Misi

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang wanita sukses yang hampir memasuki usia 80 tahun, ditanya teman-temannya, apakah beliau akan membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dengan penuh senyum ia menjawab bahwa dirinya ingin ‘cari duit’ saja. Maksudnya, dalam rangka ulang tahun, ia akan membuat acara penggalangan dana. Dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk membangun gedung laboratorium, asrama untuk anak jalanan atau kegiatan sejenisnya. Dalam usia yang sudah lanjut, beliau masih memikirkan cara membangun dan membuat sesuatu. Saat ditanya apa yang menjadi gregetnya, ia berkomentar,“Sederhana saja. Saya melaksanakan misi suami yang sejak dulu ingin membantu orang miskin, memajukan kesehatan dan pendidikan.” Ternyata kekuatan kehendak suaminya yang sudah meninggal puluhan tahun lalu membuat wanita ini bertujuan dan mampu memaknai hidupnya dengan upaya-upaya positif, berarti dan berguna.

Seorang Psikiater, Victor Frankl, mengemukakan pentingnya menyadari dan menyuarakan ‘purpose of life’ individu. Tidak hanya sekedar untuk diri pribadinya, namun juga pada keluarga, anak, cucu, karyawan, anggota kelompok bahkan rakyatnya. Frankl juga menekankan bahwa manusia punya kebebasan penuh untuk menyikapi situasi yang dihadapinya. Apakah itu kegelapan, tantangan, godaan, kenikmatan, batu besar ataupun kerikil. Pada akhirnya, manusia memang bisa mengisi hidupnya dengan ‘good stuff’ atau ‘bad stuff’ dan menjadikan dirinya pribadi yang terhormat atau tidak terhormat. Saya jadi teringat cerita ayah saya tentang pengalamannya berada di tahanan Belanda. Di sana ada seorang temannya yang punya kebiasaan berbagi. Apapun makanan yang ditemukan, bahkan telur bebek yang sulit dibagi sekali pun, akan di-share dengan seluruh anggota kelompok. Ini membuktikan bahwa dalam keadaan sulit dan ‘survival’ sekali pun, seseorang tetap punya pilihan untuk menjadi manusia yang bermutu atau tidak. Tentu saja ini sulit terjadi jika beliau tidak punya ‘misi’ yang membuat dirinya dengan mudah menentukan langkah dan mengambil sikap.

Di jaman modern ini, kita lihat semakin banyak individu berkeyakinan bahwa kebahagiaannya datang dari kekayaan materi. Banyak orang sudah tidak bisa membedakan halal tidak halalnya mata pencaharian, dibudakkan harta, lupa batas antara kebutuhan dan keserakahan, bahkan tidak peduli membangun karakter pribadi. Buntut-buntutnya, setelah kekayaan di tangan pun, hidup tetap terasa pahit dan tidak berarti. Banyak orang yang sudah ‘punya segalanya’, namun tidak bahagia dan berusaha mencari ketenangan melalui upaya penggalangan kegiatan religius yang tidak berujung. Bagaimana pun, kesibukan dan tantangan yang terus menerus hadir di depan mata, memang bisa membuat kita tidak punya lagi banyak waktu untuk melakukan refleksi diri. Jika kita ingin hidup kita berarti, tampaknya kita harus memaksa diri untuk diam sejenak, memikirkan kembali, dan memahami dengan jelas apa misi hidup kita.

 {mosimage}

Power of Missions

Pertanyaannya, bisakah seseorang menjalankan hidup tanpa misi yang jelas? Terkadang banyak orang di sekitar kita yang mengambil keputusan tanpa repot-repot pikir panjang mengenai ‘apa yang ingin ia capai’ dalam hidupnya. Banyak di antara kita tidak mendera diri untuk mencari jawaban ‘mengapa’ ia bersikap dalam situasi tertentu. Misalnya saja, orang tua yang bercerai karena emosi dan marah pada pasangan, tanpa memikirkan nasih putra-putrinya. Dalam situasi ini kita bisa meilihat bahwa prioritas untuk membuat putra-putrinya bahagia, aman dan nyaman, tidak menjadi dasar mengambil keputusan. Ada seorang pemilik perusahaan yang membawa perusahaannya tumbuh besar, kemudian menjualnya dan meraup keuntungan besar dari proses akuisisi perusahaan. Setelah diakuisisi, ia tidak lagi tampak serius menggarap pengembangan perusahaan dan berhenti berinvestasi. Di sini kita bisa bertanya-tanya, apa misi pemiliknya? Dalam situasi ini, masih bisakah ia mempengaruhi karyawan untuk terus berinovasi? Apakah beliau kemudian bisa menjawab kepentingan kolektif ‘stakeholder’ lainnya?

Dari situasi tadi kita bisa melihat betapa seseorang bisa kehilangan arah dan power jika tidak jelas misi dirinya. Dalam situasi kepemimpinan, para pengikut akan dibuat bingung oleh pemimpin yang tidak jelas ke mana tim akan dibawa. Sebaliknya, pimpinan yang punya misi mencerdaskan bawahan, bisa bertindak tegas, bahkan keras, pada anak buahnya yang enggan belajar. Teman saya, seorang pengusaha sukses, berprinsip: “Pokoknya perusahaan, orang, dan industri harus maju terus”. Kedengaran seperti tagline Ganefo jaman Sukarno, “Onward, never Retreat”. Namun, kejelasan misinya itu membuat seluruh karyawan jadi ‘tidak berani’ untuk tidak maju, aktif dan agresif dalam bekerja.

Berisi dengan Misi

Rasanya kita perlu kembali menyadari bahwa misi lebih sakti daripada sekedar uang. Chris Gardner yang kisah hidupnya diangkat ke layar kaca mengatakan: “Your pursuit determines your happiness.” Kita sesungguhnya bisa mengecek sendiri, apakah di akhir hidup nanti kita bisa berkata: “I did what I was created to do. I contributed to this world in a significant manner.”

Setiap kali tindakan kita mengarah pada pencapaian misi, kita tentu serta merta merasa happy dan semakin menikmati hidup ber-misi kita. Dengan misi yang jelas, kita bisa lebih kuat menangkis godaan, apakah itu harta, jabatan dan fasilitas. Misi akan otomatis menjadi patokan yang membuat kita jadi lebih jelas dalam mengambil keputusan dan tindakan. Misi dapat dikatakan bagaikan magnet  yang menjaga agar kita “stay on track”.

(Dimuat di Kompas, 13 Februari 2010) 

articles/misi-1.jpg|||0||bottom||
articles/misi-2.jpg|||0||bottom||

Terobosan

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di jaman kompetitif begini, siapa pun pasti setuju bahwa mereka yang tidak kuat berinovasi, cepat atau lambat akan mati. Hasil penelitian yang dilakukan oleh kantor konsultan besar, McKinsey, menunjukkan bahwa 70 persen eksekutif top setuju bahwa inovasi termasuk salah satu dari tiga prioritas pengembangan mereka yang terpenting.  Namun, di tengah giat-giatnya perusahaan menyelenggarakan raker di awal tahun begini, kita bisa menilai sendiri, apakah selama ini kita telah berhasil menelurkan inovasi-inovasi yang membawa perubahan dan kemajuan? Ataukah sebaliknya, cenderung kembali pada manuver lama yang kita ulang lagi dan lagi, seperti yang sudah-sudah?

Tidak sedikit teman yang mengeluhkan, betapa komitmen untuk berinovasi atau menggarap usulan inovasi yang disepakati di awal tahun, sering patah di tengah jalan. Entah apa sebabnya, yang jelas banyak di antara kita tetap jalan di tempat alias terus melakukan praktek-praktek lama yang sudah basi. Ya, Indonesia memang belum masuk hitungan negara-negara yang inovatif. Padahal, negara tetangga kita seperti Cina, Singapura, India, bahkan Malaysia dan Thailand sudah menelurkan inovasi yang diperhitungkan secara global. Kita memang sudah seharusnya bertanya-tanya, apakah betul orang Indonesia tidak bisa berpikir kreatif dan menelurkan terobosan yang inovatif? Kita tahu begitu banyak anak muda di Indonesia punya potensi besar dan ide cemerlang. Tapi, kapan dan bagaimana kita bisa menembus arena persaingan dan membuat tokoh, perusahaan, lembaga dan negara tiba-tiba menonjol dan diperhitungkan?

 {mosimage}

Bersiap Menentang Arus

Dari sejarah kita membuktikan bahwa banyak pemikir dan penemu yang diakui hasil pemikirannya ketika dia sudah meninggal. Kita tahu Copernicus, ilmuwan yang pertama kali mengatakan bahwa bumi mengitari matahari, menentang teori yang diyakini ratusan tahun yaitu bumi sebagai pusat alam semesta, dianggap gila kemudian dibunuh. Padahal belakangan kita ketahui pemikirannya benar. Terkadang kita memandang aneh seorang yang suka berpikir beda dan senang melawan arus. Kita lihat ide-ide baru tidak selamanya diterima mudah dengan tangan terbuka, bahkan sebaliknya bisa membuat seorang pembaharu dianggap aneh atau dimusuhi oleh rekan kerja bahkan atasannya. Tentu kita ingat bagaimana masyarakat menolak kebijakan pemakaian helm, meragukan busway maupun mempertanyakan efektivitas sistem 3 in 1 di jalan raya. Pejabat yang membuat terobosan sistem untuk menangkal korupsi di departemennya, bahkan sampai diancam dibunuh ramai-ramai.

Meskipun kita tahu banyak usulan dan terobosan dibuat dengan tujuan baik, tidak selamanya kita dengan mudah dan sukarela siap berpartisipasi. Ini bukan gejala aneh, juga bukan gejala khas orang Indonesia. Setiap perilaku manusia, sebetulnya mempunyai akar yang dalam. “Behavioral Rivers Run Deep” demikian seorang psikolog. Jika inovasi belum menjadi kesadaran kolektif dan hanya mengandalkan kekuatan segelintir individu pembaharu, rasanya memang akan lebih sulit untuk membuat terobosan. Tidak heran bila kita yang mula-mula antusias  dan harap-harap cemas mengharapkan melihat adanya pembaharuan di lembaga-lembaga pemerintah, kemudian jadi frustrasi karena pola lama kembali dan kembali lagi, apalagi kemudian bisa dimentahkan sendiri oleh pimpinannya.

Gerakan Inovasi

Mengandalkan individu semata untuk melakukan terobosan tentu berlebihan. Inovasi perlu menjadi gerakan bersama jika memang kita meyakini betapa inovasi akan menentukan kesuksesan tim, perusahaan, lingkungan bahkan bangsa. Dalam sebuah institusi, inovasi perlu dirasakan sebagai kebutuhan semua orang, bukan sebuah ‘black box’ dalam organisasi, bukan sekumpulan manusia aneh atau tim adhoc yang memang dianggap perlu berpikir nyeleneh.  Pemimpin di organisasi perlu menggerakkan semua individu untuk ‘on board’ dalam gerakan inovasi, bukan sekedar menerima inovasi tetapi ‘mengisi’ inovasi dengan upaya dan enerji ekstra. Paradigma “getting out of the box” bukan sekedar perlu diyakini, namun perlu dijaga untuk tidak dibarengi dengan paradigma “asal bukan saya”, yaitu silakan lakukan perubahan asalkan bukan saya “korban”-nya. Kita bisa membuktikan gejala ini dari persentase orang-orang yang berkoar tentang pentingnya NPWP, tetapi tetap tidak mau repot-repot berusaha mengurus dan memilikinya sendiri.

Jangan Menjadi “Anti Champion”

Walaupun kita berpandangan populer bahwa kita hidup di era yang kompleks, hi-tech, urban dan modern, hasil penelitian mengatakan bahwa perilaku kita masih berakar pada  kehidupan agraris 50.000 tahun yang lalu. Sementara, pola pikir teknis dari 150 tahun yang lalulah yang melekat pada pemikiran kita kita yang merasa muda ini. Menyadari hal ini, kita pun lebih baik mengikuti apa yang terjadi di bawah sadar kita dan menggunakan enerji yang sama untuk mengisi inovasi.  Kita tidak bisa lagi mendekati inovasi sebagai barang aneh. Inovasi harus datang dari dekat, “some inside, some out, more from street level than the tower”.

Gerakan inovasi perlu digaungkan lebih kuat pada dan oleh setiap individu dalam organisasi sehingga ‘sense of urgency’-nya bisa mendorong perubahan. Tuntutan pelanggan yang makin kompleks, kebutuhan koordinasi yang harus lebih cepat dan efisiensi, kebijakan pasar bebas di depan mata, jangan sampai menjadi musuh yang harus dihindari, tetapi sebaliknya perlu dijadikan energi untuk menyuburkan inovasi.

(Dimuat di KOMPAS, 6 Februari 2010)

articles/terobosan-3.jpg|||0||bottom||
articles/terobosan-2.jpg|||0||bottom||

Genjot Kekuatan

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di masa sekarang, di mana krisis datang silih berganti dan tantangan hadir 24 jam di depan mata, setiap kita tentu butuh menjaga dan menambah kekuatan diri, tim dan organisasi. Meski demikian, kita lihat bahwa banyak orang yang tidak menyadari potensi dan kekuatan dirinya, bahkan tidak merasa penting untuk secara serius menggali dan menemukan kekuatannya. Kita bahkan seringkali terjebak menggali kelemahan-kelemahan kita, membahas kekurangan diri kita, tim bahkan bangsa kita sendiri, sampai-sampai akhirnya menyakini bahwa kita inferior, lemah dan tidak berdaya. Bukankah ini sangat berbahaya?

Dalam sebuah sesi refleksi diri, teman saya yang sangat pandai dan berbakat, sempat tergagap saat diminta untuk menceritakan apa yang sering disebut-sebut  ibunya sebagai kekuatan dirinya. Ternyata, banyak diantara kita yang perlu mencari-cari dulu dalam ingatannya, apa yang pernah atau kalau “beruntung” dikatakan orang tua mereka tentang kekuatannya. Saya jadi teringat ibu saya almarhum, yang memang sangat “strength based”,  berorientasi menegaskan kekuatan dari masing-masing anaknya. Kakak saya yang dilihatnya tidak terlalu kuat dalam analisa, segera dilatih trampil dan cekatan, disekolahkan di SMK, dimagangkan di perusahaan seorang teman, sehingga ia kemudian bisa ‘survive’ bahkan menjadi penyokong kuliah abang dan adiknya. Sementara karena  abang-abang saya sering mengecilkan mental saya, ibu saya sebaliknya, selalu mengatakan saya sebagai seorang pemberani. Saat saya memunculkan ingatan akan kata-kata ibu saya tersebut, segera saya bisa merasakan otot meregang, muka berbinar, enerji merekah, sehingga kita merasa  mempunyai kekuatan dobel dalam sekejap. Hal yang sederhana ini ternyata menjadi sumber kekuatan hidup. Saya sadari kemudian bahwa inilah “life giving forces” yang mendasari segala upaya dalam kehidupan karir saya.

 {mosimage}

Sadari Kekuatan

Saat diajukan pertanyaan, “apa yang menjadi kekuatan dirimu”, banyak teman yang lalu dengan tertawa-tawa lalu mengatakan: “Saya kuat di semuanya….” Atau “Kekuatan saya sama rata…”, atau bahkan “tidak ada hal yang menonjol, semua sedang-sedang saja…”. Tidak menyadari keunikan diri sendiri bisa jadi menunjukkan betapa banyak orang melihat hidup ini sudah demikian ‘taken for granted’-nya. Hidup seolah-olah dipandang seperti permainan, sebut saja sepakbola, di mana bola dan ukuran lapangan sudah standar, aturan sudah baku, dan setiap orang bisa menendang bola serta berlatih dengan acuan yang sama. Jika ini yang terjadi, tanpa disadari individu memang bisa tidak menghargai kemampuannya sebagai modal menciptakan momen-momen terbaik atau “peak experience” dalam hidup pribadinya, pekerjaan, juga kemasyarakatan. Bayangkan betapa ruginya  bila  kita tidak  sempat menggali “life-giving forces” sepanjang hidup kita.

Dengan merasakan, memperhatikan dan menghayati setiap momen dalam hidup, kita jadi bisa menjaga vitalitas hidup kita dan punya kesempatan untuk memberi “warna”, menciptakan “animasi” yang canggih pada hidup kita. Bukankah sebagai manusia modern kita perlu melihat jauh ke masa depan, membuat dan menggambarkan visi serta merancang tindakan kita? Seorang gadis cantik yang berbakat, mengikuti ujian keperagawatian dan lulus. Ia bercita-cita menjadi foto model top dan sempat menikmati profesi ‘modelling’-nya beberapa saat. Beberapa waktu lalu, seorang teman bertemu dengannya yang sudah bekerja sebagai seorang SPG showroom. Ia berdalih dengan menjadi sebagai SPG paling tidak penghasilannya  lebih rutin. Bukankah kita bisa membuktikan bahwa seseorang bisa dengan mudahnya melewatkan ‘strength’-nya, hanya menyambut kesempatan yang lewat di depan matanya, tanpa  berjuang untuk membuat ‘dreams come true’ bagi dirinya?

Hindari Bahasa Defisit

Kegiatan menonton wakil rakyat melakukan wawancara secara maraton sedikit banyak pasti membuat kita merasa ‘down’. Betapa tidak, selama berbulan-bulan kita diajak untuk mengikuti adegan demi adegan di mana anggota majelis satu sama lain berusaha saling menjatuhkan. Setiap pertanyaan yang diajukan menggali “what’s wrong”-nya  sehingga kita terus-menerus disuguhkan kekurangan, kegagalan, sampai-sampai kita pun merasa pesimis dan menjadikan rasa inferior menetap dalam kehidupan kita sehari-hari. Padahal, dalam momen krisis begini, sangat disarankan kita untuk bisa bersikap konstruktif. Mau tidak mau, diskusi berkepanjangan dan melelahkan ini sangat berpengaruh terhadap bagaimana kita melihat dunia, bagaimana kita menyikapinya dan menerima realitas.

Seorang peneliti mencatatkan hasil surveinya  bahwa dalam 30 tahun terakhir, terjadi penambahan jumlah yang signifikan pada kata-kata ‘depresi’, ‘kecemasan’, ‘kegagalan’  dalam  berbagai artikel. Sebaliknya, tercatata pengurangan signifikan terhadap tulisan-tulisan yang memuat kata ‘gembira’.  “Maybe what looks like a symptom of depression – negative thinking – is itself the disease.", komentarnya.   

Berani Positif

Saya pernah meyakinkan dan membuktikan bahwa hanya dengan menggunakan pertanyaan dan pernyatan positif saja kita bisa mengubah keputusan seseorang.  Dan kenyatannya fenomena ini sangat ‘magic’. Ketimbang menanyakan “apa yang dibutuhkan?”, kita langsung menanyakan “apa yang terbaik?”. Daripada berkutat pada penyebabnya, kita menanyakan “Apa perbaikan yang kita ingin ciptakan?”. Dengan demikian kita tidak berorientasi pada masalah tetapi lebih fokus kepada menciptakan masa depan dan menambah kekuatan.

Tampaknya kita perlu selalu mengingat bahwa sebuah pertanyaan atau pernyataan yang tajam akan  mengubah hidup seseorang, ke arah positif maupun negatif. Kita harus sadari bahwa kita punya pilihan untuk membesarkan anak-anak kita, tim kerja, perusahaan, bahkan rakyat dengan pilihan kata-kata yang lebih positif sehingga kita semua bisa menumbuhkan sikap positif dan konstruktif menghadapi berbagai tantangan yang ada, bukan sebaliknya menyeret diri ke dalam ‘kegelapan’. “Ultimately, we  create the future  we imagine.”

(Ditayangkan di Kompas, 30 Januari 2010)

articles/genjot-kekuatan-1.jpg|||0||bottom||
articles/genjot-kekuatan-3.jpg|||0||bottom||

Jujur

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ya, kita semua tentu merasa kehilangan Gus Dur. Berbeda dengan banyak tokoh besar lain, kita mengenal dan mengenang Gus Dur karena sikapnya yang tidak “Ja-im”, tidak banyak basa-basi, apa adanya, transparan. Selain visioner dan kegigihannya mendobrak, bisa jadi sikapnya yang sederhana dan jujur-lah yang membuat beliau menonjol dan menjadikan kita begitu merespek beliau. Dari kesan orang-orang yang dekat dengan beliau, kita bisa melihat bahwa Gus Dur nyata-nyata bukan sekedar berkata jujur, tapi juga mempraktekkan kejujurannya secara konsisten. Mungkin untuk selama-lamanya kita akan mengingat pesan beliau: “Harus jujur…”

Kita sering menganggap jujur adalah sebuah atribut, salah satu aspek kepribadian. Banyak lembaga dan organisasi yang melaksanakan assessment, memberi instruksi pada kami untuk secara mendalam ‘memeriksa’ kejujuran karyawan atau calon karyawannya. Sebagai salah satu aspek kepribadian, kita bisa mengecek kejujuran dengan mengkaitkannya pada tidak bersedia atau tidak pernahnya seseorang melakukan korupsi, kecurangan dalam pekerjaannya. Pertanyaannya, apakah hanya sebatas lingkup itu saja yang dimaksudkan dengan “kejujuran”?

Mungkin sejak kanak-kanak sampai hari ini, sudah ratusan bahkan ribuan kali kita mendengar nasihat untuk bersikap dan bertindak jujur. Pesan ini bisa jadi terlalu sederhana dan bila kita tidak hati-hati akan lewat begitu saja, terlupakan. Namun, bila kita mau hening sejenak dan memikirkannya, nasihat ini bisa jadi akan mengubah seluruh pandangan dan bahkan makna hidup kita. Bukankah kita akan merasa lega luar biasa bila bisa berkata jujur? Bukankah kita menyadari bahwa sikap jujur terkadang mengandung kekuatan internal yang menyebabkan kita tidak tergoyahkan bahkan bisa nekad dan mempunyai sikap ‘nothing to loose’? Bukankah kita baru bisa menepuk dada, menerima diri, mengatasi frustrasi, menghargai anugerah hidup saat kita jujur pada diri sendiri, lingkungan, organisasi dan bangsa? 

 {mosimage}

Suburkan Dialog dengan Diri

Kita sendiri sadar bahwa kita sering mengingkari konflik, sikap, bahkan pikiran diri sendiri. Tidak menyampaikan permasalahan yang kita hadapi dengan alasan tidak ingin membuat orang lain susah. Tidak melaporkan penyimpangan dengan alasan solider pada teman yang berbuat salah. Dengan membuat pembenaran berulang-ulang, akhirnya kita semakin meyakini pula “kebohongan” tersebut kuat-kuat sebagai kebenaran. Akibatnya, dialog batin sulit terjadi. dan barometer alias “gut check” kejujuran yang berasal dari diri sendiri tersumbat.

Dalam keseharian, kita sebagai orang dewasa memang perlu rajin mempertanyakan alasan-alasannya mengambil tindakan, dan tidak sekedar terjebak dalam situasi di mana kita  menjadikan sikap dan tindakan kita otomatis dan rutin. Kita memang perlu mempertanyakan, kenapa saya mempertahankan jabatan ini? kenapa saya takut mengambil resiko? mengapa saya takut menolak instruksi padahal jelas-jelas instruksi ini salah dan merugikan? mengapa saya percaya atau tidak percaya pada atasan saya?

Kekuatan ‘gut check’ ini sebetulnya adalah pembentuk kepribadian individu. Kita bisa jadi tidak punya kemampuan untuk tampil ‘beda’ dan berkarakter, terutama saat menghadapi situasi yang berat, katakanlah fitnah, tuduhan, ataupun godaan jabatan. Tokoh kuat, seperti almarhun Frans Seda, dalam bicara, berpendapat, menolak atau mengambil sikap, sangat terasa dipandu oleh barometer etika yang kuat. Sikap etisnya dibangun dari dari anyaman  perilaku, nilai dan keyakinan  yang kokoh yang dievaluasi setiap saat. Konsistensi dan penyadaran diri inilah yang merupakan pangkal tolak dari sikap jujur yang memang harus hidup secara dinamis di dalam diri individu.

Mengalahkan ‘Self-Interest’

Anak sekecil apapun biasanya sudah menanamkan  nilai kejujuran dalam dirinya. Ia pasti sudah tahu bahwa berbohong, menyontek, itu tidak baik. Tapi, mengapa di masyarakat sekarang ketidakjujuran sering terekspos secara mencengangkan, bahkan terjadi pada presiden-presiden negara adidaya, seperti Nixon dan Clinton? Kita lihat, perkembangan individualisme di masyarakat diikuti dengan pengembangan ‘self-interest’ yang pesat. Individu cenderung peduli hanya pada kepentingan dirinya sendiri. Kita terbiasa dan tidak lagi berespon keras saat menyaksikan orang mengejar uang dan keuntungan, ketimbang memperjuangkan tanggung jawab dan kepentingan orang banyak. Kita bahkan bersikap skeptis terhadap lembaga-lembaga pengabdian masyarakat yang didalam realita juga  banyak yang tidak ‘bersih’.

Perjuangan untuk mempraktekkan kejujuran memang tidak bisa lepas dari upaya kita secara sadar untuk mengalahkan kepentingan diri pribadi. Kita lihat bahwa kejujuran bukan sekedar berkata benar dan mempertimbangkan benar salah, namun mempraktekkan kematangan, sehingga terbaca dalam gerak gerik maupun mental seseorang. Semakin tinggi peran dan tanggung jawab yang kita emban, di kelompok, lingkungan dan lembaga, kita perlu sepenuhnya menyadari bahwa semakin berat juga bobot tuntutan untuk menunjukkan kedewasaan, menyadari tanggung jawab peran dan mengedepankan kepentingan publik yang kita ‘layani’.

Kejujuran: 'Work in Progress'

Pertanyaan:”Apakah saya 100% jujur?”, bisa serta merta kita jawab dengan ‘tidak’. Kita tentu pernah melanggar lampu lalu lintas, menyontek, membebankan pengeluarkan pribadi pada perusahaan atau menambah-nambahi prestasi dalam presentasi ataupun curriculum vitae kita. Namun, kita pastinya akan lebih menjaga sikap dan tindakan kita saat ada di depan anak, cucu atau bawahan, karena sebagai manusia yang sehat kita tentunya ingin mengajarkan kejujuran dan mewariskan nilai-nilai luhur pada orang-orang yang kita cintai. Ini  membuktikan bahwa kita memang mampu mengatur pendekatan  kita, baik rasional maupun emosional  terhadap situasi.  Jujur tidaknya kita bisa langsung kita rasakan dan monitor sendiri. Kejujuran bukanlah sesuatu yang ada jauh di dasar kepribadian kita, sampai tidak bisa dilacak. Semua gerak, ekspresi dan keputusan kita bisa memperlihatkan kejujuran dengan gamblang.

Kejujuran memang adalah nilai yang tidak bisa dianggap statis, ia berkembang sejalan dengan konflik dan kompleksitas situasi. Kontrol diri dan transparansilah yang akan membantu kita untuk menghindari perbuatan perbuatan yang jauh dari kejujuran. Individu, apalagi pimpinan harus menyadari bahwa dialah yang perlu menciptakan sistem transparansi di sekitarnya agar perjalanan nilai kejujurannya tetap berkembang. Bila dalam situasi yang berat, seorang pemimpin tetap bisa menunjukkan komitmen, bisa dipercaya, dan loyal, kita lihat ia akan ‘naik peringkat’ dalam kualitas kejujurannya.

Kejujuran tampaknya perlu menjadi sasaran hidup seorang individu, apalagi pemimpin, karena ini adalah modal utama dalam pengambilan keputusan dan menjadi perisai yang ampuh dalam kancah politik. Hanya dengan kekuatan inilah seorang pemimpin tidak bisa tergoyah ‘self esteem’-nya dan akan dikenal luas dengan penuh respek.

 (Dimuat di KOMPAS, 16 Januari 2010)

articles/Jujur1.jpg
articles/Jujur2.jpg

Bergerak

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Setiap orang memang unik. Sangat menarik bila kita memperhatikan betapa berbeda-bedanya respons tiap orang terhadap perubahan. Ada teman yang dengan cepat masuk ke situasi perubahan, tanpa banyak perlawanan. Dia berpendapat bahwa apa yang dikatakan oleh para senior sebaiknya di ‘terima’ saja, karena toh para sesepuh ini berpengalaman dan sudah banyak makan asam garam.  Perubahan apapun yang harus dia lakukan, dikerjakan dengan sukarela  tanpa banyak perlawanan. Adaptasinya prima, walaupun bisa juga dikatakan teman kita ini layaknya robot, tidak melakukan perubahan atas insiatifnya sendiri.

Sebaliknya, teman yang lebih muda, menggunakan pendekatan yang berbeda bila dihadapkan pada segala macam barang baru, instruksi baru, sistem dan prosedur baru. Ia bisa diam membeku, tidak melakukan apa-apa. Mungkin sebenarnya ingin juga dia demo atau protes, tetapi karena status juniornya, ia memilih diam. Ketika saya tanyakan mengapa dia tidak ‘menurut’ saja bila diberi instruksi, dia menjawab: ”Saya perlu tahu akar permasalahannya , mengapa dan untuk apa saya berubah.” Jadi teman kita ini mempunyai  syarat -syarat yang harus dipenuhi untuk mau berubah. Pantas saja, perubahan sulit terjadi. Untuk ‘membeli’ alasan berubah saja individu ada yang bermasalah.

{mosimage}

Kekuatan Menerobos Kesulitan

Dalam sebuah rapat perusahaan, saya menyaksikan betapa ‘berubah’ itu terasa bagai benda langka. Ketika ada usulan untuk membuat ‘lompatan signifikan’, ada beberapa orang yang melanjutkan pembicaraan, namun ada juga yang saling lempar pandang. Ironisnya, tak ada seorang pun yang lantang mengusulkan kegiatan apa yang perlu dihentikan, pos mana yang perlu dipangkas dan tindakan apa yang harus dilakukan. Bila kita perhatikan, sikap “gotong royong” menyuburkan keengganan berubah begitu besar pengaruhnya, seakan menjadi benteng tebal yang menghambat perubahan. Mentalitas malas berubah inilah yang perlu kita garap.

Bila individu sudah mau berubah, seakan ada energi baginya untuk menghentikan kebiasaan lama dan mendorong dirinya masuk ke masa transisi. Dalam masa transisi inilah, biasanya cobaan silih berganti muncul. Kebiasaan lama memanggil, rintangan dan konflik mulai berkecamuk. Bayangkan godaan di minggu-minggu pertama seseorang yang memulai diet atau berniat berhenti merokok. Pada saat inilah kondisi baru, tidak terasa nikmat oleh yang bersangkutan sehingga tidak memotivasinya. Konflik dalam diri bisa menimbulkan sikap skeptis, bahkan sinis terhadap inisiatif perubahan yang dicanangkan. Transisi ini memang sangat kritikal. Kita perhatikan, dalam upaya awal perubahan, kira-kira 95% populasi, kembali pada posisi lama. Mereka yang berhasil biasanya adalah individu yang punya kemampuan ‘adversity’ yang baik, yaitu kekuatan menerobos kesulitan, melawan kegamangan, mendobrak masuk ke situasi baru dan menghentikan lama. Tanpa mengembangkan kemampuan adversity, sulit bagi kita untuk bisa membuat lompatan dengan enerji ekstra.

Dari Ujung ke Ujung

Sebuah tim salesman terbiasa bertindak tanpa pikir panjang, grabag-grubug, minim perencanaan. Kebiasaan ini akhirnya menimbulkan banyak inefisiensi dan kerugian bagi tim. Atasan yang melihat situasi ini, kemudian berusaha mendalami permasalahannya bahkan mengumpulkan tim salesmannya untuk meeting dan menetapkan komitmen. Tiga bulan berlalu, ternyata kebiasaan lama tetap berjalan. Inilah yang sering sekali terjadi pada upaya perubahan yang dicanangkan. Misi perubahan yang tidak dibarengi dengan kekuatan kontrol, penguatan spirit dan visi serta ke-’kekeuh’-an atasan pada misinya akan sulit untuk mencetak kesuksesan perubahan.

Di banyak perusahaan besar, tak jarang ‘change agent’ hanya berfokus pada seremonial pencanangan perubahan saja dan berasumsi bahwa perubahan bisa terjadi dengan sendirinya. Padahal, motivasi ‘khalayak’ perlu diperhitungkan. Akan sangat membantu bila kita memahami berapa persen karyawan yang bisa menjadi promotor, yaitu mereka yang sudah menerima, mau serta mampu  segera menjalankan perubahan. Sebaliknya, kita pun perlu mengira-ngira berapa persen yang tidak mau atau tidak bisa menjalankannya agar kita bisa menentukan langkah dan gerakan. Kita juga perlu membuat langkah-langkah kecil agar perubahan bisa dimonitor oleh semua pihak dan bisa segera dirasakan manfaatnya. Terkadang upaya  organisasi, katakanlah dalam menerapkan paperless management, online service atau Performance Based Culture, sering patah di tengah jalan, karena sulitnya mempersepsi proses perubahannya secara total sampai ke ujung. Bila ini terjadi, perubahan akan terlihat dan terasa ‘hangat-hangat tahi ayam’  saja.

Jangan Terlambat Menyadari

Banyak orang berpendapat, kondisi sekarang saja belum optimal, kok sudah mau berubah lagi. Pilihannya tentu saja di tangan kita sendiri. Kita punya pilihan untuk setiap saat siap menantang diri untuk maju dan seperti  layaknya ‘climbers’, para pendaki gunung. Kita bisa juga memilih untuk meng-enjoy perubahan sedikit demi sedikit atau sering disebut ‘campers’. Asalkan jangan menjadi ‘quitters’, yang  baru mencoba berubah sedikit langsung kembali ke kebiasaan lama.

Seorang ahli mengingatkan kita yang masih ingin berkembang untuk waspada dengan “boiling frog phenomenon”, yaitu katak hidup yang direbus dalam air secara perlahan-lahan. Si katak tidak menyadari bahaya karena perubahan panas terjadi perlahan-lahan. Saat ia sadar, semua sudah terlambat. Ia tidak punya tenaga lagi untuk melarikan diri. Kita pun juga bisa terjebak dan tidak sadar akan perubahan yang lambat dan membahayakan. Tantangan dan kompetisi sudah di depan mata. Jika kita terus menunggu, menunda, tidak waspada, lambat mengambil tindakan, gagal melakukan antisipasi, berarti kita membuat situasi bertambah parah. Saat kita menyadari, bisa jadi semuanya sudah terlambat.

(Dimuat di Kompas, 23 Januari 2010)

articles/bergerak 2.jpg|||0||bottom||
articles/bergerak-1.jpg|||0||bottom||

Transparan

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kebebasan pers yang kita nikmati sekarang, belakangan tak jarang membuat kita terkaget-kaget. Selain terkuaknya berbagai isu dan kontroversi, kita juga disajikan pada ‘reality show’ yang amat menarik, yaitu bagaimana seseorang berespon dan menampilkan citra dirinya. Ada yang bersujud ketika memperoleh jabatan menteri. Ada nenek lugu yang terpana karena tiba-tiba masuk tivi, saat didakwa mencuri 3 biji kopi. Ada yang langsung menghindar saat dihampiri wartawan atau bersikap “Ja-Im” alias “Jaga Image” saat di depan kamera. Ada juga yang begitu berang saat dipersalahkan, terlepas dari apakah kesalahan tersebut dibuatnya secara sengaja ataupun tidak, sesuai prosedur atau melanggar prosedur, fitnah atau sentimen. Bila kita di masa lalu tidak punya banyak kesempatan untuk menelaah dinamika kepribadian seseorang, saat sekarang kita bisa takjub melihat kompleksitasnya.

Transparansi di media, membuat kita jadi mendapat sajian baru yang mengasyikkan, di samping infotainment dan sinetron. Dengan alasan mempertahankan prinsip, kita kerap bisa menyimak sikap ‘keukeuh’ individu. Banyak orang membela diri, bersitegang, bahkan bersumpah, sampai-sampai menjadi kabur batasan antara individualitas, profesionalitas dan tugasnya.Ya, sejak jaman dahulu pun para pahlawan kita siap dipenjara, diasingkan dan disiksa untuk memperjuangkan prinsipnya. Lalu, apa bedanya kekerashatian pahlawan-pahlawan kita dengan individu yang belakangan ini kita lihat ngotot mempertahankan tindakannya? Bagaimana kita mustinya bersikap di jaman yang segala sesuatunya serba terbuka seperti ini?

 {mosimage}

Gaya Hidup “Terbuka”

Dunia kita sekarang memang jauh kompleks dibandingkan masa yang lalu. Teknologi yang makin canggih telah membantu orang menjadi lebih efisien dan cerdas, juga lebih terbuka. Misalnya saja, kita dengan mudah bisa diteropong dan meneropong pendapat, pemikiran, emosi, kedalaman etika bahkan tatakrama kita lewat status di facebook, YM, juga forum diskusi di berbagai situs. Keterbukaan ini tentu saja menuntut kita untuk punya mentalitas yang sesuai dalam menghadapinya. Transparansi penyiaran, perolehan informasi, sampai-sampai pada penyadapan, menyebabkan setiap orang harus senantiasa menyusun strategi untuk lebih siap. “See clearly, think clearly, act clearly”.

Di jaman transparan seperti ini, profesionalitas kitalah yang bisa menjadi modal sekaligus tameng. Birokrasi, jabatan dan otoritas tidak mempan lagi dipakai untuk ‘bersembunyi’. Kita perlu sangat jelas akan peran dan tugas yang kita emban, menyadari tanggung jawab dan juga memahami dampak dari setiap perkataan dan tindakan kita. Kejelasan inilah yang perlu diprogramkan oleh individu yang sedang ‘in charge’ mengemban tugas-tugas penting, apalagi yang menyangkut kepentingan orang banyak, pegawai bahkan negara.

Profesionalitas bisa kita mantapkan dengan menciptakan jalur komunikasi ke segala arah, mendorong penyaluran informasi yang lebih terbuka. Tidak saja kepada pelanggan, tetapi juga pada semua “stakeholder”. Cara kerja yang lebih transparan akan serta merta membangun “image” baru, membuat kita lebih mudah diakses, lebih terlihat, dan akuntabel. Dengan memberi pesan yang ‘jelas’, kita akan tampil sebagai pribadi dengan ‘image’ yang jelas. Adanya image ini tentu akan membuat kita lebih mudah mendapatkan insight dan mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Hanya individu yang bertindak efektif dan ‘decisive’-lah yang bisa survive di kondisi yang selain kompetitif juga ‘terbuka’ ini.

You’re Never Alone

Teman saya, secara sukarela akan membuka dirinya, menceritakan apapun yang ingin diketahui lawan bicaranya, tanpa harus repot-repot kita gali. Banyak orang berkomentar dan bertanya-tanya, apakah ia tidak takut digunjingkan di belakangnya. Ia dengan tenang berkata: “Tanpa saya terangkan, orang akan tahu siapa saya dan apa saja yang saya alami. Lebih baik saya kemas saja semuanya dengan benar”. Jadi, teman kita ini sengaja menjadi pribadi yang tampil terbuka, apa adanya, “nothing to lose”. Ia meyakini bahwa sukses jaman sekarang sangat tergantung kemampuan kita menterjemahkan situasi, memperjelas tantangan serta mengukur kompleksitas suatu perkara atau kasus yang melibatkan dirinya dengan gamblang dan sederhana.

Ternyata, dengan sikapnya yang transparan, ia jadi memiliki berbagai kelebihan. Bila menghadapi masalah, banyak konco-konconya ikut memikirkan masalahnya. Selain bantuan jalar keluar, dukungan moril yang dahsyat pun selalu ia terima, sehingga ia pun jadi kuat menghadapi apapun kerumitan masalah yang sedang terjadi. Secara otomatis, transparansi pun menyebabkan kontrol datang dari lingkungan sekitar kita. Apa yang kita lakukan bisa ‘dijaga’ oleh orang-orang di sekitar kita. Di sinilah letak ‘smartness’ dari sikap kita. Dengan membangun keterbukaan yang ditunjang kemampuan komunikasi yang piawai, terbukti kita bisa mengkontrol situasi dan mengupayakan agar lingkungan lebih menunjang kita.

Langkah pertamanya, tentu saja kita harus sadar benar akan peran dan nilai apa yang kita pentingkan dalam hidup ini. Diskusi mengenai sistem nilai, moral, etika, ‘ownership’, toleransi, kebebasan seharusnya tidak perlu selalu dilakukan dalam waktu spesial, tetapi justru dilakukan oleh individu dengan dirinya secara kontinu. Apapun pekerjaan kita, artiskah, dokterkah ataupun pejabat KPK, tanpa kesadaran pada hal-hal yang kita ‘bela’, kita akan sulit berfokus pada hal-hal yang kita tekuni dengan ‘passion’.

(Ditayangkan di KOMPAS, 19 Desember 2009) 

articles/Transparan1.jpg
articles/Transparan2.jpg

Goal

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Ketika seorang teman fesbuk menegur bahwa kami belum pernah mengupas mengenai Goal-setting alias penetapan sasaran, saya berusaha melakukan riset dari pengalaman kerjasama kami dengan beberapa klien. Ternyata, beberapa perusahaan yang saya kenal baik dan sangat sukses, cukup tergagap ketika dalam sebuah ‘workshop’ perlu mengkonkritkan sasaran tahun ke depan mereka. Bahkan, ada direktur perusahaan yang bersikukuh untuk mendengar dahulu ‘angka’ target yang diusulkan anak buah untuk menetapkan target  tahun ke depan. Beliau mungkin tidak menyadari perlunya dasar perhitungan yang dikembangkan dirinya sebagai pimpinan perusahaan, untuk mendapatkan angka estimasi yang cukup akurat, ‘achievable’, tetapi juga menantang bagi anak buahnya.

Di jaman sekarang kita tidak bisa hanya menetapkan target keuntungan atau angka penjualan saja, karena kesuksesan perusahaan sangat tergantung pada pencanggihan proses bisnis, pelayanan pelanggan dan pembelajaran manusianya. Di sinilah letak keberbedaan seorang pemimpin. Pemimpin yang efektif mampu mengatur ambisinya untuk menentukan titik akhir dari lomba di mana timnya berperan serta. Tugasnya adalah menggambarkan “point mark” yang spesifik dan terukur dan dimengerti oleh seluruh anggotanya, bahkan dijadikan obsesi oleh anggota timnya. Nyatanya tidak mudah bagi seorang pemimpin untuk menggambarkan sasaran yang tepat. Baru akhir-akhir ini kita melihat ada menteri yang berani dan jelas-jelas mencanangkan bahwa di tahun 2012, negara kita menjadi negara perikanan.

Bila sasaran sedemikian pentingnya bagi kinerja, bagaimana mungkin banyak organisasi bisa berjalan tanpa sasaran yang yang jelas? Dalam sebuah pertemuan dengan sekumpulan board of directors yang menginginkan dilaksanakannya pengukuran kinerja obyektif, beberapa direktur saling menatap ketika kami sampai pada tugas untuk menetapkan sasaran yang konkrit dan mendetil. “Kalau tidak dibuat, bagaimana mungkin kita bisa ‘menghitung’ kinerja?”, demikian komentar kami. Ternyata banyak pemimpin, yang pandai-pandai sekalipun, segan untuk mencanangkan sasaran secara konkrit dan mendetil. Di satu sisi, mempublikasikan sasaran ini akan mendorong anak buah untuk mengejar sasarannya. Sebaliknya, bila sasaran tidak tercapai, hasilnya pun akan serta-merta menampar muka kita. Ketakutan akan kegagalan inikah penyebab tidak jelasnya sasaran selama ini? Atau semata kurangnya ambisi untuk maju? Atau apakah memang falsafah hidup pemimpin yang memang berkehendak untuk sekedar mengalir sejalan dengan waktu dan situasi?

 {mosimage}

Menyukai Sasaran

Efektivitas kinerja melalui penetapan sasaran bisa kita lihat dalam kegiatan lari pagi. Banyak sekali orang yang tidak berusaha mengukur kinerjanya secara cermat baik, melalui hitungan jumlah langkah,  kalori, waktu ataupun detak jantungnya. Akibatnya, keinginan untuk memacu kegiatan olah raga ini jadi tidak ada. Ujung-ujungnya kebiasaan sehat ini bisa jadi membosankan. Ada orang yang berpuluh tahun tetap beraktivitas dengan tempo yang sama. Padahal, dengan menentukan sasaran, dalam segala hal, kita jadi membiasakan diri bahkan menikmati perlombaan dengan diri sendiri. Hari ini berjalan 30 menit, dengan membakar 200 kalori. Bagaimana dengan besok? Masakan targetnya sama terus? Dengan sasaran yang kian berat, biasanya individu akan merasakan kesulitan, hambatan, gangguan baik dari luar diri sendiri, juga dari dalam. Namun, tantangan ini tentu sekaligus menjadi momentum  yang baik bagi kita untuk melatih diri dan menjadi sekelas lebih pandai. Juga, menempa mental agar lebih kuat menghadapi berbagai ujian.

Hal yang sama juga terjadi di perusahaan. Pimpinan perusahaan dan unit kerja perlu mengeksplorasi semua kemungkinan baru, sehingga timnya selalu melihat tantangan baru di depan mata. Keluhan bahwa target selalu naik tidak ada habisnya menunjukkan bahwa target tersebut  tidak diperjelas sehingga belum ‘dimiliki’ bawahan. Perusahaan, departemen atau bahkan negara  dengan anggota atau rakyat yang paham sasaran akan otomatis bergerak ke satu arah. Gerakan dan derapnya inilah yang akan membangkitkan motivasi di dalam diri individunya.

Sasaran sebagai Sarana Menghargai Diri

Semua orang pernah merasakan kegagalan. Namun, kegagalan terhadap pencapaian sasaran yang sudah dihitung, biasanya bisa dihadapi dengan lebih tegar ketimbang kegagalan di mana kita sendiri  belum mempunyai gambaran mengenai target kita. Inilah sebabnya banyak buku yang menekankan bahwa sasaran harus SMART (Specific, Measurable, Attainable, Realistic, Timely). Ini juga yang membedakan sasaran dengan mimpi yang lebih mengambang di awan. Sasaran yang baik menimbulkan dedikasi, arah, dan disiplin anggotanya. Sasaran menyebabkan setiap orang dalam kelompok terlatih untuk memecah sasaran ke dalam bentuk tindakan, mengoptimalkan agenda, merencanakan skedul, memantau deadline dan target pribadi serta lancar mengemukakan 3W (Will, What dan When)-nya sehari-hari. Motivasi individu perlu didorong baik dari dalam maupun dari luar. Dengan memberikan sasaran yang bermutu, tiap orang bisa menjadikan kegiatannya seolah perlombaan  yang ‘fun’ dan bermakna.

(Dimuat di KOMPAS, 12 Desember 2009)

articles/Goal1.jpg
articles/Goal2.jpg

Interviu

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Teman baik saya yang akan di interviu untuk sebuah kesempatan kerja baru, mendesak saya untuk memberi contekan dan kiat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pewawancara. “Kalau dijawab apa adanya, bisa-bisa kelemahan saya dipakai sebagai alasan untuk menolak saya. Kalau saya jawab yang bagus-bagus, juga pasti dicurigai berbohong”, begitu keluhannya. Saya yang selalu berada di tengah situasi ini, benar-benar speechless.

Di satu pihak  kita sangat memahami bahwa seseorang pasti ingin lolos seleksi. Di lain pihak, kita bisa merasakan beratnya upaya organisasi untuk menemukan kecocokan pribadi dan kompetensi seseorang dengan jabatan yang akan diisi. Kita semua tahu istilah ‘putting the right man in the right place’, namun kita pun sangat menyadari bahwa keadaan yang ideal ini sulit dicapai. Sebagai pewawancara, kita sangat terbantu bila individu berani untuk transparan, terbuka. Bagi orang yang diwawancara, tidak ada pilihan lain yang lebih baik, kecuali ‘showing your color’ alias menunjukkan karakter asli diri Anda. Dosa besar dalam situasi seleksi adalah kalau dalam waktu  evaluasi yang begitu singkat, justru individu tidak berkesempatan menampilkan keasliannya sehingga si pewawancara pun tidak bisa menangkap kekuatannya. ‘Be Yourself’ bagaimana yang perlu kita tampilkan?

 {mosimage}

Rileks

Mungkin, saran terbaik yang bisa saya berikan pada orang yang akan menghadapi interviu adalah: Rileks. Dengan rileks kita baru bisa menampilkan sisi terbaik kita. Bagaimana orang lain bisa mengenal diri kita lebih lebih jauh, bila kita tidak memperbolehkan orang lain untuk masuk ke diri kita lebih dalam?

Kondisi rileks sebetulnya perlu kita biasakan dan latih dalam situasi sehari-hari, tidak hanya dalam konteks interviu saja. Saya cukup sering berhadapan dengan orang yang terlalu tegang. Bentuknya macam-macam, misalnya terlalu kaku pada aturan, disiplin tanpa toleransi, sehingga yang tampil malah kekakuan dan ketidakwajaran. Tentu kita yang rugi bila dalam proses seleksi, kita begitu berjarak sehingga informasi yang diperoleh orang lain tentang diri kita pun dangkal. Kitalah yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh orang lain untuk mengetahui kekuatan kita.

Berkarakter transparan dan terbuka di jaman sekarang kita lihat semakin menjadi tuntutan. Kita tentu heran, bila dalam pergaulan, seseorang tidak memberikan akses pribadinya, seperti  nomor ponsel, akun facebook atau twitter. Rileks tentu sangat berbeda dengan berkepribadian slebor, asal-asalan, bahkan tidak peduli pada norma masyarakat. Orang yang rileks bisa menolak untuk melakukan hal yang melanggar norma dan prosedur tanpa harus berkonfrontasi. Orang yang rileks tetap berdisiplin dengan waktu dan bisa tertib mengatur busana sesuai keperluan tanpa perlu ‘ja-im’ berlebihan. Kita tahu bagaimana kondisi rileks menyebabkan seseorang jadi punya enerji lebih untuk menahan diri bila merasa tersinggung oleh kata-kata atau ungkapan orang lain, sehingga tanpa terasa ia juga tampil sebagai orang yang terkontrol.

Lapar dan Agresif

Dalam sebuah pertemuan, yang diadakan panitia Job Fair, saya melihat pencari kerja bersikap “jaim”, menahan diri, takut salah dan terlalu berhati-hati. Justru karena ingin tampil sopan dan penuh aturan, kita jadi sulit untuk menangkap enerji, semangat, agresivitas dan spirit individu. Padahal, enerji adalah hal pertama yang ingin dilihat dan ‘dibeli’ dari individu. Sebagai manusia, kita harus selalu ingat bahwa kita adalah sumber enerji yang tidak ada habisnya. Energi perlu kita genjot dengan senantiasa menyempatkan diri untuk menggali informasi baru, menangkap kesempatan baru, pekerjaan baru dan tugas baru. Sikap ‘excited’  inilah yang perlu ditampilkan.

Sikap seperti orang kekenyangan, merasa pintar, puas diri, tidak butuh informasi, tidak mendengar ataupun tidak bergerak cepat, menunjukkan bahwa kita tidak bisa berproduksi dalam waktu yang panjang. Kita sendiri tentu bisa memahami, bila sikap ini kemudian membuat orang tidak berminat bekerja sama dengan kita.  Tidak ada salahnya kita tampil sebagai orang yang menguatkan “presence” dan meyakini kesuksesan dan prestasi. Kita pun sah-sah saja bila punya tidak menempatkan diri sebagai obyek interviu tetapi mengambil sikap sebagai subyek yang berhak menggali informasi, menjawab pertanyaan dengan imajinasi masa depan yang terang, serta membawa amanah profesi yang kuat.

Jual Diri

Kita semua menyadari bahwa keahlian, ketrampilan dan kekuatan yang terlipat rapih di dalam diri kita, tidak selamanya bisa dipamerkan setiap saat. Kita beruntung apabila berkesempatan menuliskan Curriculum Vitae atau membuat portofolio yang menarik untuk menjual diri kita. Dalam banyak kesempatan, daftar kekuatan ini pun tidak bisa kita pertontonkan seperti barang dagangan di etalase. Justru kitalah yang senantiasa perlu mencari bahkan mencuri kesempatan untuk mempertontonkan apa yang kita bisa dan menunjukkan apa yang kita minati, sehingga orang bisa jelas melihat bedanya kita dari orang lain.

Sudah jamannya sekarang setiap orang, apapun profesinya, sadar bahwa dirinyalah yang menjadi agen penjual bagi dirinya sendiri, bukan orang lain. Untuk membuat orang lain memahami kemampuan kita, kita perlu mampu menganyam presentasi keahlian kita dalam obrolan-obrolan yang ringan tetapi informatif.

Kalau dipikir pikir, mengapa baru mengemas diri pada saat menghadapi interviu atau tes fit & proper? Bukankah aspek aspek  yang baru disampaikan memang wajar dikembangkan setiap individu yang ingin mengembangkan individualitasnya? Bukankah ini juga yang akan membedakan kita dari orang lain dan memberi jaminan bagi kita untuk ‘survive’ dalam situasi sulit begini?

(Ditayangkan di Kompas, 28 Nov 09)

articles/Interviu1.jpg
articles/Interviu2.jpg

Greget

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di jaman sekarang tampaknya kita semakin terbiasa dengan keadaan ‘mengambang’. Banyak perusahaan terus berjalan tanpa adanya keputusan yang tegas mengenai strategi perusahaan. Keputusan kerap digantung, banyak kasus tidak tuntas sampai ke ujung, kebijakan yang tidak jelas dibiarkan terus diinterpretasikan secara berbeda. Kita juga bisa kerap melihat standar ganda, mengenai kebenaran , kejujuran  dan  profesionalitas. Bahkan, komitmen berkeluarga pun kini kerap ‘digantung’, alias setengah kumpul kebo.

Banyak orang mengatakan bahwa dunia memang sudah berubah. Orang sudah menjadi multi-tasker  tulen,  tidak mungkin fokus, tidak mungkin mengerjakan suatu proses benar-benar urut sesuai S.O.P ( standard operating procedure). Lalu, apakah kemudian semua hal menjadi relatif? Semua serba ‘tergantung situasi?’. Padahal, begitu kita menyerahkan pilihan solusi tergantung situasi, kemungkinan besar ‘action’ solusi tertahan dan bisa jadi tidak dilaksanakan. Bila dalam banyak situasi, kita beramai-ramai tidak berani mengambil sikap, bayangkan bagaimana masyarakat kita bisa berkembang? Kita harus sadar bahwa dalam  mengambil keputusan itu pasti ada resiko yang harus ditanggung, ongkos yang harus dibayar bahkan kadang-kadang berupa kesulitan yang harus diderita. Tampaknya tidak ada jalan lain, bila kita memang mau bertransformasi.  Namun, mengapa kebanyakan  kita seolah loyo, tidak bertenaga  mengatasi situasi?

 {mosimage}

 Disekuilibrium

Ketika saya mengeluhkan keadaan Negara yang sedang mengalami krisis kepercayaan , seorang teman di luar negeri mengatakan:”Kapan dan di mana sih tidak ada krisis? Dalam keadaan ekonomi yang stabil saja, secara mikro kita juga pasti mengalami krisis. Korupsi, pemakaian obat obatan terlarang, sudah kita kenal sejak jaman Al Capone…” Ungkapnya bijak. Menyadari bahwa kita memang hidup dari satu krisis ke krisis yang lain, semestinya membuat kita bisa lebih optimis dalam menghadapi situasi yang sulit, ‘tidak seimbang’, bahkan “merangkul” serta menunjukkan greget dalam menghadapi situasi konflik.  

Seorang psikolog, Julie Gilbert, mengemukakan bahwa individu yang matang dan bertanggung jawab memang selalu dituntut untuk menghadapi dua situasi yang berkonflik. Kita melihat bahwa pribadi yang berkualitas tumbuh dari kemampuannya mengelola hal yang tidak imbang, bertentangan, bahkan berdiri di atas situasi perubahan yang membingungkan. Misalnya saja, di satu sisi ia harus mencari solusi untuk masalah di depan mata, di sisi lain perlu bersiap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Di samping tuntutan untuk melindungi anak buah, ia juga perlu disiplin dan menjunjung integritas. Individu akan tampil penuh greget bila di tengah situasi penuh ketidakpastian, ia  mampu mendiskusikan topik-topik  yang sulit dengan anggota tim. Budaya berani berdiskusi secara terbuka bisa menjaga stamina kita dengan didapatkannya wawasan-wawasan baru yang kita perlukan bagi pemecahan masalah.

Perkuat Sistem Internal yang Sudah Ada

Dalam mencari solusi, kita kerap dituntut untuk bisa menyederhanakan masalah, tapi tentu saja tidak berarti jadi asal-asalan dan menggampangkan. Saat ada masalah di sebuah instansi, pejabatnya dicopot, tanpa hasrat mendalam untuk membenahi sampai ke akar-akarnya. Target penjualan tidak tercapai, komposisi tim dan struktur organisasi langsung dirombak. Kecenderungan untuk mengambil jalan pintas, mengganti personil, seringkali tidak serta-merta menjadi jawaban atas masalah yang kita hadapi. Bahkan, bisa jadi malah menjerumuskan kita lebih dalam.

Sebelum mengambil tindakan yang orientasinya “eksternal” atau “baru”, sesungguhnya kita perlu terlebih dulu berpikir keras untuk mencari kekuatan internal kita. Mungkin saja kita tidak usah mengubah apa-apa, tetapi sekedar me-“reset” ulang proses bisnis dan ‘action’ yang memang sudah dijalankan. Bisa jadi ada proses yang belum optimal, perlu dilengkapi atau bahkan sekedar kurang disosialisasikan saja sehingga belum sampai menjadi kesadaran bersama.

Tidak adanya energi untuk berpikir keras pada situasi di dalam diri kita ini, sering dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hambatan akan hilang dengan sendirinya. Penelitian membuktikan bahwa tidak lebih dari 20% orang yang divonis berisiko tinggi terancam serangan jantung, benar-benar serius mengikuti anjuran untuk berhenti merokok, berolahraga, mengubah pola makan dan gaya hidupnya. Sisanya yang 80% tampak sulit untuk benar-benar mendorong dirinya untuk memperbaiki keadaan dengan kekuatan maksimal. Padahal, proses untuk menguatkan diri untuk berubah-lah yang justru merupakan modal untuk melakukan inovasi dalam diri dan mengatasi berbagai kesulitan.

Penguatan Diri adalah Target Pribadi

Pe-er kita sebagai manusia dewasa tidak berhenti pada kemampuan menangani hal-hal kirits di lingkungan kita, tetapi juga memperkuat cara pikir dan emosi kita sendiri. Kita tentu perlu meyakini benar, bahwa mengolah, mengelola dan mengoptimalkan ekspresi emosi bermanfaat untuk memperkuat greget pribadi kita. “Appropriate displays of emotion can be an effective tool for change, especially when balanced with poise “. Dengan mewarnai tindakan, perkataan dengan emosi yang optimal , individu baru bisa menebar pengaruh, didengar, dipercaya  dan dipanuti lingkungan sekitarnya.

Penguatan diri perlu kita jadikan obsesi, bila kita di masa mendatang memang ingin tetap menjaga stamina pribadi, alias menjadi individu penuh greget. Disamping menjaga sikap optimistis sekaligus  realistis, greget seseorang pasti  akan  keluar dari pribadi yang kuat dan tahan banting.

(Ditayangkan di Kompas, 21 Nov 09)

articles/Greget2.jpg
articles/Greget1.jpg

Harga Diri

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Meski kita semua sepakat bahwa harta dan kedudukan bukan jalan satu-satunya untuk mendapatkan respek dari orang lain, kita juga semakin melihat bahwa materi memang sudah jadi tolok ukur untuk banyak situasi. Seakan menjadi sebuah pelecehan sosial dan psikologis atas harga diri kita, bila kita tidak mengikuti arus gaya hidup di masyarakat. “Kan tidak enak loh, kalau semua teman pakai tas puluhan juta, sementara kita satu-satunya yang tidak”, ungkap seorang ibu pejabat. Kita juga kerap mendengar pegawai berkomentar:”Nyatanya memang tidak cukup ya mengandalkan gaji saja. Kita memang terpaksa mencari obyekan dari sumber lain.” Situasinya sekarang, kita bisa menyaksikan betapa orang bisa lebih takut miskin, lebih mati-matian menimbun harta, menjaga kedudukan dan mengejar pangkat, ketimbang memperjuangkan hati nurani, kekayaan jiwa, bahkan kepentingan negara.

Setiap kita bisa saja terjebak dalam situasi dilematis untuk menjaga “harga diri” ini. Pertanyaannya: Maukah Anda dibayar untuk menjelekkan nama orang lain? Maukah Anda menerima uang bila nama keluarga dipermalukan? Maukah Anda melanggar kode etik profesi demi uang? Di sisi lain, kita juga bisa melihat dan bertanya-tanya: Demi apa prajurit kita berjuang mempertahankan perbatasan Indonesia dan memperjuangkan Timor Timur sampai kehilangan anggota tubuhnya, bahkan gugur di medan laga? Mengapa ada pegawai yang jujur sampai akhir karirnya dan membiarkan anak istrinya hidup dengan uang belanja yang pas-pasan? Mengapa ada orang tidak takut dipenjara, ditangkap, kalau yakin tidak salah? Mengapa ada orang yang tetap pada pendiriannya dan kukuh akan keputusan jabatannya walaupun diiming-imingi segelontor uang? Apa beda orang seperti Nelson Mandela dengan kita-kita yang biasa-biasa ini?

{mosimage}

 Menjaga Amanah

Kita sering tidak habis mengerti, mengapa ada orang yang jelas-jelas salah, namun tetap menyangkali kebenaran. Dalam upaya membela diri, ada orang yang tak ragu bolak-balik mengingkari kata-katanya sendiri. Sebetulnya, kapan seseorang mulai tidak berpikir ‘selfish’ dan tidak lagi semata melihat keuntungan bagi diri sendiri? Psikolog Susan Quilliam mengatakan bahwa tanda orang berangkat dewasa adalah saat ia mulai bisa mengaitkan dirinya dengan kepentingan yang lebih luas, misalnya bisa melihat dan menempatkan dirinya sebagai anggota masyarakat, kelompok profesi, perusahaan, bahkan Negara. Mungkin ini sebabnya, ada seorang pimpinan lembaga tinggi negara menginstruksikan untuk memasukkan kembali pelajaran “Bela Negara” ke dalam kurikulum kursus kepemimpinan para pejabatnya. Tujuannya tentu agar setiap orang bisa diingatkan kembali akan misi dan amanah atas peran, jabatan dan kewenangan yang dibebankan di pundaknya. Dengan demikian, tiap orang bisa berpandangan lebih dewasa dan tidak semata berorientasi: “Me, me, me attitude”.

Dalam skala kecil kita kadang melihat juga gejala tidak terbukanya suatu divisi dengan divisi lain. Seakan khawatir apa yang dibuat atau diciptakan oleh divisi tersebut, dicatut sebagai inisiatif divisi lain. Berkepanjangannya konflik antar institusi yang kita lihat belakangan ini juga memperlihatkan tidak maunya sebuah lembaga dipersalahkan secara sepihak, karena kesalahan juga ada di lembaga lain. Kita jadi bertanya-tanya, mengapa tidak lagi ada semangat ‘korps’ dan keinginan membela kebersamaan? Bukankah lebih bangga bila kita bisa membela kepentingan yang lebih besar, apakah itu kepentingan perusahaan, juga kepentingan masyarakat dan bangsa?

Refleksi Diri

Setelah dipikir-pikir, kualitas karakter seseorang kita lihat ternyata tidak sepenuhnya bergantung dari pendidikan atau lingkungan di mana dia hidup. Tidak jarang kita menemui orang yang pendidikannya rendah, katakanlah para pembantu rumah tangga, tetapi tetap menjaga nilai-nilai kejujuran dan tidak tergoda oleh iming-iming uang di depan mata. Dari mana pelajaran budi pekerti ini didapatkan orang orang yang tidak makan bangku sekolah ini? Kierkegaard, seorang ahli budi pekerti, mengungkapkan bahwa sebagai mahluk tertinggi yang berakal budi, rasa bangga terhadap diri sendiri justru datang dari minat kita terhadap nilai-nilai kehidupan. Orang yang dangkal dan tidak tahu nilai kehidupan, biasanya tumbuh menjadi pribadi yang tidak punya pegangan dan hanya melihat harta sebagai patokan kesuksesan. Sementara, orang yang berminat pada nilai kehidupan, pasti akan setia pada dirinya sendiri dan otomatis pula akan setia pada lingkungan yang lebih luas, keluarga, profesi,  perusahaan, negara bahkan agama.

Ayah saya semasa hidupnya selalu mengingatkan bahwa pengembangan kualitas pribadi akan kembali ke individu masing masing. Sebagai individu, kita sendiri yang perlu teguh untuk mereviu apa yang sudah kita lakukan. Apakah hari-hari yang kita lewati sudah ‘mengisi’ kepribadian dan karakter kita sehingga menjadikan kita pribadi kelas satu atau sekedar biasa biasa saja. “Tidak semua orang bisa berkesempatan melakukan refleksi diri dan cukup inteligen untuk mengkonstruksi karakter yang tasteful” begitu ungkap ayah saya.

Candradimuka

Ujung-ujungnya kita akan menyadari betapa uang bertumpuk-tumpuk, kekuasaan, kewenangan hanyalah sebagian kecil aspek yang seringkali tidak bisa membayar rasa malu, rasa bersalah, kesehatan jiwa dan respek yang kita butuhkan untuk mengkonstruksi dan memperkuat kepribadian kita. Kita jadi perlu mempertanyakan apakah betul gengsi bisa kita dapatkan dari jabatan, uang berlimpah, benda-benda yang kita miliki, serta kekuasaan yang kita dapatkan sebagai pejabat? Bukankah gengsi justru lebih ‘awet’ bila kita menampilkan diri sebagai pribadi yang peduli, penuh minat, berperan sebagai agen dan abdi yang bertanggung jawab dan menghargai setiap orang yang ada di sekitar kita? Bukankah gengsi justru bisa didapat kalau kita berterus terang bila tidak sanggup menjalankan tugas yang diemban. Bukankah gengsi justru didapat bila seorang ayah jujur minta maaf atas kesalahan anaknya dan siap bertanggung jawab atau bila seorang atasan dengan ksatria mengundurkan diri karena kesalahan yang dilakukan anak buahnya? Dunia kerja memang ajang yang baik bagi kita untuk berkembang dan memperbaiki standar kehidupannya. Namun, situasi pekerjaan memang juga  merupakan candradimuka bagi orang yang ingin meningkatkan kualitas pribadi.

(Ditayangkan di KOMPAS, 14 November 2009)

articles/hargadiri1.jpg|||0||bottom||
articles/hargadiri2.jpg|||0||bottom||