Keluar dari Sangkar Emas

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

“Nilai seorang komandan itu sangat besar”, ujar seorang perwira militer, ketika saya tanyakan mengenai pembagian tugas pada operasi penyerangan di lapangan. “Dengan alasan itu, dalam banyak situasi, komandan di simpan di belakang, anak buah yang maju.” Situasi ini memang secara luas kita pahami bersama, seperti halnya kita lihat di papan catur. Pion, sebagai ujung tombak, berdiri di barisan terdepan. Mulai dari pion sampai perwira, semua berperan untuk melindungi sang Raja. Raja, meskipun memegang posisi puncak, terbatas langkahnya.

Gejala ini pun kita lihat di mana – mana, termasuk dalam dunia bisnis. Para eksekutif yang bernilai dan dibayar mahal, duduk di ‘kelas’ yang berbeda dengan anak buahnya saat bepergian. Di masa orde baru, kita menyaksikan eksekutif pemerintahan dan di BUMN diberi fasilitasi kamar tidur, ruang makan, sebagai bagian dari kamar kerjanya. Setiap orang tahu bahwa para menteri , CEO, presiden memang perlu mempunyai job description yang lebih general, strategis, politis, dan tidak ‘hands on’. Namun bila diamati lebih jauh, situasi ini ternyata tidak selalu menguntungkan bagi si eksekutif sendiri. Jarak yang diciptakan, membuat komunikasi terhambat, sehingga tak jarang eksekutif jadi lambat mengambil keputusan, karena tidak ‘update’-nya informasi yang sampai ke tangannya.

Fakta bahwa eksekutif jauh dari kenyataan di lapangan, saya saksikan baru – baru ini ketika sebuah perusahaan sedang menyusun ‘taskforce’-nya dan merapatkan barisan untuk menghadapi situasi krisis. Pak direktur yang mesti ‘memimpin penyerangan’, terpaksa banyak bungkam, karena tidak punya ‘feel’ yang baik terhadap kondisi pasar. Ia bahkan tidak tahu, siapa anak buahnya yang harus di pasang, siapa yang harus dipindah dan siapa yang harus diganti. Begitu pula dalam menentukan klien mana yang perlu diperhatikan, peluang pasar apa yang perlu digarap dan area mana yang perlu dibuka. Pembesar, pejabat, eksekutif puncak, memang kerap mengalami dilemma ini. Situasi ini membuat kita berpikir ulang. Haruskah ‘jarak’ antara eksekutif dan bawahan serta pekerjaan – pekerjaan lapangan dipertahankan? Sejauh mana ‘komandan’ bisa nyaman ngendon di sangkar emasnya?

 

Genggam Realitas, tebar optimisme

Mengawasi angka penjualan menurun, pasar sepi, anak buah mulai kehilangan arah, atau pemilu yang penuh tanda-tanya bisa saja membuat seorang pemimpin justru ingin  memalingkan muka dan berharap bahwa gejala yang ia saksikan akan cepat berlalu. Ini adalah fenomena yang wajar bila kita menghadapi kenyataan pahit. Padahal, Max Dupree, ahli manajemen menekankan: "The first responsibility of a leader is to define reality.” Informasi dari waktu ke waktu, menit ke menit, berubah begitu cepat, sehingga rencana, proses kerja dan bisnis pun perlu segera ditindaklanjuti, tidak bisa banyak menunggu.

Seorang pimpinan, perlu menjadi penterjemah dari suatu situasi dan menyusunnya ke dalam gambaran yang baik, agar setiap anggota dan rakyatnya bisa punya pandangan yang lebih nyata mengenai realitas, sampai mereka bisa berkata:”Oh begitu toh …duduk perkaranya…”. Rakyat atau anak buah tidak bisa dibiarkan bertanya – tanya, sehingga tumbuh sikap mental ‘menunggu’ yang menyebabkan kinerja mandeg. Tidak cukup sampai di situ, pimpinan pun perlu meramalkan masa depan, agar kecemasan dan kekacauan bisa dihindari. Ia perlu menampilkan : “the ability to look ahead and see what's coming up”. Hal ini memang sulit  dilakukan jika hanya sekedar membaca laporan dan mendengarkan isu – isu dari bawahan saja.

Di era ‘google’ dan ‘quick count’ sekarang, tidak ada jalan bagi seorang pemimpin untuk tidak bersikap sigap dan transparan terhadap anak buah dan berkomunikasi seolah olah ia juga berada bersama anak buah atau rakyat di lapis yang paling depan dan bawah. Pemimpin sudah tidak bisa lagi ketinggalan informasi, gatek, bahkan telmi (telat mikir) ketimbang anak buahnya atau rakyatnya. Jika ini terjadi, bagaimana sang pemimpin bisa mendemonstrasikan integritas dan kredibilitas personalnya?

{mosimage}

Magnet di hati, kompas di kepala

Kita semua menyaksikan betapa Obama dalam pidato – pidatonya berhasil menarik emosi rakyat dan membuat rakyat terajak, merasa diperhitungkan, dilibatkan dan ditantang. Walaupun kelihatan biasa biasa saja, Obama membuktikan bahwa intensitas kepemimpinan baik secara emosi maupun ratio yang kuatlah yang menarik energi rakyat melalui hal – hal yang lebih operasional, ‘day to day’, kontrol tindak lanjut secara “head-in, hands-on”.

Pemimpin tidak bisa menang sendirian. Ia harus bergerak ke bawah, ke lapangan dan mengemas komunikasi yang empatetik dan realistis, sehingga bawahan bisa menyadari siapa mereka, berada dalam keadaan apa, dan tahu apa yang diperjuangkannya. Optimisme dan cara memandang masa depan perlu dipertontonkan pada anak buah. Skenario yang di gambarkan perlu didasarkan pada realitas terbaru dan solid. Inilah saatnya bagi pemimpin untuk menularkan kegigihan dan keberanian melalui proses ‘modelling’ yang nyata, bila ia ingin mempunyai barisan yang memang gigih dan kuat.

Dari tokoh tokoh manajemen dunia seperti Warren Buffet dan  Richard Branson, kita juga belajar bahwa dengan mengedepankan keunikan pribadi secara jujur, transparan tetapi berintegritas pemimpin bisa menginspirasi anak buah atau rakyatnya. Sikap “be yourself” yang tulus, justeru ‘menjual’dan  menjamin rasa percaya, dan optimisme bawahan.  Bayangkan bila pimpinan puncak berjarak dan membiarkan dirinya steril dari anak buahnya. Bagaimana mungkin ia akan bisa menularkan spirit dan membangun hubungan yang kuat serta membuat visinya ‘dibeli’ oleh para pengikut yang sudah pintar-pintar ini?

articles/sangkaremas1.jpg|||0||bottom||
articles/sangkaremas2.jpg|||0||bottom||

Jadi Juragan Bagi Diri Sendiri

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saya bertanya pada anak – anak kecil, bagaimana "gaya" seseorang yang bekerja sebagai bos bagi dirinya sendiri. Hampir semua anak, serta merta berkacak pinggang, seolah-olah menunjukkan "power"-nya. Ya, Wirausaha adalah “boss”!

Bila riset kecil ini kita lakukan terhadap sang wirausahawan, baik kecil maupun besar, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Bukan kacak pinggang yang ditampilkan, tetapi justru mengerutkan kening. “Pusing!”. Inilah umumnya reaksi spontan mereka. “Orang pikir jadi pengusaha bisa bebas dan bisa berbuat seenaknya”, ujar seorang wirausahawan. Pada kenyataannya, ia seolah tidak bisa memicingkan mata walau sekejap, karena masalah selalu mengintip dan ia harus selalu "waspada" mengantisipasi perubahan. Seorang "event organizer" muda yang menjadi kurus setelah menekuni usaha sendiri, mengatakan bahwa ia tidak bisa lepas dari kegiatan berjualan, pemasaran, kontrak, kepuasan pelanggan, kontrol kualitas. “Semua harus di kepala”. Jadi sebenarnya apa yang dikejar oleh para pengusaha muda ini? Apakah "kebebasan" yang mereka cari seperti yang dikemukakan kebanyakan orang?

Memelihara Greget

Banyak orang yang tidak bisa menghitung, apa penyebab dan latar belakang seorang wirausahawan bekerja tak kenal lelah siang dan malam, berpikir tidak berhenti, seolah "tidak ada matinya". Seorang  wirausaha muda mengungkapkan, bahwa spirit yang dimilikinya banyak berangkat dari masalah dan tantangan. Dalam sebuah rapat dengan klien, ia merasa "terhina" ketika salah seorang peserta rapat berkata,”Masa Anda hanya memperdagangkan produk orang saja. Bikin dong…”. Sejak itulah, teman kita ini sibuk mendesain, menghitung, berkeliling mencari pemasok dan bereksperimen. “Bisa Anda bayangkan "puasnya" ketika saya berhasil. Bahkan, ketika sudah merasakan keberhasilan, kesempatan lain seolah terbuka lebar bagi obsesi dan ambisi kita”, demikian ucapnya.

Setiap wirausahawan juga punya inisiatif untuk memulai. Untuk memulai, mereka tahu bahwa mereka harus mengalami. Banyak wirausahawan memulai usahanya karena melihat dan mengalami inefisiensi, tidak efektifnya suatu sistem, produk ataupun servis, baik di perusahaan tempat ia bekerja atau di kehidupan sehari-hari. Seorang wirausahawan memulai usahanya karena tidak bisa menemukan makanan sehat yang terjangkau.  Ia berpikir dan berusaha keras, dianggap oleh orang di sekitarnya sebagi orang yang "aneh", sampai akhirnya ia bisa sukses menjual produknya. Inilah titik balik di mana ia perlu menyadari gregetnya dan memulai risetnya.

Bekerja untuk diri sendiri dilatarbelakangi oleh kekuatan mental:“being in charge of your own destiny “. Seorang ahli psikologi, McClelland, (1953) yang penasaran dengan kualitas para wirausaha sukses ini menemukan unsur n Ach (need for achievement) yang tinggi pada para wirausaha. Seorang wirausaha sadar akan risiko, namun tidak takut gagal. Greget dan keyakinannya yang kuat serta stamina untuk mencapai sasarannya menyebabkan ia beranggapan bahwa kegagalan adalah bagian dari prosesnya menuju apa yang ia cita-citakan.

{mosimage}

"Bisa" ketimbang "Punya"

Sumber keberhasilan seorang wirausaha juga banyak terletak pada motivasinya. Dorongannya untuk "bisa" melakukan, menemukan atau memberi nilai tambah pada produk atau jasanya biasanya lebih besar ketimbang motivasinya untuk sekedar "punya" bisnis atau mengeruk keuntungan sebesar – besarnya.

Jadi, komentar bahwa ”Si Budi sudah punya pabrik”, atau “Si Budi sudah naik Merci” tidak terlalu tepat untuk memecut seorang wirausaha. Wirausaha yang sukses biasanya akan berusaha untuk meningkatkan kecepatan, ketepatan dan kemudahan, tanpa cepat merasa puas. Kepuasannya terletak pada "good work"yang ia hasilkan. Mungkin beberapa di antaranya tidak mengenal istilah TQC ( total Quality Control), tetapi sudah menjalaninya dan menghayatinya tanpa belajar. Inilah latar belakang mengapa seorang wirausaha gudeg terkenal bisa menjaga namanya berpuluh tahun, seorang tukang reparasi sepatu bisa berhasil sampai membuka franchise reparasi tas dan koper.

“Fun “ vs “Hard Work”

Nasihat orangtua: “There"s always a price to pay”, disadari betul bagi para wirausahawan. Bila menjadi karyawan membuat orang merasa aman, misalnya bisa 100% yakin akan menerima gaji bulanan pada tanggal tertentu, seorang wirausaha justru harus menyiapkan gaji, THR, persediaan barang untuk melanggengkan bisnisnya. Bila di perusahaan kita perlu gigih mengusulkan ide kepada atasan, maka seorang wirausahawan menghadapi hal yang sama dalam konteks yang lebih luas. Ia harus gigih menjajakan produk dan jasanya. Pelangganlah yang melakukan penilaian langsung dan memutuskan untuk membeli. “The buck stops with you” kata seorang wirausaha sukses, kitalah penentu, pengambil keputusan, penghitung resikonya.

Hal yang juga sangat utama dalam berwirausaha adalah sikap terhadap uang. Seorang wirausaha tidak hanya tertantang untuk mendapat uang, tetapi  memutar bahkan menternakkan uang. Ia selalu perlu memikirkan upaya konservasi uang, menyediakan "cash cushion" baik untuk investasi ataupun emergensi. Hal inipun pada akhirnya dianggap oleh para wirausaha sebagai "game" dan sesuatu yang "fun".

 

articles/jadijuragan1.jpg|||0||bottom||
articles/jadijuragan2.jpg|||0||bottom||

Cermat

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Benarkah mutu gizi di Negara kita yang menurun menyebabkan daya pikir kita menurun? Kita banyak menemukan orang malas mikir, sekedar gali lubang – tutup lobang dalam menyelesaikan masalah, tidak mengantisipasi, gagal membuat prediksi, asal membuat keputusan, tidak kreatif dan tidak inovatif. Sebut saja, pendidikan yang biayanya makin meroket dan bukannya semakin terjangkau. Program yang mati di tengah jalan, seperti misalnya pengembangan monorail, yang bahkan kini membongkar kembali tiang pancang raksasa yang pernah didirikan di beberapa jalan protokol. Dokter pintar yang kalah pamornya dari bocak cilik dan batu petir-nya. Olok – olok nyanyian, ”Inilah Indonesia…”, pada setiap kebodohan praktik-praktik lapangan yang kita jumpai, sering menyakitkan hati.

Data dari hasil seleksi terhadap ribuan calon pegawai menggambarkan bahwa tingkat IQ, ukuran  kecerdasan yang paling valid, tidak menunjukkan penurunan. Jadi, apa yang salah dengan bangsa kita? Mengapa pasaran dunia sering menganggap kita tidak se-’cermat’ bangsa lain? Bila seorang peserta program management trainee, yang sudah terseleksi cerdas, tidak juga bisa membuat solusi – solusi praktis di tempat kerja setelah melalui pendidikan intensif selama 9 bulan, apakah kita masih akan menyalahkan cara didik di sekolah yang dianggap sudah berkurang mutunya? Ataukah, praktik di lapangan kerja yang kurang kondusif?  Pertanyaannya, apakah membangun kebiasaan cara pikir yang unggul akan kita letakkan sebagai tanggung jawab pihak eksternal di luar diri individu saja? Apakah tidak ada yang salah dengan kebiasaan pikir kita masing -masing?

 

Biasakan  “Mindset” Periset

Di jaman serba instan ini, hampir segala informasi dengan mudah bisa kita dapatkan dengan meng-“googling” atau “wiki-ing”. Jika ada kerabat terserang demam berdarah, kita bisa mendapatkan lebih dari 79.000 informasi mengenai topik tersebut lewat Google, mulai dari penyebabnya, penangannya, pencegahannya, obat – obatan medis maupun tradisional, dokter yang jago menangani, sampai berbagai sharing pengalaman pribadi seputar topik tersebut. Internet memang sudah dianggap menjadi bagian besar dari solusi pengetahuan karena menyajikan jawaban terhadap ‘APA dan ‘BAGAIMANA’-nya dari suatu masalah yang sedang kita hadapi. Tetapi, dalam kasus demam berdarah itu, misalnya, mudahkah kita menentukan pilihan dokter, rumah sakit, atau tindakan yang tepat? Bukankah kita yang sudah demikian ‘knowledgable’ pada praktiknya sering membuat kesalahan keputusan? Untuk menuntaskan suatu masalah, kita masih perlu mengelaborasi informasi, menganalisa, mencari kaitan, mensintesa, bereksperimen serta menghitung risiko. Di sinilah kita sering kehilangan arah.  Apalagi bila hasil kerja otak kita alias daya pikir kita perlu  kita genjot lebih jauh, misalnya untuk membuat arahan, strategi, taktik, kreasi ,inovasi , motivasi, menggambar visi,  mempengaruhi dan mencari solusi yang merupakan campuran dari masalah sosial, emosional dan interpersonal, apalagi politik. Sumber-sumber informasi digabung dengan potensi kepintaran kita perlu dilengkapi dengan pengolahan lebih lanjut dulu, sebelum membuahkan kecermatan.

Berfikir sebagai Gaya Hidup

Baru-baru ini saya menghadiri sebuah rapat untuk membuat keputusan  penting. Dalam rapat tersebut hadir beberapa eksekutif dan beberapa ahli yang memang sangat mumpuni di bidangnya. Dalam rapat tersebut, di mana saya hanya hadir sebagai observer, saya mengamati  betapa ruginya jika kita tidak biasa mengasah berpikir kritis dan mendalam. Di situ saya melihat kurangnya usaha mendengar dan tidak ada upaya serius untuk menggali data dari para ahli. Terlihat pula tidak adanya upaya bertanya untuk memperjelas dan memperdalam pemahaman. Saya jadi bertanya tanya, buat apa  para ahli tersebut dikumpulkan? Apakah dalam pengambilan keputusan ini , ‘power’ lebih dipentingkan daripada pengetahuan? Apakah para eksekutif itu memang sudah ‘tahu’ semua , baik masalah, duduk perkara ataupun pilihan solusinya?

Terkadang dalam menentukan langkah itu kita perlu pandai-pandai memilih tempat bertanya, mencari ahlinya, bertanya kepada yang sudah berpengalaman, memformulasikan pertanyaan yang akan diajukan, mengulang lagi, mengecek kembali, berkontemplasi, sampai akhirnya mengambil kesimpulan. Untuk orang-orang yang terlatih, dan ‘intelek’ , proses berpikir ini tidak terjadi berjam-jam, tetapi sudah menjadi mindset bahkan gaya hidup.  Individu seperti inilah yang baru bisa disebut mengoptimalisasikan daya pikirnya.

{mosimage}

A bigger “here” & a longer “now”

Dalam pelajaran kemiliteran, seorang perajurit dituntut untuk bisa mengawasi keadaan baik dalam keadaan diam, maupun bergerak cepat. Mereka juga dilatih untuk membuat kesimpulan setelah membuat observasi yang tajam. Dalam latihan maupun kenyataan di peperangan, salah mengamati dan keliru mengambil kesimpulan berarti mati.  “Extremist leadership” seperti ini rasanya tidak selalu hanya diterapkan di peperangan atau kegiatan terjun bebas. Kekuatan untuk menyasar isu dengan lebih luas dan tajam-lah yang biasanya membuat kita lebih paham terhadap gejala yang ada di sekitar kita. Bila kita tidak mampu memahami situasi saat ini dan risiko yang tengah kita hadapi, bagaimana kita bisa mengambil keputusan dengan tepat?

Tidak tuntasnya bahkan sikap asal-asalan kita menangani suatu permasalahan ternyata kerap berasal dari sikap kita yang ingin cepat-cepat beralih dari masalah atau soal ‘kekinian’. Kita sering tidak sabar untuk mengumpulkan bukti – bukti, mengendapkan masalah dan menyusun data yang kita punya. Inilah latarbelakang mengapa kita sulit mengambil keputusan, dan  terkadang malas membuat strategi dan rencana perbaikan mendetil, ingin segera  bertindak tanpa pikir panjang.. Apa akibatnya? Banyak kita lihat galian kabel di jalan yang tidak diselesaikan dengan sempurna, sudah ditinggalkan. Bahkan, masalah besar seperti bobolnya tanggul pun belum tentu bisa terantisipasikan dan  terselesaikan dengan tuntas hingga ‘hampir sempurna’. Mengembangkan daya pikir yang kuat, bisa diasah dengan melatih kesabaran dan kesadaran mengenali “here & now”-nya dalam dalam. Inilah yang sering disebut sebut para ahli sebagai berfikir obyektif.

articles/cermat1.jpg|||0||bottom||
articles/cermat2.jpg|||0||bottom||

Ping !!!

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dengan begitu berkembangnya teknologi, semakin mudah saja kita menemui orang – orang di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri, yang begitu sibuk dengan  berbagai gadget. Mulai dari eksekutif top, sampai ABG. Seorang teman bahkan bela – belain membawa laptop pribadi ke kantor karena kantor tidak memberi akses internet bagi semua karyawan, agar ia tidak kehilangan kontak dengan dunia maya. Ia lalu memasangnya laptopnya di sebelah komputer kantor, agar senantiasa terkonek dengan jejaring sosial, sepanjang jam kerja.

Kiriman video yang menayangkan sajak Serafina Ophelia berjudul “ibu dan fesbuk”, yang pada dasarnya mengkritik keasikan orang tua pada situs gaul di komputer, tak pelak memancing berbagai reaksi. “Ibu. Facebook. Hubungannya eraaat sekali. Setiap hari, sehabis makan, setelah mandi, setiap saat…. Sampai kapankah hubungan erat ibu dan fesbuk? Mungkin sampai akhir hayatnya. Notebooknya akan dibawanya… ke Surga” Ada yang sekedar tertawa atau mengagumi ketajaman pengamatan sang anak. Ada pula yang lalu mentertawakan dirinya dan mawas diri: ”Sebegitu terbenamnyakah kita di dunia maya ini, sehingga seolah-olah dunia riil sudah ‘tidak penting’ lagi?”

Tidak heran kalau di lingkungan pergaulan ada pula sekelompok orang yang menamakan dirinya “anti BB alias anti-Blackberry” dengan alasan anti ‘lifestyle asal lifestyle’. Mereka menyuarakan keprihatinannya akan kehidupan gaya baru yang membuat orang menjadi tidak ‘being present’, tidak peduli akan apa yang terjadi di sekelilingnya, lebih dominan tersedot ke sebuah layar kecil yang seolah ‘berbicara’ ‘berceritera’ ‘membawa kabar gembira’ ‘memberi instruksi’ dan memberi banyak stimulus yang menyebabkan kita terbenam ke dalamnya. Bayangkan saja, bila blackberry di tangan kiri, sementara di hadapannya komputer dengan belasan windows yang terbuka sekaligus. Baru sebentar menekuni tugas tertentu, segera saja terdengar bunyi:”ping!”, entah dari yahoo messenger, sms, chat facebook, ataupun blackberry messenger yang memanggil. Dan, hampir semua dari kita, dengan setianya langsung merespon dan berpindah perhatian ke si pemanggil, padahal belum tentu pesan tersebut berguna, misalnya:”lagi ngapain…?”. Sadarkah kita akan ‘cost’ yang kita tanggung akibat ‘Ping – Ping’ yang menginterupsi? 

Perhatikan Perhatian Kita

Teman saya memang ratu multitasking. Sambil mendengarkan keluhan bawahannya, ia ingat untuk me-remind pembantunya membeli daging rawon. Bersamaaan dengan mendiskusikan jalan keluar keluhan bawahan, ia sekali-sekali bisa melirik ke ‘incoming mail’-nya, memonitor perkembangan dari situasi yang perlu ditindaklanjuti. Pertanyaannya: berapa orang dari populasi manusia yang mempunyai kapasitas seperti teman kita ini? Ya, tidak semua orang dianugerahi talenta multitasking seperti ini. Jika, katakanlah, bawahannya meniru melakukan hal yang sama dengan atasannya, siapa yang akan menekuni pekerjaan pekerjaan yang butuh fokus dan konsentrasi tinggi? Dan, bila bawahan  memperbolehkan dirinya diinterupsi setiap saat, kapan waktu ia bisa melakukan pekerjaannya dengan tuntas dengan kualitas yang baik?

Kita yang saat ini berada dalam knowledge  economy , di mana berjuta pengetahuan yang ada dan datang perlu dicermati dan dipilih baik-baik, ditantang dengan situasi di mana banyak sekali, terutama penduduk Asia, melakukan “task-switching,” berpindah dari satu tugas ke yang lain. Situasi ini menjadikan kita tidak cukup punya kesempatan mengendapkan dan memusatkan perhatian kita pada hal yang benar-benar penting.

Tanpa disadari banyak, diantara kita menginterupsi, syukur – syukur kalau tidak dipermainkan oleh interupsi. Bahaya yang tidak kita sadari akibat interupsi ini, bukan saja pada waktu yang terbuang, tapi juga pada terlepasnya fokus kita pada tugas yang pertama. Dari hasil penelitian terhadap 9000 pekerja yang ditanyai kapan saat mereka paling kreatif, hampir semua mengatakan bahwa mereka bisa berpikir kreatif pada saat tidak diinterupsi. Dalam atmosfir ‘overload’ informasi dan interupsi yang konstan ini, rupanya kreatifitas berpikir kita juga terancam. Alangkah bahayanya. Kita akan sulit mengeluarkan solusi kreatif, karena kita tidak bisa mendalami permasalahannya dengan baik. Bisa bisa kita dibingungkan dan mencampuradukkan antara realita ‘tech-savvy’ dan kegiatan mengembangkan dan menginovasi pengetahuan baru Mungkin contoh yang paling ekstrim adalah Einstein, yang senantiasa memikirkan, membawa tidur permasalahan dan berkendara ‘concern’-nya, sampai menemukan ‘AHA’ sebagai jawaban dari suatu permasalahan. Bayangkan bila Einstein hidup di jaman ini apakah ia bisa se-‘unplugged’ dan se’fokus’ ini? Dalam ‘era digital’ ini, nampaknya banyak orang lupa bahwa pemusatan perhatian adalah sebuah kompetensi yang sangat penting dan perlu diperhatikan.

{mosimage}

Siaga 1, Siaga 2, Siaga 3.

“Saya benci dokter jantung saya. Dia tidak bisa ditelpon saat saya memerlukannya” ungkap teman saya. Kekesalannya ini bisa sekali dimengerti, apa lagi kalau teman kita ini punya  kondisi berisiko tinggi dengan jantungnya. Ada profesi-profesi dan situasi tertentu di mana seseorang memang harus siap “on call” alias “si-ma-tu-pang”, siang malam tunggu panggilan, misalnya saja petugas customer service PLN yang harus siaga 24 jam sehari. Namun demikian, apakah semua profesi, contohnya, dokter mata harus juga ‘on-call’? Apakah semua militer harus “s3b” setiap-saat-siap-berangkat tanpa ada situasi mengancam? Bukankah hal ini yang menyebabkan adanya pembedaan siaga 1, 2 dan 3?

Kita sebagai mahluk biologis memang dibekali sistem kewaspadaan terhadap perubahan situasi. Contohnya reaksi-reaksi refleks kita, kemampuan menyelamatkan diri dari bahaya. Tentunya di era ‘speed’ dan ‘mobility’ ini, beraksi terhadap ‘ping-ping’ dari gadget-gadget yang kita miliki sangat wajar. Namun, jangan kita lupakan bahwa ada tugas tugas berpikir seperti analisa, sintesa, berstrategi, berinovasi dan mengarahkan serta memfokuskan perhatian kita. Selain itu, kita pun perlu menghargai situasi tatap muka yang sedang kita hadapi, yang justru dijamin jauh lebih kaya daripada informasi layar gadget yang tidak mengandalkan kekuatan persepsi dan  multisensori kita. Belum lagi respek, perasaan kita dan perasaan orang yang hadir di hadapan kita, bukan saja perlu diperhitungkan, tetapi juga merupakan sumber informasi tersendiri pula.

Teknologi perlu kita gunakan lebih bijaksana, sebelum justru membuat kita bodoh sebelum waktunya. Mungkin, tidak salah juga bila ada orang yang “lebih sulit dicari daripada presiden” dengan dalih sedang  berkonsentrasi dan mencari ilham.

articles/ping1.jpg|||0||bottom||
articles/ping2.jpg

Job Security?

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Berita mengenai krisis mungkin sudah hampir memenuhi seluruh kepala kita, datang dari berbagai arah dan hampir semua media. Meski senantiasa diingatkan untuk bergiat mengerahkan seluruh daya upaya dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi dampak krisis, tak urung berita mengenai PHK dan karyawan dirumahkan yang masih terus menghiasi headlines berbagai media, membuat hati kecut juga. Kita seakan terus dipaksa untuk menyadari kenyatan bahwa keadaan ekonomi memang tidak akan membaik dalam satu dua hari. Tidak sedikit individu yang berpikir ’Bagaimana dengan saya?”. Tentunya kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan mengusik pikiran.

Kita rasanya harus mengakui bahwa umumnya kita lebih punya bekal untuk memotivasi diri maju berkembang, daripada bekal dan persiapan untuk ‘mundur’. Dari hasil penelitian, 80% karyawan yang di PHK, masih bertanya-tanya “kenapa saya?”. Seolah-olah tumbuh di dalam setiap individu ‘hak untuk bekerja seumur hidup”, yang sebenarnya semu.

Ketidaksiapan kita menghadapi situasi sulit, kerap diperparah oleh perusahaan yang membuai karyawannya dalam ‘comfort zone’. Pembicaraan mengenai ekspansi, penambahan orang, kurangnya talenta, bonus tinggi, gaji dobel, dan janji-janji bahwa semua akan ‘baik-baik saja’. Bila saat sekarang kita merasakan kekhawatiran berkadar tinggi, takut perusahaan tidak ‘survive’ ataupun takut menjadi korban pemecatan, maka kita perlu bertanya-tanya pada diri sendiri: ”Masih adakah ‘job security’ di jaman serba instan, remote, dan digital ini? Empat puluh atau bahkan lebih dari lima puluh tahun lalu, orang – orang mungkin bercita – cita pekerjaannya ditanggung sampai pensiun. Namun di masa itu mobil masih bisa dihitung dalam angka ratusan, jalanan sepi, aman tenteram, kegiatan dilakukan secara manual dan asal sedikit  berpendidikan, maka tidak sulit rasanya mendapat pekerjaan sampai pensiun. Apakah kembali ke masa itu yang betul – betul kita inginkan?

Jangan Bengong

Siapa pun harus mengakui bahwa produktivitas menjadi sangat tinggi dalam keadaan krisis. Lihat saja betapa dalam situasi kebakaran, perang, menghadapi persaingan, mempersiapkan tender, adrenalin akan mengalir deras, dan semangat kreativitas pun langsung berkembang subur. Katakanlah seorang yang direkrut untuk menanggulangi pencurian di sebuah department store, berhasil mengurangi sampai titik nol tingkat pencurian dengan berbagai manuvernya. Bila sudah tidak terjadi lagi pencurian, ia terancam kehilangan pekerjaanya. Orang seperti ini hanya bisa terus ‘dipakai’, bilai bila ia kreatif dan mampu membuat nilai tambah di atas kemampuan yang sudah ditunjukkannya, misalnya melakukan tindakan preventif lebih jauh, melakukan coaching ataupun membuat perencanaan yang proaktif.

Dengan pemahaman ini, masihkah kita mendambakan keadaan aman tentram dalam bekerja, seolah berada di tempat sepi tak berpenghuni? Bukankah kita baru merasa berarti, berharga dan menepuk dada, bila bisa ‘mengalahkan’ situasi, memecahkan masalah , menemukan jalan baru dan berinovasi secara kreatif?

{mosimage}

Biasakan Diri Berada Di Ujung Tanduk

“Work a little harder as if you die a little younger‘, ungkap seorang ahli manajemen. Inilah cara berpikir orang yang selalu membiasakan diri berada di ujung tanduk dan memperoleh rasa aman yang timbul karena ‘alertness’ bukan keadaan status quo. Kita pun bisa meminjam mindset dari para olahragawan yang akan telak-telak kalah bila tidak melatih ‘endurance’-nya dengan mendera dirinya mati-matian.

Mantan juara All England Liem Swie King, lari keliling lapangan sebanyak 60 kali, untuk menjaga stamina dan melatih kecepatan responsnya. Apakah atlet seperti mereka tidak mengkhawatirkan “Job Security”? Begitu kalah dalam sebuah pertandingan, maka ‘job’ nya sebagai atlit selesai. Hanya bila ia sedikit berfikir keras dan luas, ia bisa tetap menjaga ‘employment’-nya bila ia bisa membuat nilai tambah dari pengalaman, mental dan keterlatihannya. Lelah? Sudah pasti. Namun, bukankah kita lebih baik berada dalam situasi krisis yang masih berada dibawah kontrol kita dahulu, sehingga ketika kita tidak 100% menguasai situasi, kita pun mempunyai kecepatan respons yang terlatih.  

Paul G. Stoltz, Ph.D. dalam bukunya tentang ‘Adversity Quotient’ tahun 1997, seolah sudah meramalkan bahwa banyak individu memerlukan resep ‘jatuh bangun’ nya. Apakah kita akan cepat bangkit dari situasi sulit atau lama terpuruk, tergantung dari kadar ‘CORE’ (Control, Ownership, Response and Endurance) yang kita miliki. Seorang pengusaha yang sudah mengalami jatuh – bangun karena krisis, mengatakan ia menyadari betul bahwa krisis datang dalam suatu siklus. Justru pada saat krisis belum datang, kita perlu berlatih dan mendera diri kita sebagai bekal menghadapi ‘arena’ krisis yang menuntut adu kekuatan. Situasi sulit, dan bukan situasi adem ayem-lah, yang bisa membedakan siapa pemenang sejati. Tidak hilangnya ketenangan, keyakinan akan kekuatan yang dimiliki, serta optimisme karena terbiasa dan terlatih inilah yang merupakan esensi dari CORE yang disebut oleh Paul G. Stoltz.

articles/jobsecurity1.jpg|||0||bottom||
articles/jobsecurity2.jpg|||0||bottom||

Loyalitas

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mengamati begitu mudahnya caleg atau partisipan berpindah partai, para selebriti berganti – ganti pasangan, pemain bola mengeruk keuntungan saat berpindah klub atau karyawan yang dengan mudahnya meloncat dari satu perusahaan ke perusahaan lain, seakan menyadarkan pada kita betapa mungkin loyalitas bukan lagi konsep yang populer di masa sekarang. Padahal, kita sadar betul bahwa tanpa loyalitas, perusahaan atau bahkan negara, bisa kehilangan ‘power’ untuk mejawab tantangan dan menghadapi kesulitan. Hasil riset terhadap perusahaan-perusahaan Fortune 500, nyata-nyata membuktikan ada korelasi positif antara loyalitas karyawan dan kinerja perusahaan. Karyawan yang loyal membawa lebih banyak keuntungan.

Kita memang dihujani dengan realita yang meyakinkan dan mendorong kita untuk mempertanyakan mengapa kita harus loyal pada suatu partai, suatu perusahaan, produk atau juga sekedar tontonan. Sejak usia sangat dini, anak-anak sudah jagoan ‘zapping’, memainkan remote control untuk menukar program stasiun TV. Tengok juga betapa Robinho dan Borbatov mengeruk uang transfer alias uang ‘tidak loyal’ ketika pindah ke Manchester United dan Manchester City.

Kesadaran bahwa loyalitas tidak selamanya ‘langka’, di hayati oleh kolega-kolega saya ketika mengikuti pelatihan kepemimpinan dan penghayatan bernegara dari para perwira Kopassus. “Kami sadar betapa’selfish’ dan seringnya kita menghitung – hitung apa yang saya dapat dan keuntungan jangka pendek…” sementara para prajurit senantiasa siap jiwa raga untuk mengesampingkan kepentingan pribadi demi kepentingan negara, tidak berpikir dua kali saat diminta mengerahkan waktu dan energinya untuk menjalankan tugas, walaupun harus meninggalkan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa.

Bagaimana dengan perusahaan? Seorang ahli menajemen berkomentar bahwa di tahun 60 dan 70-an, loyalitas tidak dipertanyakan. Kita lihat betapa karyawan bangga ‘mengabdi’ dan mendedikasikan seumur hidupnya pada perusahaan. Loyalitas seakan sudah termasuk dalam kontrak kerja dan paket kepegawaian. Namun, saat kemudian perusahaan di analisa para ahli di pasar saham, unsur SDM mulai dianggap sebagai barang ’disposable’, seperti kertas tisu, dipakai saat diperlukan, kemudian sah – sah saja untuk dibuang setelah ‘habis’ dimanfaatkan. Munculah ‘strategi’ pengembangan sumber daya manusia seperti ‘downsizing’, ‘offshoring’, ‘sourcing’, atau teknik mengakali kontrak kerja yang berakibat pada rasa ‘tidak bersalah’-nya karyawan bila juga mengembangkan rasa tidak loyal pada perusahaan. Benarkah loyalitas sudah mati?

Loyalitas tidak lagi ‘Pasif’

Beberapa karyawan ‘smart’ yang saya wawancarai tidak merasa meninggalkan loyalitas. Tentunya bukan loyalitas yang kaku, seperti digambarkan dalam legenda tentara Nepal ketika dikunjungi utusan pasukan Jenghis Khan, yang bersedia meloncat dari menara tinggi, untuk memamerkan kepatuhannya pada sang raja. Di beberapa perusahaan yang saya kenal, karyawan mengembangkan rasa loyalitas justru melalui sikap lebih agresif, seperti “going the extra mile”, lebih membuka wawasan, sehingga bisa merasakan kompetisi di pasaran dan mengembangkan kesiagaan untuk bertindak sejalan dengan harapan manajemen perusahaan.

Dari sisi perusahaan, memang sudah tidak jamannya lagi member harapan garansi ‘employment’ seumur hidup. Perusahaan justru perlu mengekspresikan ‘loyalitas’ pada karyawan dengan cara loyal pada pada prinsip-prinsip pengembangan talenta atau empowerment, terutama bagi karyawan yang memang menampakkan ambisinya untuk mengembangkan diri. Dengan demikian, fenomena karyawan bertahan selama puluhan tahun di perusahaan tidak berarti bertahan secara pasif, namun aktif mengembangkan diri dan mendorong pertumbuhan perusahaan.

Statistik menunjukkan bahwa di Amerika pada era 90-an ke atas, rata-rata masa kerja karyawan professional adalah 4 tahun. Hal ini memang mendukung realitas bahwa karyawan merasa dirinya sebagai ‘free agent’ yang siap di rekrut oleh perusahaan manapun. Karyawan professional seperti ini pun menolak digolongkan ke dalam karyawan yang tidak loyal, karena mereka bisa membuktikan produktivitasnya di masa baktinya pada perusahaan. Hal yang mengherankan adalah adanya agen-agen ’free lance’, misalnya mereka yang bekerja di perusahaan asuransi, bisa loyal terhadap perusahaannya sampai lebih dari 20 tahun. Tentunya ada alasan yang kuat, seperti nilai-nilai positif dalam organisasi yang bagi para agen ini dilihat sebagai alasan untuk bertahan di satu perusahaan, meskipun tanpa jaminan ikatan hubungan kerja yang formal.

{mosimage}

Loyalitas Dua Arah

Kompetisi mempertahankan pelanggan, salah satunya bisa kita lihat dari bagaimana perusahaan berusaha menjaga loyalitas pelanggan terhadap produk dan servisnya dengan berbagai imbalan atau iming – iming hadiah. Akhirnya, bukan kebutuhan pelanggan yang dinomor satukan, melainkan labalah yang paling penting. Pelanggan yang cermat, segera bisa merasa ‘dipecundangi’. Kita lihat bahwa loyalitas yang dibangun ‘satu arah’ dan tanpa upaya menghadirkan ‘ikatan’, kehangatan atau rasa percaya dan dipercaya, sebetulnya malah menjadikan pelanggan pun merasa sah-sah saja untuk berpindah ke lain hati.

Dengan semakin pintarnya karyawan dan pelanggan, perusahaan kelihatannya tidak mungkin lagi memanfaatkan keluguan mereka untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Ini adalah saat di mana transparansi justru bisa menjamin loyalitas. Dengan fenomena "new commerce model" dan  "new consumerism", di mana transparansi disajikan sebagai bentuk pelayanan pada pelanggan maupun karyawan, setiap orang bisa membuang rasa curiganya, karena lebih bisa memonitor situasi, pesanan dan segala macam informasi yang tadinya samar. Survei menunjukkan bahwa dengan membuka kesempatan pada pelanggan untuk bisa memonitor dan mengkontrol pesanannya, loyalitas pelanggan meningkat sampai sebesar 20%. Hal ini membuktikan bahwa loyalitas justru bisa ditingkatkan bukan dengan hadiah atau janji-janji tetapi melalui rasa saling percaya dan keterbukaan.

Sebuah perusahaan kurir dunia bahkan secara terbuka mengumumkan, “In my business … and in your business … loyalty means caring enough to correct a bad situation.” Bila timbul masalah dalam hubungan pelanggan atau karyawan dengan perusahaan, bukan berarti harus ‘patah arang’. Kita bisa mengembangkan rasa percaya bahwa masalah akan ditangani secara serius. Kita lihat loyalitas bukan musnah, tetapi berubah bentuk menjadi lebih realistis.

articles/loyalty1.jpg|||0||bottom||
articles/loyalty2.jpg|||0||bottom||

The Survivors

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Belakangan ini, dari berbagai arah, baik dalam pertemuan maupun melalui ‘mailbox’ saya, kiriman CV bertambah, dari mereka yang mencari kesempatan untuk ‘lompat’ ke tempat kerja baru. Ketika salah satu CV saya tanggapi dan menggali lebih dalam alasannya untuk pindah kerja, yang bersangkutan menjawab bahwa ia berjaga-jaga, karena perusahaannya kelihatannya sedang ‘berbenah’. Sebagai dampak terhadap krisis global saat ini, kita sama – sama menyadari bahwa memang di banyak perusahaan tengah dilakukan evaluasi dan pencermatan terhadap efektifitas sumber daya manusianya.

Memang kenyataan yang sudah lumrah bahwa investasi di ‘human capital’ akan segera dianggap sebagai investasi yang mudah dipangkas. Dari pihak perusahaan, “secara ‘law of commerce” ada kecenderungan menganggap karyawan sebagai beban. Dari pihak karyawan, meskipun ada yang optimis, tak urung mencuat rasa was-was bahwa dialah yang akan dipilih untuk di ‘lepas’, entah karena gaji yang dianggap terlalu besar atau karena merasa bahwa produktivitasnya tidak terlalu nyata. 

Dalam situasi ini, bersikap pasif sudah pasti salah. Namun, untuk bersikap proaktif juga tidak selamanya dibenarkan. “Projek yang sedang berjalan dibekukuan, sementara projek baru ditunda. Anak buah berharap pada kita, sementara atasan juga tidak bisa memberi jawaban pasti atas pertanyaan yang kita ajukan.” Sementara karyawan sadar bahwa gaji tidak bisa dinaikkan, biaya perlu ditekan dan semua orang dituntut bekerja ekstra keras untuk ‘menyelamatkan’ angka penjualan, mungkinkah ada sikap yang tepat dalam menghadapi situasi ini? 

 


Berpikir dan Bersikap sebagai ‘Survivor’
Seorang partner di McKinsey, saat ditanya oleh seorang peserta ceramah mengenai kunci suksesnya meraih jenjang bergengsi di konsultan ternama itu, menjawab “bila ingin menjadi partner, bersikaplah sebagai partner”. Nasihat itu sebetulnya bisa kita terapkan dalam situasi di mana kita tidak berada dalam posisi yang ‘menentukan’. Dalam krisis dan posisi ‘terjepit’, kita tidak perlu bersikap sebagai obyek yang tidak berdaya, karena itu akan membuat diri kita benar -benar tidak berdaya. 

Bersikap seolah-olah kita memegang posisi yang menentukan atau berada dalam tim yang hebat akan sangat membantu produktivitas. Berpikir dan bersikap sebagai ‘survivor’ membuat orang tidak sempat tenggelam dalam sikap pesimis. Tentu saja, kewaspadaan perlu ditingkatkan, namun bersikap ceria dan pede sangat dibutuhkan, baik oleh diri kita sendiri maupun orang di sekitar kita. Dalam keadaan sesulit apapun, orang tentu akan memilih berdekatan dengan yang optimis daripada yang belum-belum sudah lesu, bukan? 

Fokus ke Masa Depan
Berfokus ke masa depan ternyata menimbulkan ‘power’ tersendiri. Konon, para ‘survivor’ atau mereka yang kebanyakan bertahan di kamp konsentrasi Jerman adalah mereka yang tak putus harapan pada masa depan. Dalam pembahasan “Mourning and Melancholia”, bapak Psikologi, Freud, juga mengatakan bahwa seseorang bisa keluar dari masa masa depresinya, hanya bila ia bisa melihat masa depan yang lebih cerah dan membayangkan masa depannya dengan jelas. 

Dalam bisnis, berangan-angan mengenai masa depan bentuknya tentu sedikit berbeda. Survivor dalam bisnis, perlu berantisipasi dengan memfokuskan pada kebutuhan pelanggan di masa depan. Bisa jadi berfokus pada pelanggan adalah satu-satunya jalan keluar di masa sulit begini, karena tanpa pelanggan, perusahaan tidak bisa meneruskan bisnis.. 

Saat kondisi sulit begini, kita pun perlu sedikit menelan gengsi. Turun tangan langsung mengunjungi pelanggan yang selama ini didelegasikan ke anak buah, menunjukkan sikap kooperatif saat diharuskan bekerja di bawah komando kolega yang lebih junior karena adanya peleburan divisi, ataupun berdiri langsung sebagai frontliners untuk melayani langsung, malahan akan terlihat keren karena mengekspresikan fleksibilitas dan kemampuan kita. 

{mosimage} 

Ikatan emosional 
Inilah sebetulnya saat-saat di mana kita betul-betul perlu mempraktekkan kemampuan kita berempati. Tantangan yang meningkat, krisis dan deraan bekerja lebih keras untuk ‘survive’, kadang membuat banyak orang merasa dirinya paling susah sedunia, sehingga menutup mata untuk merasakan apa yang dirasakan oleh teman, bahkan atasannya. Di masa sulit begini, banyak pimpinan perusahaan yang merasa ‘lonely’, karena adanya hambatan bagi mereka untuk men-‘sharing’ perasaan dan kecemasannya pada anak buah. Hal ini bukan disebabkan karena kerahasiaan atau tuntutan perusahaan, tetapi lebih kepada karena lemahnya ‘koneksi’ atau ikatan emosional antara pimpinan dengan bawahan, sehingga bawahan pun tidak ada yang mendekatkan diri dan menunjukkan ketulusan rasa empatinya terhadap kesulitan pimpinan. 

‘Emotional bonding’, meskipun sudah ada dalam diri setiap individu sebagai manusia, perlu juga dipelajari dan senantiasa kita asah. Dengan kesamaan rasa terhadap krisis yang dihadapi, karyawan perusahaan bahkan bisa lebih kompak, merapatkan barisan untuk memperkuat kelompok dan merasakan kesatuan yang menginspirasikan. 

Terlihat, Terdepan.
Di era elektronik, di mana orang mudah mengekspresikan dirinya di dunia cyber melalui twitter, facebook, dan media gaul lainnya, jangan sampai kita lupa bahwa ‘penampakan’ riil sangat berguna, bahkan tidak tergantikan. Untuk membangun kredibilitas dan ‘terlihat’, tentu saja kita perlu ‘hadir’ dan berpartisipasi lebih banyak. Seorang teman kerja kerap berujar: ‘kerjaan numpuk, dikejar deadline’, saat ditanyakan alasan mengapa ia sering absen dalam acara informal kantor atau baru hadir saat acara sudah akan berakhir. Bolak – balik melontarkan excuse seperti ini tentu saja tidak mendatangkan simpati, bahkan bisa jadi orang malah mempertanyakan kemampuan kita untuk mengelola pekerjaan secara ‘smart’. 

Merasa tidak ‘jagoan’ juga bukan alasan bagi kita untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan olah raga. Kita bisa hadir ‘for fun’ untuk meramaikan acara. ‘Excuse’ bahwa kita lemah dan berpenyakit dalam acara ‘outing’ misalnya, hanya menyebabkan orang berpikir bahwa kita memang orang yang lemah. Kita perlu mengupayakan agar kita menjadi ‘coporate citizen’ yang utama. Bila bukan sebagai pengurus, jadilah partisipan terdepan.

articles/survivor1.jpg|||0||bottom||
articles/survivor2.jpg|||0||bottom||

Putar Otak

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di berbagai media, sejak mulai dari angin krisis mendekat sampai saat ini, kita bisa mengamati berbagai upaya pemerintah untuk menalangi dana jaminan perusahaan-perusahaan ‘finance’ terbesar Amerika. Para pebisnis pun meletakkan harapan tinggi pada pemerinta Indonesia untuk melancarkan proyek-proyek stimulus.

Tentunya kita jadi bertanya tanya, sebatas mana pemerintah beserta seluruh uang rakyatnya kuat dan perlu mempertanggungjawabkan, serta menutupi utang yang dihasilkan oleh permainan keserakahan sebagian orang? Mengapa solusi selalu diharapkan dari pemerintah? Bagaimana dengan tanggung jawab para pelaku bisnis? Bila pelanggan dan daya beli turun, apakah tidak ada upaya yang bisa dilakukan pelaku bisnis dan para profesional kecuali menunggu ‘keadaan berubah’ atau ‘uluran tangan’? Sudahkah kita menajamkan pensil, lebih fokus dan berkonsentrasi untuk menjadi pemenang justru pada saat-saat keterpurukan ini?

 


Sisihkan sebagian pemikiran ke jangka panjang

Kita sendiri pasti sangat memahami apa arti nasehat ahli ahli ekonomi yang menyarankan untuk mengetatkan ikat pinggang, menjaga ‘cash’ dan berupaya untuk sekedar ‘mempertahankan’ kinerja pribadi maupun perusahaan. Pertanyaan bodohnya, , bila semua orang dan semua perusahaan melakukan hal ini , siapa yang memikirkan keadaan jangka panjang kita?
Kita tentu sadar betapa pasar dan customer selalu memilih produk dan jasa terbaik. Bila kita sibuk mempertahankan diri, dalam jangka waktu 3-5 tahun ke depan kita tidak akan mempunyai daya kompetisi lagi, sementara bila keadaan berubah, pasar mulai memilih produk yang baik lagi.Haruskah kelak kita masih diributkan dengan makanan berformalin, bahan pemutih, atau campuran warna yang mematikan? Haruskah kita tetap menelan asap polusi bahan bakar karena kita belum menemukan pemakaian bahan bakar yang lebih efisien? Bisakah swasembada beras, diikuti dengan cara cara kreatif menghentikan perikanan ilegal sehingga negara bisa menikmati haknya, dan rakyat menikmati kehidupan lebih baik dari hasil lautnya? Benarkah kita tidak bisa membuat barang murah tapi bermutu? Bila tidak menyadari kenyataan ini, pada saat saat keadaan membaik, secara pribadi kita bisa sudah tidak ‘update’lagi dengan kebutuhan saat itu, sehingga yang tadinya kita termasuk ke dalam golongan ‘top talent’ , tiba tiba kita menghadapi kenyataan bahwa kita sudah ‘turun peringkat’ bahkan sudah tidak terbiasa berfikir kreatif lagi. Secara perusahaan maka tidak ada produk baru ataupun jasa dan servis gaya baru yang sudah siap dipasarkan. Oleh beberapa ahli, kenyataan ini disebut sebagai ‘macromyopia’ dimana kita benar benar dalam keadaaan panik dan tidak mempunyai kapasitas untuk melihat perkembangan lebih jauh. Di sebuah perusahaan, gejala ‘macromyopia’ ini terbaca pada tidak sabarnya para manajer penjualan untuk berstrategi, bahkan tidak enggan untuk bercakar cakaran dengan rekan se perusahaan , sekedar untuk mencapai target.” Don't Jump on the Down Economy Bandwagon”, seorang ahli berkomentar. Keadaan ‘sepi order’ ini memang menakutkan, tetapi sisihkan waktu juga untuk berfikir dan berfikir mengenai organisasi, produk, jasa dan persiapkan diri untuk ‘rebound’, memantul kembali.

{mosimage}

Berinovasi tanpa modal

Sadarkah kita bahwa dalam situasi ekonomi yang normal, banyaknya kesempatan seringkali malahan menjadikan kita tidak punya waktu untuk berpikir lebih jauh? Karenanya, krisis yang kita hadapi sekarang perlu kita tangkap sebagai momentum, untuk mengembangkan inovasi jangka panjang. Biarkan kompetitor terjebak pada tindakan survival jangka pendek saja, sementara kita perlu perlu berusaha keras membagi 2 konsentrasi, antara survival jangka pendek dan inovasi jangka panjang secara serius.

Kita mendengar banyak organisasi memotong biaya Research & Development-nya begitu krisis mendekat. Dalam era knowledge management yang canggih ini, sebetulnya inovasi tidak selalu memerlukan investasi khusus atau merekrut tenaga khusus. Kita bisa belajar dari Frans Johansson yang mengungkapkan gejala Medici Effect, yaitu melandaskan inovasi – inovasi berdasarkan pada pendekatan interseksi antar disiplin ilmu yang terjadi sejak masa renaissance. Dengan membuka mata dan mempelajari disiplin ilmu lain kita bisa lebih lancar menghasilkan terobosan ide yang luar biasa. Pada dasarnya daya pikir kita tidak pernah berhenti berasosiasi. Dengan sedikit saja ‘open-mindedness’, suasana ‘tukar pikiran’ dan meniru cara berpikir disiplin ilmu lain, kita segera bisa membuat pikiran kita berasosiasi dan menemukan ide ide baru. Mengungkung pikiran dengan keteganganlah yang menyebabkan otak tidak bekerja, sehingga situasi terpuruk makin memburuk.

Organisasi yang ingin ‘berubah’ akan mati-matian menciptakan ‘sense of urgency’ untuk mendorong perubahan. Sekarang, tanpa diminta, sense of urgency bahkan tidak perlu lagi dipompakan karena sudah menjepit di depan mata. Inilah ‘sense of crisis’ yang diperlukan untuk melahirkan ide-ide baru! Saat inilah motivasi untuk menemukan solusi-solusi baru digalakkan. Mindset inovasi, selain membuahkan hasil juga akan membawa suasana organisasi menjadi bersemangat.Tidak ada saat lain yang lebih tepat untuk menghidupkan rasa ingin tahu, enerji dan antusiasme secara alamiah daripada sekarang. Mari putar otak!

articles/putarotak2.jpg|||0||bottom||
articles/putarotak1.jpg|||0||bottom||

Etika

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Gerakan perbaikan moral dan etika yang digaungkan oleh para pejabat atau pimpinan dari suatu lembaga, tentu saja akan didukung semua pihak, bahkan mereka yang biasa korupsi sekali pun. Dalam prakteknya di lapangan, mereka yang lemah komitmennya pada perbaikan mutu kemanusiaan, bisa segera kita lihat mencari – cari pembenaran untuk melanggarnya atau dengan mudah mengungkapkan sulitnya mengimplementasikan hal ini secara ‘all out’, baik karena tekanan situasi, lemahnya pengawasan, ‘budaya’ yang telah mengakar, atau banyak alasan lainnya.

 

Saya rasa, hal ini pun terjadi pada lembaga-lembaga ternama dunia seperti Enron, Arthur Anderson, atau WorldCom. Lembaga – lembaga ini dipercayai para ‘stakeholders’ nya untuk "doing the right thing". Namun, karena tidak mampu memerangi spirit keserakahan, mereka menanggalkan etika dan berbuat curang. Kita tahu, tidak sedikit perusahaan yang begitu ketatnya menyusun rambu – rambu untuk memastikan tegaknya ‘corporate governance’. Tetap saja, seringkali keserakahan dan hasrat untuk meraup untung sebanyak – banyaknya membuat orang lalu menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan. Pernah saya berkesempatan menanyai seorang pebisnis, bagaimana beliau menyikapi kecurangan yang dilakukan para kompetitornya. Sungguh surprise saya mendengar jawabannya yang gagah berani,”Itu bukan curang, itu namanya ‘streetsmart’! Kalau orang curang, kita mesti lebih curang lagi.” Astaga! Sudah bergeserkah definisi ‘streetsmart’ untuk era ini?Jadi, apakah di jaman sekarang, sudah sah – sah saja , manusia merendahkan martabat dirinya dengan berbuat curang, tidak etis, dan menang ‘at all cost’? Bagaimana dengan politik dan kampanye caleg, yang juga mempertontonkan betapa ‘pemanfaatan segala cara diupayakan, sekedar untuk memenangkan persaingan? Apakah etika dan moral benar – benar sudah tidak punya daya jual?

“Back to basic”

Di jaman susah begini, banyak orang sudah bersyukur meskipun gaji tidak dinaikkan atau bonus tidak dibagikan, daripada diberhentikan atau dikurangi gajinya. Tak pelak, kita terkagum – kagum juga ketika membaca bahwa para eksekutif top wallstreet malah mendapat bonus, yang ‘ruaarrr biasa’ banyaknya. Saya surprise, ketika sebuah majalah Amerika, mengulas bahwa dalam krisis tahun 1997, dua buah perusahaan besar di Indonesia malah menaikkan gaji karyawan terendahnya dari budget potongan gaji para eksekutifnya. Bukankah kalau dipikir – pikir ‘basic’ keperluan karyawan paling bawah, sebetulnya sama dengan keperluan dasar si eksekutif? Kata orang :”what's good for the gander is good for the goose”, gizi yang diperlukan seorang pegawai rendahan sama dengan gizi untuk eksekutifnya. Jika memang persentase kecil dari gaji eksekutif bisa dialokasikan untuk perbaikan kesejahteraan karyawan sehingga meningkatkan motivasi karyawan, mengapa tidak? Bukankah dengan melakukan hal ini, kita bisa menunjukkan sisi kemanusiaan dan memenangkan pertimbangan etika? Dengan ‘berbagi’ seperti ini, para eksekutif akan mampu menghilangkan ‘rasa bersalah’ karena tidak mengeksploitasi hak dan kepentingan bawahan, bahkan jadi punya kemampuan untuk berteriak dan bertindak lebih lantang. Kita memang sering kalah pada kecurangan, tetapi dengan ke-pede-an kita untuk benar benar memilih ‘the right thing to do’, enerji lebih yang berasal dari semangat anak buah dan ‘rasa kebenaran’ bisa melipatgandakan hasil .

Seberapa Penting Menjaga Kredibilitas Diri Kita?

Beberapa staf saya terkejut ketika memeriksa tagihan kartu kreditnya, karena biaya keanggotaan kartu yang awalnya diinfokan gratis seumur hidup, ternyata di-‘charge’ tanpa pemberitahuan terlebih dahulu atau dinaikkan diam – diam. Banyak di antara mereka yang kemudian menutup kartunya karena merasa telah ‘dicurangi’. Di satu sisi, banyak pihak sudah mengalami keuntungan dari keanggotaan sementara ini. Penjual kartunya sudah mendapatkan reward, si pelanggan sudah menikmati bebas biaya setahun, sementara bank sudah mendapatkan bunga dari pembayaran yang dilakukan oleh pelanggan. Namun, yang tidak diperoleh selanjutnya adalah ‘kredibilitas’ terhadap produknya dan bahkan terhadap lembaganya. Cara-cara hardball dan “hit and run” begini memang kita akui cepat meraih hasil, namun berdampak jangka pendek, tidak berbobot, dan toh akhirnya kalah juga.

Kita pun sebagai individu, profesional, pebisnis maupun politikus tentunya harus juga sadar bahwa diri kita adalah produk atau memiliki jasa atau konsep yang ‘dijual’, baik pada perusahaan, pelanggan maupun rakyat atau masyarakat. Ketimbang melakukan praktek – praktek yang memberi untung sesaat, lalu buntung dan bahkan mencemarkan nama baik kita sendiri, tentunya kita perlu jeli dan lebih mempertimbangkan kredibilitas serta ‘life time’ dari produk atau jasa yang kita berikan. Hanya bila kita menjunjung etika dan berorientasi untuk meningkatkan mutu kehidupan serta merespek sesama-lah kita baru bisa menepuk dada dan menjaga kredibilitas kita dari waktu ke waktu, bukan?

{mosimage}

Apakah Kita Punya Visi yang lebih Luhur?

Teman saya yang baru saja ditawari untuk menjadi kader sebuah partai, dinasehati oleh ayahnya, bahwa ia harus punya visi, setidaknya 10 tahun lagi, sudah musti jadi caleg. Wah, kalau visinya hanya sependek itu, apakah dengan mencapai kedudukan sebagai anggota legislatif akan bisa memberikan kebahagiaan pribadi?
Pernahkah kita bayangkan apa nilai yang akan kita dapatkan bila jabatan sudah kita raih dan tumpukan uang melimpah sudah kita kantongi? Bukankah uang, kuasa dan jabatan tidak mempunyai nilai ‘intrinsik’? Uang hanyalah bernilai untuk sekedar memenuhi kebutuhan kita saja. Dan kita diberi nilai oleh individu lain dari seberapa ‘cerdik’ kita memanfaatkan uang, ‘power’ dan jabatan kita. Dengan demikian, setiap individu perlu berpikir keras untuk menentukan tujuan akhir dari segala upayanya, setelah mendapat banyak uang, power atau kedudukan. Itulah sebabnya pertimbangan etika, peningkatan mutu kemanusiaan, perbaikan cara hidup berkeluarga, peningkatan level spiritual bagi kita, anak buah, anggota tim, atau bahkan ‘rakyat’, tetap perlu menjadi sasaran utama. Sejauh mana kita bisa membawa perbaikan dan memberi kontribusi-lah yang tentunya baru bisa membuat diri kita merasa berharga dan lebih bahagia di jaman yang serba kompleks dan modern ini. Jika kita ingin hidup kita lebih bermakna, tentu saja kita perlu memikirkan visi yang lebih luhur, luas tapi tetap konkrit dan membahagiakan, misalnya saja meningkatkan kecerdasan bangsa, menaikkan nilai ekspor negara atau meningkatkan pendapatan perkapita rakyat Indonesia.
Keinginan kita untuk menjadi nomor satu memang sangat penting, kita memang harus bermental juara, namun hal itu tidak usah kita lakukan dengan mengurangi harga kita sebagai manusia, terutama bila kita adalah pemimpin, apalagi pemimpin bangsa.

articles/etika1.jpg|||0||bottom||
articles/etika2.jpg|||0||bottom||

Overcoming Career Stagnation

{mosimage}

By Jeff Schmitt (Business Week)

If you hit a snag at work, you'll need to rely on self-evaluation, planning, and choice

For years, Kathy had been the glue at her company. Clients raved about her responsiveness and flexibility. Her superiors marveled about how she anticipated issues before they exploded. Colleagues recognized her as the one you turned to for advice, the can-do team member who got things done.

But something was wrong, and she knew it. She just didn't want to admit it. Sometimes, it was a flash of anger when a little thing went wrong. Other times, there was a restlessness, a yearning to escape. Too often, fatigue gutted her. Her feelings continued surging; the cracks started to show. 

We have all experienced these same sensations at work. At some point, we'll find ourselves falling behind. We'll concede our lives haven't gone as planned. We'll realize that we should be so much more. And we'll know that something needs to change—and fast.

Early on, we probably imagined how our careers would unfold. We would exceed expectations, be recognized, and climb up the ladder. There would be no ceilings; any roadblocks would only be temporary. Of course, career trajectories rarely go from point A to point B. Like Kathy, we sometimes get stuck, and it eats us up inside. And even if you know that you are lucky to have a job when reading about massive layoffs is a daily ritual, you can still feel stuck. In fact, it could be compounded by feeling guilty, hopeless, or just plain depressed.

Overcoming career stagnation can be as dramatic as a defining moment that alters your path or a simple as a change in routine or attitude. Either way, it requires self-evaluation, planning, and choice.

Self-Evaluation: At his trial, Socrates warned his accusers, "An unexamined life is not worth living." So, go ahead—examine your life. Dissect your current situation. Do you just need a spark to get out of your slump…or is it something deeper? What makes you truly happy…and what just provides momentary respite? What attitudes and behaviors could be holding you down? The answers may be uncomfortable, but they are the first step in moving forward.

Planning: You know who you are and what you want. Now, how are you going to get there? Take an inventory of your strengths and weaknesses. What areas require retooling or polish? What is your strategy for getting where you need to be? What about the time involved and the trade-offs required? Track your progress by setting benchmarks, and reward yourself when you achieve them.

Choice: You can do all the requisite analysis and planning. It matters little if you lack the will to act. Too often, people are afraid to make choices. They intuitively understand the discomforts, sacrifices, and occasional failures that go along with making choices. Ask yourself: are you willing to change—and fully commit yourself to making it a success? Without such commitment, you'll quickly end up back where you started.

 

 {mosimage}

 01. Getting Back on Track
Feeling burned out? Trapped at the same place doing the same things with the same people? Use some of these strategies to get your career back on track.

 

{mosimage}

02. Differentiate Yourself
Don't assume hard work gets recognized. Go beyond your job description. Collaborate with other departments to heighten your visibility. Broaden your industry knowledge. Conduct peer training or launch an initiative. Identify areas where your employer is lacking, and fill those gaps. Get results, and earn the respect you deserve.

 

{mosimage}

03. Socialize
It isn't always what you know, but who you know. Play a little politics. Initiate tactical conversations at company events rather than just make an appearance. Build informal networks with company winners, and become an insider. It's schmooze or lose. Reaching out will undoubtedly broaden your world—and possibly save your job in lean times.

 

 {mosimage}

04. Emulate
It helps to have a role model, especially in the darkest of times. Identify someone who has successfully overcome the roadblocks you're facing. Model her behavior. Always ask yourself: How would this person act in this situation? Act like this person…until this person's conduct becomes second nature to you.

 

{mosimage} 

 05. Become an Industry Force
As markets change, companies reevaluate and reinvent themselves. You can do the same. Raise your profile by speaking at conferences, publishing articles, and conducting Webinars. Serve as a media resource, if your company allows. Demonstrate to the industry—and your superiors—that you are an expert.

 

{mosimage} 

06. Build Relationships Outside Your Company
Face it: You may not always work for your current employer. In any career transition, you'll need alternate support networks. Are you actively involved in industry associations or local forums? Where would you go outside your company to broaden your skill set, raise your profile, and boost your connections? Look for ways to build strategic relationships to nurture your professional growth…and move up in your career.

 

{mosimage} 

07. Communicate
Work can be a lonely place. That's why a trusted confidant—spouse, friend, colleague, or family member—is so critical. Find someone who can reserve judgment and offer support and caution you when your views become distorted or unrealistic. Use this person to keep you on track and save you from poisoning office morale.

 

{mosimage} 

08. Mentor
Author Albert Pine once wrote, "What we do for ourselves dies with us. What we do for others and the world remains and is immortal." Maybe it's time to leave a legacy. Give back by helping peers who are new, show potential, or need support. Share your time, expertise, and empathy. Help them navigate the unwritten rules and get the same opportunities you enjoyed.

 

{mosimage} 

09. Track Your Successes
Have you ever missed a deadline or cost your company money? You probably wanted to crawl into exile. Over your career, you've probably done far more good than bad. Keep a success list to offer perspective. When you're down, turn to it for hope. Let it remind you how setbacks are only temporary…and to cherish every small victory.

 

{mosimage} 

10. Watch Your External Voice
Evaluate your personal interactions. How are you projecting yourself through your body language and words? Are you generating smiles and laughter? Conveying hope and confidence? Calming frayed nerves? We control the atmosphere where we work. Good or bad, our work persona is infectious. Radiate a positive attitude, even if it's tough. Hold yourself accountable, and watch for complacency.

 

{mosimage} 

11. Watch Your Internal Voice
Sometimes, we are our own worst enemy. When things go wrong, what do you say to yourself? How much time and energy do you spend fueling your resentments and worst fears? If your internal voice is a negative one, it can unravel all the good you do and spark self-fulfilling prophecies. Make sure you can recognize when your thinking is sparking self-destructive behaviors.

 

{mosimage} 

12. Do a Self-Evaluation
Self-knowledge is power. Do some soul searching, and pinpoint the sources of your dissatisfaction. Evaluate your career path; faith in corporate leadership and mission; personal values and motivations; and experience and skill gaps. Examine how your underlying mind-set and fears are driving your reactions. Don't make any rash decisions until you understand what truly holds you back…and your readiness for change.

 

{mosimage} 

13. Create a Personal Plan
After you've evaluated yourself, develop an action plan. Decide where you want to go and what it takes to get there. Set clear and actionable goals and identify the steps you need to take. In particular, keep your initial goals small, to build your confidence. Similarly, assess how you spend time, and use opportunities like commutes and lunch hours to grow.

 

 {mosimage}

14. Change Your Routine
Albert Einstein defined insanity as doing the same thing and expecting different results. Maybe it's time to evaluate how you spend time. Do you constantly answer e-mail? Are you a slave to your to-do list? And just how much time are you on the Internet? Identify what clutters your life, steals your time, and drains your energy. Look for ways to step out of your comfort zone and do things differently.

 

 {mosimage}

15. Take a Break
Maybe you need to escape or try something new. Money permitting, take a vacation (or a sabbatical). Put distance between yourself and whatever troubles you. Indulge in the activities that stir your imagination. Find solace in a world larger than your own. Use your time to reconnect, refresh, refocus, and reinvent yourself. If you can't afford to go away, use some vacation time and have a "stay-cation" and that includes staying away from work.

 

{mosimage} 

16. Diet and Exercise
Vince Lombardi used to say: "Fatigue makes cowards of us all." Of course, fatigue results from bad habits. Look for the right ways to build your energy. Go to bed early. Keep caffeine to a minimum. Take a walk or hit the gym to relax and fire up the mind. Breathe. Eat the right types and amounts of food, particularly for breakfast.

 

 {mosimage}

17. Laugh
Have you heard that children laugh almost 400 times a day? By adulthood, that number drops to 17 times. When we laugh, we reduce stress and enhance brain functioning. That's why we need to step back and not take ourselves (or our jobs) so seriously. Just as important, laughter (or even smiling) enables us to build rapport with our peers.

 

 {mosimage}

18. Read
You can only learn so much from observation and reflection. Step outside your world and learn from the greatest minds, past and present. Look for readings that stimulate your mind, challenge your assumptions and rejuvenate your spirit. See the world through fresh eyes and apply their wisdom to your daily life.

 

 {mosimage}

19. Take a Class
Our economy is growing increasingly complex, demanding, and combustible. Maybe it's time to go back to school. Whether you want to earn another degree or just sharpen your skills, school is a risk-free environment to test your limits. It's an even better place to meet new people and get your creativity pumping with new ideas and challenges.

 

 {mosimage}

20. Find a Passion
What do you love to do? What concerns you outside the workplace? Integrate the personal with the professional to give your life a true mission. Look for support in a community of like-minded people, such as your church or synagogue, interest groups, or volunteer organizations. Use this time to make a difference and better understand who you want to be.

 

 {mosimage}

21. Reward Yourself
Everyone needs to see the light at the end of the tunnel. To motivate yourself to step it up—or even get through the day—look for ways to reward yourself. Whether you treat yourself to a frappuccino or a Bahamas vacation, take time to celebrate your accomplishments. The euphoria only lasts so long, and the bar gets higher after each success.

 

 {mosimage}

22. Let Go
It isn't easy coming to terms with disappointments. It can be even harder to forgive. You may have squandered your youth and talent for little return. It doesn't matter; it's past. Quit blaming and nursing grudges. Find the positive. Move on.

 

{mosimage} 

23. Be a Better Person
Don't kid yourself: The personal IS the professional. There is no disconnect. Who you are in private eventually filters into your work, where every flaw is magnified. If you aspire to greater responsibility, make sure you merit it. Your peers often put their livelihoods in your hands; do right by them. Ask yourself: Am I the person I should aspire to be? Commit yourself to being that person every day.

 

 {mosimage}

24. Live Spiritually
At work, you're constantly under siege by deadlines, demands, and the unexpected. Your job can be liquidated or reengineered at any moment. The stress can easily leave you hollow. That's why you turn inward and find a larger purpose. Express yourself through prayer and meditation. Remember the blessings in your life: your spouse, children, family, and friends. Give them your time and attention. Don't take them for granted.

 

{mosimage} 

25. Look For Another Job

Is the grass greener elsewhere? It might be time to find out. Everyone reaches a career plateau. The key is knowing if it's time to get out. Look at a job change as a catalyst, a chance to be reinvigorated by new people, surroundings, and challenges. So spruce up your résumé. Take an interview. See if the money is greater, satisfaction higher, and stress lower.

 

{mosimage} 

26. Do Nothing
That might sound counterintuitive. Sometimes, though, we can exhaust ourselves trying to make things happen. Maybe you need to step back and let up a bit. Save your energy until you're truly ready to take that leap of faith, embrace your potential and work on your terms.

articles/160209/42-16392204.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_1.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_2.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_3.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_4.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_5.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_6.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_7.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_8.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_9.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_10.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_11.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_12.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_13.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_14.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_15.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_16.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_17.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_18.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_19.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_20.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_21.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_22.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_23.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_24.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_25.jpg|||0||bottom||
articles/160209/ss_26.jpg|||0||bottom||