Bebaskan Diri

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Menggonta-ganti merek ponsel menyebabkan saya sering salah ketik saat menulis sms. Posisi tombol-tombol yang berbeda antara satu produsen dengan produsen lain, menyebabkan kebiasaan menekan tombol tertentu terbawa ketika kita mengetik di ponsel yang baru. Anak saya mengkritik:”Smsmu sering aneh. Kenapa sih tidak lebih berhati-hati saat mengetiknya?” Tentu saja kita bisa lebih berhati-hati dan bekerja lebih perlahan. Namun, seringkali saat terburu-buru, secara tidak sadar kita kerap membawa kebiasaan lama. Sadar ataupun tidak, salah satu sebab kita tidak lincah berubah, jalan di tempat atau bahkan mundur, terjadi karena kita tidak belajar untuk menghapus pola atau kebiasaan di masa lalu. Kita hanya bisa bergerak ke depan dan membuat terobosan bila kita mampu membebaskan diri dari hal-hal yang ‘ke-‘kini’-an”, bahkan masa lalu yang menghambat dan menggandoli kita untuk berubah. 

Mengapa orang sulit membuang kebiasaan lama? Dan juga, mengapa orang sering berfokus pada kegiatan belajar hal baru, tanpa ‘concern’ pada menghilangkan kebiasaan lama terlebih dahulu? Ternyata, bila kita pelajari, tidak bisanya kita berubah, atau bahkan sikap pesimis kita untuk bergerak dan mengadakan perubahan banyak dilatarbelakangi oleh cerita sukses masa lampau, yang sulit kita hilangkan. Kalimat seperti: “Saya memang dari dulu begini”, “Biasanya ini yang saya lakukan…”. “Dari pengalaman saya, …”. Saat saya memberi saran pada seorang teman untuk mengurangi biaya hidup sebanyak 30%, sewaktu ia mengeluh tentang situasi krisis, serta merta ia menjawab:”Mana mungkin..? Sudah bertahun-tahun…”. Bila banyak orang memegang paradigma ini, bisa jadi kita akan mengalami keterpurukan lebih jauh.  

Tahan Respons, Aktifkan Berpikir Kritis

Konon, mengajari para pilot juga dimulai dari proses ‘unlearning’. Proses emosi, asumsi dan kesalahan ekspektansi bisa membatasi presisi dalam mengukur jarak. Calon pilot harus belajar untuk menahan respons yang datang dan berupaya betul memikirkannya sejenak, sebelum bereaksi. Seorang salesman pun harus ‘menghapus’ pengalaman penolakan-penolakan yang pernah dia alami sejak kecil, baru kemudian bisa menumbuhkan “killer instinct’-nya.

Dalam perusahaan, terutama yang sudah sukses mengimplementasi cara konvensional, kebiasaan para pimpinan menyepelekan, bahkan menahan para junior untuk berpendapat, rasanya sudah saatnya di-‘unlearn’. Persepsi bahwa senior lebih pintar karena lebih berpengalaman, bisa membutakan seluruh organisasi dari ‘bad news’ yang ada. Bisa kita bayangkan betapa bahayanya bila kita jalan terus, menghadapi tantangan, tanpa menyadari bahwa masih ada faham-faham yang usang, asumsi-asumsi dalam sistem nilai yang menahan kita untuk berubah. Hal inilah yang menyebabkan orang maju mundur untuk berinovasi, terutama bila menghadapi tekanan.

Manusia yang sehat sebenarnya bisa membekali dirinya dengan daya berpikir kritis, yang sudah disebut-sebut Socrates di jaman dahulu. Berpikir kritis antara lain mempertanyakan persepsi, asumsi, sistem nilai yang ada dalam sistem penalaran kita. Dalam menghadapi tekanan, kita perlu mengaktifkan daya berpikir kritis kita untuk memerangi praktek-praktek usang yang sudah kita terapkan selama bertahun-tahun. Saatnya kita mempertanyakan: Apa masih mau meneruskan berhutang? Apakah masih akan meneruskan gaya hidup konsumerisme? Apakah kita akan meneruskan cara komunikasi yang lama? “Apa iya, tidak bisa diubah…?”

“The Reality Check”

Jangankan orang-orang pandai, pembantu rumah tangga saya pun mulai berubah pola membelinya. Pelanggan menjadi sangat selektif memilah-milah antara yang perlu dan tidak perlu, mana yang membuat mereka benar-benar ‘happy’ dan mana yang sekedar mengikuti tren. Kita memang harus mengkalkulasikan kocek konsumen yang akan mengempis karena situasi krisis. Bila kita bisa menangkap kebutuhan tersebut, kita pun bisa menyusun langkah untuk menjadi pemenang kembali. Inilah ‘reasoning’ utama mengapa cara lama yang membuat sukses sudah tidak bisa disebut-sebut lagi. Konstelasi pasar, organisasi, sistem penggajian akan berubah sesuai dengan keadaan terkini (baca: krisis global). Jadi, kita perlu masuk ke dalam tuntutan tuntutan baru dan menghapus kebiasaan lama. Tidak ada plihan.

Lalu, apa yang akan kita lakukan dengan kekuatan yang sudah kita bangun bertahun-tahun? Apakah kita buang begitu saja? Kekuatan seperti pengalaman sukses sebagai professional handal, tentunya bukanlah kekuatan yang tidak bisa digunakan lagi. Hanya saja, kekuatan tersebut harus disiapkan untuk menjawab situasi yang belum kita kenal, belum terbukti dan menantang kita untuk menemukan lahan-lahan baru. Karyawan lama yang kuat dan trampil harus bisa menghandel proses baru, membuat produk baru. Inilah tantangannya. Bahkan ada kompetensi yang perlu dibongkar dan diperbaharui. Misalnya, yang dahulu melakukan penjualan partai besar, sekarang masuk ke ritel bahkan menjajakan barang sendiri. Kita mesti bertindak, ber –mindset dan berparadigma ibarat pegawai baru yang membawa pemikiran dan persepsi yang segar.

{mosimage}

“A Great Moment to Innovate”

Bertahannya manajemen perusahaan atau pemerintahan pada praktik-praktik lama, sering membuat kita yang berada di dalamnya merasa asing pada hal yang “tidak jelas”. Padahal kalau dipikir-pikir, di dalam ketidakjelasan itulah ada fakta yang membuka peluang bagi kita untuk berinovasi. Sulitnya, inovasi yang kita temukan di dalam ketidakjelasan ini hanya bisa kita lakukan bila kita percaya bahwa kesempatan itu ada, dan terjun di dalamnya. Dalam situasi ini kita tidak bisa mereka-reka karena tidak ada teori yang sudah bisa membuktikan kesuksesannya. Disinilah kita ditantang untuk kuat dan tetap komit pada semangat mengeksplorasi.

Dengan spirit optimistis kita sebenarnya bisa melihat bahwa budget yang mengkerut dan berkurangnya angka penjualan adalah momentum untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif. Tentunya hal ini hanya terjadi pada orang-orang yang mempunyai keyakinan, ego kuat serta visi yang jelas. Sekaranglah waktunya meneguhkan diri untuk membuat pendekatan baru, menemukan pangsa pasar baru, membuat produk baru serta terjun dan menggunakan bahasa pelanggan baru.

(Ditayangkan di KOMPAS, 20 Desember 2008)

articles/bebas diri 2.jpg|center||0||bottom||
articles/bebas diri 1.jpg|center||0||bottom||

Berselancar dalam Ombak Perubahan

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Perubahan pusat kekuatan ekonomi, revolusi teknologi global seperti bio-teknologi dan nano-teknologi, serta berubahnya peta industri dari global ke lokal atau sebaliknya, membuat setiap orang mengumandangkan perubahan. 

Pepatah kuno yang mengibaratkan perubahan bagaikan ombak, mengatakan: “Yang memberi kita ombak adalah Allah. Bagaimana kita bereaksi terhadapnya, adalah pilihan manusia-nya sendiri-sendiri.” Pada situasi di mana ‘ombak perubahan’ sebesar tsunami, terkadang manusia memang tidak mempunyai pilihan. Namun, dalam kondisi ‘ombak’ lain, kita mempunyai pilihan, untuk sekedar menunggu redanya ombak, berenang mengikuti atau melawan ombak, atau berselancar dan cerdik ‘memilih’ ombak mana yang akan kita tunggangi.

Mereka yang jago ‘berselancar’ dalam ‘ombak perubahan’, tentunya akan membukukan cerita ‘manis’. Pada krisis tahun 1998, Garuda Food bahkan melakukan diversifikasi, membeli serta memproduksi biskuit dan jelly secara sukses. Faisal Basri, ekonom kondang telah mengingatkan kita tentang harga saham yang sedang “bagus-bagus”-nya, yang kemungkinan bisa di’caplok’ oleh orang asing terlebih dahulu, sementara kita, bangsa Indonesia bisa ‘ketinggalan kereta’ dalam melihat peluangnya. Lagi-lagi, kemampuan ‘berselancar’ kita yang ditantang.

Menangkap Ombak, Mengambil Action

Dalam pembicaraan  di pesta pesta,maupun pemberitaan di media, kita dikejutkan oleh banyak sekali perubahan, bahkan saking banyaknya dan bertubi tubinya fakta, kita terpukau dan hanya mengeleng-gelengkan kepala . Ada juga yang mampu menganalisa dan segera menyimpulkan tren dan mengira-ngira apa yang akan terjadi. Pertanyaannya, berapa orang yang kemudian membuat keputusan dan mengikutinya dengan action plan? Apa yang akan saya lakukan untuk mengelola cash dan hutang-hutang? Apa yang perlu diganti dalam rencana-rencana saya?  Bagaimana saya mempertahankan pelanggan saya?

Dalam kepanikan menghadapi krisis, saya melihat bahwa orang bisa saja ‘maju-mundur’ secara ekstrim  dalam mengambil keputusan. Padahal keputusan harus diambil. Apakah order akan dibatalkan? Apakah kita akan melanggar komitmen karena besarnya kerugian yang harus kita tanggung? Apakah kita ‘berani rugi’ untuk mempertahankan hubungan baik? Kapan pengorbanan akan membuahkan hasil? Dan, yang juga sangat penting, Apakah kita menyadari untuk membedakan antara keputusan yang berfokus pada keuntungan jangka pendek atau jangka panjang.

Isu yang sangat penting, yang justru sering terlupakan oleh kita semua adalah menterjemahkan kebingungan dan ketidakjelasan yang sedang berlangsung ke dalam sebuah keputusan dan tindakan yang akan diambil. Sebaliknya, tekanan yang tiba tiba, dan mengejutkan, seringkali pula menyebabkan kita terlalu gegabah mengambil keputusan. Tengok saja reaksi impulsif masyarakat terhadap perubahan nilai tukar rupiah. Masyarakat yang tanpa pikir panjang merespons perubahan nilai tukar rupiahlah yang justru mengakibatkan semakin ‘goyang’-nya nilai tukar tersebut.

Keseimbangan untuk memperoleh informasi akurat sebanyak-banyaknya, memahami apa pengaruh dan dampaknya bagi perusahaan dan diri sendiri, dan kemudian melihat peluang ke masa depan dan mengambil keputusan yang kongkrit hampir-hampir adalah suatu seni. Bila kita tidak awas terhadap perubahan, kita ketinggalan. Sebaliknya, bila kita bertindak  terlalu jauh, kita bisa terkubur oleh persoalan-persoalan ‘here and now’ di depan mata. ''You can't grow long-term if you can't eat short-term” . Di sinilah letaknya tantangan untuk menyeimbangkan keputusan jangka pendek versus jangka panjang, menyeimbangkan upaya survival, sambil merencanakan masa depan, serta memperhatikan baik pendekatan humanistik dan holistik. Mencari keseimbangannya inilah yang sulit, meskipun ‘kita bisa’!

Waktunya Menggalang Kebersamaan

Seperti yang dikatakan Jack Welch :” I don't like to use the word efficiency. It's creativity. It's a belief that every person counts.' Kekuatan baru hanya bisa terbentuk dengan menggalang kebersamaan, melakukan diskusi intensif untuk mendengarkan isu-isu, bersama mempelajari tantangan dan peluang yang ada, membahas bersama action-action untuk recovery, sehingga keluhan dan ketakutan bisa dirubah menjadi komitmen dan optimisme. Dalam situasi inilah sesungguhnya ketrampilan mendengar, berdiskusi, ber-brainstorming paling dibutuhkan. ‘Orang-orang pintar’ di dalam kelompok juga perlu dimanfaatkan agar kita bisa mempertajam kemampuan untuk mengetes asumsi, mengelola keluhan, membaca feedback dan melihat peluang..

Rasa takut dan perasaan tidak nyaman yang dirasakan anggota kelompok adalah sinyal-sinyal yang perlu ditangkap dan dipelajari. Pada saat ini ‘feedback’, walaupun menyakitkan juga sangat berguna untuk menjawab:”so what?’ dari gejala-gejala yang terjadi. Inilah saat yang tepat untuk membentuk ‘alignment’ yang kuat di dalam,  sambil bersama-sama memandang jauh ‘keluar’.

 {mosimage}

Fleksibilitas di atas Kompleksitas

Mempersiapkan masa depan dalam situasi penuh tekanan, sambil menjaga kestabilan, memang memerlukan stamina, bukan saja intelektual tetapi juga emosional. Kita harus meletakkan ekstra fokus pada doing the right thing – the right way , serta pada ‘timing’ yang tepat pula. Louis V. Gerstner, Jr terbukti melakukannya pada saat IBM diramalkan akan terpuruk tajam, dengan cara  ‘membalik ‘bisnis ‘mainframe’ IBM ke bisnis PC. Di sinilah kemampuan kita diuji, apakah bisa lincah dan fleksibel mangarungi kompleksitas. Tentunya para pimpinan perusahaan perlu menambah energi pribadinya untuk mampu mendorong dan menyemangati karyawannya untuk tetap jeli memanfaatkan peluang, menekan biaya, dan menciptakan produk yang murah dengan kualitas tetap prima.   Perusahaan yang sukses mengarungi lautan kompleksitas ini adalah mereka yang mampu fokus hanya pada hal-hal penting saja, sambil tetap memelihara fleksibilitas untuk berespon terhadap perubahan, tren serta tekanan baru. Senantiasa ingat kata pepatah:“Opportunity is optimism with a plan creatively applied to the future”.

(Ditayangkan di KOMPAS, 13 Desember 2008)

articles/surfing1.jpg|center||0||bottom||
articles/surfing2.jpg|center||0||bottom||

Kuat dalam Badai

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebuah foto hitam putih, menampilkan perahu kecil berbendera merah putih mengarungi badai, yang ditampilkan saat mengawali presentasi seorang pakar ekonomi, membuat saya berpikir: “Kenapa tidak?” Perahu kecil pun bisa bertahan, bahkan mencapai tujuannya, asalkan berjuang, cerdik dan melakukan langkah-langkah yang benar, sebelum, selama dan sesudah badai terjadi. 

Situasi ‘tsunami’ di depan mata ini memang bisa membuat mental kita benar-benar ‘down’ dan bila tidak hati-hati membuat kita tidak berdaya. Riset membuktikan bahwa dalam keadaan terpuruk,  banyak eksekutif yang tidak lagi berusaha membuka diri terhadap ide-ide baru pada saat berada dalam situasi stress. Situasi eksternal yang berubah begitu cepat, unpredictable, membuat tak sedikit orang merasa bahwa segala upaya sudah gagal dan tidak akan ada upaya lain yang lebih mempan menanggulangi situasi. Bila dicermati lebih jauh, sebenarnya kegagalan tidak selalu harus berasal dari situasi eksternal yang buruk. Kita pun bisa gagal dalam situasi adem ayem, kalau tindakan ,keputusan dan cara monitor  kita salah. Sebaliknya, Grameen Bank tumbuh cemerlang atas prakarsa Prof. Yunus, di lingkungan yang tanpa hujan dan angin pun sudah sangat miskin dan papa.

Cek Alarm Diri Anda

Dalam pertemuan pada suatu divisi di sebuah bank, saya mengecek reaksi dari para karyawan terhadap situasi krisis, dengan menampilkan berita mengenai 12600 karyawan yang terancam PHK. Sebagian orang mengatakan bahwa ini adalah peluang bagi perusahaan lain yang membutuhkan. Namun, terasa bahwa mayoritas karyawan yang berada di divisi yang cukup masih bisa merasakan ‘comfort zone’ ini, masih adem ayem, belum betul-betul menangkap pesan krisis yang disampaikan oleh berbagai media.

Tentu saja, normalnya, tidak seorang pun dalam dunia bisnis maupun nonbisnis yang bisa bersikap masa bodoh terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi perusahaan, negara bahkan dunia, saat ini. Kenyataannya, banyak eksekutif yang masih berharap datangnya kejutan, atau masih mengira-ngira apakah ‘mendung‘ benar-benar akan berubah menjadi ‘badai’. Sebaliknya, tak sedikit yang berharap bahwa awan yang sedang berkumpul akan berlalu begitu saja. Seorang teman eksekutif bersungut-sungut ketika rapat memutuskan untuk melakukan ‘brainstorming’ mendadak untuk memikirkan langkah-langkah pertahanan perusahaan, karena hasil raker sebulan yang lalu pun belum sempat ia presentasikan. Pada saat-saat beginilah setiap individu mestinya perlu mengecek sistem alarm di dalam dirinya. Jika alarm diri tidak bekerja, tidak membuatnya lebih waspada, tidak menjadikannya ‘berlari’, perlu dicek mengapa tidak bekerjanya? Bisa saja keadaan ini disebabkan karena kurangnya informasi,kurangnya bergaul,  kurangnya kepekaan atau memang tidak inginnya kita menghadapi kenyataan.

Menyusun Kekuatan untuk ‘Survive’

Teman saya yang tinggal di Inggris mengatakan bahwa krisis ekonomi di negaranya bagaikan siklus. Ia sudah mengalami beberapa kali “ups & downs” dan sudah melihatnya dengan cara yang antisipatif. Dalam keadaan anjlog begini, tindakan utama yang bisa dilakukan adalah mengencangkan ikat pinggang dan menghentikan pengeluaran yang tidak perlu. Tindakan quick fix seperti meng-’cut’ karyawan, mengurangi biaya R&D, menghentikan servis-servis tambahan yang tidak terlalu signifikan, dan  berfokus pada ‘survival’ jangka pendek memang sudah sering dan lumrah kita dengar di mana-mana. Tentunya ini adalah jalan paling bijaksana yang bisa dilakukan, bila perusahaan sudah mencapai titik nol dalam angka penjualan,  atau titik minus dalam pertumbuhan laba. Kemungkinan terburuk seperti inilah, yang perlu kita waspadai, walaupun sebisa mungkin kita hindari.

Dalam masa sulit, perusahaan-perusahaan seperti Southwest Airlines, Harley-Davidson dan FedEx pernah tidak mem-PHK karyawannya. Sebaliknya, karyawan diajak untuk menggali kekuatan mereka habis-habisan dan mengupayakan segala daya untuk membuat perusahaannya bertahan ketimbang sibuk mencari lowongan pekerjaan lain. Banyak perusahaan bahkan membentuk loyalitas dan kepercayaan karyawan pada situasi yang sulit. Tentunya sudah sangat basi dan ketinggalan kereta jika kita masih memegang mindset ‘Bagaimana nanti saja…” atau “Kita bangun bila sudah ada kesempatan…”. Saatnyalah kita berpikir untuk “cost cutting” secara agresif, sambil tetap merapatkan barisan, menyusun serta meningkatkan profesionalisme. Dengan melakukannya sekaligus, sesungguhnya kita bisa menabung tenaga, spirit, kekuatan, kepandaian untuk menghadapi  tantangan dan kesempatan baru dengan memanfaatkan sikap proaktif, kreatif dan inovatif.

Retooling dan restrukturisasi tidak bisa dianggap sebagai ancaman, karena perubahan internal sudah harus bersifat sefleksibel mungkin. Langkah seperti “everybody sells”, pembentukan kelompok kerja lintas fungsi, ‘gunting-copot’ individu yang ‘in charge’  tidak bisa lagi dilakukan secara berkala, tetapi harus terjadi setiap saat,  karena kinerja pun perlu dimonitor setiap saat.

{mosimage}

Belajar dan Menjadi Lebih Kuat dari Situasi Buruk

Dari sejarah yang ada, kita semua menyadari bahwa ‘badai pasti berlalu’. Tinggal kita jugalah yang menentukan bagaimana kita akan ‘bermain’di dalamnya. Apakah kita akan mengambil peran sebagai penonton? Sebagai korban? Atau, justru aktif berpikir, berencana, belajar dan menjadi lebih kuat dari situasi buruk. Individu atau perusahaan yang cerdik tentunya akan merangkul teman senasib, karyawan, vendor, mitra bisnis, pelanggan, untuk bersama-sama merapatkan barisan dan berstrategi. Perencanaan yang cerdik bahkan membuktikan adanya pertumbuhan bisnis di seputar keterpurukan. “Contingency plan” yang kita kenal dengan istilah plan B, perlu dilengkapi dengan alternatif-alternatif lain, yaitu Plan C, D, E, dan seterusnya, tanpa meninggalkan fokus dan kekuatan perusahaan. Berada di situasi ‘bawah’ dalam siklus perkembangan ekonomi, kita bisa berkaca pada ‘mercu suar’, yang selalu beresiko diterkam badai, tetapi tetap melihat jauh ke cakrawala dan bahkan berkinerja terus memancarkan sinar alarm-nya.

(Ditayangkan di Kompas, 6 Desember 2008)

articles/kuat1.jpg|center||0||bottom||
articles/kuat 2.jpg

Human Capital

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Berapa persen dari fitur komputer atau telepon genggam yang selama ini Anda manfaatkan? Apakah sudah melewati 50%? Bila memang Anda memanfaatkan mesin tersebut sudah sampai 50%, saya yakin bahwa mesin tersebut sudah mulai terengah-engah ‘bekerja’ untuk Anda. Manusia pun ibarat mesin. Seorang ahli manajemen mengatakan bahwa energi dan kontribusi yang diaplikasikan seorang karyawan di perusahaan, hanyalah sebagian kecil dari kapasitasnya. Perumpamaan manusia vs mesin ini pun sangat mudah dicerna peserta sharing mengenai human capital. Bahkan kemudian sering terdengar olok-olok, seperti: “Mesinnya komplit, tetapi van-belt-nya hampir putus”, atau “Mesinnya sempurna tetapi tidak ada ‘colokan’-nya, jadi percuma mesin itu ada”. 

Bila kita ber-mindset “human capital” maka kita bisa melihat manusia  ibarat sebuah mesin yang berfungsi penuh, tetapi utilisasinya sangat tergantung ‘pemilik’-nya. Sebagai sebuah mesin yang utuh, manusia merupakan satu-satunya mesin yang bisa ‘bergerak sendiri’, bahkan kadang sulit dikendalikan oleh pihak lain, katakanlah operator, kecuali dirinya sendiri. Dialah pemilik mesin itu sendiri.

Saya sering senyum-senyum sendiri bila teman saya, seorang CEO, marah-marah bila menyadari biaya ‘human capital’ di perusahaannya mencapai 65% dari keseluruhan biaya perusahaan. Padahal, beliau sering menyebutkan kalimat klise, bahwa ”manusia adalah aset terbesar di perusahaan kami”. Pada saat demikianlah biasanya kita sadar bahwa sumber daya manusia masih jarang menjadi fokus dan pengelolaan yang optimal, di antara strategi bisnis lain di perusahaan.

Tidak Ada Kurasi Instan

Hal sulit dalam mengelola manusia ini adalah kita tidak bisa melakukan perubahan mendadak, walaupun uang tersedia. Kita bisa dengan segera meregenerasi mesin atau memindahkan pabrik, namun melakukan aksi perubahan pada sumber daya manusia berdampak tidak saja pada biaya tetapi masih banyak lagi aspek kehidupan yang  lebih sulit dikendalikan. Apalagi bila kita sudah menghadapi gejala-gejala khas akibat salah urus manajemen manusia seperti: ‘Too many chiefs no Indians’, yaitu terlalu banyak manager, sementara staf yang di-manage hanya sedikit, atau sebaliknya, langkanya karyawan yang bisa diandalkan sebagai pemimpin.

Gejala ini tidak hanya terjadi pada perusahaan manufaktur di mana bisnis masih di dominasi mesin dan automasi, tetapi juga terjadi pada perusahaan-perusahaan dengan bobot sumber daya manusia yang besar, seperti perusahaan yang menjual jasa seperti bisnis perbankan, konsultasi, engineering. Saat ini biasanya baru kita sadari bahwa upaya bajak, rekrut baru, pelatihan tidak akan mendapatkan kurasi instan. Kita memang perlu memikirkan strategi yang berkesinambungan, berjangka menengah dan panjang, untuk menciptakan ‘mesin-mesin’ manusia yang handal dan kompetitif sepanjang waktu.

Cost Reduction vs Value Creation

Seperti halnya Negara Cina yang beberapa tahun lalu menerapkan upah sangat rendah, kita pun bisa dikatakan berpuluh tahun menikmati ‘tenaga murah’, misalnya buruh dan pegawai negeri. Manusianya pun oke-oke saja dengan kondisi ini, setuju digaji seadanya, efeknya ia tidak menuntut dirinya untuk berkembang, tidak merasa perlu bersusah payah untuk memelihara dan mengasah ‘mesinnya’ agar tidak ketinggalan jaman. Tanpa kita sadari, keteledoran ini menyebabkan lemahnya ‘human capital’ secara menyeluruh dan tidak kompetitifnya sumberdaya manusia kita. Upah rendah itu ternyata berakibat biaya yang tinggi juga. Manusia yang tidak mengembangkan diri akan menghasilkan rendahnya kualitas produk, lambatnya produksi, buruknya servis, yang berakibat pada tidak kompetitifnya hasil. Sementara, biaya per manusia yang menyangkut kesehatan, asuransi, kesejahteraan keluarganya semakin melonjak, sehingga ‘human capital’ yang ada di perusahaan menjadi tidak efektif dan efisien.

Dalam situasi krisis begini, perusahaan memang bisa saja mengurangi biaya sumberdaya manusia. Namun, sebelum mengambil keputusan untuk memangkas biaya-biaya sumberdaya manusia, para employer memang perlu memikirkan akibat yang terjadi di perusahaan seperti pincangnya kompetensi, beratnya beban kerja, hilangnya kesempatan suksesi, macetnya proses investasi di manusia dan membandingkannya dengan mengkalkulasi kekuatan aset manusia ini yang sebetulnya membawa bobot pengetahuan, intelektual, jaringan sosial, servis  dan merupakan ‘added value’ tak terbatas. Seorang ahli berkomentar: ”There’s a floor to cost reduction but no ceiling to value creation”, artinya, mengurangi biaya sumber daya manusia pasti ada batasnya, padahal dengan SDM yang baik, kita bisa melakukan kinerja yang tidak berbatas. Bayangkan kalau di perusahaan kita, bekerja manusia-manusia berspirit kreatif dan inovatif, yang tidak hanya sekedar mempertahankan atau memajukan bisnis tetapi menciptakan bisnis.

{mosimage}

Ciptakan Pabrik ‘Talent’

Charles Coffin, CEO General Electric yang pertama (tahun 1920-an) sudah mengatakan bahwa “GE’s most important product is not light bulbs or transformers but managerial talent “. Kita lihat bahwa ‘Human Capital management’ yang baik, akan memperhitungkan berharganya pengumpulan pengalaman, ekspertis, di samping spirit inovasi karyawannya dalam jangka panjang. Perusahaan yang sukses dengan ‘human capital management’ yang canggih, senantiasa mengkaitkan perkembangan bisnisnya dengan kebugaran ‘human kapital’-nya, ‘memangkas’ yang tidak perlu, mengasah, memelihara, di samping menjaga daya tarik ‘employment’, sehingga selalu mendapatkan bibit-bibit baru terbaik.

Bagaimana dengan kita, si mesin, diantara 220 juta mesin lain di Indonesia? Marilah kita menjadi mesin yang utuh, lengkap dalam diri sendiri, tidak membutuhkan alat bantu untuk ‘dinyalakan’, bisa meng-‘upgrade’ diri sendiri tanpa harus didorong-dorong, kreatif, inovatif  dan fleksibel ditempatkan di lahan mana pun, dan menyusun kekuatan sumber daya manusia Indonesia.

(Ditayangkan di Kompas, 15 November 2008)

articles/talenta1.jpg|center||0||bottom||
articles/talent2.jpg

Gengsi

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saat saya bicara di dalam pelatihan-pelatihan bahwa feedback adalah hal yang unavoidable atau tak terhindarkan untuk perbaikan dan pengembangan diri, hampir selalu saja ada ‘curhat’ dari peserta mengenai banyaknya mereka menemui individu senior yang tidak welcome, sulit atau bahkan meradang saat menerima umpan balik. Saya menduga, bahwa salah satu alasan seseorang sulit menerima umpan balik mengenai kinerja, kesalahan dan pengembangan dirinya, terutama di negara kita ini, adalah lebih dilatarbelakangi gengsi yang besar. Kritik dipandang sebagai sesuatu yang menjatuhkan ‘muka’ dan menurunkan gengsi. Apalagi bila seorang senior berada pada situasi harus bekerja di bawah pimpinan yang lebih muda, pintar namun kurang pengalaman, bisa-bisa makin besar pula kadar gengsinya. Komentar seperti ‘anak kemarin sore’-lah, ‘belum pengalaman’-lah dan banyak alasan lain, seakan tidak memperbolehkan diri kita untuk melihat ke dalam dan berpikir mengenai kapasitas, kompetensi, kontribusi dan komitmen yang selama ini kita tampilkan, sehingga kita tidak dipilih  untuk menjadi pimpinan tim dan dilangkahi oleh yang lebih muda-muda. 

Banyak ahli mengatakan bahwa gengsi adalah dominasi masyarakat Asia. Pada masyarakat Jawa bisa dikonotasikan dengan ‘projo’, oleh masyarakat Cina dekat dengan pengertian “mianzi” (nama baik) dan “lian” (karakter moral). Dalam bahasa Inggris sendiri, memang tidak ada kata yang terlalu tepat untuk  fenomena ‘menjaga muka’ ini, kecuali gabungan antara ‘reputasi’ dan ‘esteem’. Namun, kapan pun dan di negara manapun, setiap orang memang punya kebutuhan untuk menjaga ‘image’ dirinya di depan publik.

Agendakan Bermawas Diri

Andrew Oswald, seorang ahli ekonomi dari University of Warwick, mengatakan bahwa manusia mempunyai nasib untuk selamanya membandingkan dirinya dengan orang lain. Bila kegiatan membandingkan diri ini dilandasi oleh “kerakusan” dan hal-hal yang ada dipermukaan saja, maka individu bisa melakukan tindakan yang salah, berdasarkan analisa pribadinya itu. Tentunya kita ingat cerita klasik, seorang istri membandingkan diri dengan tetangga yang baru membeli motor dan saat suaminya pulang, ia merengek untuk juga dibelikan motor baru, tanpa berpikir mengenai pendapatan, kesempatan dan kemampuan keluarga untuk meningkatkan konsumsi.

Bila kita tidak punya agenda untuk senantiasa ‘mengisi diri’ dan mencerdaskan diri sendiri, sangat mungkin terjadi situasi membandingkan diri tanpa berupaya menganalisa lebih mendalam, kita ulangi lagi dan lagi. Pada akhirnya, analisa-analisa ini bisa bertumpuk dan  berakibat pada kedangkalan berpikir, sehingga kita hanya bisa menumbuhkan “esteem” atau harga diri atau merasa ‘bergengsi’ melalui  hal-hal dangkal dan di permukaan saja, seperti materi, jabatan, fasilitas, serta apa yang dikenakan orang.

Teman saya, adalah isteri seorang ahli perminyakan. Saya mendengar sendiri ia mengomel pada sebuah jamuan makan di rumahnya:”Pah, masa orang lain sudah ganti mobil Maserati, kita masih Kijang Kijang juga…”. Ketika diusut, siapa pengendara Maserati itu, ternyata mereka adalah pemilik perusahaan minyak tempat suaminya bekerja, yang kebetulan bersahabat dengannya. Analisa mengenai pendapatan, pekerjaan, dan kemampuan  yang sangat sederhana ini bisa sulit dilakukan bila kita memang tidak berlatih untuk menjadi lebih ‘dalam’ dan mawas diri. Oleh Oswald, gejala ini disebut sebagai “happiness economics”, di mana kebahagiaan sangat relatif dan bergantung pada kegiatan membandingkan diri dengan orang lain, dari waktu ke waktu, lalu mengakibatkan individu tidak pernah stop untuk meningkatkan kebutuhannya. Bisa saja kita jadi terjebak menghalalkan berbagai cara untuk mengejar kedudukan, kekayaan, namun sekaligus membuat makna kemanusiaan kita hampa.

{mosimage}

Mengangkat Gengsi: ‘Being’ versus ‘Having’

Bila kita mau sedikit mawas diri, tentunya kita sadar bahwa menjaga gengsi, tidak semata berasal sebatas kedudukan, kekayaan dan kepemilikan barang. Ingat saja, bahwa si multibilyuner dolar, Mark Zuckerberg, pemilik  Facebook tidak mendapatkan gengsinya melalui pesta-pesta bermilyar dolar, gonta-ganti mobil, mengejar jabatan dengan menghalalkan segala cara. Ia sekedar anak kos-kosan yang rajin mengulik, berkreasi dan berinovasi, sampai bisa membuahkan produk yang berharga dan populer seantero dunia. Kita lihat, “self image” di mata publik bisa dilandasi oleh beberapa domain penting dalam kehidupan ini, seperti prestasi, pengalaman, kepahlawanan, tata krama, tata bahasa, kinerja, ekspertis, kearifan yang lebih mengarah pada “being” seseorang dibandingkan dengan “having” seseorang. Ini tentunya kabar baik bagi setiap individu yang juga ingin meningkatkan ‘gengsi’- nya tetapi belum tahu darimana sumbernya.

Kita bisa garisbawahi bahwa kita memang perlu senantiasa menjaga kebugaran fisik, intelektual, emosional dan spiritual kita, sebagai modal untuk menganalisa, memperbaiki, mengembangkan diri sendiri, berkreasi, berprestasi, menonjol, sehingga kemudian bisa merespek diri sendiri, lalu menjaga hakikat  “qualities” diri kita sebagai fitur gengsi. Sudah tidak jamannya lagi kita merasa gengsi naik sepeda, ketimbang berkendaraan mobil, dan seharusnya malah lebih bangga bahwa kita bugar menjaga kesehatan. Atau sebaliknya ‘perlu’ memiliki Blackberry seri terbaru, tetapi gaptek dalam menggunakannya ? Menunjang program ‘busway’ adalah salah satu bukti bahwa kita bisa mengangkat harga diri melalui prinsip efisiensi dan efektivitas, di mana kita bisa lebih cepat sampai tujuan tanpa harus bermacet-macet duduk bengong di dalam mobil mewah kita, dengan membayar joki pula. Jadi, manakah yang lebih ber’gengsi’?

(Ditayangkan di Kompas, 8 November 2008)

articles/gengsi1.jpg|center||0||bottom||
articles/gengsi2.jpg

Nothing is Free

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah seminar, pada waktu universitas negeri belum mandiri, seorang mahasiswa yang mengaku kuliah di sebuah universitas negeri besar mengatakan bahwa ia tidak tertarik pada disiplin ilmu yang sedang ditekuninya dan berkeinginan sekali ‘pindah bidang’. Ia terkejut saat saya berkomentar bahwa ia sudah menyia-nyiakan uang Negara. Dengan telah membayar uang kuliah, ia merasa telah melunasi kewajibannya, tidak menyadari bahwa subsidi Negara begitu besar ke universitas-universitas negeri, sehingga uang kuliah yang dibayarkannya sebenarnya tidak masuk akal alias terlalu murah.  

Terkadang kita memang bisa lupa akan tanggung jawab dan kewajiban kita terhadap apa yang sudah kita terima. Tak sedikit orang yang tidak mengerti bahwa hidupnya di dalam suatu situasi, tempat atau negara juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Mungkin kita juga sulit menghitung berapa banyak orang yang tak peduli atau bahkan berusaha untuk lolos dari kewajiban membayar cukai atau pajak, padahal pajak sangat vital dibutuhkan agar pemerintah mempunyai dana untuk membangun infrastruktur, menalangi kesulitan keuangan, membayar utang negara, membiayai pendidikan dan masih banyak lagi.

Sebaliknya, apa yang diterima oleh orang lain, seperti fasilitas, upah, imbalan dan kemudahan, sering juga tidak dimengerti oleh orang-orang yang tidak mendapatkannya. Saya terhenyak ketika cucu saya menanyakan apakah orang berkeinginan menjadi ‘orang penting’ agar bisa mendapatkan kemudahan, seperti diskon, duduk di kelas satu,  menghindari kemacetan dengan gaung sirene? Padahal, bila kita renungkan sejenak, di balik apa yang diterima oleh seseorang pastilah ada ‘harga yang harus dibayar’.

Seorang pembantu rumah tangga saya bercerita bahwa pada usia 6 tahun, ia perlu mencari kayu kering dulu, sebelum ibunya bisa menanak nasi untuk sarapan. Saya jadi ingat ungkapan yang sering disebut-sebut abang  saya semasa kecil, ”Di dunia ini tak ada yang gratis, kecuali  sinar matahari “.  Saya semakin menghayati ungkapan tersebut, ketika akan memasang sumur pompa berkedalaman besar. Ternyata sumur pompa tersebut kemudian dipasangi meter dan setiap kubik air yang tersedot perlu dibayarkan pada pemerintah, karena air tanah pun  adalah milik negara dan perlu dikelola  pemerintah.

Sadari Risiko dalam Setiap Pilihan

Banyak orang, terutama di negara-negara maju, merasa sangat terpukul dengan terpuruknya pasar saham yang setelah ditunggu berhari-hari tidak juga kunjung pulih, bahkan merosot lagi. Pertanyaan  mengenai: ’Kapan pasar pulih lagi?’, ‘Bagaimana pulihnya?, Dan, ‘Tindakan apa yang harus diambil?’ beredar dengan harapan adanya pihak yang menciptakan ‘magic’ dengan mengangkat kejatuhan  yang dibuat oleh sekelompok manusia yang tidak ada puasnya. Kita lihat bahwa yang dialami oleh para pengusaha dan investor adalah keharusan menelan konsekuensi dari resiko yang diambil. Apa pun pilihan yang kita ambil, kita perlu sangat sadar bahwa ada harga yang perlu dibayar. Di Indonesia, ungkapan Sri Mulyani  agar  pada para pengusaha mengurus dan menjaga keuangan perusahaan baik-baik, tentunya menandakan tidak akan ada bantuan ‘gratis’ lagi dari Negara untuk ‘menolong’ pengusaha yang terpuruk.

Dalam setiap peran dan pilihan kita, apakah sebagai wirausaha, pengelola lembaga keuangan, investor, pegawai, pegawai negeri, anggota DPR atau bahkan warganegara, akan senantiasa melekat hak, kewajiban dan konsekuensi serta risiko.  Ada pejabat negara dengan gaji yang cukup,  dihormati oleh public,namun beban yang ditanggung berat dan memerlukan  dedikasi tinggi. Ada yang memilih pekerjaan mudah, namun bayaran dan risiko yang  kecil. Investor yang menginginkan untung yang besar, pastinya juga sepenuhnya sadar bahwa risko keterpurukan yang dialami bisa parah. Selebriti pun membayar kepopulerannya dengan keharusan menjaga penampilan setiap saat,  kemungkinan digosipkan dan hilangnya privasi.

{mosimage}

Menilai dengan ‘Fair’, Membayar dengan ‘Pas’

Saya sungguh terkejut ketika teman saya yang cukup berada, tampak berusaha sekali untuk secara memelas meminta ‘keringanan’ membayar uang pangkal dan uang pembangunan sekolah putra-putrinya. Komentarnya: “Kalau belum dapat diskon, rasanya kurang sreg”. Saya jadi bertanya-tanya, apakah ia tidak menghitung bahwa kontribusi yang diberikannya untuk sekolah akan dinikmati kembali dalam bentuk fasilitas belajar bagi putra-putrinya untuk menguasai disiplin ilmu?  Apakah alasan bahwa masih banyak terjadi penyelewengan dan korupsi, memperbolehkan orang untuk tidak berkontribusi atau membayar yang ‘pas’?

Ketidaksukaan kita untuk berhitung atau menilai,serta meningkatkan kesadaran kegiatan ‘membayar’ sering menyebabkan kita jadi tidak bisa menimbang ataupun menyeimbangkan hak dan kewajiban. Karyawan yang prestasinya biasa-biasa saja, kemudian di akhir tahun tetap menuntut kenaikan gaji karena harga di pasar naik, sebetulnya menuntut lebih dari haknya. Sebaliknya, bila individu berprestasi baik sehingga perusahaan untung, kita semestinya tidak perlu sungkan sungkan mengungkapkan agar perusahaan ingat untuk membayar lebih banyak.

Dari sisi individu, kita sebenarnya perlu menanamkan sikap fair pada diri sendiri dan pada pihak eksternal. Ukuran yang paling mudah sebenarnya adalah uang. Membayar iuran, pajak, tilang  dengan benar adalah latihan yang paling baik untuk meningkatkan ‘awareness’ akan tanggung jawab dan kewajiban kita terhadap pembangunan. Bila hal ini sudah kita lakukan, kita bisa meningkat lebih jauh untuk menghitung ‘harga’ yang harus kita keluarkan untuk mendapatkan hal-hal yang kita inginkan. Misalnya, untuk bisa berprestasi tinggi, kita perlu membayar dengan latihan dan kerja keras, di saat orang lain memilih bersantai. Agar direspek sebagai orang yang anggun dan bisa mendapatkan servis yang baik, terkadang kita harus membayar dengan kesabaran menunggu, mengantri tanpa melakukan suap atau membeli catutan. Untuk mempertahankan pelanggan, tak jarang kita juga perlu membayar dengan mengorbankan waktu, bahkan perasaan. Demikian pula kita  dan perusahaan perlu mematuhi berbagai larangan untuk bisa mendapatkan predikat ‘corporate governance’. Sepanjang kita masih bisa menyeimbangkan diri, dan tidak mengorbankan bahkan menjual  prinsip, kita bisa berjalan lebih tegap , sehat mental dan perkasa bila merasa sudah membayar dengan ‘pas’.

(Ditayangkan di Kompas, 1 November 2008)

articles/nothing free2.jpg|center||0||bottom||
articles/nothing free1.jpg|center||0||bottom||

Katakan “Tidak”

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah pertemuan, beberapa manajer dan pimpinan sebuah perusahaan kecil bertanya pada saya, “Etiskah bila kita menolak permintaan kenaikan honor dan gaji karyawan, di saat perusahaan juga tengah susah seperti saat ini?”. Pertanyaan itu menyadarkan saya kembali, betapa banyaknya dan betapa seringnya kita merasa sulit mengungkapkan ‘kabar buruk’ atau berkata ‘tidak’ pada orang lain. Kesulitan mengungkapkan ‘kabar buruk’ dan ‘berkata tidak’ ini ternyata tidak semata terjadi pada saat kita berada dalam posisi ‘tidak berdaya’, tapi bahkan juga pada saat kita ‘full power’ sebagai atasan ataupun pejabat.

 

Berada di era informasi di mana beragam pilihan setiap waktu dihadapkan pada kita, tentunya menjadikan kita betul-betul perlu serius dan hati-hati untuk memilih dan memutuskan hal-hal yang kita rasa sebagai tindakan yang paling tepat, apalagi dalam situasi sulit yang menuntut kita untuk menghasilkan produktivitas tinggi. Memang, tindakan yang benar tidak selalu populer dan tidak akan bisa menyenangkan hati semua pihak. Tengok betapa pasangan Budiono – Sri Mulyani berusaha meredakan kepanikan di tengah situasi ekonomi yang masih seperti roller coaster seperti sekarang, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan beresiko, yang belum tentu disetujui banyak pihak. Bisa kita bayangkan betapa sulitnya duet karismatik ini ‘menolak’ dan berkata ‘tidak setuju’ dalam rapat-rapat penentuan kebijakannya.

Mungkin hampir semua dari kita, terutama dalam budaya timur kita, setuju bahwa mengatakan ‘tidak’ memang sulit diterapkan karena mengundang rasa kikuk, rasa bersalah, ketegangan bahkan ketakutan akan rusaknya persahabatan dan karir. Itulah sebabnya banyak orang yang tidak memilih mengatakan ‘tidak’ tetapi juga tidak mengatakan apa-apa sehingga tidak ada tindakan yang dilakukan.

Sudah Bisakah Kita Menyatakan “Ya”?

Bisa jadi salah satu kesulitan kita untuk mengatakan ‘tidak’, adalah karena kita juga kadang mengatakan ‘Ya’ untuk sesuatu yang sebenarnya tidak sepenuhnya kita setujui. Maksudnya, kita ‘Iya-iya saja’, tanpa betul-betul mengambil tanggung jawab atau follow up dan komitmen terhadap hal yang kita ‘Iya’-kan itu. Misalnya, kita biasanya tanpa banyak pikir panjang menyatakan ‘setuju’ untuk mematuhi seluruh peraturan perusahaan, saat kita baru bergabung dengan perusahaan tersebut. Saat men-download sebuah software ke komputer, kita pun biasanya tidak mau repot membaca term dan condition yang dipersyaratkan, dan segera meng-klik tanda ‘Setuju’, tanpa memahami isinya. Kita pun biasanya tidak terlalu ambil pusing saat menandatangani ijab pernihakan untuk mengikat janji setia dan saling mencintai.

Teman saya, seorang manajer keuangan, mundur maju bila menolak pinjaman karyawan, ataupun permintaan lain. Ia mengemukakan, “Saya ini terlalu baik untuk jabatan saya. Jadi tidak bisa bilang tidak”. Padahal dalam sikap ‘baik’-nya itu, ia banyak menyetujui hal-hal yang sebenarnya kurang diyakininya. Bila komitmen dan persetujuan yang kita buat betul-betul disadari dan dan dipatuhi, kita pasti akan merasa lebih mantap dan lebih pasti dalam menjalankan tugas dan kegiatan kita. Kita pasti akan lebih ‘ringan’ untuk menolak permintaan, karena kita sudah mempunya ‘daftar’ panjang dari apa yang sudah kita sepakati.

Di beberapa perusahaan, komitmen untuk memegang etika, ‘good governance’ diperbaharui tiap semester atau tiap tahun. Tujuannya semata-mata mengingatkan karyawan agar tetap berpegang pada hal-hal yang sudah disetujuinya, sehingga karyawan ingat untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar apa yang sudah dia ‘komit’. Berkata tidak sebenarnya adalah membuat batas yang jelas antara apa yang kita ‘Iya’-kan dan apa yang tidak kita ingin ‘Iya’kan. Orang akan sulit menolak bila ia tidak bisa membedakan kedua hal ini dengan jelas. Sebaliknya, orang lebih berani menolak, bisa ia tahu bahwa pe-er komitmennya sudah sederet dan harus diselesaikan dahulu.

{mosimage}

Menarik ‘Keyakinan’ ke ‘Kesadaran’

Suatu ketika, seorang teman saya ragu saat ia merasa perlu menolak sebuah proposal dari rekanan yang sebenarnya sangat ia respek. Setelah beberapa saat berkutat dengan kesulitannya mengambil keputusan, akhirnya ia mengajak rekanannya berdiskusi untuk menyamakan persepsi, saling mengecek keyakinan dan mendapatkan ‘common ground’. Pada akhirnya, penolakan yang ia lakukan tidak lagi terasa berbentuk ‘penolakan’, tetapi  menjadi keputusan bersama. Untuk bisa lebih mantap dalam bertransaksi atau mengambil keputusan, kita memang perlu menarik apa yang kita yakini ke kesadaran, sehingga kita bisa sangat ‘clear’ dengan keputusan kita.

Keyakinan bahwa kita tidak selalu benar dan tidak selamanya merupakan sumber kebenaran juga perlu kita tanamkan dalam-dalam. Namun, sikap ini juga harus diseimbangkan dengan keyakinan bahwa kita tidak selalu salah pula. Dengan sikap yang seimbang  ini kita bisa lebih berani bereksperimen dan mengambil risiko, serta lebih siap untuk menghadapi kesalahan atau sikap yang tidak menyenangkan dari pihak lain.

Respek Diri Sendiri maupun orang lain

Ketrampilan mengatakan tidak sebenarnya akan menjamin kesehatan mental dan merupakan suatu nilai yang membuat kita, lingkungan dan dunia kita lebih anggun dan berbudaya. Dengan tidak mengambangkan keputusan, tidak mengulur-ulur jawaban, kita sebetulnya menunjukkan respek kita ke orang lain dan otomatis meningkatkan respek kita ke diri sendiri, karena menghargai waktu dan menghayati urgensi. Respek inilah yang sering tidak kita perhitungkan dalam transaksi hubungan interpersonal. Padahal, dari respeklah kita bisa meningkatkan ‘sense of worth’, kualitas pribadi  kita. Dengan merespek diri kita sendiri dan orang lain, kita bisa lebih jelas memandang masalah di antara kita dan orang lain, kita bisa lebih ‘mendengar’ dan membaca situasi, keyakinan dan kebutuhan orang lain, lebih menggali untuk memikirkan apakah akan menolak atau meng-’iya’-kan suatu tindakan.

(Ditayangkan di Kompas, 25 Oktober 2008)

articles/silent.jpg|||0||bottom||
articles/silent2.jpg|center||0||bottom||

Kontrol Diri

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri 

Semua orang pasti setuju dengan “magic”-nya puasa di bulan Ramadhan. Kekuatan niat yang begitu besar menjadikan kita yang tadinya tidak kuat menahan haus dan lapar di hari biasa, di bulan Ramadhan bisa melakukannya tanpa merasa berat. Bahkan, dengan puasa penyakit malah sembuh, badan terasa lebih ringan. Latihan kesabaran, kegigihan dan keuletan ini memang benar-benar memberi kesempatan pada diri kita sendiri untuk lebih banyak bertakwa, lebih bisa mengelola diri sendiri dan tentunya “naik kelas” sebagai manusia. Suatu latihan yang sangat berharga untuk individu yang memang ingin mematangkan jiwanya!

Tantangan kita, tentu saja, me-maintain kompetensi kontrol diri, emosi dan pikiran ini setelah usai masa Ramadhan. Sayang sekali bila kita kembali ’loss control’, sehingga upaya latihan kita selama Ramadhan tidak kelihatan impact-nya. Misalnya, kita kehilangan kontrol diri lagi dengan kembali memborong barang yang tidak perlu, boros energi, melanggar lampu lalu lintas, terlambat datang ke kantor, sehingga semangat untuk bersabar dan menjadi manusia yang gigih kembali ke titik nol lagi.

Seorang rekan, yang naik bobot badannya 20kg semasa hamil, menjamin bahwa berat badannya bisa kembali seperti sedia kala dalam waktu 4 bulan. Ketika  ditanya kunci kesuksesannya, ia menjawab santai: “Puasa”. Ia mengatakan bahwa dengan berpuasa senin kamis, ia mempunyai kontrol diri terhadap pola makannya. Tiba-tiba ia menyadari bahwa selama ini ia makan berlebihan dan menciptakan mekanisme persepsi terhadap makanan yang beda. Akhirnya pola disiplin dan pola makannya berubah. Ini adalah contoh orang yang memanfaatkan latihan sebagai sarana peningkatan kualitas diri.

Kontrol Diri adalah Senjata Perubahan

Tidak seperti burung-burung yang bermigrasi secara otomatis saat pergantian musim, manusia, mahluk berakal budi paling super di muka bumi ini, memang tidak bisa mengandalkan instingnya lagi untuk berdisiplin. Manusia digerakkan oleh ‘habit’nya. Manusia juga pengambil keputusan yang sangat berbasis emosi, juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, sehingga ia mudah sekali merubah atau melanggar rencananya sendiri. Itulah sebabnya orang bisa memanfaatkan emosi untuk bisnis, misalnya dengan membuat tren, membentuk komunitas, merangsang konsumerisme dan tanpa sadar menghancurkan pertahanan kontrol diri individu.

Untungnya, keunikan individu membuat manusia mempunyai kontrol penuh atas kemauannya, apakah ia akan memenuhi kebutuhannya atau tidak, memilih kapan ’timing’ terbaik, memilih di mana mendapatkannya dan mengontrol dengan cara apa ia akan memenuhi kebutuhannya. Contoh mudah, kita yang sudah berniat berhenti merokok, tiba-tiba ada di kerumunan perokok, yang menawarkan rokok pula. Pada saat ini, keputusan untuk memilih adalah seratus persen disadari oleh individu. Namun impuls, kebutuhan, keinginan individu bisa berkolaborasi dalam melemahkan kontrol dirinya. Pada saat inilah biasanya rasio atau pikiran individu bekerja, untuk mencari alasan pengampunan terhadap pelanggaran dirinya, untuk mengurangi rasa bersalah, sehingga individu tetap merasa ’seimbang’. Situasi ini kita kenal dengan istilah rasionalisasi alias pembenaran. Pembenaran ini semula hanyalah dialog internal. Namun, bila individu berhadapan dengan lingkungan sosial, maka ia akan menyusun cerita pembenaran yang bisa  diterima, sehingga perbuatannya tetap cocok dengan situasi. Disinilah pertahanan kontrol diri bisa bobol dan tanpa sadar, tindakan pelanggaran di-”bela” oleh individu sendiri. Bisa kita bayangkan bagaimana sulitnya berubah tanpa kontrol diri yang kuat. Sebagaimana kita sadari, banyak yang berteori mengenai perubahan tetapi tidak sadar bahwa kuncinya justru ada pada kontrol dirinya. ‘Everybody thinks of changing humanity and nobody thinks of changing himself’ (Leo Tolstoy)


Disiplin sebagai Implementasi Kontrol Diri

Di jaman sekarang, kita jarang menemui orang yang sangat bangga dengan sikap disiplinnya. Bahkan disiplin dikaitkan dengan hukuman, surat peringatan, teguran keras,  bahkan PHK. Padahal ini baru penerapan disiplin ‘kelas kambing’. Bila kita mentaati rambu lalu lintas hanya bila ada polisi, tentunya kita tidak bisa mengaku bahwa kita orang yang berdisiplin. Untuk menjadi seorang yang berdisiplin, latihan-latihan mental untuk mengontrol diri harus dilakukan jutaan kali dan melalui proses yang panjang. Latihannya antara lain menahan desakan keinginan sambil mengevaluasi keyakinan,  memperkuat motivasi dengan membayangkan hasil akhir yang lebih baik, serta mengelola konflik dengan membayangkan konsekuensi pelanggaran versus komitmen yang dibuat. Disiplin memang sering dimulai dari peraturan, tetapi disiplin yang sebenarnya adalah kalau sudah menjadi persepsi tentang hidup atau gaya hidup. Pada tingkat inilah individu baru bisa bangga pada kompetensinya ini dan bisa merasa percaya diri karena mempunyai sikap mental yang benar.

Untungnya Menjadi Orang yang Terkontrol

Banyak orang mencampuradukkan sikap mengontrol diri dengan sikap kaku, keras, tegang  atau terhambat. Sikap ini tentunya sangat berbeda, karena orang yang bisa mengkontrol dirinya, sangat mampu untuk bersikap fleksibel pula. Sementara yang kaku dan terhambat, bisa saja tampil terkontrol, tetapi mudah patah, dan bahkan bisa meledak, lepas kontrol. Orang yang terkontrol biasanya akan tampil tepercaya di pergaulan dan pekerjaan, berintegritas dan yang paling penting, mempunyai daya adaptasi terhadap perubahan. Orang dengan kontrol diri yang baik akan mudah menjadi orang yang inovatif, bahkan dalam pergaulan bisa mengembangkan ‘sense of humor’ dan empatinya. Bagaimana tidak? Orang seperti ini sudah mengalami gemblengan latihan kontrol diri, di luar kewajiban puasa, secara berjuta-juta kali.
 

(Ditayangkan di KOMPAS, 20 Agustus 2008)

articles/control.jpg|||0||top|center|

Kok Bisa?

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mengamati Oscar Pistorius, si 'Blade Runner', juara paraolimpik atau olimpiade untuk penyandang cacad dalam nomor lari 100m, 200m dan 400 m, yang berjuang untuk dapat melawan atlit berkaki normal di Olimpiade Beijing, tentunya kita akan berkata, “Kok bisa, ya?” Ia yang kakinya sudah diamputasi sejak usia 1 tahun, tidak berhenti untuk melakukan hal-hal hebat yang mengundang kekaguman. Banyak hal-hal hebat lain yang terjadi di sekitar kita, yang kita ketahui dari bacaan, tontotan di media massa ataupun kita alami sendiri. Tanpa disadari, melihat hal-hal yang menakjubkan, kita sering ditempatkan pada posisi penonton. Bengong.

 

 

Kehebatan yang kita amati tersebut bisa berdampak dalam berbagai tingkatan dalam kehidupan kita. Bisa saja secara rasional, kita membahasnya, bahkan sampai detil, mengenai apa dan mengapa individu ’hebat’ bisa melakukan hal-hal itu. Kita juga bisa secara lebih dalam, merefleksikan ke dalam diri kita dan menjawab pertanyaan “so what”, bagaimana dengan diri kita? Tentunya yang terbaik adalah bila kita langsung membuat action plan kecil, lalu ‘meniru’ sikap, cara atau kebiasaannya, sehingga kita mendapatkan manfaat dari hasil pengamatan tersebut alias berubah.

Mudah dikatakan memang, namun tak semudah itu dilaksanakan! Mengapa? Pertama-tama, kita sering melihat bahwa kita tidak punya potensi se-’besar’ orang lain. Kita sering merasa bahwa orang-orang hebat mempunyai ’Star Qualities’ yang dibawa sejak lahir. Kita pikir, ‘titik start’ orang-orang hebat itu berbeda. Padahal, Oscar Pistorius saja mengatakan: “Saya tidak melihat diri saya sebagai penyandang cacat”. Ini artinya dia yang kita amati punya titik start minus, malahan mengambil titik start normal. Hal lain yang juga sering menyebabkan kita setidaknya sering menunda upaya keras adalah ketakutan akan perubahan. Oscar meyakini bahwa kemenangannya bukan dikarenakan kaki penggantinya yang berbahan “carbon-fiber” canggih, yang disebut dengan julukan “the cheetah”. Oscar menyatakan bahwa kunci kemenangannya adalah sekedar keinginan untuk senantiasa berubah. Kedua unsur mentalitas ini memang sangat penting untuk dijadikan dasar keyakinan “Can Do” seseorang.

Optimiskah kita?

Dalam suatu pertemuan, seorang peserta bertanya pada saya: ”Apakah anda percaya bahwa hidup ini tidak ’fair’?”. Saya jawab dengan tegas: “Ya, iyalah”. Saya lalu menceritakan padanya betapa saya yang berusia 58 tahun, pernah berada dalam antrian toilet, di belakang 15 gadis belia, tetapi tidak mendapatkan kemudahan. Namun, bila saya memaksa menerobos, bayangkan apa yang akan dikatakan dan dipikirkan ke-15 gadis belia itu. Sama-sama tidak fair, bukan?.

Bukankah semuanya tergantung pada bagaimana kita meyakinkan diri tentang situasi yang kita hadapi? Kita bisa belajar mengatakan pada diri sendiri dengan menyebutkan hal-hal yang bisa kita garap dalam menghadapi situasi sulit. Daripada mengatakan “alangkah tidak beruntungnya saya”, kita bisa lebih berbuat baik pada diri kita sendiri dengan mengatakan “hari ini hasil saya segini”. Tanpa disadari otak kita bisa kita penuhi dengan “Self-Limiting Statements” yang membatasi diri kita sendiri dalam lingkaran ketidakmampuan dan keterhambatan potensi. “Tidak mungkin”, “Mana mungkin”, dan “Tidak bisa” kerap mewarnai rapat-rapat kontra produktif, sehingga tanpa kita sadari kekuatan kita pun semakin berkurang.

“Can-do attitude”: Memberi “Impact”

Teman saya, hampir selalu meng-iya-kan permintaan pelanggan sehingga beberapa rekannya kadang berolok-olok agar ia tidak usah menemui pelanggan saja. “Mengimplementasikan apa yang sudah dia komitkan ke pelanggan, itu yang susah”, demikian komentar teman-temannya. Padahal, tidak bisa dipungkiri bahwa perusahaan menikmati sukses karena komitmen-komitmen yang kompetitif seperti itu. “Bagaimana mau menyaingi perusahaan kelas dunia, kalau ’ini ngga bisa, itu ngga bisa’?”, demikian komentarnya. Astra, ditantang oleh Toyota memproduksi Avanza dalam 2 bulan. Mau tidak mau, mereka meng-iya-kan kesanggupannya, dan ternyata, tantangan itu betul-betul bisa diwujudkan.

Belajar dari bisnis Walt Disney yang tidak ada habisnya, kita juga bisa mengadaptasi keyakinan mereka: ”If you dream it, you can do it. If you believe you can, you probably can. If you believe you won't, you most assuredly won't.”. Hanya dengan “walk the extra mile” saja, kita bisa tampil sebagai perusahaan atau individu yang menonjol. Kita pasti bisa bersikap lebih responsif, lebih cepat, senantiasa bisa diakses, bisa menerangkan proses kerja dengan gamblang, tidak menunda follow up, menyelesaikan sebelum diminta, dan yang paling penting, para “stakeholder” meyakini bahwa kita selalu melakukan perbaikan dan bisa mengalahkan pesaing. “Kalau orang lain bisa, kenapa kita tidak bisa?”

{mosimage}

Belajar “Can Do”

Mungkin pada saat bayi belajar berjalan, ia mulai mempelajari sikap ragu dan kata “tidak bisa”. Pernyataan ini bisa kita pelihara terus sampai mati, bisa juga kita hentikan. Kita bisa meyakinkan diri, bahwa mengungkapan pernyataan “tidak bisa” adalah sebuah “kebiasaan”. Saya sendiri kadang merasa malu bila dalam suatu rapat, saya melontarkan kata ”tidak bisa”, kemudian ada orang lain yang berkomentar:”Kenapa tidak?”. Karenanya, kita sebaiknya menyetop kebiasaan mengatakan ”tidak bisa”, ”tidak mampu”, atau ”tidak mungkin”, sebelum merusak mental kita lebih jauh. Kita bisa gantikan ’ketidakbisaan’ dengan selalu memikirkan jalan keluar yang ’bisa’ kita kontrol dan lakukan. Dengan sedikit tambahan kreativitas, kita akan bisa mencari celah atau jalan lain, bila ternyata apa yang kita upayakan mentok.

Satu hal yang saya pelajari juga dalam bekerja adalah melakukan hal-hal yang “saya banget” alias “do it my way”. Pengalaman saya adalah dengan melaksanakan suatu tindakan dengan cara, gaya dan ketrampilan diri sendiri, berdasarkan keyakinan diri dan profesi sendiri, atau sesuai dengan sistem prosedur perusahaan yang kita hafal dan kuasai betul, biasanya kita merasa lebih mantap melakukannya.

(Ditayangkan di KOMPAS, 30 Agustus 2008)

 

articles/kokbisa1.jpg|center||0||bottom||
articles/kokbisa2.jpg|center||0||bottom||

Berjiwa Pemenang

 

Tanpa menggunakan alat ukur yang reliabel, kita semua bisa membedakan ‘rasa’ di dalam dada kita saat melihat foto atlet Indonesia di halaman muka Kompas memamerkan medalinya dari Ajang Olimpiade, dibandingkan dengan melihat foto model koruptor yang sedang dalam proses ‘didandani’. Rasa yang ’melambung’ bila masuk dalam situasi ‘pemenang’ dan sebaliknya rasa ‘terpukul’ dalam situasi ‘pecundang’ sangat mudah kita bedakan. (Ditayangkan di KOMPAS, 23 Agustus 2008)

Saat situasi ‘pecundang’ lebih sering kita alami, rasa pahit yang bertubi-tubi bisa tergantikan dengan rasa terpuruk, pesimis, bahkan bila tidak hati-hati bisa mengakar menjadi sikap apatis dan cuek terhadap situasi sekitar. Dalam situasi negara yang sulit begini, baik kondisi moral maupun material, mau tidak mau media massa memberitakan realita yang membuat kita sulit menepuk dada kemenangan. Lebih kecut lagi, bila kita sedang tidak beruntung, dan bertemu dengan individu berbangsa lain, yang dengan sinis membeberkan kelemahan bangsa kita, seperti kesenjangan antara kaya dan miskin, konsumerisme orang-orang berduit, lemahnya solidaritas dan korupsi yang merajalela. Menghadapi situasi ini, berat rasanya bisa ‘merasa menang’, mengangkat dagu dan tetap bersemangat pemenang. Pertanyaannya, haruskah kita merasa terpuruk terus, dan menunggu terus sampai keadaan Negara dan ekonomi lebih baik, lebih bersih dan lebih makmur?

Disadari atau tidak, sikap pecundang yang terpelihara seperti ini tentunya akan mempengaruhi kinerja kita dalam porsi yang lebih mikro, misalnya di perusahaan, dan akan mempengaruhi “fighting spirit” kita secara umum dalam bersaing bisnis dengan negara lain. Bisa-bisa kita tergiring oleh lingkaran setan dan semakin tenggelam dalam ke-’pecundang’-an dalam rasa. Vince Lombardi, seorang coach american football legendaris tahun 50-an mengumandangkan: “Winning isn’t everything, it’s the ONLY thing”, sementara kita di sini masih sibuk dengan memenuhi pikiran dengan rasa cemas karena semangat korupsi yang tidak kunjung padam, tidak meyakini bahwa pembayaran pajak akan kembali kepada kesejahteraan rakyat, merasa sulit memprediksi sukses, bahkan menyembunyikan perasaan’kalah’ dengan bersikap jumawa. Kita semua tahu bahwa bersemangat pemenang itu positif, namun demikian kita tidak gampang memenangkannya tanpa upaya.

Pemenang yang Sehat Memperhitungkan Kekalahan

Teman saya, anak sulung harapan keluarga, selalu ‘dimenangkan’ oleh orangtuanya dan kebetulan jarang sekali menghadapi kegagalan, baik dalam pendidikan, berorganisasi dan aspek kehidupan lainnya. Keadaan menang terus-menerus ini menyebabkan ia tidak akrab dengan kekalahan. Sebagai akibat, sikapnya jadi tidak mau menghadapi kekalahan, apapun aturan dan konsekuensinya, alias “tidak mau kalah atau mengalah”. Teman kita ini memang sering menang, tetapi ia belum mempunyai “mindset” pemenang yang sebenarnya, karena ia tidak siap kalah. Orang seperti ini bahkan ada yang bisa menghalalkan segala cara demi mempertahankan posisi pemenangnya.

Orang yang berusaha menang secara obsesif semata untuk mendapatkan penghargaan, menghindari rasa malu, biasanya tidak bisa mengatur enerji, sehingga dalam situasi kalah ia tidak siap bahkan menunjukkan kemarahan. Mungkin kita masih ingat betapa petenis juara, John McEnroe, yang mengekspresikan kemarahannya dalam banyak situasi pertandingan yang bermasalah baginya, sehingga mengesankan dirinya bukan sebagai pemenang tetapi justru pecundang. Kita perlu sadari bahwa sikap pemenang tidak selalu membawa kemenangan, tetapi justru kita perlu tetap mempertahankan “mindset” pemenang dalam situasi apapun.

Menang yang sebenarnya adalah termasuk memperlihatkan komitmen, kebesaran jiwa dan penghargaan terhadap aturan, aturan main, sistem dan prosedur yang sudah dibuat. Komitmen terhadap semua konsekuensi yang perlu ditanggung, menyebabkan kita bisa berangkat ke suatu situasi dengan sensasi dan memori positif, sehingga dampak emosi positif ini berubah menjadi energi positif. Inilah mindset pemenang yang sebenarnya.

Berniat Benar, Bergerak, Bertindak

Ayah saya selalu mengingatkan, bahwa sejahat-jahatnya perbuatan seseorang, pada dasarnya manusia normal itu ingin melakukan hal-hal yang benar dan baik, bukan karena diperintahkan, tetapi memang secara natural mempunyai sikap demikian. Kenyataan ini sebenarnya cukup menjadi dasar semua keyakinan kita untuk senantiasa merasa kuat, benar dan baik, terlepas dari apakah situasi yang kita hadapi kondusif atau yang kurang menguntungkan. Namun, sikap merasa berniat benar ini saja belum cukup. Tengoklah betapa banyak orang, penulis, kritikus, politikus, ahli-ahli yang betul-betul merasa benar, namun tidak menyambung perasaan ini dengan komitmen untuk berusaha, berubah, bertindak, mengubah kebiasaan diri, orang lain dan membangun sukses. Sebuah kalimat bijak mengatakan: “Winners actually SEE their success BEFORE it happens”, tetapi melihat saja tidak cukup. Untuk menang atau mempunyai jiwa pemenang kita harus bergerak, bertindak, dan “masuk” ke lapangan, bukan menjadi penonton saja.

Semangat Pemenang Perlu Dipelihara

Dalam penutup email dan smsnya, seorang teman sering menuliskan kata penyemangat pada rekan-rekan kerjanya. Semula saya sendiri kikuk menerimanya, tetapi lama-kelamaan timbul emosi positif dan semangat menularkannya juga ke orang lain. Tanpa kita sadari kata-kata bisa sangat “powerful” untuk membangkitkan mindset pemenang, karenanya perlu dipilih secara hati hati.

Kita juga perlu memelihara semangat pemenang ini dengan berlatih berada di bawah tekanan. Target penjualan yang ditingkatkan terus, tingkat kesulitan pekerjaan yang ditambah, berjuang untuk jabatan yang lebih tinggi, adalah upaya untuk membiasakan diri menguatkan mental dan mempertebal kepercayaan diri untuk menghadapi kesulitan yang tidak kunjung berhenti.

Hal yang juga senantiasa perlu ditemukan individu dalam kehidupan berkarya adalah perasaan bangga atas hasil kerjanya, di mana seorang tukang sapu harus sama bangganya atas hasil sapuannya seperti Michelangelo bangga terhadap hasil sapuan kuasnya.

(Ditayangkan di Kompas, 23 – Agustus – 2008