Ujian

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saya iseng bertanya kepada beberapa anak usia 20 tahunan, apakah mereka tahu ungkapan peribahasa: “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Ternyata banyak yang tidak lagi mengenal ungkapan ini. Padahal ini peribahasa asli Indonesia. Saya bertanya-tanya, apakah mungkin ungkapan ini sudah tidak diajarkan lagi dalam pelajaran bahasa Indonesia? Saya terbayang sepuluh atau dua puluh tahun lalu, jika tidak mengenal peribahasa ini, bisa-bisa siswa tidak diluluskan dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Bicara soal ujian sekolah, betapa kita tidak prihatin menyaksikan banyaknya siswa yang shock melihat kenyataan ketidaklulusannya dalam ujian nasional. Ada yang pingsan, bahkan ada yang beramai-ramai merusak sekolahnya sendiri. Hal yang lebih menohok adalah melihat ujian nasional menjadi momok sampai-sampai ada jajaran guru dan sekolah yang tega melanggar etika, bekerja sama membocorkan soal dan kunci jawaban ujian untuk membantu siswanya lulus ujian nasional. Begitu kompleksnya persoalan, sehingga ujian nasional seakan menjadi misteri yang masih sulit dipecahkan.

Teman saya yang berkewarganegaraan asing bertanya-tanya, apakah tidak ada penyamaan kurikulum sehingga setiap guru dan siswa tahu jelas apa yang akan jadi soal pada saat ujian nasional dilaksanakan? Apakah kita memang sudah tidak happy dengan segala macam ujian, pengukuran, assessment, evaluasi, kalibrasi? Bukankah kita tahu bahwa hanya dengan adanya evaluasilah kita bisa menakar, menyamakan persepsi, menjatuhkan pilihan, mendiskualifikasi dan mengambil keputusan. Kita lihat gejala ini tidak hanya terjadi di sekolah. Kita pun melihat banyak orang tidak bisa menakar kompetensinya untuk menjadi calon pimpinan daerah, wakil rakyat, karena tidak jelasnya kriterianya, juga tidak jelasnya “ujian” yang mengesahkan kompetensinya untuk mengisi jabatan yang ada.

 

{mosimage}

 Menikmati Ujian

TKetika saya memasuki dunia perbankan, seorang mentor memberikan buku dasar dasar akuntansi yang praktis dan komprehensif. Ketika mentor menanyakan apakah saya sudah menjalankan ujian di bagian belakang, saya terus terang mengatakan bahwa saya tidak mengerjakannya. Saat kemudian mengerjakannya, ternyata saya tidak lulus, sehingga harus mempelajari buku tersebut dari awal. Kita lihat bahwa kita sangat perlu mengetes diri kita untuk melihat efektivitas tindakan kita. Bahkan kalau perlu alat-alat ukur itu bisa dilaksanakan secara mandiri sehingga individu bisa melakukan evaluasi diri dengan leluasa dan mengatur kinerjanya sesuai kekuatan pribadi.

Meskipun di satu sisi kita tahu bahwa pengukuran merupakan alat untuk menjaga efektivitas dan pencapaian, namun tidak dapat dimungkiri bahwa sebagian besar kita tersiksa menghadapinya. Sebuah penelitian membuktikan bahwa menjelang pengukuran kinerja akhir tahun di perusahaan, tingkat kepanikan yang tergambar dari index tekanan darah tinggi memang meningkat. Seorang konsultan menggambarkan, pintu-pintu yang biasanya terbuka, langsung ditutup dan diwarnai rapat-rapat evaluasi yang menegangkan. Inikah situasinya sehingga kita menghindari evaluasi, kalibrasi atau ujian? Bila dalam kehidupan sehari-hari kita tidak tahan dengan pengetesan ataupun evaluasi, apakah itu oleh atasan, teman, bahkan pelanggan, kita memang bisa dianggap belum lulus kompetensi tersebut.

Sosialisasikan Rahasianya

Seorang profesor pendidikan tersenyum-senyum, ketika saya tanyakan kok bisa-bisanya materi yang diujikan tidak diketahui oleh siswa yang akan diuji. Beliau mengatakan mengatakan, ”Ujian bukan tebak tebak buah manggis. Semua materi yang diujikan sudah sepantasnya diketahui oleh guru dan siswa.” Hal yang sama kita lihat terjadi juga di dunia kerja. Bila apa yang kita tuntut dari individu belum jelas, tentunya ia akan terkaget-kaget menerima evaluasi akhir tahunnya. Sosialisasi mengenai kriteria inilah yang sering kita lalaikan dalam proses evaluasi.

Dalam menentukan kriteria, rasanya kita bisa belajar dari olahraga bela diri yang punya ukuran keberhasilan sangat jelas. Melihat individu mengenakan sabuk hitam kita akan segera merasa segan karena tahu itu berarti senior yang sudah menjalani latihan paling tidak lima tahun. Dalam olahraga bela diri, tidak ikut latihan berapa kali, tidak boleh ikut ujian. Tidak memenuhi kriteria, harus mengulang latihan. Tidak mencapai level tertentu, bisa mendapat sabuk belang. Sebaliknya, bila lulus dengan nilai penuh, maka dengan muka cerah semua orang akan mengakui peningkatan peringkat.

Kriteria inilah yang sering kali tidak jelas, baik dalam pendidikan, dunia pekerjaan, bahkan sebagai warga masyarakat. Sebagai pengendara dan pemakai jalan, seberapa paham kita dengan uji emisi kendaraan bermotor? Yakinkah kita bahwa setiap sopir kendaraan mengetahui apa itu emisi? Apa standarnya? Bagaimana mengukurnya secara kasat mata? Apa bahayanya? Bila kriteria ini tidak dipahami, tentu menjadi rumit untuk menguji, apalagi bila pengukuran yang dilakukan berdampak hukuman. Katakanlah jika tidak lolos uji emisi, kendaraan tidak dapat izin operasi. Bila hasil ujian jeblok, anak tidak bisa masuk perguruan tinggi bahkan harus mengulang masa sekolahnya. Dengan dasar evaluasi kinerja, gaji tidak naik bahkan diganjar mutasi.

Kalau kita pelajari kembali, sebetulnya sistem kelas, sistem kepangkatan dan alat ukur seperti “key performance indicator” sudah ada sejak lama. Bila banyak ujian yang “meleset”, begitu banyak orang yang tidak lulus dan tidak happy dengan evaluasi, bukankah bisa jadi kriterianya yang perlu kita pertanyakan? Mungkin juga sosialisasinya yang kerap kita lalaikan. Inilah PR kita bersama, memperjelas standar ideal, mengapa standar itu dicanangkan, apa yang akan diuji dan bagaimana mengujinya. Dengan demikian kita bisa semakin nyaman dan mendapat manfaat yang sebesar-besarnya dari evaluasi dan penilaian.

(Dimuat di KOMPAS, 1 Mei 2010)

articles/ujian.jpg|||0||top||
articles/ujian2.jpg|||0||top||

Patuh

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Teman saya merasa tidak ‘cocok’ dengan atasannya. Ia mengatakan atasan sering tidak merespek dirinya, misalnya memarahinya di depan umum. Hubungan atasan-bawahan terasa tidak harmonis. Namun, tidak satu pun di antara kedua belah pihak, merasa bahwa ada yang salah dalam hubungan kerja mereka, padahal hubungan atasan-bawahan tersebut sudah berjalan dalam jangka waktu yang cukup lama. Hanya saja, tidak terasa adanya kata sepakat  atau tepatnya kemesraan di antara mereka. Apakah kedua eksekutif ini berbeda persepsi  atau apakah mereka memang tidak mempunyai “chemistry”? 

Sedikit-banyak, hubungan yang tidak mesra antara atasan-bawahan pastilah akan mempengaruhi kinerja, juga ownership terhadap tugas dan tim. Lalu, siapakah yang bertanggung jawab untuk menjaga kemesraan? Banyak orang sering menafsirkan bahwa bawahan perlu menerka keinginan atasan. Demi mendapatkan nama baik di depan atasan, ada yang mengatakan bahwa bawahan harus datang lebih awal dari jam kerja atasan, juga pulang lebih belakangan dari atasan. Ada yang berpendapat, sebagai bawahan kita perlu menyampaikan berita yang baik-baik saja dan tidak menyampaikan kabar buruk ke atasan, karena menyampaikan kabar buruk malahan bisa merusak hubungan baik,”the messenger get killed”. Banyak juga yang berlindung dibalik birokrasi, misalnya tidak mendahului, mematuhi aturan alur komunikasi yang sangat baku dan hanya berbicara dengan atasan ketika atasan seolah-olah menghendaki situasi komunikasi tersebut. Sebaliknya, teman kerja yang berhasil mempunyai hubungan ‘dekat’ dengan atasan, sering dituduh sebagai pembisik, pencari ’muka’ dan dinilai tidak etis dalam  melaksanakan hubungan kerja. Benarkah itu? Apakah hubungan ke atasan, leading-up, demikian rumitnya?

 

{mosimage}

 Profesionalitas 'Leading up'

Teman saya meyakini faham “a good leader is a good follower”. Ia mengatakan bahwa individu di mana pun ia bekerja, dengan siapa dan untuk atasan mana pun, haruslah mengembangkan ‘sense of duty’. Bila kita menyadari bahwa kita tidak bisa punya pilihan lain kecuali menjalankan tugas, biasanya kita akan terlihat oleh atasan sebagai orang yang patuh pada misi dan visi perusahaan. Tugas kitalah untuk melaporkan kabar baik maupun kabar buruk. Tugas kitalah untuk berpikir keras mencari solusi. Tugas kitalah untuk berinisiatif, berkreasi dan berinovasi. Tugas kita jugalah untuk menginisiasi pembicaraan, memahami apa yang diinstruksikan, disampaikan, bahkan dirasakan atasan.

Dengan menyadari misi dalam pekerjaan, proses “leading-up” menjadi lebih mudah. Bahkan bila kemudian terlihat perbedaan cara kerja, pendapat dan persepsi, akan lebih mudah menyelesaikannya dengan komunikasi yang intensif. Teman saya yang bekerja di angkatan bersenjata pun setuju bahwa dalam ketentaraan yang birokrasinya sangat kental pun ada pembicaraan diskusi dan debat yang intensif antara atasan-bawahan yang perlu terjadi di luar suasana briefing. Intinya, sikap patuh akan menyamakan dan menyelaraskan tujuan masing-masing individu yang mengerti akan tujuan perusahaan.

Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa justru bawahan yang merasa ‘comfortable’ dengan atasan yang seperti apapun, biasanya adalah orang yang berintegritas dan berwibawa. Bahkan kalau sampai ada kejadian di mana seorang atasan ‘salah jalan’ sekalipun, seorang bawahan yang berpegang teguh pada misi perusahaan, profesi dan pribadi pasti bisa memutuskan bagaimana bersikap yang seharusnya. Tidak perlu ragu apakah ia perlu menjadi “whistle blower” alias pembuka rahasia atau si penurut yang tidak berani berpendapat. Bawahan yang kuat menjaga prinsip dan berpegang pada misi perusahaan, biasanya tidak akan kehilangan respek baik dari bawahannya maupun dari atasannya, karena pada dasarnya sikap ini memancarkan kharisma dan kepemimpinan tersendiri.

Followership yang dinamis dan pemberani

Dalam keadaan ekonomi dan perkembangannya yang menuntut lebih sedikit manusia, lebih keras upaya dan lebih besar hasil, mengelola hubungan dengan atasan atau “managing up” menjadi sangat penting. Bukan untuk membuat diri kita ‘aman’ dan tidak di PHK, tetapi justru untuk kelincahan ‘memainkan’ peran dan kinerja sesuai dengan kehendak perusahaan. Seorang ahli manajemen mengatakan:”Stretch yourself. You need to go above and beyond the tasks assigned to you so that you can enhance your manager's work”.

Pada intinya, “managing up” adalah kemampuan seseorang untuk memudahkan pekerjaan atasan. Tentunya dalam hal ini kita perlu mengupayakan kemampuan kita untuk mengendus dan menerka kapan atasan lebih memerlukan kita dan informasi apa yang ia butuhkan. Teman saya, yang sangat nyaman dengan posisinya  sebagai asisten atasannya menyampaikan rahasia me-manage ke atas: “pertama tama kita perlu tahu bagaimana berpendapat, berbicara dan berargumentasi seperti atasan kita. Sebaliknya kitapun perlu meneriakkan pendapat professional kita sendiri dan bahkan menunjukkan bahwa semua tindakan kita adalah insiatif kita sendiri. Begitu kita merasa sekedar ‘orang suruhan’” maka kita terancam menjadi bawahan yang yang tidak berkinerja. Manajemen ke atas yang  banyak didominasi dengan manajemen informasi dan ‘trust’, membuat kegiatan berpolitik kantor hampir-hampir tidak diperlukan lagi.

(Dimuat di KOMPAS, 24 April 2010)

articles/patuh.jpg|||0||top||
articles/patuh2.jpg|||0||top||

Generasi Chatting

 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Teman saya, kecewa. Ia yang  kagum melihat istrinya begitu bangun tidur langsung menunduk dan berdoa, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa isterinya begitu bangun tidur langsung mengecek pesan yang masuk di hapenya! Ternyata, banyak orang yang melakukan hal tersebut di pagi hari sekarang sekarang ini. . Bukannya  langsung menghadap yang Kuasa tetapi mengecek pesan teks. Bukankah memang sedikit di antara kita yang tidak membawa hapenya ke samping tempat tidur. Seolah terjebak dalam teknologi digital dan media sosial, kita mau tidak mau sudah memperlakukan gajet-gajet tersebut sebagai bagian dari tubuh kita. Teman saya bahkan tidak punya masalah dengan peraturan dilarang bertelpon, apalagi “chatting” saat menyetir, karena ia bisa melakukannya tanpa harus memandang handphonenya. “Sudah hafal”, ujarnya. Dunia kita memang sudah  berubah menjadi dunia “chatting” dalam kurun waktu satu dekade!

Ramalan penggunaan sistem komunikasi android, komunikasi lewat google tanpa bayar dan masa depan internet ini sering membuat kita khawatir, terutama akan terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka. Namun, hampir semua dari kita juga berstandar  ganda. Di satu sisi kita memberi komentar miring mengenai buruknya dampak penggunaan media elektronik untuk berkomunikasi, sementara di sisi lain kita menggunakannya untuk ngobrol berjam-jam, mengontrol anak, membangun relasi, rapat, dan mengambil keputusan. Kita memang jadi bertanya-tanya, apakah generasi mendatang, generasi milenial, akan lebih “terisolasi”, ‘bodoh’  secara sosial daripada generasi kakek-nenek kita dulu?

 

 Kecerdasan Baru

Tanpa terasa, dalam dua dekade terakhir ini dunia intelektualitas sudah mengalami transformasi besar-besaran. Buku sudah digantikan dengan e-book dan audio-book yang selain mempercepat akses, individu jadi lebih dimudahkan untuk memilih, mem-browse apa yang ia butuhkan. Tentunya kita akan kehilangan pembaca buku cetak yang sejak jaman dahulu sudah dianggap sebagai lambang intelektualitas. Namun, apakah ini berarti kualitas intelektualitas kita akan menurun?

Pusat riset  internet  Pew dalam laporannya "The Future of the Internet in 2020” mengemukakan konsep yang menarik. Apa yang terjadi sekarang dinilai bukan sekedar pergeseran budaya atau kebiasaan serta cara berhubungan manusia, tetapi juga  pergeseran kemampuan cara pikir manusia, bahkan mungkin pada struktur intelegensinya. Dulu diperlukan kemampuan analisa  sintesa saja, di mana kemampuan induksi dan deduksi pemikiran sudah cukup. Sekarang diperlukan kemampuan untuk berpindah, surfing,  shifting dan swaying dari satu area informasi ke area informasi lain. Seakan harus menyelam, kemudian sekejap berpindah ke area lain, seolah  bermain jetski di permukaan jaringan internet. Jadi tantangannya bukan lagi seberapa kuat memori seseorang dan sebanyak apa informasi yang bisa kita simpan dalam ‘hard drive’ alias otak kita, tetapi seberapa pandai dan cepatnya kita menelusuri jaringan untuk mengakses informasi dan seberapa kritisnya kita untuk menseleksi, memilah dan kemudian baru mensintesakannya serta mempelajarinya dalam waktu cepat. 

Fleksibilitas bukan pilihan lagi

Perusahaan mana yang masih bisa menerima seorang karyawan yang tidak trampil mengoperasikan komputer, anti menggunakan ha-pe dan bahkan buta elektronik? Dinas rahasia dan badan keamanan Kerajaan Inggris (MI5) baru-baru ini mengumumkan akan melengserkan staff yang “tidak melek” internet, facebook dan twitter. Mereka menyebut kalangan yang dipecat sebagai ‘generasi James Bond’ karena tidak bisa menggunakan internet dan tidak memahami dunia Twitter atau Facebook. Jonathan Evans, Director General of MI5, mengungkapkan bahwa para teroris banyak yang berkomunikasi dengan sesama anggota via situs jejaring. Karena itu, jadi wajib hukumnya bagi para agen rahasia ahli memakai Facebook demi memantau gerak gerik mereka. Untuk perekrutan baru, MI5 kini juga punya syarat tersendiri, yakni harus melek teknologi.

Dalam era banjirnya informasi seperti sekarang, kita lihat bahwa fleksibilitas bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi keharusan. Seperti menegaskan apa yang disampaikan Darwin mengenai seleksi alam puluhan tahun lalu, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change“. Bagaimanapun, kita memang tetap harus berterimakasih dengan adanya internet dan media elektronik lainnya ini. Dengan banyaknya dan transparannya informasi ini kita punya banyak kesempatan memilih, apa yang akan kita jejalkan ke benak kita untuk dijadikan pengetahuan.

Kepemimpinan non-elektronik

Betapapun canggihnya dunia elektronik, kita tidak pernah akan dikendalikan mesin. Kita tetap membutuhkan pemimpin dalam berorganisasi, berpolitik dan bernegara. Tentunya cara memimpin organisasi dengan aliran informasi yang kencang ini sangat berbeda dengan birokrasi yang kita dapatkan sebagai warisan bapak-bapak kita. Bila tidak berhati hati, kita akan ketinggalan informasi dan terlihat konyol di mata anak buah yang dengan cepat bisa mengakses informasi dari mana saja. Kita perlu menciptakan kepemimpinan gaya baru untuk mengendalikan “content generation” yang menjamin kebebasan, tidak membosankan, tetapi juga tetap terstruktur. Semua laporan tetap perlu ber-deadline. Pelaksanaan tugas tetap bisa dihitung jam kerjanya. Rapat-rapat perlu beragenda dan mempunyai sasaran jelas dan terukur. Faktor sukses tetap harus didefinisikan dengan teliti.

Meskipun intensitas di layar elektornik sangat tinggi, hal yang tetap harus ingat oleh tiap pemimpin adalah memberi perhatian pada perasaan. Semua individu tetap ingin ‘happy’, tetap ingin berkawan, tetap ingin tersenyum. Inilah tantangan pimpinan perusahaan, untuk memenuhi semua kebutuhan anggota tim  yang fleksibel, beragam dan berubah  secepat kilat. 

(Ditayangkan di KOMPAS, 17 April 2010)

articles/generasi-chatting.jpg|||0||top||
articles/generasi chatting2.jpg|||0||top||

Generasi Chatting

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Teman saya, kecewa. Ia yang  kagum melihat istrinya begitu bangun tidur langsung menunduk dan berdoa, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa isterinya begitu bangun tidur langsung mengecek pesan yang masuk di hapenya! Ternyata, banyak orang yang melakukan hal tersebut di pagi hari sekarang sekarang ini. . Bukannya  langsung menghadap yang Kuasa tetapi mengecek pesan teks. Bukankah memang sedikit di antara kita yang tidak membawa hapenya ke samping tempat tidur. Seolah terjebak dalam teknologi digital dan media sosial, kita mau tidak mau sudah memperlakukan gajet-gajet tersebut sebagai bagian dari tubuh kita. Teman saya bahkan tidak punya masalah dengan peraturan dilarang bertelpon, apalagi “chatting” saat menyetir, karena ia bisa melakukannya tanpa harus memandang handphonenya. “Sudah hafal”, ujarnya. Dunia kita memang sudah  berubah menjadi dunia “chatting” dalam kurun waktu satu dekade!

Ramalan penggunaan sistem komunikasi android, komunikasi lewat google tanpa bayar dan masa depan internet ini sering membuat kita khawatir, terutama akan terhambatnya kegiatan sosial tatap muka, isolasi sosial, juga buruknya kegiatan mendengar dan rendahnya perhatian pada orang lain saat tatap muka. Namun, hampir semua dari kita juga berstandar  ganda. Di satu sisi kita memberi komentar miring mengenai buruknya dampak penggunaan media elektronik untuk berkomunikasi, sementara di sisi lain kita menggunakannya untuk ngobrol berjam-jam, mengontrol anak, membangun relasi, rapat, dan mengambil keputusan. Kita memang jadi bertanya-tanya, apakah generasi mendatang, generasi milenial, akan lebih “terisolasi”, ‘bodoh’  secara sosial daripada generasi kakek-nenek kita dulu?

{mosimage}

 Kecerdasan Baru

Tanpa terasa, dalam dua dekade terakhir ini dunia intelektualitas sudah mengalami transformasi besar-besaran. Buku sudah digantikan dengan e-book dan audio-book yang selain mempercepat akses, individu jadi lebih dimudahkan untuk memilih, mem-browse apa yang ia butuhkan. Tentunya kita akan kehilangan pembaca buku cetak yang sejak jaman dahulu sudah dianggap sebagai lambang intelektualitas. Namun, apakah ini berarti kualitas intelektualitas kita akan menurun?

Pusat riset  internet  Pew dalam laporannya "The Future of the Internet in 2020” mengemukakan konsep yang menarik. Apa yang terjadi sekarang dinilai bukan sekedar pergeseran budaya atau kebiasaan serta cara berhubungan manusia, tetapi juga  pergeseran kemampuan cara pikir manusia, bahkan mungkin pada struktur intelegensinya. Dulu diperlukan kemampuan analisa  sintesa saja, di mana kemampuan induksi dan deduksi pemikiran sudah cukup. Sekarang diperlukan kemampuan untuk berpindah, surfing,  shifting dan swaying dari satu area informasi ke area informasi lain. Seakan harus menyelam, kemudian sekejap berpindah ke area lain, seolah  bermain jetski di permukaan jaringan internet. Jadi tantangannya bukan lagi seberapa kuat memori seseorang dan sebanyak apa informasi yang bisa kita simpan dalam ‘hard drive’ alias otak kita, tetapi seberapa pandai dan cepatnya kita menelusuri jaringan untuk mengakses informasi dan seberapa kritisnya kita untuk menseleksi, memilah dan kemudian baru mensintesakannya serta mempelajarinya dalam waktu cepat. 

Fleksibilitas bukan pilihan lagi

Perusahaan mana yang masih bisa menerima seorang karyawan yang tidak trampil mengoperasikan komputer, anti menggunakan ha-pe dan bahkan buta elektronik? Dinas rahasia dan badan keamanan Kerajaan Inggris (MI5) baru-baru ini mengumumkan akan melengserkan staff yang “tidak melek” internet, facebook dan twitter. Mereka menyebut kalangan yang dipecat sebagai ‘generasi James Bond’ karena tidak bisa menggunakan internet dan tidak memahami dunia Twitter atau Facebook. Jonathan Evans, Director General of MI5, mengungkapkan bahwa para teroris banyak yang berkomunikasi dengan sesama anggota via situs jejaring. Karena itu, jadi wajib hukumnya bagi para agen rahasia ahli memakai Facebook demi memantau gerak gerik mereka. Untuk perekrutan baru, MI5 kini juga punya syarat tersendiri, yakni harus melek teknologi.

Dalam era banjirnya informasi seperti sekarang, kita lihat bahwa fleksibilitas bukan lagi menjadi pilihan, namun sudah menjadi keharusan. Seperti menegaskan apa yang disampaikan Darwin mengenai seleksi alam puluhan tahun lalu, “It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change“. Bagaimanapun, kita memang tetap harus berterimakasih dengan adanya internet dan media elektronik lainnya ini. Dengan banyaknya dan transparannya informasi ini kita punya banyak kesempatan memilih, apa yang akan kita jejalkan ke benak kita untuk dijadikan pengetahuan.

Kepemimpinan non-elektronik

Betapapun canggihnya dunia elektronik, kita tidak pernah akan dikendalikan mesin. Kita tetap membutuhkan pemimpin dalam berorganisasi, berpolitik dan bernegara. Tentunya cara memimpin organisasi dengan aliran informasi yang kencang ini sangat berbeda dengan birokrasi yang kita dapatkan sebagai warisan bapak-bapak kita. Bila tidak berhati hati, kita akan ketinggalan informasi dan terlihat konyol di mata anak buah yang dengan cepat bisa mengakses informasi dari mana saja. Kita perlu menciptakan kepemimpinan gaya baru untuk mengendalikan “content generation” yang menjamin kebebasan, tidak membosankan, tetapi juga tetap terstruktur. Semua laporan tetap perlu ber-deadline. Pelaksanaan tugas tetap bisa dihitung jam kerjanya. Rapat-rapat perlu beragenda dan mempunyai sasaran jelas dan terukur. Faktor sukses tetap harus didefinisikan dengan teliti.

Meskipun intensitas di layar elektornik sangat tinggi, hal yang tetap harus ingat oleh tiap pemimpin adalah memberi perhatian pada perasaan. Semua individu tetap ingin ‘happy’, tetap ingin berkawan, tetap ingin tersenyum. Inilah tantangan pimpinan perusahaan, untuk memenuhi semua kebutuhan anggota tim  yang fleksibel, beragam dan berubah  secepat kilat. 

(Ditayangkan di KOMPAS, 17 April 2010)

articles/generasi-chatting.jpg|||0||bottom||
articles/generasi chatting2.jpg|||0||top||

Tanggung Jawab Siapa?

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Akhir-akhir ini kita marak melihat pelaku pelanggaran kode etik diganjar sanksi tegas: pencopotan jabatan. Tidak hanya pelaku yang tertangkap tangan yang dikenai sanksi, namun atasan dan rekan yang terlibat, bahkan karyawan lain yang mengetahui namun tidak ‘mencicipi’-nya pun bisa ikut terseret. Ini tentu saja konsekuensi nyata yang harus ditanggung dari suatu kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan. Melihat situasi ini, kita tentu juga bertanya-tanya, siapa dan sampai di mana orang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi?

Seorang atasan perusahaan ‘software’ mengeluh, “Kalau saya harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pekerjaan anak buah saya, saya angkat tangan. Klien marah karena ada salah ketik yang dilakukan oleh anak buah karena terburu-buru mengejar deadline. Hal yang sangat manusiawi ini oleh klien dianggap kesalahan yang fatal.” Dengan tumpukan pekerjaan, mulai dari ‘forecasting’, laporan-laporan birokratis, serta rapat-rapat penting begini, saya juga kah yang harus bertanggung jawab terhadap kesalahan yang dilakukan oleh anak buah? “

Secara manusiawi, nampak ada keinginan yang kuat untuk kita menghindari tanggung jawab, baik untuk kesalahan yang dibuat sendiri, apalagi orang lain, termasuk anak buah. Apalagi bila anak buah itu sudah berjarak jauh oleh  birokrasi. Bila nyonya rumah menyajikan ‘steak’ alot, siapa yang dipersalahkan, nyonya atau pembantu? Kesalahan penjaga pintu kereta yang menyebabkan tabrakan fatal, apakah semata salah penjaga pintu? Korupsi yang dilakukan anak buah, salah siapakah? Bisakah kita membedakan kesalahan sistem, human error, kesalahan delegasi sebelum pointing fingers untuk menuntut pertanggung jawaban atau menyatakan bertanggung jawab?
 

 

{mosimage}

Price to Pay 

Kita merasakan sendiri betapa banjir informasi dan begitu bebasnya media membuat kita senantiasa terkaget-kaget dengan mudahnya tertembus rahasia, baik itu kejahatan, perselingkuhan, bahkan rahasia negara. Banyak orang resah dan bertanya-tanya mengenai kebijakan atau kebijaksanaan penegak kebenaran dan keadilan serta arah negara. Belum tuntas sebuah rencana disusun, belum-belum sudah diaudit oleh publik. Dalam situasi ini kita melihat para pejabat dan pimpinan jadi sulit memberi penjelasan karena prosesnya sendiri belum tuntas. Memberi alasan pada suatu kesalahan akan sulit dilakukan dan kelihatannya tidak diperlukan lagi. Ada yang mengatakan bahwa inilah “price to pay” seorang atasan, kalau bawahan bagus dia dipuji tetapi kalau bawahan salah dialah yang bertanggung jawab, bahkan masuk penjara.

Konsep harga diri dalam bertanggung jawab kita lihat kental di Jepang dan lebih dominan pada beberapa negara di belahan dunia timur. Bukan hal aneh bila pimpinan mengumumkan pengunduran diri bila tim atau organisasi yang dipimpinnya dinilai gagal atau karena kesalahan orang di tingkat birokrasi yang paling rendah. Dengan membesarnya organisasi dan kemandirian bawahan, apakah konsep ini sudah bergeser? Seorang teman saya berkontemplasi: “Mungkin kita sering lupa bahwa penanaman tanggung jawab, pengetahuan ataupun kepedulian pada anak buah adalah tugas utama kita sebagai atasan ya?” Seperti yang dikemukakan Peter Drucker “A manager is responsible for the application and performance of knowledge.” Apakah di sini letak kesenjangan semangat para atasan dengan anak buahnya?

Penghayatan Tugas dan Delegasi Penuh

Kenyataan di seputar organisasi, apalagi birokrasi, menunjukkan bahwa tidak semua atasan menghayati penugasannya. Padahal, saya ingat betul ayah saya dulu sering mengatakan “Penghayatan pekerjaan adalah segala-galanya. Dan penghayatan itu harus ditularkan, ditekankan, dan diajarkan!” Bila penghayatan tugas tidak seratus persen terkadang kita lihat delegasi dan penyerahan tugas pada bawahan pun tidak berjalan utuh dan sepenuhnya. Bahkan yang lebih sering terjadi adalah orientasi ke atas, di mana laporan dan semua konsekuensinya perlu disampaikan ke atas, bukan ke bawah juga.

Banyak orang berasumsi bahwa seorang bawahan dengan pendidikan cukup akan bisa menguasai tugas dengan ‘common sense’-nya. Padahal, tanpa briefing yang memadai, pendelegasian tugas tidak hanya bisa menjadikan ‘ownership’ dan tanggung jawab atas tugas menjadi kabur, orang pun bahkan bisa lepas tangan bila terjadi kesalahan. Perlu kita ingat bahwa yang paling utama dalam suatu pendelegasian adalah memperjelas apa yang menjadi tugas, batasan dan wewenang, baik atasan maupun bawahan yang didelegasikan. Selain tanggung jawab kedua belah pihak lebih jelas dan memudahkan proses kontrol, bawahan pun bisa bisa semakin mudah mencapai sasarannya. Semakin ia mudah mencapai sasaran semakin ia bermotivasi melakukan pekerjaannya.

Tanggung jawab dan kepedulian adalah bagian dari konsekuensi kenikmatan pencapaian sasaran. Komunikasi yang asal-asalan ke bawah, mengabaikan‘briefing’ dan tidak merasa pentingnya memberi ‘wanti-wanti’, menyebabkan atasan juga ‘berjarak’ terhadap kegiatan anak buah. Pantas saja kalau terjadi sesuatu pada anak buah, gejala “bukan saya’ langsung mucul di permukaan, tanpa rasa bersalah, tanpa rasa ‘cinta’ pada institusi, pada departemen, pada diri sendiri dan profesi secara tidak langsung.

(Dimuat di KOMPAS, 10 April 2010)

articles/tanggung jawab siapa2.jpg|||0||top||
articles/tanggung-jawab-siapa.jpg|||0||bottom||

Potret Diri

{mosimage}

 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang teman baik, merasa dirinya sangat trampil dalam mengajar. Padahal banyak ‘trainee’ yang merasa tidak nyaman bila diajar olehnya, karena merasa terlalu digurui, bahkan dipojokkan. Selain konsep yang dibawakan terkadang tidak jelas, beliau juga tidak memahami teknik mengajar yang benar. Susahnya tidak ada gejala atau tanda-tanda bahwa teman kita ini “ngeh” dengan keterbatasan ini. Orang-orang di sekitarnya tampak juga tidak memberi gambaran yang jelas kepada yang bersangkutan bagaimana sebenarnya pandangan orang lain terhadap dirinya. 

Ini masih belum ekstrim. Kita juga menyaksikan betapa beberapa tokoh politik tertentu unjuk kekuatan dan berkomunikasi tanpa tata karma yang lazim, seolah ‘tidak sadar’ bahwa mereka disorot media dan akan mendapat ‘image’ negatif. Di sisi lain, ada orang yang sedemikian “ja-im”-nya (jaga image), sehingga tidak wajar, tidak menjadi dirinya dan terkesan ingin jadi ‘orang lain’ di luar dirinya. Dalam pergaulan pun kita juga sering berguman dalam hati, bila melihat seseorang yang berdandan terlalu mencolok, berbicara terlalu keras ataupun  melakukan sesuatu yang membuat lingkungan merasa sedikit ‘aneh’, “Kok, dia tidak sadar ya…?”

Seorang ahli berpendapat: “Finding your identity is a process with no real end point”. Artinya, kita tidak pernah selesai menelaah siapa diri kita. Hari ini kita bisa sangat sukses, memenangkan kompetisi dan mendapatkan applause dari peserta seminar. Besok kita bisa merasa down karena dimaki orang yang tidak kita kenal karena kesalahan bodoh yang kita lakukan. Kita pun terkadang didera rasa bersalah, misalnya karena menyakiti teman sekerja dengan kata-kata yang tidak pantas ataupun tanpa sengaja membuat orang lain dirugikan. Pada saat-saat down seperti ini, sebenarnya, banyak diantara kita yang otomatis melakukan refleksi dan mempertanyakan ‘siapa diri’-nya. Sesungguhnya, pencarian diri memang tidak pernah selesai, berkembang dan berubah terus. Namun, kita pun bisa membayangkan bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang memang tidak berupaya untuk mendapatkan gambaran yang ‘pas’ tentang dirinya atau bahkan tidak tergerak untuk bersikap jujur terhadap dirinya

{mosimage}

Keluar dari Diri

Kita tentu pernah melihat video yang menggambarkan diri kita. Menarik jika kita perhatikan reaksi orang ketika melihat gambaran dirinya. Ada yang worry mengenai berat badannya, ada yang memperhatikan bajunya, ada juga yang baru sadar bahwa gaya bicaranya tidak ia sukai. Inilah salah satu saat kita menyadari “bagaimana kita melihat diri kita”, gambaran sederhana cara kita untuk meningkatkan penyadaran diri. Kita seolah menonton diri kita yang sedang ‘acting’ di panggung. Banyak orang yang mempunyai gambaran jelas mengenai keadaan fisiknya. Namun, bagaimana orang menemukan gambaran yang jelas tentang “jati diri”-nya? 

Kita ingat bahwa kegagalan membangun bisnis atau mendapatkan promosi sering membuat kita merasa ‘gagal’ dan bahkan mencerca diri sendiri. Padahal kalau dipikir-pikir, bukankah kita sendiri yang mencanangkan harapan terhadap diri kita. Pernahkah kita mengecek ulang harapan tersebut? Apakah sasaran yang kita inginkan itu terlalu jauh sehingga membuat kita takut, marah bahkan frustrasi? Pernahkah kita mengecek harapan orang lain terhadap diri kita dan menyeimbangkan harapan tersebut sesuai dengan kemampuan? Bukankah kesadaran akan kemampuan diri dan harapan terhadap diri yang realistislah yang akan membantu kita mengambil sikap yang pas sehingga bisa melangkah dengan gagah, sekaligus enteng dan happy? Bila kita tidak sadar diri, seperti teman kita yang tidak tahu bahwa kemampuan mengajarnya sangat jauh dari ekspektasi, tentu kita sendiri yang rugi karena kita jadi sulit berubah.

Self Awareness untuk Diakui, Bukan untuk Didiskusikan

Seorang rekan kerja mempunyai masalah dengan komunikasinya. Setiap kali kita mengingatkan cara komunikasinya, ia serta-merta menerangkan, balas menyerang, bahkan mengundang debat. Hal ini menyebabkan ia menjadi atasan yang kurang efektif. Suatu hari, saat ia betul-betul terbentur masalah dengan anak buahnya dan meminta masukan, beberapa teman menyarankan untuk tidak meninggikan suara saat bicara, menambahkan beberapa kalimat dalam menjawab pertanyaan, dan bahkan sedikit tersenyum dalam memberi instruksi. Meskipun ia masih berusaha mempertanyakan:”Ah, masak sih….”, namun kemudian ia terdiam, mencerna dan tampak tampak sangat berusaha memperbaiki diri.

Self awareness adalah kemampuan melihat pola pikir, perilaku kita yang berada di ketidaksadaran dan mengangkatnya ke alam sadar. Hanya dengan menyadari barulah kita bisa “menyetel”-nya. Self awareness bukanlah sebuah ilmu, tapi lebih merupakan ketajaman persepsi dan observasi, terhadap diri sendiri, baik secara fisik maupun proses mental dan psikologis yang berlangsung dalam diri kita. Self awareness lebih bisa dicapai dengan upaya ‘mengosongkan’ pemikiran dan pendapat mengenai diri sendiri, sehingga kita bisa mendapatkan ‘kacamata’ baru dalam mendalami diri. Syukur-syukur bila kita memang sudah mengembangkan sikap yang mengundang kritik membangun, sehingga orang di sekitar kita selalu siap menguakkan dan mengguncang self awareness kita agar tidak terus menerus menjadi ‘blind spot’ atau misteri bagi diri kita sendiri. Memang, seperti dikemukakan Oscar Wilde: “The final mystery is oneself”.

Ditayangkan di KOMPAS, 27 Maret 2010

articles/potret-diri.jpg|left||0||top|left|
articles/potret diri2.jpg|||0||top||

Kerja: Membuat Hidup Lebih Baik

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Banyak orang mengklaim pekerjaan sebagai sumber utama stres. Atasan yang tidak mau kompromi, pekerjaan yang menumpuk, klien yang menuntut, persaingan bisnis yang sadis adalah beberapa gambaran klise suasana dunia kerja. Terasa semakin sulit menemukan ‘comfort’ di tempat kerja. Mendapatkan suasana tim kerja yang mesra jadi begitu langka. Salah satu direktur di perusahaan klien, bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya menghidupkan suasana rapat yang melempem. Rapat diwarnai sajian data rutin saja, tidak ada antusiasme seolah tidak ada persaingan dan tidak ada tantangan lagi yang bisa dibicarakan. Lucunya, dalam situasi informal, seperti makan siang di kantin, sikap dan aura langsung berubah menjadi mesra. Setiap orang terasa meng-enjoy temannya dengan baik. Kita tentu bertanya-tanya, inikah yang dinamakan motivasi kelompok alias “morale” dalam organisasi? Melihat kenyataan bahwa ‘kerja’ membuat suasana tidak hangat, bukankah kita juga langsung khawatir  bahwa tenaga-tenaga muda yang bersemangat akan merasa ‘tidak nyaman’ dalam suasana yang tidak bermotivasi begini? Sudah pasti situasi ini tidak akan menguntungkan bagi individu, tim dan organisasi.

 {mosimage}

Investasikan Emosi

Teman saya berkomentar tentang motivasi kelompok:”Wah sulit juga ya.  Menjaga motivasi satu orang saja sulit apalagi satu kelompok”. Benarkah itu? Apakah dalam sebuah pasukan yang sedang berperang, ada persyaratan agar semua orang ‘happy’ dulu baru kelompok bisa maju? Ternyata tidak seperti itu situasinya. Seorang ahli manajemen mengatakan : “good “morale” does not require people to be happy”. Syarat utama tumbuhnya “morale” kelompok adalah bahwa anggota kelompok mengkontribusikan emosinya ke dalam kelompok. Kontribusi emosi individu dalam kelompok ini jauh lebih penting daripada menghitung kinerja masing-masing individu di kelompoknya, karena justru emosi kelompok inilah yang melipatgandakan kinerja tanpa perlu ada pemaksaan. Seorang atasan pernah berpesan pada orang yang baru direkrut:”Kontribusi Anda di sini bukan saja kepada hal hal yang sudah tercantum dalam Key Performance Indicator saja, tetapi juga  pada  emosi  Anda. Ini akan menghasilkan fokus dan dedikasi yang  lebih baik”.

Mudahkah itu? Bukankah lebih mudah menyebarkan virus “Thanks God it’s Friday” atau “ Hore, libur tlah tiba”. Bukankah lebih cepat mengumpat pelanggan yang memperlakukan kita  tidak manusiawi atau bahkan menyindir manajemen yang tidak bijaksana dan berat sebelah? Namun, apakah malah tidak menjadikan pekerjaan kita semakin melelahkan bila kita berfokus pada perasaan negatif dan menuntut kelompok atau perusahaan membuat kita happy? Bagaimana pun, kita perlu sama-sama berpikir dan mengatur strategi untuk membuat kerja kita lebih hemat energi dan lebih enjoyable. Mengkontribusikan emosi secara total dalam bekerja, memberi peluang kita melipatgandakan energi, sehingga kita tidak enggan untuk melibatkan pikiran dan memeras otak saat bekerja.

Mengelola Harapan

Teman saya yang berhasil menjaga “morale” kelompok di perusahaannya yang berskala menengah mengatakan: Kita betul-betul perlu meyakinkan bahwa apa yang kita harapkan terbaca oleh seluruh karyawan, sampai pada penjaga pintu di garda depan. Harapan ini bukanlah sekedar harapan akan melipatgandakan keuntungan atau mencapai target penjualan. Namun, harapan positif bahwa pekerjaan akan membuat hidup mereka lebih baik. Ternyata, semakin karyawan dituntut  bahkan didera  oleh harapan yang positif, mereka justru bersemangat untuk mengikutinya. Ambil contoh karyawan yang sedang mengikuti program training yang intensif. Selain tetap berkontribusi  dalam bekerja, ia pun tidak keberatan untuk begadang membuat pe-er atau tugas-tugas tambahan sebagai bagian dari program training. Ini membuktikan bahwa semakin didera seseorang bisa semakin bermotivasi.

Kita juga sering lupa bahwa komunikasi yang intensif antara atasan-bawahan merupakan sumber spirit yang manjur. Bila atasan jarang menegur, bawahan malah bisa semakin tidak peduli terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, bila seseorang di tegur habis-habisan karena sikap ‘tidak peduli’, dengan fokus pada kepentingan diri pribadinya, ia tentu tidak bisa mengelak atau berdalih macam-macam. Dalam situasi sulit ataupun mudah, kita perlu biasakan untuk menegur. Bukan hanya bila ia tidak menyelesaikan tugas, namun termasuk menegur individu yang tidak memperingatkan temannya ataupun individu tidak tahu bahwa temannya sedang kesusahan.

Komunikasi yang tampaknya biasa dan ‘taken for granted” ini sangat penting untuk kita fokuskan bila ingin semangat kelompok terpelihara. Bukankah kita sering menyaksikan atasan yang tidak sanggup mengkonseling anak buah yang mendapat angka angka merah dalam rapor kinerjanya. Padahal tugas atasan adalah mengembangkan anak buahnya. Komunikasi dalam manajemen adalah suatu hal yang kritikal. Tidak mungkin kita mengelak untuk menyampaikan berita yang kurang enak dengan mengatakan:”bapak sajalah yang menyampaikan. Kalau saya pasti tidak dipercaya” . Ini adalah suatu gejala buruknya atmosfir perusahaan. Bagaimana mungkin mencapai tingkatan “morale” “everybody wins” kalau kita tidak bisa mengubah kelemahan menjadi kekuatan seseorang?

Dalam artikelnya “Building “morale” is Good Management”,  Arthur F. Hull Jr. mengatakan bahwa ‘reward’ pun perlu dipertimbangkan dalam pembentukan motivasi. Tidak ada salahnya atasan atau manajemen memikirkan keuntungan bagi karyawan dari setiap kebijakan yang diambil. Apakah itu penggantian seragam, tukar atasan, diskon karyawan dan berbagai kebijakan yang bisa merangsang perbaikan suasana. Bicara mengenai stress dipekerjaan, justru stres itu juga perlu diciptakan agar supaya ‘excitement’ terasa seperti halnya kita baru masuk kuliah atau kerja. Menegangkan, tetapi mengasyikkan.

(Dimuat di KOMPAS, 20 MAret 2010)

articles/kerja-membuat-hidup.jpg|||0||bottom||
articles/kerja membuat hidup2.jpg

Ceritera

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Masih ingatkah Anda, cerita-cerita pengantar tidur yang disampaikan oleh orang tua kita dulu? Di usia sekarang, di mana kesenjangan generasi demikian besar, saya mempertahankan tradisi “ceritera nenek” untuk melakukan ‘bonding’ dengan cucu. Cerita yang diangkat sederhana saja, cerita tentang binatang, pengalaman semasa saya kecil, legenda jawa, cina, wayang atau apa saja yang bisa dikarang-karang untuk sekedar mengantarnya kepada mood yang tenang sebelum tidur. Saya belakangan semakin menyadari betapa saktinya pengaruh ceritera tersebut. Cucu saya seakan merekam dan memegang hikmah cerita-cerita tersebut, kemudian ia analisa dan interpretasi dalam pengalamannya sehari-hari. Saat menghadapi masalah sulit di sekolah, ia mengatakan: “Kakek saja berani memperjuangkan kebenaran, masa aku takut untuk membela diri”. Rasanya memang ceritera lebih mudah diingat dan dikaitkan dengan situasi kita saat ini, dibandingkan dengan sekedar nasiha-nasihat tanpa contoh, tokoh dan alur cerita. Kita melihat bahwa individu yang masih mengalami ceritera-ceritera tentang kehidupan Soekarno, terus memegang kesan mendalam tentang presiden pertama kita itu. Misalnya saja tentang hobinya berjalan-jalan seputar istana, betapa beliau juga terkadang berkunjung ke rumah pegawai istana, sambil menyomot tempe goreng panas, yang menunjukkan kesederhanaan, kepedulian dan kedekatan beliau dengan pegawai dan ‘wong cilik’. Tidak pelak lagi, ceritera memang punya ‘impact’ yang dalam terhadap ‘mindset’ dan perilaku orang. Benar juga apa yang dikatakan penulis ceritera jaman Romawi : “Stories has wings and they fly from mountain top to another mountain top”.

 {mosimage}

Penguatan Budaya Tanpa Paksaan

Kekuatan cerita teruji sangat ampuh untuk membangun budaya perusahaan dan membangkitkan rasa bangga kepada organisasi, bahkan bangsa. Di Fedex, hampir semua karyawan pernah mendengar cerita tentang seorang karyawan yang tanpa pikir panjang menyewa helikopter, untuk mengantarkan sebuah dokumen penting, untuk memenuhi janji ‘on-time delivery’-nya. Tindakan ‘patriotis’ ini segera bisa dipelajari oleh karyawan lain, betapa ‘on time delivery’ dan kepuasan pelanggan harus senantiasa menjadi prioritas. Ketika saya mewawancarai seseorang untuk perusahaan Kawan Lama Sejahtera, saya terpana ketika mendengar jawabannya mengenai pengetahuan tentang perusahaan: “Ya, saya tahu betapa CEO nya  belajar dari ayahnya dan mulai memimpin bisnis sejak usia 16 tahun”.

Dalam reformasi organisasi, penegakan etika dan ‘governance’, Dirjen pajak RI pun ternyata sudah mengangkat, mengumpulkan dan membukukan cerita-cerita inspiratif dari tempat kerja, yang sejalan dengan nilai-nilai luhur dan budaya organisasi yang tengah dimantapkan. Dari organisasi yang masuk daftar hitam korupsi, lembaga ini kemudian mengembangkan spirit positif serta menegakkan  performance-based culture ‘melalui pengembangan ceritera patriotik yang ternyata cukup ‘powerful” dalam  menyemangati pegawainya.

Dengan dilestarikannya cerita inspiratif, proses sosialisasi budaya dan standar perusahaan bahkan jadi tidak perlu cerewet dan menggunakan tindakan disiplin. Perusahaan perhotelan raksasa Ritz Carlton yang sangat terkenal dengan ‘customer service’-nya, tidak susah-susah mengajarkan dan menertibkan standar pelayanan pelanggan, karena mereka memiliki cerita-cerita heroik sepanjang waktu. Salah satu cerita yang terkenal adalah, cerita tentang seorang karyawan hotel didatangi seorang tamu saat ia sedang menumpuk kursi seusai acara tengah malam. Sang tamu berbisik: “Dik, bisakah disisakan 2 buah kursi, karena aku akan kembali dan melamar calon isteriku di sini”. Pelayan tersebut bukan saja meluluskan permintaannya, tetapi kemudian hadir dengan seragam tuxedo lengkap, sebuah buket bunga, lilin, dan sebotol champagne. Tidakan dalam  memuaskan pelanggan ini kemudian menjadi ‘mimpi’ bagi setiap karyawan Ritz Carlton.

Melestarikan Cerita Tanpa Biaya

Di dalam ilmu manajemen strategi membangun “Mythopoetic Leadership” ini sering dinomorduakan dari prioritas, mengingat setiap perusahaan bahkan setiap individu pasti mengejar keuntungan finansial. Namun kita juga bisa menyaksikan betapa upaya merger perusahaan perusahaan raksasa sering  menemui jalan buntu, hanya karena budaya yang tidak “matching”. Padahal dalam sebuah survey, seorang ahli manajemen yang meneliti kinerja finansial dan budaya sejumlah 200 perusahaan, menemukan bahwa budaya perusahaan yang kuat berkorelasi tinggi dengan kinerja finansial perusahaan.

Perusahaan yang menyadari hal ini sangat diuntungkan karena ongkos dari penyebaran model-model ceritera ini hampir tidak ada. Hal yang penting adalah kesadaran akan pentingnya melestarikan cerita inspiratif dan ketajaman untuk senantiasa menangkap dan menyebarkannya dalam presentasi, ‘newsletter’, intranet, ‘company profile’, pameran, serta pada awal dan akhir dari setiap rapat rutin. Tanpa banyak kesulitan kita akan mengambil manfaat positif dari nilai, sasaran, sikap bersama, dan praktik praktik ideal yang akan segera menjadi ciri khas organisasi.

Dalam situasi di mana nilai-nilai luhur seakan mudah luntur, kompetisi ketat dan rakyat perlu bergerak secara menyeluruh, kita sendiri pasti merasa haus akan suntikan semangat. Kita perlu meyakini bahwa setiap pribadi bisa “make a difference” melalui “human touch’ yang tepat. Bukankah kita perlu berpikir keras untuk menyuguhi generasi penerus organisasi, perusahaan dan bangsa Indonesia dengan ceritera heroik, keberanian, pelayanan, keluhuran budi dari individu-individu yang berhasil membuat sesuatu yang ‘beda’ dan bukan dengan pertengkaran, cakar-cakaran serta komplen yang berkepanjangan? Bukankah sejak jaman order baru juga belum banyak ceritera heroik yang terangkat menjadi kumpulan ceritera alias Sejarah Indonesia yang menarik sehingga anak cucu kita bisa menjadikan tokoh-tokohnya sebagai ‘benchmark” seperti layaknya Patih Gajah Mada, Jenderal Sudirman, atau Kapten Tendean ?

(Dimuat di KOMPAS, 13 Maret 2010)

articles/cerita1.jpg|||0||bottom||
articles/cerita2.jpg

Ilmu

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Belum selesai isu pelaksanaan ujian negara yang dianggap sebagai momok bagi sekelompok orang di dunia pendidikan, kita kembali tertampar dengan mencuatnya berita plagiat dalam penyusunan skripsi, tesis, bahkan disertasi doktor. Tugas akhir yang biasanya memakan pemikiran dan jerih payah berbulan-bulan, memaksa kita untuk membedah puluhan buku dan teori, senantiasa dipandang sebagai ‘masterpiece’-nya seorang mahasiswa, tidak lagi menjadi ‘sakral’ dan dengan mudahnya bisa diupahkan ke orang lain. Hal yang lebih mencengangkan, si “pemberi jasa” pembuatan skripsi dengan terang-terangan beriklan di koran-koran, seakan sah-sah saja tindakan yang dilakukannya. Ada apa sebenarnya dengan pengembangan ilmu di negara kita, sehingga pelecehan, penyelewengan seolah menjadi marak dan dianggap membudaya?

Tak pelak, kita pasti tergelitik untuk bertanya, apakah kita memang punya banyak alasan untuk berada jauh dari obyektivitas dan pengembangan ilmu? Bukankah universitas kita yang sudah berdiri sejak jaman Belanda juga punya reputasi yang tidak kalah dengan negara lain? Bukankah banyak sekali ahli, peneliti, insinyur, dokter, ekonom ternama juga keluaran universitas negeri kita? Bukankah banyak karya terbaik dan bermanfaat dihasilkan, bahkan insinyur  Departemen Pekerjaan Umum kita juga sudah meluncurkan alat penyaring air kotor praktis yang bisa digunakan para korban banjir dari manfaat ilmunya? Dengan kemajuan teknologi yang memungkinkan kita untuk semakin mudah mengakses teori, riset, informasi, bukankah semestinya pengembangan ilmu semakin pesat dan bukan sebaliknya semakin tumpul, bahkan kotor? Apa benar ‘mindset’ intelek kita sedang bermasalah?

Kita memang bisa melihat kemajuan dan pengembangan ilmu dari bagaimana aplikasi nyatanya dalam masyarakat. Namun, pengaruh dunia pendidikan juga bisa kita teropong dari sikap terhadap masalah, cara berpikir, cara menganalisis, bahkan cara bicara. Bila kita menyaksikan cara orang bertanya, tanpa diikuti pengambilan kesimpulan yang bermutu, cara orang berkomentar yang tidak didukung data tanpa rasa bersalah, kita memang perlu prihatin dengan kurang berpengaruhnya dunia pendidikan dalam perkembangan sikap intelek di masyarakat kita.

 {mosimage}

Bertanya sebelum Menyimpulkan

Cucu saya, seperti halnya anal-anak lain, terus menanyakan pertanyaan-pertanyaan kritis.  Pernah saya tanyai, dari mana ia mendapatkan ide untuk  mengajukan pertanyaan tertentu.  Lucunya, ia menjawab bahwa di sekolahnya ada pelajaran khusus, yang diberi nama ‘enquiry learning’. Di sini setiap siswa diberi suatu topik  dan hanya boleh ‘bertanya’ dan ‘bertanya’, kemudian beramai –ramai membuat kesimpulan tentang apa yang mereka “temukan” hari itu dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

Saya tertegun dan berpikir, betapa banyak di antara kita memang tidak dilatih dan tidak merasa penting untuk sabar menggali pemahaman secara mendalam. Padahal bila selama pendidikan dasar kita diberikan latihan semacam itu, tidak hanya kita terbiasa untuk mengambil kesimpulan yang tajam, namun kita juga bisa berkomunikasi dengan lebih harmonis dan berelasi dengan  lebih efektif. Kita sama-sama tahu, bila kita tidak secara seimbang menggali pemahaman dengan 5W + 1 H (“what”, “when”, “who”, “where”, “why” dan “how”), tak jarang dampaknya akan membuat ‘hard feeling’ dari lawan bicara atau tidak didapatnya kesimpulan yang bermutu, bahkan melenceng.

Menemukan “AHA Experiences”

Tentu kita masih ingat dengan cerita telur Colombus. Saat Colombus mendemonstrasikan cara memberdirikan telur di depan cendekiawan Spanyol, yang tidak berhasil menjawab tantanganya  tersebut, mereka segera berkata “Ooo… begitu”. Ini sebenarnya adalah proses penerimaan input, didapatkannya sebuah pemahaman baru dan pengambilan kesimpulan yang penting untuk pengayaan intelektualitas individu. Ungkapan “Ooo begitu”, tentu saja sangat berbeda dengan ungkapan: “Okelah kalau begitu”. Dari pernyataan pertama, tampak diperoleh “aha experience”, di mana individu menemukan solusi atau jawaban dari suatu permasalahan yang selama ini masih kabur. Sementara pernyataan kedua, hanya persetujuan mengenai pendapat atau keadaan, terlepas dari apakah ia paham atau tidak esensi permasalahannya. “Aha experiences” inilah yang mestinya dihayati dan digali setiap orang dalam tiap situasi, bukan semata milik peneliti dan penemu, seperti Einstein dan Thomas Alfa Edison saja.

Kita bisa semakin jauh dari sikap ilmiah, bila tidak membiasakan diri membaca dan mengambil keputusan berdasarkan analisa data. Di sebuah perusahaan, para manajer yang hampir semuanya sarjana, seringkali berbantah-bantahan dan berkomentar tanpa diperkuat data. Ujung-ujungnya, masalah yang ada tetap tidak kelihatan akarnya. Keputusan pun diambil secara intuitif (baca: tradisional), tanpa dasar yang jelas. Teman saya yang menyaksikan hal ini, sambil menyayangkan, berkomentar: ”Ini baru satu perusahaan, bagaimana kalau satu negara?”. Dari sini kita perlu meninjau kembali kebiasaan di lingkungan kerja kita sendiri. Apakah kita sudah menumbuhkan rasa ingin tahu yang positif? Apakah kita biasa mengajak teman-teman memeras otak untuk mendapatkan solusi kreatif? Apakah kita peduli untuk mengajak lingkungan mencari esensi permasahalan dan kemudian menghitung agar pengambilan resiko bisa pas?

Bila ditelaah kembali, yang menjauhkan kita dari keilmiahan dan keintelekan, bukanlah mundurnya dunia pendidikan semata. Kita sendiri dan cara pergaulan kitalah yang menyebabkan kita tidak malu untuk ‘ngawur’, beralasan untuk tidak obyektif serta malas berpikir. Bila kondisi seperti ini kita pelihara, wajar saja bila para plagiator dan tukang contek tidak terusik rasa malunya dan bahkan masih berani menepuk dada dan minta  dielu-elukan.

(Dimuat di KOMPAS, 27 Februari 2010)

articles/Ilmu-1.jpg|||0||bottom||
articles/Ilmu-2.jpg|||0||bottom||

Motivasi

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Banyak orang setuju bahwa motivasi itu bagai misteri. Kita pun sering tidak mengenal penuh motivasi dalam diri kita. Apa yang membuat saya bersemangat? Apa yang membuat saya melompat dari tidur saya di pagi hari. Apa yang membuat saya ceria mengerjakan sesuatu walaupun badan lelah. Beberapa teori utama yang membahas kebutuhan manusia juga seringkali bisa tidak relevan dengan motivasi orang bekerja di masa sekarang. Betulkah untuk merangsang para salesman diperlukan ‘upah komisi’ tok? Apakah seorang salesman tidak punya keinginan berprestasi sendiri, menghargai dirinya serta  mencintai pekerjaannya? Betulkah aktualisasi diri tergolong kebutuhan yang terakhir hirarkinya dan baru muncul sesudah kebutuhan lain terpenuhi? Apakah tidak ada diantara kita, orang yang sangat bersemangat melakukan sesuatu atau menjual produk tanpa terlalu hitung-hitungan mengenai berapa imbalan yang ia dapat? Bukankah kita melihat bahwa banyak sekali orang, demi ‘passion’-nya juga tidak menunggu “sandang-pangan-papan”-nya cukup, untuk menghasilkan karya-karya yang hebat? Bukankah para anggota pasukan khusus tentara juga tidak menunggu jaminan kesejahteraan sebelum berjuang dengan motivasi  ‘all out’ membela negara? Sebaliknya, kita juga banyak melihat gejala di mana individu yang mendapatkan gaji yang relatif ‘cukup’ malah tidak tergerak mengejar target. Dengan kata lain, berhenti di kepuasan fisik  dan rasa aman saja.

Memang ada orang dan tim yang tidak mementingkan untuk menghidupkan motivasinya secara optimal, bahkan mungkin tidak merasa bahwa motivasi itu penting. Namun, dalam tuntutan situasi seperti sekarang, sulit dibayangkan bila individu, tim dan perusahaan, hanya mengandalkan kekuatan pikir dan fisik saja. Kreativitas dan value adding mustahil berkembang jika tidak didukung motivasi individu dalam kelompok atau organisasi. Bahkan, nilai motivasi bisa jadi lebih besar pengaruhnya terhadap keberhasilan, daripada nilai kompetensi lainnya. Mungkin ini sebabnya instansi pemerintah pun mulai memperhitungkan motivasi pegawai negeri dalam pengembangan sumber dayanya.

 {mosimage}

Tumbuhkan “Sense of Progress

Seorang ahli manajemen membuat penelitian terhadap 12000 karyawan, yang terdiri dari pekerja kasar sampai pada para eksekutif. Ia menemukan ‘sense of progress’ sebagai hal yang paling membuat karyawan ingin maju dan berprestasi ketimbang faktor lain, seperti suport internal, teknikal serta kolaborasi tim. Mungkin ini juga alasan bahwa perusahaan perusahaan servis yang mengandalkan antusiasme karyawannya mengumumkan secara terbuka pencapaian penjualan hariannya, agar setiap karyawan jelas merasakan ‘milestone’ perusahaan, sedang maju, jalan di tempat atau mengalami penurunan.

Bagaimana dengan pekerjaan yang dianggap rutin dan sulit diukur kemajuannya? Seorang karyawan bisa saja mengatakan “Dari tahun ke tahun, saya menyajikan laporan keuangan bulanan terus. Pekerjaan  saya memang itu-itu saja.” Bayangkan betapa sulitnya menjaga motivasi teman kita ini. Dan bayangkan betapa orang semacam ini cepat berkarat dan tua sebelum waktunya. Untuk pekerjaan-pekerjaan rutin jalan terbaiknya adalah memberi perasaan pada teman-teman kita ini bahwa kesempatan belajar selalu ada. Pertanyaan atau bahkan berbagai tantangan bisa kita berikan seputar pekerjaannya, sehingga setiap individu merasakan ‘progress’ belajar dalam dirinya.

Genggam “Passion”

Tidak jarang kita temui orang yang sangat pe-de, tapi tidak terlihat antusias. Professional yang berbakat dan trampil sekalipun bisa saja tidak bersemangat. Teman saya seorang pemain bola basket yang berbakat, terpaksa harus menghentikan karirnya sebagai pemain nasional, setelah menemukan bahwa kedua belah kakinya tidak sama panjang. Teman kita yang seharusnya jatuh mentalnya ini, ternyata tidak jadi kehilangan semangat, bahkan akhirnya merintis karirnya menjadi pelatih. “Saya tidak pernah lepas menggenggam ‘basket’. Mengapa harus berhenti?” kata teman kita ini.

Kita tahu bahwa hambatan dan kendala pasti dihadapi setiap orang dan terkadang bisa menjatuhkan mental. Namun, sepanjang individu punya kecintaan dan minat yang kuat terhadap substansi tertentu, ia senantiasa bisa menemukan jalan untuk membakar antusiasmenya terus-menerus dan tidak berhenti berkarya. Teman kita ini juga menambahkan, “Fokus pada diri sendiri tidak boleh terlalu berlebihan, karena situasi seperti ini membuat kita tidak bisa memperhatikan dan bekerja untuk  orang lain di sekitar kita.“ Ya, mana mungkin kita mengeluarkan prestasi terbaik, jika tujuan kita semata untuk kepentingan pribadi? Dengan memperluas minat dan kepedulian pada keadaan di sekitar kita dan kebutuhan orang lain, sumber energi kita tentu akan terus terisi, bahkan bertambah besar.

Motivasi itu Dinamis

Orang yang malas sering kita sebut sebagai orang yang tidak punya motivasi. Dengan pandangan ekstrem seperti ini, kita seakan punya beban berat jika diberi tugas untuk ‘menanamkan’ motivasi dalam diri seseorang atau sebuah tim. Sebaliknya, kalau kita membayangkan bahwa motivasi itu bagaikan sebuah sumber energi dalam tubuh kita, kita bisa melihat bahwa motivasi akan selalu ada dalam diri tiap orang. Ada orang yang sumber energinya kuat, ada yang sumber energinya lemah. Ada orang yang mampu konsisten menjaga sumber energinya tinggi, namun ada juga yang grafik “energi”-nya naik-turun.

Hal yang ‘magic’ adalah bahwa bahwa energi yang kuat dari seseorang, bisa menular pada orang lain. Kita tahu bahwa hawa bersemangat dari seorang pemimpin bagaikan virus yang bisa segera menyebar, membuat orang lain merasa ringan dalam bekerja, bahkan membuat tim jadi kuat mendobrak dan mendorong hasrat pemecahan masalah kreatif. Jadi, sebetulnya tidak sulit juga membawa organisasi pada suasana motivasional. Dengan meng-enjoy pekerjaan kita, melihat kekuatan tim dan berpikir positif, mengajak teman-teman untuk selalu berpikir maju, pastinya hawa tim akan berubah dan bisa segera mengangkat energi dari orang-orang lain disekitar kita juga. Motivasi itu dinamis, mengalir dan bergerak. Tantangan pun tidak usah dicari-cari lagi jika kita terbiasa berkomunikasi efektif, sehingga kritik dan evaluasi bisa terus masuk. Sebagaimana sering kita baca: “Motivation requires a delicate balance of communication, structure, and incentives “.

(Dimuat di Kompas, 20 Februari 2010)

articles/motivasi-1.jpg|||0||bottom||
articles/motivasi-2.jpg|||0||bottom||