Kita Memang Beda

 

Kalau ada dua orang berhadapan, saling menatap, dan kemudian salah satu mengambil kesimpulan: ”Kita beda”, maka menurut pendapat saya, justru mereka sebetulnya sudah menemukan kesamaan. Di sinilah persepsi mengenai perbedaan dan persamaan akan terasa keindahannya, karena masing-masing individu yang berhadapan itu sudah “menemukan dirinya”, keunikannya, dan bahkan “value adding”-nya, sebagai manusia yang utuh. Itulah sebabnya kita memang perlu berbangga dengan semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika; kesamaan dalam perbedaan, yang sampai-sampai oleh DJ Romy, cucu Soekarno juga dijadikan tema album terbarunya: “Unity in diversity”.

 

Namun demikian, meski kita sering mengakui bahwa perbedaan itu indah, begitu sering juga kita tidak melihat perbedaan sebagai suatu kekayaan. Pikirkan betapa sering kita ‘buang muka’ bila menemukan orang yang berbeda pandangan dengan kita, bergosip di belakang orangnya, membahas mengapa dia beda, dan bahkan kemudian kita mulai melakukan manuver-manuver penyerangan seolah dia atau mereka itu musuh bebuyutan yang harus dibasmi. Di dalam rapat kita sering menemui jalan buntu sekedar karena berbeda pendapat mengenai cara pemecahan masalah atau cara meraih sasaran yang sebetulnya adalah sasaran bersama. Dalam kondisi begini, ternyata perbedaan membuat kita tidak nyaman dan bahkan membangkitkan suasana permusuhan. Alih–alih menyamakan visi dan sasaran, berbicara pun sering tidak kita upayakan, bila sudah terjebak dalam konflik yang disebabkan adanya perbedaan. 

SAMA TAPI BEDA

Sikap ‘jijik’ terhadap perbedaan adalah sikap yang mutlak salah, karena dengan demikian kita lupa bahwa kesamaan bisa membuat kita justru miskin dan tidak berkembang. Kesamaan latar belakang, pendidikan, kompetensi, dan komitmen yang sering membuat lingkungan kita ‘nyaman’, terkadang justru membuat kita jadi tidak bisa menggerakkan suatu tim. Mereka yang bisa menampilkan keberbedaaannya, kemenonjolannya, dan keunikannya-lah yang kemudian malah bisa mulai memberi nilai tambah kepada tim.

Pemahaman mengenai kesamaan dan perbedaan sesungguhnya adalah dasar untuk mengolah sebuah tim yang berkekuatan besar. Tanpa menyamakan persepsi, misalnya mengenai situasi yang sedang kita hadapi, perilaku yang muncul, serta kekuatan dan kelemahan yang ada, kita tidak bisa mempunyai dasar untuk tinggal landas. Padahal, bukankah suatu situasi yang sama sering dilihat dengan pendekatan yang beda? Individu yang satu melihat detilnya, sementara yang lain melihat keseluruhannya. Ada individu yang banyak melihat, ada individu yang lebih ‘mendengar’, sementara yang lain lebih dominan perasaannya dalam mendekati suatu gejala dan fenomena. Belum lagi, pandangan dua orang yang akan berbeda total bila yang satu melihat dengan kepentingan jangka pendek, sementara yang lain melihat dengan kepentingan jangka panjang.

Penyamaan persepsi ini sebetulnya terjadi pada setiap manusia dewasa yang berniat dan mampu melihat suatu gejala secara obyektif. Tanpa kemampuan ini, individu akan mencampuradukkan keyakinan, nilai dan visinya dengan perbedaan pandangan pihak lain, sehingga individu lain dianggapnya berseberangan. Di sinilah kemudian, kelompok bisa tidak sejalan satu dengan yang lain, divisi A berkonflik dengan divisi B, partai politik berseteru satu dengan yang lain, akibat ketidakmampuan melihat kepentingan bersama, visi dan tujuan bersama yang sebetulnya sama.

MULAI DENGAN MEMOTRET DIRI SENDIRI

Ilmu “emotional intelligence” mengajarkan pada kita untuk meningkatkan ’self awareness’ kita dulu, bila kita berharap untuk mampu menguasai situasi sosial atau mempengaruhi orang lain. Ini adalah bagian dari ‘eksplorasi mental’ yang perlu kita lakukan dengan sengaja. Tanpa melakukannya, kita akan tumbuh menjadi orang yang kian picik, karena tidak bisa memanfaatkan keberbedaan yang berangkat dari analisa diri dan situasi yang obyektif. Banyak istilah seperti “test the water’, ‘feel the breeze’ yang kurang lebih artinya adalah menajamkan sensor untuk memahami diri dan situasi sekitar kita.

Cara yang paling mudah untuk ’memotret diri’ ini adalah dengan membandingkan diri kita dengan orang lain, memahami kesamaan, terutama persepsi dan pemahaman, kemudian mengidentifikasi keunikan serta keberbedaan orang lain. Hanya dengan ketajaman mental seperti ini kita bisa mengembangkan respek terhadap orang lain. Dalam proses eksplorasi mental ini, kita pasti secara otomatis ingin merasa benar, ingin membela diri dan bahkan ingin meneruskan cara-cara kita yang lama dan yang sudah ada. Hal ini sangat manusiawi karena manusia memang dibekali proses mental untuk menjaga keseimbangan jiwanya. Namun demikian, orang yang ingin memperkuat mentalnya, perlu juga melakukan ‘judging, comparing, interpreting, anticipating, rehearsing’, yang artinya mengolah input yang masuk dan mencocokkannya dengan realita, mencari kebenaran dan mengambil resiko bahwa ada kemungkinan ia harus berubah. Hanya dengan cara inilah kita sebagai manusia, berkembang menjadi manusia yang berpikiran fleksibel dan berpikiran terbuka dalam menghadapi tantangan..

BAYANGKAN KALAU KITA SAMA SEMUA

Kalau kita, di dunia ini sama semua, maka pastilah kita akan merasa seperti robot ciptaan manusia yang sudah diberi bobot emosi, seperti yang digambarkan lewat film-film science fiction yang marak sekarang. Berbedanya bakat, latar belakang, pendidikan, dan kompetensi lainnya adalah kekayaan keluarga, kelompok, bahkan Negara. Perbedaanlah yang memungkinkan kita bisa saling melengkapi kekurangan satu sama lain, hingga terciptanya sinergi. Hanya saja memang perlu diakui bahwa menonjolkan keberbedaan alias keunikan kita tidaklah mudah.

Kita tentunya tidak bisa berperilaku aneh-aneh untuk mengekspresikan keberbedaan kita. Kita pun tidak bisa berkoar-koar menonjolkannya. Kita tahu bahwa kita memang perlu mengekspresikan bahwa “saya adalah saya”, sementara “saya” ini mempunyai nilai, keyakinan, kompetensi dan sasaran sendiri. Satu-satunya jalan bersikap dewasa adalah dengan sedikit mengambil ‘jarak’ terhadap diri dan memperbolehkan diri kita sendiri atau siapa saja meninjau kembali, mengetes lagi, kompetensi, nilai, keyakinan kita. Bukankah keyakinan juga bisa salah dan nilai pun bisa usang? Untuk Negara dengan 12000 pulau dan ribuan suku bangsa yang ingin bersatu, dengan 33 partai politik peserta pemilu 2009 yang disahkan , keterbukaan inilah yang mutlak diperlukan: Bhinneka Tunggal Ika. ….Merdeka!!!

Komitmen

 

Tanda bahwa sebuah organisasi sudah mulai tidak efektif adalah kalau karyawannya sudah tidak lagi ingin kompak satu sama lain. Seorang eksekutif HRD menceritakan betapa karyawannya masih harus ditakut-takuti dengan absensi kehadiran, agar mau terlibat dalam kegiatan ataupun meeting yang tidak langsung berdampak ke pekerjaan, seperti donasi, fun activities, atau meeting bipartite. Memang, para karyawan tidak sampai saling memukul, baik dari belakang maupun depan, tidak saling menghina ataupun tidak menyatakan tidak percaya satu sama lain. Secara kasat mata, hubungan interpersonal kelihatan harmonis. Namun, bila perlu adanya koordinasi, katakanlah, crash program, pembenahan kantor ataupun program yang sifatnya non-kritikal tetapi perlu dikeroyok rame-rame, barulah terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi seolah sulit sekali diatur dan diimplementasikan ke dalam kegiatan yang terarah. Disinilah sesungguhnya kita bisa menyaksikan ketidakefektifan sebuah organisasi.

 

Banyak sekali ribut-ribut di perusahaan yang diakhiri dengan komentar: “Ini cuman masalah komunikasi, kok…” Kita banyak lupa bahwa tidak efektifnya komunikasi merupakan “dosa” manajemen yang sangat besar. Hasil yang kita telan dari tidak efektifnya komunikasi adalah karyawan tidak ter-”konek” dengan misi perusahaan, merasa “tertinggal dalam gelap” dan tidak memahami bagaimana berpartisipasi dan melibatkan diri secara sesuai. Tidak efektifnya komunikasi ini, dalam keadaan parah bisa tidak terdeteksi lagi. Yang terlihat justru pada tidak berkomitmennya setiap bagian, individu atau kelompok terhadap apa yang sudah di-”iya”-kan, dijanjikan atau direncanakan. Lebih parah lagi, bila komitmen terhadap”deadline”, waktu, kuantitas tidak bisa di-“nyatakan” lagi. Semua rencana dan tindakan hanya bersifat mengambang. Di sinilah kita perlu waspada terhadap matinya spirit perusahaan atau lembaga karena sakitnya komitmen.

Dari Komitmen ke Laba Perusahaan

Sudah tidak jamannya lagi orang menomorduakan komitmen karyawan di dalam pertimbangan pengembangan organisasi, karena jelas-jelas komitmen karyawan sudah menjadi daya saing utama dalam binis. Komitmen bisa terlihat dalam beberapa bentuk. Kita bisa lihat komitmen berkelas rendah karena individu butuh “memperpanjang” karirnya di perusahaan dan tidak punya pilihan lain dalam karirnya, yang sering disebut sebagai ‘continuance commitment’. Ada juga individu yang komit demi loyalitas, kedisiplinan dan kepatuhannya pada perusahaan, atau komitmen yang bersifat normatif. Orang yang komitmennya normatif akan melakukan segala sesuatu yang diperintahkan organisasi, walalupun tindakan tersebut belum tentu sesuai dengan keinginan pribadinya. Perusahaan sebetulnya perlu memancing sebanyak-banyaknya komitmen afektif, di mana passion dan kesungguhan individu untuk berkontribusi, mengkompakkan diri berlandaskan kesamaan pemikiran, sasaran dan idealisme profesinya dengan perusahaan.

Komitmen sampai level afektif dan passion ini tentunya tidak didapatkan secara gratis karena sesungguhnya bermula dari kemudahan, konsistensi dan kejelasan sistem dan prosedur di perusahaan. Kejelasan aturan main menjadikan karyawan bisa mengandalkan dan berpegang pada aturan. Dalam perkembangannya, karyawan jadi bisa tahu di mana ia bisa “ikut bermain’ dan menikmati pekerjaannya, bahkan memperbaiki kinerjanya dari waktu ke waktu. Hanya dalam tingkatan inilah komitmen karyawan perusahaan bisa terasa oleh pelanggan, sehingga pada akhirnya pelanggan pun komit untuk berbisnis dengan perusahaan. Bila sudah mencapai tingkatan ini, perusahaan baru bisa mengeruk keuntungan bermodalkan komitmen karyawan. Kita sebagai nasabah tentunya senang berbank dengan bank yang karyawannya jelas-jelas bekerja keras, berkinerja dan berjuang demi kepuasan nasabah dan kesuksesan perusahaannya, ketimbang bank yang santai dan tidak mengejar sasaran yang jelas.

Komitmen : Penyatuan Risiko dengan Tindakan

Menurut para ahli, komitmen sangat berbeda dari janji atau sekedar pelaksanaan kewajiban. Kewajiban berasal dari otoritas eksternal, sementara komitmen berasal dari dalam diri seseorang. Selain itu komitmen mengandung bobot yang jauh lebih tinggi, karena berkomit berarti menyadari dan bersedia menerima resiko tindakan yang sudah diputuskan untuk diambil oleh individu. Bila seorang ahli bedah sudah berkomitmen untuk menyelesaikan suatu kasus, ia akan berusaha sekuat-kuatnya untuk menyembuhkan si pasien, apakah melalui tangannya sendiri ataupun dengan bantuan ahli lain. Demikian pula, seorang kepala cabang yang sudah berkomitmen untuk mencapai level KPI (key performance indicator) tertentu, akan serta merta mengerahkan segala upaya untuk mencapainya. Tentunya ada resiko ia tidak disukai oleh anak buah, karena anak buahnya didera untuk bekerja keras. Namun, tanpa pengambilan resiko tersebut, komitmen atasan akan terasa hampa, ringan tidak bertenaga. Di sini, komitmen justru memberi “flavor” pada kerja keras kelompok.

Dalam sebuah kelompok kerja, komitmen akan terasa bila individu dalam kelompok mau “tune in”, mendukung “action”, bersedia untuk di-“expose”, siap bertanggung jawab terhadap tugas, dan bahkan ikut serta dalam menghandel dilema yang pasti muncul dalam mengembangkan tugas. Dari sini jelas kita bisa melihat bahwa gejala “loh kok saya?” atau ‘bukan saya, pak…’ tidak laku, karena sikap defensif hanyalah pertanda bahwa komitmen individu tidak ada.

Komitmen itu Pilihan

Beda tipis dengan kepatuhan dan kewajiban yang normatif, komitmen afektif adalah sepenuhnya pilihan individu. Individu yang memilih untuk komit biasanya sudah melalui proses pertimbangan terhadap kebutuhan dan visinya sendiri dan juga sudah yakin akan dampak sikapnya. Karena itu, individu yang berkomitmen tinggi, bisa memberikan “impact” yang lebih besar di pekerjaan, lebih persuasif, lebih terbuka terhadap kemungkinan dan kritik. Pilihan perilaku yang diambil seseorang yang berkomitmen pun akan diarahkan pada dua hal yang sangat penting, yaitu mendukung dan mengembangkan, karena hanya dengan sikap seperti inilah kelompok dapat maju dan mencapai tujuan yang sudah sama sama dipahami.

Komunikasi mengikuti “The 51% rule”

Rapat-rapat yang diikuti oleh orang-orang berkomitmen tinggi akan memakan waktu jauh lebih singkat daripada bila individu peserta rapat ragu akan komitmennya. Untuk membuat peserta lain ’hadir’ dalam tantangan yang sedang dibicarakan, seorang ahli komunikasi membuat formula yaitu bila setiap orang yang sedang berkomunikasi, yang sudah pasti harus dua arah, mengambil 51% tanggung jawab terhadap keberhasilan komunikasi dan follow up-nya, maka komunikasi pasti akan dipenuhi oleh spirit komitmen yang utuh. Hanya dengan cara inilah kita bisa mengejar “the extra mile” dan menikmati pekerjaan.

Menerobos Masa Depan

 

Seorang tokoh yang mencalonkan diri menjadi presiden menyapa saya dan bertanya mengenai komentar saya mengenai fakta bahwa ia mencalonkan diri sebagai presiden. Saya betul-betul membutuhkan waktu untuk mencerna apa dan bagaimana kriteria seorang presiden, sampai saya akhirnya berkomentar menyatakan kekaguman saya pada keberanian dan kesiapannya. Ia tentunya sudah merencanakan terobosan-terobosan, inovasi dan solusi bagi keadaan negara yang sangat kompleks dan besar ini.

Kita sadari bersama bahwa selain krisis energi di tengah kekayaaan sumberdaya yang belum termanfaatkan seperti air, angin, laut, kita sudah menghadapi masalah-masalah seperti emisi karbon yang harus di stop, sementara konsumsi mobil meningkat terus. Biaya pengobatan pun kini sudah tidak terkendalikan mahalnya dan tidak bisa di tanggung oleh kebanyakan orang lagi. Masalah kemiskinan yang diduga sudah mencapai titik nadir, tetapi tetep anjlok lebih dalam dan lebih dalam lagi. Belum lagi bicara terorisme yang selain membunuh orang juga mematikan bisnis dan kesejahteraan rakyat, seperti kejadian di Bali. Pe-er para pemimpin tentunya tidak berpolitik saja, tetapi juga melakukan hal-hal ‘back to basic’, program-program ‘fusion’, atau bahkan membuat ‘quantum leap’, banting stir, tidak sekedar mereplikasi upaya yang ada tanpa perbaikan, sementara juga membuat proses yang ada berjalan lancar tanpa hambatan. Mungkin tepatnya, pemimpin perlu punya kompetensi super istimewa, seperti memperbaiki mobil dalam keadaan sedang berjalan. 

Generasi yang Menggerakkan Masa Depan

Bicara masa depan, tentulah tidak bisa dihindari, mata kita tertuju pula pada generasi yang baru. Berkat jasa para pendahulu, kita sekarang berada pada generasi yang lebih berfasilitas dan lebih berpendidikan dari sebelumnya. Perubahan kilat dan daya tahan untuk menghadapi kompleksitas hidup pun sudah meningkat. Kita sudah punya akses ke informasi apapun dan juga terkoneksi ke mana pun.

Ada yang mengatakan bahwa generasi sekarang sudah tidak setangguh generasi dulu. Generasi sekarang tinggal menikmati apa yang sudah dilandaskan oleh generasi pendahulu. Padahal kita mengenal ’Gen Y’, anak muda sekarang, jauh lebih kreatif, inventif, tahu bagaimana menikmati dunia dan kebebasan. Kreativitas, inovasi serta pikiran bebas sudah menyebabkan generasi baru sudah “beda” dengan generasi lalu. Tanpa terasa”alih generasi” sudah terjadi. Karakteristik ini tentunya menjadi kekuatan untuk menanggulangi abad ke-21 yang sudah di depan mata. Sekaranglah saat-saat perpindahan tongkat estafet, di mana semua hasil karya pendahulu bisa kita nikmati dan perlu diteruskan dengan upaya yang lebih keras, kreatif dan “beda”. Kalau tidak kita akan terjebak di dalam vakumnya kepemimpinan dan bingung antara mengikuti spektrum lama dan sibuk melakukan penyanggahan, komplen, meratapi keterbatasan dan berontak. Kitalah yang perlu membawa lingkungan untuk menanggapi tantangan abad selanjutnya, menemui kesejahteraan bentuk baru. Dengan adanya darah baru kita sebetulnya bisa berharap akan langkah-langkah yang segar, positif, penuh inspirasi sehingga kekuatan intelektual dan sosial yang berasal dari generasi muda menjadi motor penggerak bangsa.

Kita pun bisa dengan mindset “out of the box” mengembangkan “inside the box” kita. Sebagai inspirasi, kita bisa tengok Thailand, yang area istananya ‘dipenuhi’ dengan laboratorium laboratorium yang menjadikan kita dapat menikmati durian munthong secara murah meriah, menikmati beras impor Thailand, bahkan mengimpor iklan karena profesionalisme pembuatan iklan yang diriset dari istana. Negara tetangga kita yang lain, Malaysia, yang meskipun garis pantainya begitu pendek, sedang gencarnya mengembangkan ‘marine agriculture’ atau inshore aquaculture. Mengapa kita yang punya garis pantai kedua terpanjang di dunia, luput mengembangkannya?

Menyambut Tantangan dengan Tindakan

Presentasi para manajer di perusahaan baik di dalam rapat kerja atau analisa penjualan atau bisnis yang kerap menggambarkan kekuatan dan kesempatan di satu sisi, ancaman dan kelemahan di sisi lain, atau SWOT, sering menjebak kita semua untuk berkubang dan memelototi kelemahan diri dan tidak berusaha keluar dari sumur kubangan tersebut. Pendekatan “positive psychology” mengajurkan agar kita hanya menggunakan analisa ancaman dan kelemahan sebagai langkah awal. Kemudian, ‘sejarah’ itu kita simpan baik-baik di belakang untuk berfokus pada S-O-A-R (strength, opportunity, action, result), yaitu masa depan, action dan hasil. Pendekatan seperti ini akan membawa kita dari intelektualisme menuju aktivisme, berorientasi pada gerak sehingga membawa aura “dinamisme”. Kreativitas pun akan dimanfaatkan betul-betul untuk menyambut tantangan. Konsentrasi pada action dan result ini juga lebih cocok untuk generasi sekarang yang cenderung lebih instan dan ingin “menyaksikan hasil” dengan cepat.

Keaktifan Menerobos akan Membawa Hawa Baru

Greget untuk menuju pada kemajuan, baik ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, lingkungan ataupun kualitas hidup lainnya, dalam kondisi “constant change” dan kompetisi, tidak-bisa-tidak tetap perlu dibawa ke depan. Untuk itulah pemimpin butuh visi, strategi dan komitmen yang super kuat. Kesenjangan yang sedang digarap bukanlah sekedar kesenjangan antara masa sekarang dan masa depan, tetapi juga kesenjangan antara masa depan dan komitmen pemimpinnya, antara tindakan yang sudah dibuat dengan keadaan “turbulence” selanjutnya, yang disebut seorang ahli sebagai “Energetic Gap”, yaitu kekuatan energetik yang menembus terciptanya suatu program yang mantap dan antisipatif dari sesuatu yang, tidak usah selalu baru dan banyak ongkos, tetapi belum pernah terpikirkan.

Gaya pemimpin yang berorientasi paternalistik dan berangan-angan menjadi panutan bagi anak buah rasanya sudah kurang cocok dalam situasi sekarang di mana stakeholders, anak buah, pelanggan sudah ‘sama pandainya’ dengan para pemimpin. Satu-satunya jalan yang dimiliki pemimpin untuk menggerakkan dan mencatat sukses adalah dengan mengajak, mencontohkan kegiatan belajarnya, dan mengakui ketidakbisaannya dengan jujur dan transparan. “Learning” buat para pemimpin perlu menjadi nafas dinamikanya, di mana perlu didorong “blur the line” antara learning dan kerja. Pemimpin yang baru perlu tahu memanfaatkan kompetensi teknis baru pada proses-proses yang berjalan sekarang dan dengan serius mengembangkannya baik di dalam laboratorium maupun dalam diskusi-diskusi sehingga hasil olahan tersebut menelorkan program-program pembenahan, campuran atau yang sama sekali baru. Pemimpin pun perlu sangat transparan akan sasaran dan harapannya, karena hanya dengan pemahaman yang kuat dari para pengikutlah enerji yang dibutuhkan untuk bergerak bisa menyala dan tumbuh.

Organisasi Pembelajar

 

Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu ’praktis’, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen untuk karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut, dalam acara ’kick-off’ program, menanyakan pada saya mengenai ’agenda’ top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, bagi beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan ’learning organization’ dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk ’memintarkan’ karyawan ini, masih dipandang aneh. 

Sebuah perusahaan yang sukses, namun kegiatan manajemennya dipandang terlalu ’praktis’, menyelenggarakan program bisnis dan manajemen untuk karyawan, yang dilakukan ekstra di malam hari seusai aktivitas kantor. Salah satu peminat program tersebut, dalam acara ’kick-off’ program, menanyakan pada saya mengenai ’agenda’ top manajemen dalam mengadakan program ini. Ternyata, bagi beberapa karyawan di perusahaan yang sudah mencantumkan ’learning organization’ dalam falsafah perusahaannya selama hampir 10 tahun, program yang beragenda untuk ’memintarkan’ karyawan ini, masih dipandang aneh. 

Di tengah dunia yang kini menjadi begitu kompetitif dan terus berubah, di mana akses informasi menjadi sangat berlimpah dan terbuka, kita semua makin sadar bahwa hanya individu dan organisasi yang senantiasa belajar-lah yang bisa survive. Namun, sekedar menambah kelas training atau mengirimkan sejumlah karyawan untuk sekolah, nyata-nyata tidak semata lantas membuat organisasi menjadi ’learning organization’. Sebuah lembaga pemerintah bergengsi, yang secara terprogram membiayai karyawannya untuk meningkatkan gelar pendidikan ke jenjang S2, bahkan sangat lumrah sampai ke jenjang PhD, dan sangat rajin mengirimkan para ahlinya ke luar negeri, tetap belum dapat digolongkan sebagai ’learning organization’ karena budaya belajarnya tidak kelihatan dari luar, maupun tidak terasa di dalam.

Menurut para ahli “In a learning organization, when one of us gets smarter, we all can get smarter”. Ternyata, dalam organisasi pembelajar, tidak semua orang harus belajar, tetapi proses pembelajaran akan menular tanpa terasa dan perlahan namun pasti pencerdasan sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi tanpa perlu formalitas belajar secara harafiah. Bisa kita bayangkan, kalau dalam sebuah organisasi saja proses pembelajaran formal dan non-formal yang sudah diupayakan mati-matian masih sulit terlaksana, bagaimana nasib sebuah negara yang tidak serius mendesain proses pembelajaran bangsa?

 
Organisasi Pembelajar:Hasil ‘Shared Experiences

Dari beberapa organisasi pembelajar yang sukses, kita bisa mem-benchmark beberapa praktik yang sebetulnya sudah kita laksanakan, walaupun belum sistematis. Dalam organisasi pembelajar yang sudah jadi, saya amati individunya menampilkan tindakan yang lebih terkontrol dan kata-katanya tidak sekedar ‘asbun’ (=asbun), namun lebih bisa dipertanggungjawabkan, terkait ‘lesson learned’ dan informasi kunci untuk menampilkan pemikiran terbaiknya. Yang jelas, setiap individu di dalam perusahaan menampilkan sikap “tidak pelit ilmu” dan juga meyakini bahwa kompetensi seperti sikap, nilai, dan ketrampilan juga bisa ditularkan pada orang lain.

Suasana dalam organisasi pembelajar tidak mucul dalam suasana ‘sinau’ (=belajar intensif, bahasa jawa), namun lebih tampak pada diskusi seru, komunikasi intensif, keinginan untuk updating, serta rasa haus akan kesempatan belajar. Pertanyaan-pertanyaan seperti: “Darimana kamu dapat ide itu?”, “Bagaimana sih caranya?”, “Bagaimana kalau…”, berkumandang di rapat-rapat, yang membuat setiap orang di perusahaan seperti berada di sebuah laboratorium raksasa yang tiada hentinya menyambut tantangan yang berasal dari masalah dan kesempatan yang terlihat. Kegagalan atau hampir gagal dan kesuksesan di lapanganlah yang menjadi fokus untuk memperoleh “lesson learned”, bukan semata teori.

Organisasi boleh berharap menjadi organisasi pembelajar, bahkan mengeluarkan banyak biaya untuk mendukung pelatihan  dan bentuk program pembelajaran lainnya, tetapi kalau suasana kerja tidak “customer friendly”, kaku, tidak mampu melakukan komunikasi yang ‘menembus’ divisi, doyan berpolitik, berperilaku tidak sejalan dengan misi perusahaan alias penuh birokrasi  dan masih sibuk mementingkan kebutuhan pribadi, semua upaya akan percuma. Tampaknya, organisasi pembelajar tercipta hanya bila suasana kerja mendorong “pengembangan pribadi” dan “personal mastery” secara utuh, menyemangati kerja tim, memberi kesempatan untuk “problem solving” dan mengupayakan evaluasi yang jujur dan tulus.

Senantiasa Tumbuhkan Aura ‘Waspada’ 

 

Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, kita akan belajar lebih intensif bila guru sering membuat pertanyaan tiba-tiba. Sayangnya, di perusahaan , kita sering lupa menghidupkan aura kewaspadaan ini. Ada yang berpikir harus mencari waktu secara khusus untuk mempelajari, menganalisa atau memikirkan sesuatu. Bahkan ada yang berpikir:”Ah, belajar hal baru itu tidak penting. Biarkan yang ‘muda-muda’ saja yang mempelajarinya”. Sikap ‘layu’ inilah yang merupakan cikal bakal kesulitan terbangunnya spirit belajar dari organisasi.

Seorang yang kuat belajar pasti meyakini bahwa dia bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apapun. Hanya saja karena proses belajar tidak dilakukan dalam waktu tertentu dan disengaja, maka kita sebagai individulah yang perlu aktif menangkap signal atau gejala yang secara signifikan bisa menambah wawasan kita, sendiri. Disinilah sikap waspada kita sangat diperlukan.

 
Belajar Formal Hanya Efektif Bila Semangat Pengembangan Diri Sudah Bangkit

Sebuah perusahaan mengambil langkah untuk meningkatkan kualitas “customer service”-nya melalui program jumpa pelanggan, riset kepuasan pelanggan dan membuka jalur keluhan langsung. Hasil dari program tersebut adalah ‘brutal facts’ dan ‘bad news’ yang bertubi-tubi dan membuat semua orang ‘shock’, sehingga terdorong mencari jalan keluarnya bersama-sama. Tanpa diduga, pada saat inilah organisasi merapatkan barisan, bertekad untuk ‘belajar’ dan mengembangkan diri.

Sebuah studi menemukan bahwa 70% dari pembelajaran di tempat kerja bersifat informal, misalnya dari observasi dan refleksi dari pengalaman individu, tim, perusahaan dan pihak lain. Kita lihat bahwa dalam pembelajaran di tempat kerja, dosis “action” dalam proses belajar memakan hampir seluruh materi pembelajaran. Pencanangan target dan tujuan, rotasi jabatan dan kerjasama lintas fungsi justru merupakan kegiatan ‘belajar’ yang terpenting. Saat semangat untuk belajar, memperbaiki diri dan berubah sudah bangkit dan berapi-api, barulah kemudian pelatihan dan pembelajaran formal bisa lebih efektif sebagai tindak lanjut. 

(Ditayangkan di KOMPAS, 26 Juli 2008)

food/bun.jpg|right||0

Karir

 

Pada sebuah workshop dalam suatu perusahaan, saat peserta diminta menyatakan pendapatnya atas pernyataan: "Atasan adalah penentu karir", serta merta terlihat respons yang sangat berbeda antara kelompok ‘top manajemen’ dan kelompok ‘manajemen menengah. Para pimpinan merasa bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas karir bawahan, sementara yang dipimpin merasa bahwa karir mereka ditentukan atasan. Jelas-jelas para atasan menganut faham bahwa ambisi, kompetensi bawahan ada di tangan bawahan sendiri sementara bawahan masih bersikap "kumaha juragan wae" .

Persepsi di mana manajemen karir, baik penunjukkan, pengangkatan, dan penilaian datangnya dari ’atas’, memang ada dan masih bisa kita temukan sampai sekarang, terutama di organisasi yang birokratis, seperti organisasi pemerintah atau ketentaraan. Sementara dalam bisnis, dengan berkembangkan praktik yang kompetitif dan semakin nyatanya eksodus akibat pasar kerja global, banyak kita lihat terjadi pergeseran pada hubungan ketenagakerjaan. Metafora seperti "karir itu berbentuk tangga atau piramid", sudah berganti dengan paradigma baru seperti "jeruk bisa makan jeruk", "wolak walik ing jaman"; atasan bisa jadi bawahan. Tangga karir yang semakin berkurang anak tangganya, bahkan kadang hilang karena dihilangkannya satu divisi besar dalam organisasi, sudah semakin menggejala.

Demi efisiensi, perusahaan biasa melakukan pengurangan karyawan, ‘delayering’, desentralisasi, automasi dan pengukuran kinerja yang lebih cermat. Kompetensi yang tadinya dikonsentrasikan pada kompetensi teknis, cepat sekali basi dengan tingginya kompetisi untuk meraih excellence. Sebuah perusahaan bisa bangga sekali dengan kapasitas engineering-nya pada suatu waktu, lima tahun kemudian ‘excellence’ ini sudah terkikis dengan dibutuhkannya ketrampilan-ketrampilan baru, misalnya saja peralatan yang semakin dikendalikan software. Menjawab tantangan ini, mau tidak mau, perusahan akan menyuntikkan tenaga-tenaga mumpuni, bila individu dalam perusahaannya tidak meng-update ilmu, lemah dalam problem solving, dan tidak bisa dikembangkan lebih lanjut. Hal-hal inilah yang membuat ’karir’ semakin kompetitif dan semakin sulit ‘digenggam’. Sementara, kita yang berada di perusahaan pun sulit mengajukan diri bila memang tidak memenuhi spesifikasi lagi. Rasa-rasanya, jeritan agar kitalah yang di dalam perusahaan yang perlu diperhatikan tidak akan mempan.

"Career Self-Management" Vs "Career track" Perusahaan

Saat saya bertanya pada seorang karyawan, mengapa ia terlihat lalai dan "kurang awas" terhadap pengembangan kinerjanya, ia menjawab: "Saya kehilangan buku catatan kinerja saya". Dari sini kita bisa menyaksikan betapa individu bisa bersandar pada sistem karir yang dibuat orang lain untuknya. Padahal, bukankah kita sama-sama sadar bahwa kita tidak hanya berhak tetapi juga bertanggung jawab 100 % terhadap kebahagiaan karir kita? Paradigma bahwa tidak berkembangnya karir adalah karena lalainya perusahaan sudah mesti kita tinggalkan. Bila tidak, kita akan termakan sendiri oleh stagnannya karir sebelum waktunya karena terninabobokannya kita dalam sebuah organisasi. Dengan bersandar pada prosedur perusahaan, kita akan merasa bahwa ‘feedback’ akan datang dengan sendirinya. Padahal, saat sekarang, masukan dan penilaian, perlu dikejar demi pengembangan diri. Kitalah yang perlu merancang, mengejar, menggapai dan meraih kesempatan, di dalam dan di luar perusahaan.

Kelalaian ini bukan saja terjadi ditingkat bawah. Teman saya, seorang direktur, yang selama 20 tahun "all out" bekerja di perusahaannya, bingung menentukan arah karirnya setelah ia pensiun pada usia pensiun yang wajar. Teman saya ini sangat sadar bahwa ini bukan salah siapa-siapa kecuali dirinya, yang terlambat membuat rencana karir pasca pensiunnya. Teman lain, menahan-nahan karirnya untuk menjadi direktur, karena usianya masih terlalu muda. Menurut pendapatnya ia tidak bisa membayangkan apa yang harus dilakukannya selepas jabatan direktur BUMN ini, karena ia langsung akan dipensiun, berapa pun usianya. Teman-teman kita ini, walaupun posisinya super, ternyata tidak menyediakan alternatif karir. Di masa sekarang, individu yang selalu mempunyai alternatif karirlah yang bisa lebih bebas membuat kesempatan bagi dirinya dan tidak melihat dirinya sebagai korban otak-atik strategi manajemen SDM perusahaan.

"Portfolio Management": Tambang Emas Individu

Setiap professional, apapun keahliannya, perlu me-"maintain", mengembangkan dan mengelola portfolionya, yaitu catatan mengenai keberhasilan, daftar proyek, keahlian dan pendidikan yang dikantonginya. Inilah sesungguhnya tambang emas individu. Teman saya, tidak bersedia ‘terlalu berpolitik’ untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi di perusahaan BUMN tempatnya bekerja. Dengan santainya ia mengatakan bahwa dengan kompetensi yang dia miliki, ia menunggu "dilamar’ saja. Bermodalkan portfolio-nya, seorang profesional akan siap menjawab tantangan karir dan menyikapi ketidakjelasan kesempatan lapangan kerja di pasaran. Kunci menebalkan portfolio adalah kita tidak pernah boleh lengah dalam meng-"update" ilmu. Kita pun tidak bisa hanya memikirkan "moving up" saja, tetapi perlu melihat ke "dalam", selain juga senantiasa memperluas cakrawala ilmunya, bahkan kalau perlu menyerempet kesempatan dengan resiko yang lebih besar.

"Employer" sekarang, berbasis pengetahuan mengenai kompetensi, sudah tidak mudah terkecoh pada kutu loncat berimbalan besar, tetapi akan mengincar professional dengan kompetensi, kemampuan berkembang yang tinggi dan kualitas pribadi yang kuat, seperti kepemimpinan, hubungan interpersonal dan kreativitas. Kompetensi individu bisa berkembang dalam jalur-jalur yang berbeda: spesialis atau generalis, bisa teknikal bisa juga manajerial, bisa ‘dalam’, bisa juga ‘luas’. Ada individu yang kuat dalam penyelesaian proyek jangka pendek, ada pula yang mampu berkelit di organisasi yang birokratis. Ada yang berbakat menjadi pemain di organisasi kecil dan ‘cair’, ada pula yang baru bisa berkinerja bila struktur organisasi jelas. Mengenali kekuatan diri kita, memang bukan tanggung jawab orang lain. Kitalah yang paling tahu, emas tipe apa yang tertimbun di dalam tambang kompetensi kita dan bagaimana menjualnya di pasaran .

(Ditayangkan di KOMPAS, 19 Juli 2008)

Stop Olok-Olok!

 

Saya baru tersadar betapa bangsa kita gemar berolok-olok dan mencerca bangsa sendiri. Ketika dalam kelas training saya menanyakan apa pendapat peserta tentang acara kolosal kebangkitan nasional yang saya juluki bertema “Indonesia bisa!”, sebagian orang mengomentari penyanyi yang gagal, yang lain secara jenaka memperagakan latihan tenaga dalam yang kurang sukses. Sementara anggota keluarga saya, secara lengkap, tua-muda, menikmati acara tersebut, terharu-biru begitu dikumandangkannya lagu Indonesia Raya oleh si Putra Papua, Edo Kondologit, dan merasa termotivasi untuk bangkit dari kesulitan, namun di sisi lain ternyata banyak orang yang melihat tontonan ini dari sudut pandang yang sangat “ringan dan lucu”. Kenyataan ini dilanjutkan, ketika dalam salah satu blog seseorang yang membahas mengenai olok-olok juga, ditanggapi oleh sahabatnya dengan ungkapan, ”Bukannya Bangsa Indonesia memang biasa berkomunikasi dengan cara ‘olok-olok’ seperti ini?”.

Ironisnya, olok-olok ini sesungguhnya bisa jadi membuat kita terjebak pada ‘self-fulfilling prophecy’, yaitu terdorongnya situasi atau perilaku baru melalui perkataan, pikiran atau keyakinan kita sendiri. Ungkapan-ungkapan seperti “kita ini bangsa yang bodoh”, “Otak orang Indonesia paling segar, karena tidak pernah dipakai”, “pemberantasan korupsi tidak akan tuntas”, karena tidak diikuti oleh tindakan, action plan pribadi, kelompok maupun perusahaan secara jelas, malah bisa membuat kita sendiri frustasi dan mulai memaki diri sendiri, bahkan melahirkan ‘lingkaran setan’ yang dibuat oleh keyakinan itu sendiri. Dikarenakan kemalasan dan tidak teganya kita memaki diri sendiri, maka olok-oloklah yang kita lontarkan pada pihak lain, dalam hal ini perusahaan sendiri, lembaga pemerintah sendiri, ataupun Negara sendiri.

Olok-olok sebagai Cerminan ‘Esteem’ Rendah

Tertawa dan bercanda bersama adalah cara manusia untuk mempererat hubungan. Bayangkan betapa runyam hidup seseorang yang tidak pernah tersenyum dan tertawa. Tersenyum dimulai dari adanya koneksi yang menunjukkan daya tarik interpersonal, sementara tertawa dimulai dari kemampuan individu untuk melihat sisi lucu dari sesuatu yang kasat mata. Hanya pada saat individu berkembanglah, ia bisa mempunyai perspektif  terhadap hal yang tidak kasat mata, lebih abstrak, dalam, dan melihatnya dari sudut pandang lucu, gembira dan tidak sendu ataupun serius. Orang yang banyak tertawa memang cenderung lebih “happy” dan optimistis. Namun, tertawa, baik mengenai diri sendiri atau terhadap suatu situasi tentunya tidak berlaku bila tawa itu diwarnai dengan sinisme yang berlebihan ataupun pelecehan ke orang lain, apalagi ke diri sendiri.

Olok olok yang kita sering dengar, terutama akhir-akhir ini, rasanya sulit digolongkan pada olok-olok yang sehat, karena ia terasa getir, sinis bahkan tidak menunjukkan ‘esteem’ atau penghargaan diri. Orang ber-esteem rendah kita kenal sebagai orang yang mempunyai kebiasaan untuk menilai negatif diri sendiri, tidak menyukai tantangan,  malas bertindak, dan banyak tampil sebagai pengkritik tajam bahkan melecehkan orang lain. Tentunya kegiatan ini bukan bercanda lagi, apalagi disebut “sense of humor”.

Bisa jadi kita berpikir bahwa olok-olok atau sindiran adalah bentuk umpan balik bagi pihak lain untuk mawas diri dan memperbaiki diri. Namun, olok-olok tentu saja tidak bisa kita sebut masukan, karena ia tidak tertuju langsung secara ‘man to man’ pada orang yang kita maksud. Selain olok-olok tidak pernah menjadikan situasi lebih baik, kita yang mengolok-olok juga jadi manusia kerdil karena seolah “lempar batu sembunyi tangan”, akibat ketidakmampuan kita untuk ‘pasang badan’ dan mempertanggungjawabkan pendapat dan masukan kita secara ksatria dan elegan.

Rasa Syukur Menarik Kebaikan dan Kesuksesan

Dalam buku best seller-nya, ‘The Secret’, Rhonda Byrne, mengungkapkan hal-hal yang sangat “common sense”, yang sejak dulu dikumandangkan ayah saya, walaupun bentuknya sedikit berbeda. “Hitung berkatmu”, kata ayah saya,”Maka kamu akan takjub akan kekayaanmu. Kemudian bersyukurlah”. Menurut Rhonda, mustahil kita menarik kebaikan, kesejahteraan dan keuntungan, tanpa mensyukuri apa yang kita miliki. Rasa syukur yang kita pancarkanlah yang akan menarik enerji bagaikan magnet, sehingga kebaikan dan kemudahan akan mendekat dan memberikan “power” dalam kehidupan kita. Kita boleh merasa “kurang” karena itu akan menantang diri kita, membangkitkan motivasi untuk selalu lebih baik dan sempurna. Namun, ratapan tanpa rasa “bersyukur” yang diwarnai rasa iri dan kekecewaan yang negatif akan membendung kita dari kreativitas dan patriotisme untuk membangun diri, keluarga, perusahaan dan bangsa.  

Simak laporan CNN mengenai gempa bumi di Sichuan, 12 Mei yang lalu. “Jutaan orang kehilangan keluarga, rumah dan harta benda. Namun, tak terdengar ratapan dan keluhan. Yang tampak adalah orang saling menolong satu sama lain. Dalam hitungan jam, orang-orang berlomba untuk memberi bantuan. Sepanjang ratusan meter, orang-orang mengantri untuk mendonorkan darahnya, dan dalam waktu 24 jam, mereka kehabisan tempat untuk menampung darah dari pendonor.” Rupanya, di negara yang sering kita duga “miskin emosi” ini, tidak banyak orang mengidap gejala: ”bystander’s apathy”, penonton yang apatis. Tentu, tak ada salahnya kita mem”benchmark” semangat solidaritas dan “tidak ada matinya” negeri Cina ini.

Marilah mulai bangkit dengan membuat daftar sukses, apakah itu keberhasilan memanjat dinding 12 meter, menyelesaikan laporan tepat waktu, menutup penjualan 10 juta,berhemat 200 ribu ataupun sekedar keberhasilan untuk datang ke kantor tepat waktu. Dengan bersyukur, kita memupuk kualitas positif dan kompetensi sebagai modal kita. Selanjutnya, mari kita hidup sesuai dengan tuntutan yang realistik dan tidak lupa untuk bertindak!

(Ditayangkan di KOMPAS, 31 Mei 2008)

fruit/pears.jpg|right||0

Cuek terhadap Waktu: ‘Bom’ Waktu

“The bad news is time flies. The good news is you’re the pilot” (Michael Althsuler)

Sudah hampir satu setengah jam berlalu dari waktu yang dijanjikan, namun klien penting yang saya tunggu (dan saya pikir tengah mengharapkan kehadiran saya), belum juga ada tanda-tandanya akan datang. Handphone beliau off. Staffnya tak bisa memastikan apakah pimpinannya masih lama datang atau sebentar lagi. Memang ini bukan yang pertama kali terjadi, tapi tetap saja situasi begini bikin saya bengong. Ketika akhirnya bertemu, beliau muncul dengan sumringah. Tidak tampak, apalagi terucap, penyesalannya membuat saya menunggu hampir dua jam. Pun tidak tampak bekas-bekas adanya kondisi urgen yang membuatnya terlambat. Jelas, ini hal biasa untuknya.

Continue reading…

Gunung Es Komunikasi

Ketika dalam sebuah tim kerja saya berusaha mencari tahu alasan mengapa tim tersebut tidak tumbuh menjadi sinergi yang optimal, pada umumnya anggota-anggota tim mengatakan bahwa mereka bekerja secara “Baik-baik saja, tidak ada masalah”. Namun, seorang rekan mempunyai jawaban yang sedikit berbeda dari teman-temannya. Ia berkomentar, “Kalau hubungan kerja kita tidak ada masalah, bu. Secara pekerjaan kita cocok satu sama lain, tapi dalam hubungan pertemanan, kita belum tentu cocok.” Kembali, saya tertampar oleh kenyataan dalam praktek sehari-hari, bahwa banyak proses di bawah alam sadar kita yang sedang berlangsung ataupun macet, bahkan menjadi penghambat dari proses-proses sederhana yang masuk akal  sehari-hari.
Continue reading…

Berani Susah

Salah satu karyawan di kantor saya, benar-benar sulit mengkontrol pengeluarannya. Ia tidak bisa lepas untuk melakukan gali lobang tutup lobang dalam me-manage hutangnya. Hutang itu mula-mula dipinjam dari sebuah jasa kredit tanpa agunan bank dan berkembang menjadi hutang yang lain, terutama untuk menutupi hutang yang lama. Ketika saya sangat kecewa melihat hal itu bisa dilakukan oleh orang yang selama ini saya percaya, teman saya mengatakan bahwa ibu mertuanya juga terbelit hutang dengan cara yang sama. Terkesan bahwa di antara kita sudah banyak kebiasaan mencari solusi yang  “ambil gampangnya”, “instan”, dan tidak mau sedikit bersusah mengerem diri.
Continue reading…

Politik Kantor

Pada sebuah acara makan siang seorang teman mengeluhkan suasana kantornya, sebuah perusahaan multinasional, yang sarat dengan kegiatan ‘berpolitik’. Di tempat kerjanya, berkembang ‘klik-klikan” makan siang ataupun jemputan yang kemudian menjadi hubungan tertutup, yang sangat erat satu sama lain, di mana mereka berbagi gossip dan fakta, menunjukkan sikap subjektif dalam melihat masalah dan bahkan mempengaruhi penunjukan dan pemilihan anggota tim. Teman saya yang lain kemudian berkomentar, “Yaaah.., kalau sudah ada lebih dari dua orang karyawan dalam satu tim, sudah pastilah ada ‘politik’-nya”.
Continue reading…