumber power bagi individu. Namun, kita bisa menilai sendiri, apakah pemanfaatan “power” yang berasal dari otoritas dan legitimasi ini bisa efektif setiap waktu? Bagaimana bila “power” itu dicopot dan terlepas dari individu? Bagaimana nasib tim yang dipimpin oleh “tangan besi” ini sesudah si penguasa pergi?

 

{mosimage}

Mengundang kemurahan hati

Seorang atasan memang memungkinkan dirinya untuk “memaksa” bawahannya melakukan suatu, misalnya lembur untuk menyelesaikan pekerjaan. Meskipun si bawahan bisa saja tetap terlihat melakukan tugasnya, namun kita tidak tahu apakah ia menjalankan dengan keterlibatan 100%, 70% atau hanya di bibir saja. Banyak sekali orang berduit yang juga merasa bisa “membeli kepala” orang lain, baik itu pegawai, vendor ataupun pemberi jasa. Dalam situasi ini pun kita bertanya-tanya, apakah dengan keadaan “setengah terpaksa”, individu akan memberikan servis sepenuh hati pada orang-orang yang ‘berkuasa’ ini? Kenyataannya, di dunia ini setiap individu punya pilihan. Pelanggan bisa lari ke toko sebelah, vendor bisa mengundurkan diri, karyawan bisa ‘resign’ sesuai kemauannya, teman karib bisa ingkar, dan anggota tim pun bisa memisahkan diri.

Jim Collins, seorang guru manajemen, dalam bukunya: ”Good to Great”, mengungkapkan karakter model kepemimpinan baru yang ia sebut dengan “The Fifth-level leadership”. Ia mengungkapkan pada level tertinggi ini kepemimpinan didominasi oleh kerendahan hati dan kemauan keras. “…The CEOs of these remarkable companies were not aggressive, not self promoting and not self congratulatory. This relatively unique class of leader possesses the ability to “build enduring greatness through a paradoxical combination of personal humility plus professional will”. Pemimpin tidak menggunakan kekuasaan secara otoriter, namun mengajak dan meminta dukungan partisipatif dari anggota tim. Kita bisa menyaksikan dalam berbagai situasi sulit, banyak individu, anggota kelompok, yang dengan rela mengorbankan waktu dan spiritnya demi tercapainya tujuan dengan penuh kerelaan hati, tanpa tekanan. “Saya lembur karena kita memang harus mengejar deadline. Bukan semata karena disuruh atasan. Keluarga memang dikorbankan, tetapi ini tidak terjadi setiap hari, kok.” Demikian ungkap seorang karyawan. Bukankan situasi kepemimpinan seperti ini lebih indah dan menyenangkan, daripada situasi penuh penekanan?.

Apapun ‘posisi’ kita, sekali pun kita berada dalam situasi ‘memberi nafkah’, kita bisa belajar untuk mengundang kemurahan hati orang lain. Kita sebenarnya bisa mengganti ‘mindset’ dengan berpikir bahwa kita sedang dikelilingi oleh para ‘volunteer’. Kita bisa berlatih untuk lebih banyak membuat ‘request’ daripada memerintah. Kita perlu meyakini bahwa membangun hubungan penuh rasa percaya lebih “powerful” daripada membuat hirarki dan struktur politik. Secara otomatis, kerendahan hati justru menciptakan power dalam bentuk lain.

“Power” bisa mengembangkan jiwa

Tak jarang kita mendengar sikap pesimistis dan ungkapan tidak berdaya, misalnya: “kita belum merespon penawaran Anda karena atasan belum membacanya”, atau “Kalau formulir tidak lengkap, kita tidak bisa proses.” Dengan pemahaman bahwa kuasa tidak selamanya identik dengan otoritas dan tekanan, kita sebetulnya akan bisa mengembangkan power-power baru dan menghindari sikap “helplessness”. Power modern bisa kita tumbuhkan dari kekuatan menjangkau informasi, kekuatan interpersonal serta kekuatan men’deliver’  jasa dan produk yang berkualitas. Bukankah kita percaya bahwa hubungan baik dan trust dari rekan kerja, bawahan, klien akan menumbuhkan spirit tim yang tidak terharga nilainya dan begitu besar kekuatannya. Ini semua tentu saja akan membuat kita bisa menumbuhkan rasa aman, kepercayaan diri sekaligus memperkaya jiwa.

(Dimuat di KOMPAS, 14 Agustus 2010)

articles/pamer-kuasa.jpg|||0||bottom||
articles/pamer-kuasa2.jpg|||0||bottom||

Tulus

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang teman yang bisa dikatakan seorang ‘socialite’, kalau diamati lebih teliti, banyak menggunakan pujian bila bertemu dengan teman temannya.  Karena pujiannya itu terlalu monoton yaitu selalu mengatakan bahwa lawan bicaranya terlihat ‘lebih langsing’, teman kita ini langsung terlihat ketidak tulusannya. Bahkan bila menemuinya, saya teringat kata kata penyair Irlandia,  Oscar Wilde: “How clever you are, my dear! You never mean a single word you say”. Teman saya, yang  lebih ekstrim lagi, pasti akan berkomentar: “muna….” ( baca: munafik). Kita begitu banyak menyaksikan transasksi sosial yang terasa tidak diwarnai dengan hati, saling cium pipi bukan sekedar antara ibu ibu tetapi juga  bapak bapak, kepura-puraan beramal, spiritual, bijak, bermoral, yang sering membuat kita gundah, dan mencari-cari, siapa di lingkungan sosial kita ini yang bisa dipegang, janji, kata-kata maupun nasehat-nasehatnya. Pertanyaan juga: apakah  kesan yang kita dapat itu, disadari oleh individunya sendiri? Apakah ia sadar bahwa kata kata ungkapannya serta ekspresinya penuh kepura-puraan? Almarhum ayah saya selalu mengingatkan: “orang pada dasarnya selalu berniat baik, kalau dia berbuat tidak baik dimata kita, mungkin ia tidak menyadarinya”. C.G.Jung, psikiater Swiss, juga  berpendapat :” the hypocrisy is based on being   not aware of the dark or shadow-side of their nature”.  Membentuk  ‘image’, berbasa basi, berusaha agar terlihat ‘baik’ adalah revolusi individu untuk mengembangkan, bahkan memperbaharui dan mempertahankan eksistensinya di lingkungan sosial.  Pertanyaannya bisakah hal ini kita lakukan dengan ‘self-knowledge’ yang lebih tinggi agar supaya kadar ketulusannya juga bisa kita kembangkan? Bukankah dengan kesadaran diri yang lebih tinggi, rasa kemanusiaan yang ‘genuine’ akan lebih dirasakan individu sehingga hal ini bisa mengurangi ‘rasa keterasingan’ dan rasa percaya pada sesama manusia?

 

{mosimage}

Tinjau kembali ketulusan

Dalam sebuah pertemuan antara direktur pemasaran dan para kepala cabangnya di sebuah perusahaan raksasa, sang direktur menceriterakan betapa ketulusan bisa mengubah keluhan menjadi pengembangan bisnis. Tentunya dalam  situasi keluhan, mulut manis, senyum dan semua tata cara servis yang standar tidak selalu bisa berlaku lagi. Para pebisnis sangat paham dan bisa membedakan antara komitmen, permintaan maaf dan janji yang dikatakan dengan tulus dan basa basi apalagi kosong.  Kecocokan omongan dengan kenyataan di masyarakat sebenarnya  hanya memberlakukan ujian satu kali: ”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Terkadang, tanpa perlu ujian, orang yang cukup matang sudah bisa merasakan tulus tidaknya seseorang dalam satu kali pertemuan.

Demikian pula di organisasi. Bisa saja seseorang karena pandainya, katakanlah  bermanis mulut, mendapatkan simpati dari atasannya. Tentunya arah penilaian yang obyektif terletak pada kapabilitasnya. Disinilah ujian individu sebenarnya, untuk kembali menelaah dirinya: ”kompetenkah saya?” Kondisi yang sering ‘mengangkat’ individu karena kekuatan ‘lobby’ nya ini, sering menyebabkan individu malas berintrospeksi dan terbawa pada situasi ‘semu’ yang penuh ketidak benaran. Bahkan, ia akan berusaha keras, agar ketidak benaran ini dipertahankan melalui manuver-manuver yang ‘tricky’ lagi. Sebenarnya individu yang mulai lepas dari ‘self knowledge’ begini, sudah kehilangan kesempatan emas untuk maju. Ia mempunyai pandangan yang semu mengenai dirinya. Dan mulai tergantung pada atribut, norma, manuver sosial palsu saja untuk mempertahankan posisinya.

Tanpa harus mengurangi rasa percaya diri, sebenarnya setiap individu perlu duduk dan bersandar, untuk menelaah dirinya. Apakah informasi, pengetahuan, kapabilitas, ketrampilan, serta praktik-praktik yang dilakukannya  masih sejalan dengan kaidah profesi, kejujuran dan ‘fairness’ di lingkungan sosial yang  general. Groucho Marx: “The secret to life is honesty and fair dealing. If you can fake that, you’ve got it made”

Dengan contoh bahwa ketulusan bisa menguntungkan, bahkan di bidang bisnis, maka kita memang pantas mempertimbangkan untuk memperkuatnya dari hari ke hari. Kita bisa memulainya dengan lebih mendengarkan kata hati: apakah apa yang saya ucapkan ini benar datang dari lubuk hati yang paling dalam atau sekedar di bibir saja? Kitapun bisa meyakinkan diri, bahwa  ketidaktulusan bila diteruskan tidak akan berbuah manis. Bayangkan bila kita menjadi seorang pemimpin, bisakah kita membangkitkan ‘trust’ bila tidak tulus? Trust bila menjadi pelumas hubungan dan transaksi bisnis, sementara ketidaktulusan mau tidak mau akan menjadi penghambat.  Tanpa ketulusan, kebersamaan pun akan kering, tidak ber’nyawa’.

Tetap tulus ditengah politik dan kemunafikan

Beberapa teman yang tergabung dalam organisasi besar yang penuh dengan office politics, seperti menusuk dari belakang dan saling sikut menyikut, tetap bisa berjalan maju dengan tenang dan tidak  mengesankan terimbas oleh adanya pengaruh basa basi, cari muka, dan ketidak tulusan. Ketika saya tanyai salah seorang teman,  apa rahasianya, ia tenang tenang menjawab, “saya banyak melakukan komunikasi tertulis, di hampir semua komunikasi, formal dan tidak formal”. Dengan semua komunikasi tercatat begini, hampir tidak mungkin orang mengingkari apa yang pernah ia katakan. Selain itu, dengan menulis, kita bisa bermain kata-kata, mencari  ekspresi yang tepat, dan sekaligus bisa justru membudayakan transparansi, karena pembicaraan atau hasil pembicaraannya bisa kita ‘share’ dengan pihak yang perlu mengetahui dan terkait dengan urusan yang sedang dikerjakan. Kitapun dalam pemecahan masalah bisa menyebut kembali sasaran utama perusahaan sehingga dengan sendirinya motif pribadi akan tersingkir dan didominasi dengan motif untuk men-support sasaran dan nilai nilai perusahaan. ”Menulis membuat kita lebih ‘aware’ “ ungkapnya. Bila terasa masih ada agenda agenda pribadi, kita tidak perlu segan segan memberantasnya, kepentingan lembaga yang sebetulnya adalah kepentingan umum, pasti tidak bisa kalah oleh kepentingan pribadi. Rasanya tetap lebih baik membuang kemunafikan dari perbendaharaan ekspresi kita, karena metode itu perlahan lahan akan membunuh pribadi kita sendiri.

(Dimuat di KOMPAS, 7 Agustus 2010)

articles/tulus.jpg|||0||bottom||
articles/tulus2.jpg|||0||bottom||

Miskin

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Isu kemiskinan memang selalu menarik perhatian, seketika membangkitkan rasa “pahit” bagi kita. Dalam beberapa minggu terakhir, topik ini kembali diangkat sebagai headline berita Harian Kompas dan beberapa media lain. Diberitakan jumlah penduduk miskin meningkat dan angka kemiskinan bahkan berpotensi untuk terus meningkat. Ada beberapa daerah pedesaan yang angka kemiskinannya menurun, namun di daerah perkotaan justru malah angkanya naik. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi. Meskipun kita sudah masuk ke era kemajuan teknologi yang mutakhir, namun kemiskinan seakan terus menghantui negara-negara berkembang.

Begitu penting isu ini, sehingga kita tahu topik ini pun senantiasa dijadikan alat kampanye. Pengentasan kemiskinan seolah-olah bisa selesai, dengan membuat beragam program pemerintah. Kita melihat melalui berbagai pemberitaan betapa pemerintah pun telah mengupayakan berbagai langkah pengentasan kemiskinan, misalnya dengan pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya "bottom-up intervention", baik itu dengan padat karya, memberikan pelatihan kewirauasahaan, juga beragam pendidikan ketrampilan. Namun, setelah banyak pemikiran dan usaha dicurahkan, hasil yang diharapkan tidak juga kunjung terlihat. Benarkah kemiskinan merupakan sesuatu yang alergik, sehingga sulit dihindari oleh seluruh umat manusia?

{mosimage}

Kemiskinan yang Mana?

Kemiskinan secara dominan memang dianggap sebagai urusan yang bersifat ekonomis. Pembahasan kita biasanya difokuskan pada terbatasnya hak-hak dasar, seperti terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun, pernahkah kita memikirkan kemiskinan dari sudut lain dan berusaha melihatnya secara lebih multidimensional?,

Dari internet saya menemukan lagu suku Telugu, India, yang menggambarkan “Seven Kinds of Poverty Song”:

Lack of food , clothes , shelter is economic poverty.

Lack of education , skills, inability to think , is mental poverty.

Lack of social cohesion, disunity ,disregard for social responsibilities is social poverty.

Poor sanitation,poor hygiene, illness is bodily poverty.

Forgetting God, lack of Devotion, disregard for humanity is spiritual poverty.

Losing tradition ,losing arts and crafts ,is cultural poverty.

Apathy to vote, dirty politics ,lack of development is political poverty “.

Lagu ini menggelitik kita untuk merenungkan kembali apa yang menjadi kriteria kemiskinan dan memikirkan ulang skala kemiskinan yang kita gunakan. Nyata benar bahwa bangsa kita tidak hanya perlu berjuang untuk mengatasi keterpurukan dalam dimensi ekonomi, tapi kita pun perlu bahu membahu untuk mengangkat “kemiskinan” dalam segala dimensi. Bukan hanya tingkat pengangguran, kekerasan, putus sekolah, mahalnya pengobatan yang kita temui, tapi kita juga masih begitu dekat dengan kemiskinan dalam bentuk lain, yaitu kemunafikan dan sikap tidak peduli.

Sadar tidak sadar, kita sering membiarkan tumbuhnya sikap-sikap yang mendorong makin tingginya kesenjangan sosial. Kita pun belum sungguh-sungguh mengupayakan pemberantasan kemiskinan dari sisi mental maupun spiritual. Bukankah kita kerap melihat orang hanya bicara lalu membuang muka menghadapi kecurangan dan kemunafikan dalam menangani korupsi. Betapa kita membiarkan tradisi budaya bangsa ditelantarkan dan diganti dengan “budaya” baru yang sama sekali tidak berakar? Betapa kita seolah membuang muka terhadap ketidakmampuan orang di sekitar kita untuk menyekolahkan anak dengan layak? Betulkah kemiskinan adalah “helplessness”, tidak tertolong lagi?

Kesenjangan yang Dibiarkan

Apa yang kita lakukan bila melihat bocah kecil pengamen di samping mobil kita? Reaksi yang umum terjadi adalah mengingatkan anak kita untuk mawas diri, mengatakan bahwa hidupnya lebih beruntung, mengajarkannya berderma, memberi beberapa lembar rupiahan dan…, selesai. Terkadang kita tidak sadar bahwa partisipasi mengentaskan kemiskinan tidak sesederhana memberi uang pada kaum papa. Tidakkah kita sadari bahwa berbelanja berlebihan, mengkonsumsi makanan, air, listrik berlebihan, menyebabkan kita semakin tumpul mengira-ngira apa kebutuhan kita yang sebenarnya. Sikap apatis terhadap kecurangan, perusakan lingkungan, penggunaan kayu dan energi berlebihan pun sesungguhnya menyebabkan kita tidak bisa berhitung lagi apa yang perlu kita tegakkan untuk menjaga struktur dan menghindari timbulnya kesenjangan yang lebih besar.

Bayangkan apa jadinya bila kita terus memelihara sikap masa bodoh, malas berpikir dan tidak mau meluangkan waktu untuk memahami keindahan dan kekayaan alam, kebijaksanaan yang terkandung dalam tradisi kita? Kita harus kembali belajar untuk menghargai orang bukan dari apa yang ia miliki tetapi dari kekuatan mental dan daya pikirnya. Kita bisa berpartisipasi mengentaskan kemiskinan dengan membangun sikap cermat, kritis, menghargai pendapat, merespek orang lain, sehingga kita memiliki tabungan kekayaan pribadi yang bisa terus kita tularkan. Dengan demikian masyarakat tidak hanya melihat kaya-miskin dengan satu ukuran yaitu ukuran finansial saja.

Sikap Prihatin  sebagai Obat Kemiskinan

Memahami bahwa kemiskinan bukan semata dimensi ekonomi saja, kita tentu kini bisa menilai bahwa menggunakan zat pewarna tekstil untuk pewarna makanan untuk dijual dan mengkonsumsinya juga untuk keluarga sendiri adalah bentuk kemiskinan. Bila seorang sopir berusaha memenuhi keinginan anaknya  untuk memiliki telpon seluler  dengan upaya diluar etik dan norma kejujurannya, ini juga sisi lain dari kemiskinan.

Perilaku prihatin sama sekali bukan tanda kemiskinan. Justru kemiskinan adalah bila harga diri manusia dilekatkan pada benda-benda duniawi dan lupa pada ketulusan hati dan kebersihan jiwa. Dalam hidup prihatin sesungguhnya kita justru bisa lebih mempererat persaudaraan, lebih setia kepada sang pencipta. Menjauhkan pikiran dan tindakan menyombongkan diri, berhati-hati agar tidak merugikan orang lain dan alam pun adalah tindakan konkrit untuk mengatasi kesenjangan yang ada. Dengan sendirinya, kita bisa terhindar dari sifat mencari keuntungan pribadi. Bersamaan dengan itu kita pun bisa mengajak lingkungan di sekitar kita untuk menghemat pemanfaatan alam. Bangsa Indonesia tidak perlu menebang hutan berjuta hektar, mengeruk batu bara untuk mengentaskan kemiskinan. Memelihara sikap prihatin, bila dilakukan bersama-sama, akan bisa memberi energi dan kekuatan untuk kita bersama bangkit dari berbagai dimensi kemiskinan.

(Dimuat di KOMPAS, 24 Juli 2010)

articles/miskin2.jpg|||0||bottom||