Money! Power! Fame!

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Manusia memang aset terpenting dari perusahaan. Namun, sampai saat ini kita memang sulit untuk bisa menghitung dengan tepat berapa “kekuatan” sesungguhnya yang dimiliki seorang karyawan. Tidak seperti mesin yang bisa dengan jelas kita ukur kapasitas produksinya, kita sadari bahwa kinerja dan kontribusi karyawan bisa digenjot naik, bisa juga turun secara tajam. Bukankah banyak karyawan yang dalam assessment dinilai memiliki kompetensi tinggi, tapi di tempat kerja melempem dan sama sekali jadi tidak menonjol? Ada karyawan yang berprestasi di satu tim, namun begitu dipindahkan ke tim atau lokasi lain langsung melorot kinerjanya. Sebaliknya, kita juga melihat ada tim yang jumlahnya kecil atau kemampuan individualnya biasa-biasa saja, bisa jadi tim yang sangat hebat dan produktif, bahkan mengalahkan tim yang jumlahnya lebih besar. Di sini kita jelas melihat bahwa ada “kekuatan” lain yang tidak bisa dilihat dan diukur dengan analisa beban kerja sekalipun. Terbukti pula bahwa, kekuatan individu itu memang bisa dilipatgandakan.

 Seorang kepala cabang yang dituntut untuk meningkatkan penjualan sering berdalih kekurangan orang dan meminta tambahan anggota tim. Sering terjadi, kalau orangnya sudah ada juga, namun tetap saja penjualan tidak kunjung bergerak mencapai target. Divisi SDM sering mengeluhkan, mengapa SDM yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Seakan tambahan karyawan baru menjadi investasi yang sia-sia. Jadi, individu sendirian tidak bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa yang kita garap tidak selamanya individunya tetapi justru perilaku kolektif dari sekelompok orang.

Kita tak bisa menyangkal bahwa uang memang penting. Uang harus dicari, bahkan dikejar agar kita bisa makan, hidup layak, menikmati pelayanan kesehatan dan mengenyam pendidikan yang baik. Di satu sisi, kita sama-sama mengetahui bahwa masyarakat kita menilai rendah orang yang “mata duitan”, karena kita anggap tamak bahkan tidak bermoral. Secara bersamaan, kita juga dibuat terheran-heran, menyaksikan gejala akhir-akhir ini, betapa orang dengan “tabungan” banyak hasil korupsi bisa berekspresi tenang-tenang saja, tampil di publik dengan percaya diri, seakan yakin bisa menyogok siapa saja di dunia ini.

Kita memang tidak lagi terkejut, saat seorang mantan menteri secara blak-blakan mengatakan bahwa berpolitik di negara kita sudah sulit tanpa memperhitungkan  peranan uang. Dalam kampanye, bukankah tidak lagi malu-malu orang untuk membayar orang lain agar bisa mendapatkan dukungan? Teman saya bahkan mengatakan bahwa orang yang berduit cenderung tampak lebih ‘sexy’ daripada yang tidak berduit. Mau tidak mau, kita perlu mengakui bahwa uang memang berkuasa dan mempunyai kekuatan.  Kita tahu ada pepatah: “Those with the gold make the rules.” Hal ini juga bisa kita buktikan dari dibelokkannya pembuatan undang undang negara, demi kepentingan bisnis tertentu. Negara miskin di kontrol oleh orang kaya. Bahkan perang pun sering bukan didasari pertengkaran politik semata, semuanya kembali ke uang. Begitu “sexy”-nya uang, sampai-sampai bisa mendorong banyak orang rela mengotori dirinya dengan korupsi, menciptakan istilah gratifikasi, dan berbagai alasan untuk berbuat curang.

Pada akhirnya, bukankah banyak – sedikit, berguna atau tidaknya, serta nilai uang akan kembali ke masing-masing individu? Bagi individu tertentu gaji 2 juta bisa mencukupi pendidikan dan hidup layak sebuah keluarga, tetapi bagi individu lain uang 2 juta hanya dianggap sebagai upah kepada seorang petugas untuk ‘mengurus surat-surat’. Apakah kita memang akan mendewakan uang untuk bisa membangun pengaruh, mendapatkan respek dan tampak “sexy” di mata orang? Apakah tidak ada hal lain yang bisa menandingi uang, untuk membuat kita merasa punya kekuatan, memiliki pengikut dan merasa puas dan sejahtera?

 

{mosimage}

 Tidak “Ujung-Ujungnya Duit”

Saya mencuri dengar pembicaraan sekelompok orang yang baru melakukan perjalanan dinas dari luar negeri. Seketika timbul pertanyaan di benak saya: apa keahlian orang-orang ini? Apa misi rombongan? Apa yang didapat dari perjalanan dinas yang dibiayai lembaga ini? Pertanyaan ini terus menggelitik karena hasil tanya jawab saya membuktikan bahwa apa yang mereka amati, alami dan bicarakan dalam kunjungannya sama sekali tidak berbuah pemikiran baru atau paling tidak pelajaran baru. Sulit rasanya memunculkan respek terhadap individu yang tampak cukup berduit dari belanjaannya.

Saya jadi teringat presenter berbadan mungil, Sarah Sechan yang mempunyai follower lebih dari dua ratus lima puluh ribu orang di di twitter-nya. Para follower seakan senantiasa antusias untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Sarah. Ketika ada inisiatif membantu korban Merapi, Sarah hanya berulang kali menyampaikan pesan pada para pengikutnya bahwa sumbangan bisa di kirim ke alamat tertentu. Ia mengatakan dirinya akan berada di sana. Kepedulian yang ditunjukkannya menumbuhkan respek. Truk demi truk sumbangan barang pun berdatangan, membuktikan bahwa tokoh muda ini ‘punya pengaruh’. Perez Hilton, seorang jago media sosial terkenal karena blognya dikunjungi orang berulang kali. Orang seakan tidak ada bosannya mengunjungi websitenya karena respek terhadap karya, pikiran, dan hasil kerja individu. Orang yang ingin berpengaruh, bisa mempengaruhi orang lain melalui respek yang tumbuh terhadap dirinya.

Jika kita membuka mata lebar-lebar, kita akan menyadari banyak orang bisa mendapat “pengikut” tanpa harus mengeluarkan cash. Lihat saja, Irfan Bachdim, yang dalam semalam mendapatkan followers lebih dari dua puluh ribu orang, sesaat setelah menampilkan permainan cantik saat timnas kita mengalahkan Malaysia dengan 5-1. Lihat juga jagoan hip-hop Talib Kweli yang direspek tua muda. Gary Vay-ner-chuk yang bisa membuat analisa ‘wine’ dengan pendekatan gonzonya, juga bisa membuat passion-nya berpengaruh. Tentu sangat ketinggalan jaman, jika kita masih berpikiran bahwa uang semata yang bisa memberi kekuatan dan membuat diri kita berpengaruh, Seseorang ahli manajemen perubahan mengatakan:” — in business as well as in politics — is that these three much-celebrated resources are almost always overvalued as tools for leading change and making an impact. The surest way to fail is to rely for your success on money, power, and fame.“

Menambah Daya Tarik

Arkadi Kuhlmann, founder dan chairman dari  ING Direct,  yang sangat terobsesi dengan service leadershipnya, membuktikan bahwa ambisi, misi, dan hasil karya kita bisa membuat daya tarik. Beliau meyakini bahwa simpati, rasa hormat memiliki kekuatan yang menghasilkan pengaruh yang lebih genuine.”It is never about you. It is always about the mission. And people will follow you if you're prepared to get a mission done, something with a goal that is a little bit beyond the reach of all of us”, begitu ungkapnya. Orang akan merespek orang yang ‘berisi’, yang misinya berpengaruh karena dipercaya, jernih, dan berbobot.

Jane Harper, veteran IBM  meyakinkan para pembacanya, bahwa pendekatan yang rendah hati dibarengi dengan ambisi yang kuat, walaupun tidak usah seekstrim Mahatma Gandhi, akan membuat publik atau pengikut merasakan bobot. Kita perlu jujur mengakui bahwa kita tidak mungkin juara di segala bidang. Tetapi, di dunia yang kompleks, fast-moving dan sulit dipahami ini, kita perlu yakin bahwa respek yang kita dapatkan dari pihak lain sangat kita perlukan untuk survive, apakah itu di bidang politik, bisnis, ataupun di rumah tangga. First you get the respect. Then you get the power. After you get the power, the money will follow you.

(Dimuat di KOMPAS, 4 Desember 2010) 

articles/money-power-fame1.jpg|||0||bottom||

Brain Training – The Smart Resolution

If historians are correct, the ancient Babylonians, one of the earliest civilized societies, practiced the art of the New Year's resolution. To this day, cultures around the world use the turning of the year as a time to reflect on what's past while looking to the future. This New Year more people than ever before will be making brain fitness training their top resolution.
Many tried and true resolutions take us in the direction of better brain health – physical exercise, dieting, and quitting smoking. But brain training provides a direct and positive approach by which we can stimulate brain plasticity, improving memory, focus, and mental agility. One study published this past year even recorded increases in fluid intelligence for subjects who underwent demanding working-memory training.

A mounting body of research disproves the long-held assumption that the adult brain can't grow and change. Study after study has found that it's possible to stimulate new neural growth and for the brain to rewire existing connections to adapt to new conditions. Brain exercise harnesses these concepts so that we can refresh and sharpen our mental processes.

The Advantages of Brain Fitness Training

Education & Problem-Solving: If you're due to take a standardized test this year, brain training should be part of your test preparation. Established test prep techniques can improve your test scores, but brain training can also increase your general problem-solving ability. And if you suffer from a learning dysfunction, you should know that many learning specialists now use brain exercises to help strengthen particular brain capacities, such as working-memory. While an accommodation can get you through, brain training can tackle the problem directly.

Career: For many of us, the working day requires a good deal of focus and creative problem-solving. Our brains work best when we can dedicate time and attention to the task at hand, but the stresses and demands of the workplace often conspire to make this almost impossible. The right brain training program can help us increase our attention span and train our cognitive skills. By training our brain we can reduce work stress and perform better (something that employers tend to notice and reward).

Long-Term Mental Health And Well-Being: Unless we do something to stop it, by age 40 our brains have begun to decline. With regular mental exercise, however, we can reduce or eliminate memory loss, and lower our risk of developing Alzheimer's symptoms and dementia. Researchers have even found that depression responds to the kind of stimulated neural growth that brain training can induce.

Self-Improvement: Quite apart from the self-improvement goal of thinking more sharply, brain exercise can also bring about changes that may seem unlikely – such as improved musical ability and increased self-esteem. But when we consider that the brain orchestrates all aspects of thinking and emotion this begins to seem less unusual. If you're the kind of person who likes to optimize mind, body, and spirit, brain training could open up a whole new realm of possibilities.

Making The Resolution Stick

Unfortunately, statistics indicate that most of us won't stick to our New Year's resolutions. Men tend to do much better if they quantify their goals. And women can increase their chances of success by going public and by engaging their friends in the challenge. Fortunately, since many people enjoy the challenge and rewards of brain training, it can be an easier activity to stay with than some. You can measure your progress through the results of the exercises, and in many cases you can share your scores on some form of blog or social network.

The brain training marketplace can be a little confusing at first. There are many products out there and it's not always clear which ones work. Some training programs provide don't require much focus and attention and won't stimulate brain plasticity. Others might work extremely well but cost several hundred dollars and demand a significant time commitment.

It's important to verify a program's scientific basis. The vendor should state clearly what improvements the program will bring about and in what time period. And the product should come with a training schedule that will help you judge whether it is right for you.

A brain exercise resolution will reward in equal measure to the effort we invest. Just as we don't expect to stay physically fit without breaking a sweat – so, too, a truly effective brain training program requires our attention and diligence. The rewards to our mental ability, health, and happiness, however, will repay every ounce of that investment.

Oxford-trained scientist, author, and technologist, Martin G. Walker is a member of The British Neuroscience Association, Learning and The Brain, and MENSA. His company Mind Evolve Software publishes free information on the field of neuroscience and brain training as well as effective and affordable brain training software under the brand name Mind Sparke.

Article Source: Brain Training – The Smart Resolution

Jual Ide

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Beberapa peserta, setelah selesai mengikuti training, kami hubungi dan tanyakan apakah ide brilian dan action plan yang mereka buat saat pelatihan, sudah diimplementasikan di tempat kerja. Hal yang mengejutkan adalah hampir delapan puluh persen, tidak lagi terdengar sebersemangat ketika mereka sedang di kelas pelatihan. Ada yang mengatakan atasan atau pimpinan terlalu sibuk dan tidak mau mendengarkan ide mereka. Ada juga yang bilang, pemikiran atau ide mereka dianggap sesuatu yang nyeleneh, menyimpang jalur, bahkan dinilai sebagai upaya mencari perhatian saja. Di jaman di mana tuntutan untuk memberi “value adding” terasa begitu kuat dan kreativitas senantiasa disebut-sebut sebagai modal untuk memenangkan kompetisi, ternyata realitanya, masih banyak atasan atau pejabat yang enggan berubah atau tidak mau repot mengubah cara kerja lama yang sudah mapan. Padahal, kita semua tahu, bila kita lebih banyak berfokus  pada ‘here and now’ dan menganggap ide adalah hambatan, organisasi pasti tidak akan berkembang.

Dengan begitu kerasnya kompetisi, kita sadar bahwa organisasi tidak mungkin mempraktikkan pengambilan keputusan secara ‘top-down’ saja. Organisasi yang sehat mendorong keputusan juga diambil di kalangan manajemen tengah bahkan lapisan bawah. Dengan keyakinan ini, bagaimana kita survive memunculkan ide di perusahaan yang sudah mantap tapi alot untuk berubah?

{mosimage}

 Jangan Diam Saja

Posisi junior tidak pernah enak. Tak sedikit atasan yang mengeluhkan gejala di mana para ‘fresh graduate’ tidak mempunyai insiatif, banyak menunggu. Sebaliknya, banyak juga komentar negatif atasan terhadap pengajuan ide-ide para junior. Ada yang mengatakan bahwa apa yang dikemukakan anak muda terlalu banyak teori, belum terbukti dan teruji, tidak ‘ngambah tanah” atau bahkan ‘sok tahu’. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa ada kesenjangan antara apa yang dilihat oleh orang yang baru masuk, dengan orang yang sudah lama berada di dalam memang ada. Kesenjangan juga pastinya terasa antara individu yang  masih fresh dengan  ilmu yang baru dipelajari vs orang yang banyak berpraktek dan sudah makan asam garam. Siapa yang lebih berkuasa? Biasanya yang senior. Tampak bahwa baik yang senior maupun junior harus sama-sama sabar untuk mendengarkan, menyikapi perbedaan dan kesenjangan.

Gejala ‘merasa benar sendiri’ inilah yang sering menghambat kita dalam menjual ide. Terkadang kita juga melupakan kenyataan bahwa si pendengar presentasi mempunyai cara dan referensinya sendiri dalam menginterpretasikannya. Tidak semua orang siap menerima bahwa adanya “misunderstanding” ketika ide pertama kali diungkapkan adalah hal yang wajar. Beberapa orang yang saya temui survive menembus jaringan para senior selalu menyatakan kiat bahwa kita perlu siap dengan fakta, kita perlu banyak bertanya dan kita mengemukakan kasus, sehingga ide kita bisa dengan lebih mudah diserap oleh orang lain. Jadi, sebagai penjual ide, kita memang perlu aktif, tidak pernah pasif.

Tembus Pikiran Penerima Ide

Champions turn "no" into "yes."  Demikian ungkapan lama. Hal yang perlu kita ingat adalah bukan sekedar dicerna dan diterimanya ide kita, tetapi juga pemahaman mengenai proses berpikir si penerima ide. Bagaimana mungkin kita bisa memberi ‘brutal facts’ atau  mengusulkan program ‘free of charge’ untuk kepentingan marketing, mengusulkan promosi produk yang selama ini tidak pernah bisa terpasarkan dengan baik, atau bahkan memotong tunjangan tertentu dengan empuk dan langsung disetujui? Sikap keras kepala dipunyai semua orang. Mempengaruhi orang lain, terutama atasan atau para senior untuk mengambil alih inisiatif anda adalah sebuah paradox besar. Apalagi bila kita masih dianggap sebagai ‘outsider’. Tetapi, kita juga mesti tetap sadar bahwa dalam kehidupan karir kita, menjual ide tetap merupakan kewajiban.

Mengikuti arus, irama, bahasa yang beredar disebuah kelompok akan membawa efek ‘magic’ bila kita menawarkan ide baru. Apalagi bila dalam mempresentasikannya kita sudah siap menggunakan kata-kata yang positif, memuat manfaat bagi atasan dan organisasi, dan menyajikannya dalam “business case” yang didukung bukti-bukti. Kita pun bisa memperhitungkan bahwa tidak selamanya individu itu auditif, visual atau kinestetik. Untuk itu kita perlu bisa berganti gaya presentasi untuk menembus pikiran penerima ide. Terkadang dengan membantunya memvisualisasikan atau memperagakan ide kita. Inga : ”A picture is worth a thousand words.” Orang tidak senang mengaku bahwa mereka tidak mengerti, padahal setiap dari kita mengerti bahwa orang tidak akan membeli ide yang tidak dipahaminya. 

Pastikan “Alignment”

Tentunya ada alasan mengapa perusahaan melakukan praktik-praktik manajemen. Demikian juga ada alasan mengapa atasan memangku jabatan dan tugasnya. Seorang junior yang baru masuk dan ambisius bisa saja penuh dengan ide-ide baru. Hanya saja, ada kemungkinan bahwa ide baru itu belum sejalan dengan sasaran dan visi perusahaan. Untuk itu, kita pun perlu mengecek, memperhatikan dan bertanya apakah ide ini tetap sejalan dan menunjang upaya-upaya yang sudah ada saat ini.

Kita memang terkadang tidak bisa ambisius dan mengira jual ide bisa diselesaikan dalam sekejap atau satu kali saja. Kita perlu menggunakan multi media dan perlu berobsesi dalam menjual ide ini. Mengingat kita menjual ide ke manusia lain, hubungan antar manusia juga sangat menentukan kesuksesan kita dalam berjualan ide. Bila dalam mengungkapkan pendapat, salah satu ‘audience’ kita sudah mengenal ide tersebut dan sudah “membeli” sebagian ide kita, pastinya orang ini akan berperan sebagai ‘co-champion’ kita. Ide adalah produk manusia pekerja yang tidak pernah habis. Ide tidak ada artinya bila belum terimplementasi. Kadang-kadang kita perlu menunggu tahap demi tahap agar keseluruhan ide terealisasi. Namun, kita tetap perlu bergerak aktif, mencari celah untuk bisa menjual ide demi kemajuan tim dan organisasi.

(Dimuat di KOMPAS, 11 Desember 2010) 

articles/jual-ide1.jpg
articles/jual-ide2.jpg|||0||bottom||

Money! Power! Fame!

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Manusia memang aset terpenting dari perusahaan. Namun, sampai saat ini kita memang sulit untuk bisa menghitung dengan tepat berapa “kekuatan” sesungguhnya yang dimiliki seorang karyawan. Tidak seperti mesin yang bisa dengan jelas kita ukur kapasitas produksinya, kita sadari bahwa kinerja dan kontribusi karyawan bisa digenjot naik, bisa juga turun secara tajam. Bukankah banyak karyawan yang dalam assessment dinilai memiliki kompetensi tinggi, tapi di tempat kerja melempem dan sama sekali jadi tidak menonjol? Ada karyawan yang berprestasi di satu tim, namun begitu dipindahkan ke tim atau lokasi lain langsung melorot kinerjanya. Sebaliknya, kita juga melihat ada tim yang jumlahnya kecil atau kemampuan individualnya biasa-biasa saja, bisa jadi tim yang sangat hebat dan produktif, bahkan mengalahkan tim yang jumlahnya lebih besar. Di sini kita jelas melihat bahwa ada “kekuatan” lain yang tidak bisa dilihat dan diukur dengan analisa beban kerja sekalipun. Terbukti pula bahwa, kekuatan individu itu memang bisa dilipatgandakan.

 Seorang kepala cabang yang dituntut untuk meningkatkan penjualan sering berdalih kekurangan orang dan meminta tambahan anggota tim. Sering terjadi, kalau orangnya sudah ada juga, namun tetap saja penjualan tidak kunjung bergerak mencapai target. Divisi SDM sering mengeluhkan, mengapa SDM yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Seakan tambahan karyawan baru menjadi investasi yang sia-sia. Jadi, individu sendirian tidak bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa yang kita garap tidak selamanya individunya tetapi justru perilaku kolektif dari sekelompok orang.

Kita tak bisa menyangkal bahwa uang memang penting. Uang harus dicari, bahkan dikejar agar kita bisa makan, hidup layak, menikmati pelayanan kesehatan dan mengenyam pendidikan yang baik. Di satu sisi, kita sama-sama mengetahui bahwa masyarakat kita menilai rendah orang yang “mata duitan”, karena kita anggap tamak bahkan tidak bermoral. Secara bersamaan, kita juga dibuat terheran-heran, menyaksikan gejala akhir-akhir ini, betapa orang dengan “tabungan” banyak hasil korupsi bisa berekspresi tenang-tenang saja, tampil di publik dengan percaya diri, seakan yakin bisa menyogok siapa saja di dunia ini.

Kita memang tidak lagi terkejut, saat seorang mantan menteri secara blak-blakan mengatakan bahwa berpolitik di negara kita sudah sulit tanpa memperhitungkan  peranan uang. Dalam kampanye, bukankah tidak lagi malu-malu orang untuk membayar orang lain agar bisa mendapatkan dukungan? Teman saya bahkan mengatakan bahwa orang yang berduit cenderung tampak lebih ‘sexy’ daripada yang tidak berduit. Mau tidak mau, kita perlu mengakui bahwa uang memang berkuasa dan mempunyai kekuatan.  Kita tahu ada pepatah: “Those with the gold make the rules.” Hal ini juga bisa kita buktikan dari dibelokkannya pembuatan undang undang negara, demi kepentingan bisnis tertentu. Negara miskin di kontrol oleh orang kaya. Bahkan perang pun sering bukan didasari pertengkaran politik semata, semuanya kembali ke uang. Begitu “sexy”-nya uang, sampai-sampai bisa mendorong banyak orang rela mengotori dirinya dengan korupsi, menciptakan istilah gratifikasi, dan berbagai alasan untuk berbuat curang.

Pada akhirnya, bukankah banyak – sedikit, berguna atau tidaknya, serta nilai uang akan kembali ke masing-masing individu? Bagi individu tertentu gaji 2 juta bisa mencukupi pendidikan dan hidup layak sebuah keluarga, tetapi bagi individu lain uang 2 juta hanya dianggap sebagai upah kepada seorang petugas untuk ‘mengurus surat-surat’. Apakah kita memang akan mendewakan uang untuk bisa membangun pengaruh, mendapatkan respek dan tampak “sexy” di mata orang? Apakah tidak ada hal lain yang bisa menandingi uang, untuk membuat kita merasa punya kekuatan, memiliki pengikut dan merasa puas dan sejahtera?

 

{mosimage}

 Tidak “Ujung-Ujungnya Duit”

Saya mencuri dengar pembicaraan sekelompok orang yang baru melakukan perjalanan dinas dari luar negeri. Seketika timbul pertanyaan di benak saya: apa keahlian orang-orang ini? Apa misi rombongan? Apa yang didapat dari perjalanan dinas yang dibiayai lembaga ini? Pertanyaan ini terus menggelitik karena hasil tanya jawab saya membuktikan bahwa apa yang mereka amati, alami dan bicarakan dalam kunjungannya sama sekali tidak berbuah pemikiran baru atau paling tidak pelajaran baru. Sulit rasanya memunculkan respek terhadap individu yang tampak cukup berduit dari belanjaannya.

Saya jadi teringat presenter berbadan mungil, Sarah Sechan yang mempunyai follower lebih dari dua ratus lima puluh ribu orang di di twitter-nya. Para follower seakan senantiasa antusias untuk mengetahui apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh Sarah. Ketika ada inisiatif membantu korban Merapi, Sarah hanya berulang kali menyampaikan pesan pada para pengikutnya bahwa sumbangan bisa di kirim ke alamat tertentu. Ia mengatakan dirinya akan berada di sana. Kepedulian yang ditunjukkannya menumbuhkan respek. Truk demi truk sumbangan barang pun berdatangan, membuktikan bahwa tokoh muda ini ‘punya pengaruh’. Perez Hilton, seorang jago media sosial terkenal karena blognya dikunjungi orang berulang kali. Orang seakan tidak ada bosannya mengunjungi websitenya karena respek terhadap karya, pikiran, dan hasil kerja individu. Orang yang ingin berpengaruh, bisa mempengaruhi orang lain melalui respek yang tumbuh terhadap dirinya.

Jika kita membuka mata lebar-lebar, kita akan menyadari banyak orang bisa mendapat “pengikut” tanpa harus mengeluarkan cash. Lihat saja, Irfan Bachdim, yang dalam semalam mendapatkan followers lebih dari dua puluh ribu orang, sesaat setelah menampilkan permainan cantik saat timnas kita mengalahkan Malaysia dengan 5-1. Lihat juga jagoan hip-hop Talib Kweli yang direspek tua muda. Gary Vay-ner-chuk yang bisa membuat analisa ‘wine’ dengan pendekatan gonzonya, juga bisa membuat passion-nya berpengaruh. Tentu sangat ketinggalan jaman, jika kita masih berpikiran bahwa uang semata yang bisa memberi kekuatan dan membuat diri kita berpengaruh, Seseorang ahli manajemen perubahan mengatakan:” — in business as well as in politics — is that these three much-celebrated resources are almost always overvalued as tools for leading change and making an impact. The surest way to fail is to rely for your success on money, power, and fame.“

Menambah Daya Tarik

Arkadi Kuhlmann, founder dan chairman dari  ING Direct,  yang sangat terobsesi dengan service leadershipnya, membuktikan bahwa ambisi, misi, dan hasil karya kita bisa membuat daya tarik. Beliau meyakini bahwa simpati, rasa hormat memiliki kekuatan yang menghasilkan pengaruh yang lebih genuine.”It is never about you. It is always about the mission. And people will follow you if you're prepared to get a mission done, something with a goal that is a little bit beyond the reach of all of us”, begitu ungkapnya. Orang akan merespek orang yang ‘berisi’, yang misinya berpengaruh karena dipercaya, jernih, dan berbobot.

Jane Harper, veteran IBM  meyakinkan para pembacanya, bahwa pendekatan yang rendah hati dibarengi dengan ambisi yang kuat, walaupun tidak usah seekstrim Mahatma Gandhi, akan membuat publik atau pengikut merasakan bobot. Kita perlu jujur mengakui bahwa kita tidak mungkin juara di segala bidang. Tetapi, di dunia yang kompleks, fast-moving dan sulit dipahami ini, kita perlu yakin bahwa respek yang kita dapatkan dari pihak lain sangat kita perlukan untuk survive, apakah itu di bidang politik, bisnis, ataupun di rumah tangga. First you get the respect. Then you get the power. After you get the power, the money will follow you.

(Dimuat di KOMPAS, 4 Desember 2010) 

articles/money-power-fame1.jpg|||0||bottom||
articles/money-power-fame2.jpg|||0||bottom||

People Power

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Manusia memang aset terpenting dari perusahaan. Namun, sampai saat ini kita memang sulit untuk bisa menghitung dengan tepat berapa “kekuatan” sesungguhnya yang dimiliki seorang karyawan. Tidak seperti mesin yang bisa dengan jelas kita ukur kapasitas produksinya, kita sadari bahwa kinerja dan kontribusi karyawan bisa digenjot naik, bisa juga turun secara tajam. Bukankah banyak karyawan yang dalam assessment dinilai memiliki kompetensi tinggi, tapi di tempat kerja melempem dan sama sekali jadi tidak menonjol? Ada karyawan yang berprestasi di satu tim, namun begitu dipindahkan ke tim atau lokasi lain langsung melorot kinerjanya. Sebaliknya, kita juga melihat ada tim yang jumlahnya kecil atau kemampuan individualnya biasa-biasa saja, bisa jadi tim yang sangat hebat dan produktif, bahkan mengalahkan tim yang jumlahnya lebih besar. Di sini kita jelas melihat bahwa ada “kekuatan” lain yang tidak bisa dilihat dan diukur dengan analisa beban kerja sekalipun. Terbukti pula bahwa, kekuatan individu itu memang bisa dilipatgandakan.

 Seorang kepala cabang yang dituntut untuk meningkatkan penjualan sering berdalih kekurangan orang dan meminta tambahan anggota tim. Sering terjadi, kalau orangnya sudah ada juga, namun tetap saja penjualan tidak kunjung bergerak mencapai target. Divisi SDM sering mengeluhkan, mengapa SDM yang ada tidak bisa dimanfaatkan. Seakan tambahan karyawan baru menjadi investasi yang sia-sia. Jadi, individu sendirian tidak bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Lagi-lagi, kita diingatkan bahwa yang kita garap tidak selamanya individunya tetapi justru perilaku kolektif dari sekelompok orang.

{mosimage}

 Spirit Kolektif

Seorang manager berkomentar:”Kenapa ya, kalau di suruh bekerja sama susah, tetapi bila protes mereka bersatu.” Di salah satu perusahaan, para anggota manajemen puncak bisa secara teratur makan siang bersama, berkeluh-kesah mengenai perusahaan sebagai musuh bersama, namun begitu disuruh berkoordinasi atau mengatur strategi tiba-tiba menjadi tidak kompak, bahkan tercerai berai. Seorang ahli psikologi sosial mengatakan, bahwa sifat dari perilaku kelompok itu sangat emosional, dan bahkan tidak sering tidak rasional. Hal ini bisa kita buktikan sendiri bahwa dalam keadaan panik, gembira sekali, ataupun marah, tiba-tiba individu dalam kelompok bisa bersatu, saling mendukung, mengeroyok, bergerak ke satu arah sesuai komando. Inilah yang menjawab betapa membahayakan spirit ‘bonek’ ‘arema’  ‘jakmania’ yang sering  kuat, bertenaga sampai sampai tidak terkontrol.

Kekuatan kelompok memang tidak bisa kita anggap main-main. Bila individu dalam kelompok  mempunyai ‘rasa’ yang sama dan berfokus pada ‘single issue’, maka sudah pasti kekuatan kelompok jadi berlipatganda. Unsur-unsur inilah yang dimanfaatkan oleh perusahaan yang berhasil mengangkat spirit karyawannya. Hal yang sangat penting juga adalah ‘collective mind’-nya. Mereka  menghipnotis anggota kelompok untuk berpikir dan berkeyakinan sama, membuat individu siap menyatukan visi dan menghapus sikap ‘selfishness’-nya.

Dalam Indonesia HR Summit 2010 yang baru diselenggarakan di Bali beberapa waktu lalu, Ishadi SK, komisaris TransTV mengutarakan betapa spirit organisasi terbangun dengan kejelasan dan kesadaran pada kesamaan misi. Beliau mengatakan lebih lanjut bahwa ‘employee partnership’ hanya bisa didapatkan perusahaan bisa karyawan ‘memiliki’ dan merasa ‘menguasai’ tujuan dan misi perusahaan. Semakin mulia, kongkrit dan trendi misinya, semakin dibelilah ‘purpose’-nya oleh karyawan Transtivi. Bila ini terjadi, karyawan bisa sampai memeras tenaga tanpa hitung-hitungan dan bahkan rela bekerja sampai lupa waktu. Siapa yang menonjol? Kelompoknya, perusahaannya, bukan individunya, bahkan produknya.

Karyawan sebagai “co-creator”

Kita kerap bertanya-tanya, apakah seorang pemain bola kelas kakap, seperti Wayne Rooney, jika pindah klub, akan bisa menjamin performa seperti di klub terdahulu? Kita semua menyadari bahwa walaupun permainannya terhebat, ia belum tentu bisa  berkinerja optimal di tempat yang baru. Hal ini tentunya tidak disebabkan oleh keadaan situasi tim yang baru saja, tetapi apakah dia mengkontribusikan seluruh kapasitasnya secara ‘all out’ di tim barunya. Hal ini lagi-lagi adalah sekedar  kekuatan emosi dan mental.

Hal yang juga sudah tidak disangsikan lagi, generasi muda yang banyak dikenal dengan genY, hanya mau mengkonstribusikan segenap kapasitasnya, bila kelompok, lembaga atau perusahaan membuat agar ia merasa seperti “co-creator”, dalang, ikut menentukan nasib perusahaan. Di sinilah emosi individu menggerakkan dirinya untuk mengeluarkan seluruh ketrampilan dan kompetensi individual ke dalam kekuatan tim. Setiap orang perlu merasa, bahwa dialah yang membuat tim atau perusahaan berubah, bahkan maju. Dan, sikap ini sangat emosional. Ken Blanchard dalam bukunya High Five! The Magic of Working Together, menyatakan:” The Warriors realized that working together as a team would get them closer to their goal than all playing for individual benefit.”.

Utamakan ‘gerak’

Bila kita ingin menggerakkan individu, kita memang perlu memanfaatkan ‘gerak’ untuk menghidupkan perilaku kelompok ini. Gerak membuat suasana jadi dinamis, memberi kesiapan untuk berubah. Di perusahaan di mana pemimpin me’mati’kan semangat anak buah, misalnya dengan tidak merespek dan ‘mengecilkan’ upayanya, sering kita lihat efeknya adalah si individu membeku, berhenti berpikir, tidak bersedia untuk mencoba, tidak bergerak. Di perusahaan yang saya kenal dinamis, ‘speed’ seakan sudah menjadi budaya perusahaan. Setiap permintaan direspon segera, mereka berjalan dengan cepat, bahkan berlari saat naik turun tangga. Keseragaman perilaku ‘bergerak’ ini serta merta menjadikan perusahaan bersemangat untuk maju.

(Dimuat di KOMPAS, 27 November 2010)

articles/people-power1.jpg|||0||bottom||
articles/people-power2.jpg|||0||bottom||

Pelangi Kejujuran

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Begitu pentingnya kejujuran dan kebenaran dalam bisnis dan pengelolaan berbagai kegiatan, menyebabkan hampir semua  organisasi dan lembaga meletakkan integritas, kejujuran, serta “professional honesty” sebagai faktor paling utama dalam nilai, budaya organisasi dan kompetensi. Meskipun semua menyadari pentingnya hal ini ditegakkan, namun realitanya kita menyaksikan betapa kejujuran dan kebenaran begitu rawan dibelokkan dan dilanggar. Padahal, dengan kompleksnya dunia kita sekarang, kita semakin menuntut integritas individu yang kokoh tidak tergoyahkan. Kita tentu bertanya-tanya, apakah nilai integritas cukup dengan cara dicekoki melalui sesi sosialisasi dan internalisasi budaya bagi seluruh karyawan? Apa yang salah dengan kebenaran di sekitar kita?

Kita lihat berita seorang tahanan yang bebas keluar-masuk rutan dalam masa tahanannya, menjadi pembahasan panjang, dikomentari dan menjadi headline berita. Ya, kebenaran memang dilanggar, nurani kita pun terusik. Padahal, kita juga sadar bahwa ini bukan kejadian luar biasa yang baru terjadi. Siapa yang tidak pernah mendengar kabar angin ada ‘helipad’ di penjara yang kebetulan dihuni oleh salah satu orang terkaya di Indonesia? Siapa yang tidak tahu bahwa banyak tahanan berkeliaran dan bisa pulang dengan alasan sakit ke rumah? Memberi dan menerima insentif atau suap, bukankah juga begitu sering kita temui? Disadari atau tidak, pemakaian fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi, korupsi waktu, juga kerap kita lakukan tanpa merasa bersalah, bukan? Jika kita sekarang ramai membicarakan cara memusnahkan jaringan ‘servis’ yang ada di penjara atau mematikan korupsi atau tindakan kebohongan yang beredar di setiap sudut di lingkungan kita, tentu kita pun perlu serius memikirkan kebenaran dalam tiap langkah dan perbuatan dalam diri kita dan sekitar kita juga.

 

{mosimage}

 Bisakah Dibelokkan?

Pada awal abad yang lalu penulis Oscar Wilde, menyatakan: ”The truth is rarely pure and never simple”. Dengan semakin canggihnya praktis bisnis, kita rasakan kebenaran pun memang semakin samar. Bukan tindakan korupsi yang sudah jelas-jelas salah, tetapi juga janji yang tidak ditepati, kebenaran yang ditutup-tutupi, jalan pintas, pinjaman bank dengan agunan yang tidak sama nilainya, bahkan ketidaksanggupan membayar hutang sering dipindahkan tanggung jawabnya keluar individu. “Siapa suruh banknya memberi bunga yang mencekik” demikian seorang debitur yang tidak sanggup membayar cicilan”. Hal yang mencengangkan adalah kebenaran yang sudah dikuakkan, disaksikan semua orang, bisa-bisanya diputarbalikkan, atau bahkan dilupakan secara berjamaah.

Kita bisa merasakan betapa jeritan untuk menegakkan kejujuran seolah-olah tindakan menggapai pelangi. Teman saya yang terkenal berintegritas masih mengatakan:”Yah, kalau seorang pejabat mengeluarkan begitu banyak uang untuk memperoleh jabatannya, kemudian melakukan tindak korupsi untuk membayarnya kembali, itu masuk akal…”. Kita lihat bahkan kejujuran atau kebenaran bisa begitu ‘mudah’-nya dibicarakan seakan bisa di “gunting-copot” dari pribadi kita, tergantung situasinya. Seolah-olah, secara personal mungkin seseorang bisa sangat-sangat jujur, tetapi untuk kepentingan politik, kejujuran terpaksa  dibelokkan.

Bukan Semata Teori

“Ah,teori….”Komentar ini terdengar di sebuah ruang tunggu sopir di sebuah gedung, ketika wacana mengenai pembubaran rutan yang berjaringan korupsi, penegakan disiplin, dan hukuman bagi koruptor dibicarakan. Bicara memang mudah, namun implementasi adalah tantangan yang sesunnguhnya. Kita tidak bisa menilai sebuah perusahaan, lembaga atau negara dari pernyataan, slogan dan “company profile”-nya saja. Budaya yang sebenarnya selalu ‘unspoken’, hanya bisa diobservasi. Realita kejujuran hanya bisa tergambar pada perilaku, terutama perilaku pemimpinnya, bagaimana sistem dijalankan, serta simbol-simbol yang ada secara konsisten.

Perusahaan yang mengutamakan efisiensi, pasti tidak akan sembarangan dalam menandatangani cek pembayaran dan akan melakukan negosiasi habis-habisan. Perusahaan yang mengumandangkan servis, tidak mungkin memperlakukan pelanggan atau komplen pelanggan secara asal-asalan. Pemilik perusahaan IKEA, Ingvar Kamprad, sangat menjunjung tinggi filosofi perusahaannya yang ekonomis, sederhana dan fungsionalnya. Meski terkenal kaya raya, ia membuktikan filosifinya dalam kebiasaan antri kalau ada ‘sale’, bepergian dengan kelas ekonomi, dan menjalankan hidup secukupnya secara konsisten. Di sini kita belajar untuk senantiasa mengevaluasi, seberapa jauh kita “menghidupkan” nilai-nilai kebenaran dalam tindakan sehari-hari? Apakah kebenaran baru sebatas slogan dan hiasan bibir saja, atau benar-benar sudah bisa terasa, terbaca, terlihat secara nyata oleh orang lain?

Benarkah budaya kejujuran tidak bisa ditransformasikan lagi?

Tanpa kita sadari, pelajaran kebohongan bisa dimulai sejak kecil. “Bilang saja ayah sedang tidak di rumah….” Demikian perintah seorang ayah yang menolak berbicara di telpon. Bisa juga tindakan jujur seorang anak, tidak sempat di ‘reward’ oleh orang tua ataupun gurunya. Misalnya saja, bila seorang anak mengembalikan barang yang sangat menarik, milik temannya, disaksikan oleh gurunya, ia tidak mendapat pujian yang layak, sehingga kita melewatkan momentum pelajaran kejujuran yang berharga.

Bila saja mulai dari lingkungan kecil, kita dibiasakan dan diberikan contoh kongkrit agar  semua orang ‘berkata jujur’, apapun konsekuensinya, kita sudah memulai gerakan kejujuran dengan baik. Apalagi bila kita “menjual” konsep bahwa dengan berkata jujur kita tidak membuat masalah semakin “ribet”. Larry Johnson dalam bukunya ‘Honesty pays”, mengatakan “Do your homework first, open the debate, open your ears, open your mouth and open your mind”. Kita memang perlu membiasakan diri untuk bersikap terbuka untuk menyatakan ketidaksetujuan, protes atau perbedaan pendapatnya. Dengan demikian, kita bisa mengikis sikap defensif dan pembiaran yang bisa membunuh semangat untuk menegakkan kejujuran. Pembuktian terhadap menangnya kejujuran adalah penyelesaian masalah yang jelas dan terbuka, sehingga setiap orang mempunyai spirit dan tetap bisa membuktikan pada dirinya sendiri bahwa sikap jujur lebih baik daripada tidak.

(Dimuat di KOMPAS, 20 November 2010)

articles/pelangi-kejujuran.jpg|||0||bottom||
articles/pelangi-kejujuran2.jpg|||0||bottom||

Good Boss

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Komentar kedatangan orang nomor satu Amerika Serikat ke Indonesia, segera saja mewarnai hampir seluruh media televisi di negara kita. Apakah Anda tergoda untuk menghitung, berapa banyak komentar negatif dan komentar positif yang dilontarkan? Mana yang lebih dominan? Kita pun segera menyadari bahwa saat bicara mengenai situasi negara, lembaga atau situasi kerja jarang sekali kita menemukan hanya  komentar positif saja. Dalam banyak situasi, buntut-buntutnya sikap, tindakan, atau gaya kepemimpinan atasan dipersalahkan. Alangkah sulitnya jadi atasan.

Saya mendengar seorang anak buah mengomentari atasannya,”Dia memaksa kita menegakkan aturan absensi, tapi dia sendiri tidak mau absen. Alasannya dia bekerja dari rumah, memeriksa pe kerjaan dan mengirimkan email, sejak pukul 4 pagi. Tapi, bukankah dia juga tidak memberi contoh?”. Bawahan lain berkomentar,”Dia tidak mengukur kemampuan bawahan, semuanya dia atur berdasarkan ukurannya sendiri. Bukankah kita tidak punya kapasitas sama dengannya?” Posisi atasan memang jelas-jelas lebih “terlihat”, gerak-geriknya diikuti, sikapnya diperhatikan orang dan sudah pasti dikomentari. Ada atasan yang peka, namun ada juga yang pura-pura tidak tahu. Ada atasan yang terganggu, mencari tahu siapa yang memberi komentar memprovokasi, namun ada juga yang melihat ini sebagai kenyataan hidup yang harus dinikmati saja. Pantas saja kita kerap menemukan atasan yang akhirnya menutup telinga ketat-ketat dan akhirnya menjadi “single player”, melakukan ‘one man show’ atau bahkan menjadi diktator, juga menghindar untuk berkomunikasi dengan bawahannya. Situasi ini memang dilematis, karena bisa membuat atasan jadi jauh dari tim, kemudian kesulitan untuk menemukan perbaikan dalam diri sendiri, tim dan anak buah.

 

{mosimage}

 Manfaatkan Kegagalan Tim

Seorang ahli manajemen pernah mengemukankan bahwa salah satu tes, untuk melihat bagus tidaknya seorang atasan atau pemimpin adalah bagaimana sikapnya dalam menghadapi kesalahan yang dibuat anak buah. Ada atasan yang mengatakan:”Yah, kalau sudah terjadi mau diapakan lagi…”, tanpa menyadari bahwa  kejadian tersebut bisa dijadikan ajang pembelajaran yang baik. Ada atasan yang langsung menghukum dan mengeluarkan surat peringatan. ”Kalau tidak, mereka tidak pernah belajar dari kesalahan! Mereka harus bisa menghitung, berapa kerugian perusahaan sebagai akaibat dari kecerobohannya”. Atasan lain bisa juga menggunakan prinsip:”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak percaya”. Artinya, sekali berbuat kesalahan, anak buah langsung dicoret dari daftar orang yang kompeten. Alangkah merugikannya situasi-situasi demikian!

Kegagalan dan kesalahan biasanya memang dilakukan oleh bawahan, bukan atasan langsung. Namun, bukankah kita perlu ingat ungkapan:”Failure sucks but instructs”, dan “No learning without failure”?. Kita memang juga perlu bersikap hati-hati dengan kesalahan, apalagi bila bersinggungan dengan nyawa manusia, misalnya saja kegagalan bedah atau penerbangan. Namun, seorang profesor yang menekuni kepemimpinan, mengemukankan bahwa inovasi dan kreativitas, sangat sulit terjadi bila kita tidak pernah mengalami kegagalan. Beliau mengungkapkan: "Seorang pemimpin atau atasan yang sukses biasanya adalah pemimpin yang justru bisa mengelola kesalahan-kesalahan yang terjadi, bahkan sudah memprediksinya, namun ia tetap mampu mengajak seluruh tim mengambil manfaat dari kondisi tersebut.” Kita memang perlu berlatih untuk mengkomunikasikan kesalahan yang terjadi secara diplomatis. Rasa bersalah, merasakan kegagalan perlu ada, bahkan sense of crisis dan urgensinya, tetapi semangat “bouncing back” tetap harus terjaga. Mengemukakan kesalahan di dalam sebuah forum sebenarnya juga tidak salah, apalagi bila membahasnya sebagai studi kasus, tetapi tentunya pelaku kesalahan tidak boleh merasa terbantai, malu sehingga semua orang ‘belajar’ untuk takut berbuat salah. Dalam sebuah ‘learning organization” semua kesalahan harus tercatat dan didokumentasikan sebagai bahan pelajaran bagi generasi berikutnya.

Dimaafkan? Diingat? Atau Dilupakan?

Pernahkah menemukan atasan yang bersikap mengancam dan mengatakan: “Sekali berbuat salah, kamu akan saya pindahkan ke posisi yang tidak menyenangkan” atau “Kalau saya bisa tidak berbuat salah, anda juga bisa”. Bayangkan bagaimana suasana tim yang tercipta dengan pendekatan ini. Suasana yang mencekam sudah pasti akan mematikan kreativitas tim, sekaligus mematikan kepercayaan anak buah pada atasannya.

Jika kita sungguh-sungguh ingin menjadi atasan yang baik, kita memang perlu bermain di tepi jurang kesuksesan dan kesalahan. Atasan yang baik siap dengan langkah mundur, punya kemampuan membangun ‘trust’ anak buah dan memberi atmosfir yang menyediakan rasa aman secara psikologis. Kesalahan yang diungkit-ungkit terus tentu saja hanya menimbulkan rasa malu, menjatuhkan moral dan memupuk sakit hati pada orang yang melakukan kesalahan. Namun, sebetulnya tidak berarti juga bahwa kesalahan harus dimaafkan dan kemudian dilupakan. Hal yang paling penting tentu adalah memaafkan dan sekaligus mengajak timnya untuk mengingat kesalahan tersebut agar bisa belajar dari kesalahan yang pernah terjadi. Kita perlu punya kemampuan untuk memaafkan karena kesadaran bahwa manusia tidak mungkin beroperasi dengan zero error. Tantangan atasan adalah untuk tidak berfokus semata pada kesalahan dan kerugian saja, namun mem-balance antara komunikasi asertif dan diplomasi. Kita tentu juga perlu menghadapi sikap defensif bawahan dan menembusnya secara halus dan menyenangkan.

Hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah sikap objektif. Seorang teman saya yang sukses, mengatakan bahwa ia selalu mengingatkan bawahannya untuk menyampaikan berita disertai fakta, contoh juga nama pelaku. “Semua komentar umum dan tidak spesifik, tidak akan masuk pertimbangan saya”. Ia berkata bahwa untuk menilai kesalahan kita tidak bisa menggunakan asumsi dan berandai-andai karena akan menyulitkan dalam mengkalkulasikan resiko dan memprediksikan kerugian maupun keuntungan dengan lebih tepat. Dengan senantiasa berorientasi pada objektivitas, kita bisa membuat diri kita menjadi atasan yang lebih “cool”, karena segala kecelakaan, kesalahan dan kerugian sudah terhitung. “Bila data sudah di tangan, kita tinggal memikirkan action yang akan dilakukan.”, demikian komentarnya.

 (Dimuat di KOMPAS, 13 November 2010)

articles/good-boss-1.jpg|||0||bottom||
articles/good-boss-2.jpg|||0||bottom||

Transformasi SDM

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Perusahaan mana yang tidak berlomba-lomba mencari bibit berbakat dengan kompetensi yang tinggi? Semakin terbukanya kesadaran akan “human” sebagai “capital” atau aset terpenting, telah mendorong perusahaan semakin rela untuk menginvestasikan dana yang tidak sedikit untuk pelatihan, mendengarkan masukan karyawan lewat survey, juga putar otak memikirkan cara-cara untuk meningkatkan “happiness” karyawan. Namun kenyataannya, masih banyak timbul ketidakpuasan pihak manajemen yang tidak melihat “gigitan” atau greget yang kuat dalam kapasitas organisasi. Seorang pimpinan perusahaan berkomentar, “Kita tidak kalah pintar. Kita memiliki human capital sepotensial GE, Starbuck, Nordstom atau Microsoft, baik secara jumlah maupun kompetensi, namun mengapa pergerakan perusahaan seolah tidak bertenaga?”

Isu “manusia”, tentu saja menjadi pe-er seluruh jajaran, baik itu pimpinan puncak, manajerial lini, supervisor tim dan individunya sendiri. Dalam situasi ini, divisi SDM atau Human Capital, tentunya tidak bisa bekerja dengan cara-cara yang “biasa”, namun perlu ekstra memutar otak dan mencari terobosan, untuk memberi dukungan dan menyediakan solusi terbaik bagi seluruh “user” dan stakeholder. Bila dalam dua tahun terakhir tidak ada terobosan baru di dalam program dan strategi human capital, ini tentu sebuah tanda bahaya! Jangan lupa, inovasi bukan sekedar output dari divisi riset dan pengembangan, tapi juga perlu nyata tampak di area human capital. Tanpa terobosan dan transformasi di bidang human capital, tentu kita sulit berharap perusahaan bisa menjadi “juara” dalam menghadapi persaingan lokal, nasional, regional apalagi global.

{mosimage}

 Individual Skills Vs Collective Skills

Sebetulnya, tidak perlu jauh menengok negara seberang untuk melihat terobosan di area human capital. Di dalam negeri pun banyak perusahaan yang bisa kita benchmark, misalnya saja bank mandiri. Proses merger empat bank, dengan kultur khas yang dibawa dari masing-masing bank, memaksa bank mandiri membuat terobosan dalam pengelolaan manusia di perusahaan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, bank bisa bersinergi. Tidak hanya kinerja finansial yang memuaskan, secara melesat mereka mampu memberi servis terbaik, mengalahkan bank-bank yang lebih dulu harum namanya di bidang servis. Apa yang menyebabkan bank ini bisa berkinerja spesial? Ternyata, keyakinan bahwa kultur perusahaan yang positif bisa menurunkan  angka NPL (non-performing loan), membuat perusahaan mengedepankan sosialisasi ‘values’ ketimbang talenta teknis lainnya. Hasilnya perusahaan benar-benar bisa mencapai kinerja yang ‘magic’ bahkan terkadang di luar perkiraan karyawannya sendiri. Ini tentu salah satu bukti nyata, bahwa transformasi di area human capital mendorong “values creation”.

Kompetensi tinggi setiap individu memang penting. Namun, kita lihat bahwa hal ini belum menjamin kapabilitas perusahaan akan berlipat ganda. Organisasi yang kuat mampu berinovasi, berubah, berganti arah dan menyesuaikan diri dengan keadaan pasar dan tuntutan pelanggan. Bila kita menyaksikan adanya hambatan senioritas, macetnya transfer ilmu dari senior ke junior, birokrasi ataupun sikap enggan berkomunikasi di sebuah organisasi, bisa dikatakan bahwa   kompetensi fungsional individunya belum bergerak secara sosial dan tidak berpengaruh pada organisasi secara keseluruhan. Ini tandanya collective skills perlu dihidupkan agar talenta yang ada bisa berfungsi tidak secara teknis saja tetapi juga sosial. Kembali, peran divisi “human capital” dalam sebuah organisasi dibutuhkan. Profesional HR harus tajam dan peka memikirkan bagaimana individu dan pekerjaannya di-’kawin’kan untuk menghasilkan sesuatu yang “lebih”. Tanpa upaya ini, organisasi hanya terdiri dari tumpukan kompetensi individu  tanpa membentuk “personality’ dan kekhasan dari organisasi.

Tantangan Multidimensi

Mana yang lebih krusial digarap: peningkatan kompetensi atau pemantapan komitmen individu pada organisasi? Banyak perusahaan merencanakan pengembangan kapabilitas organisasi dengan merancang pelatihan leadership. Mereka berharap pelatihan bisa “menyulap” individu menjadi kompeten leader yang bisa segera bergerak, mengarahkan organisasi dan mencapai hasil yang diharapkan. Hal ini bukannya keliru, tetapi belum memadai. Sepanjang kita tidak mendorong terciptanya lingkungan kerja yang kreatif dan memberi tantangan, kompetensi saja tidak akan dapat menghasilkan produktivitas. Kita tentunya sadar bahwa komitmen individu tidak terukur dalam gerak-gerik atau aktivitasnya, tetapi lebih pada kesempurnaan hasil kerjanya. Menyusun kapabilitas hanya bisa kita lakukan bila kita mengolah manusia lengkap dengan harapan, arti, kemampuan belajar, dan hubungan antar manusianya. Guru manajemen, Dave Ulrich pun mengingatkan: “Work is about more than productivity. For all our emphasis on individualistic, market competition, people still want to find meaning in their work and in the institutions that employ them.”

Tantangan multidimensi dari pengelolaan human capital, mulai dari kompetensi, komitmen, kultur, kreativitas dan lingkungan kerja ini, tentu menggelitik kita semua untuk segera bertindak. Sebagai pihak yang biasanya paling disorot dari sukses-gagalnya peningkatan kapabilitas individu dan organisasi, divisi human capital tentu perlu memperkuat benchmark untuk bisa merumuskan langkah-langkah nyata transformasi. Forum tahunan Indonesia HR Summit yang bisa memfasilitasi profesional HR untuk terus bertransformasi, berbenah melakukan benchmark dan menambah kekuatan, tentu perlu kita apresiasi. Kita tentu juga memiliki keyakinan yang sama dengan salah satu speaker di forum tersebut, yaitu ibu Rukmi Hadihartini, HR Direktur PT Pertamina (Persero), akan pentingnya Transformasi HR untuk mendorong organisasi kita siap menjadi pemain global.

(Dimuat di KOMPAS, 6 November 2010)

 

articles/transformasi-1.jpg|||0||bottom||
articles/transformasi-2.jpg|||0||bottom||

Kerja Masa Depan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pentingnya pendidikan memang tidak perlu diperdebatkan. Kita tahu bahwa hampir semua orang tua berusaha untuk mencari sekolah terbaik bagi anak-anak mereka. Tujuannya tentu untuk mempersiapkan masa depan. Kita berharap sekolah akan membantu memberi arah agar individu bisa lebih siap memasuki dunia kerja. Namun, kita sadar betapa dunia kerja semakin lama semakin kompleks, semakin bervariasi. Seorang kepala sekolah sebuah sekolah di Jakarta, mengatakan bahwa manajemen sekolah perlu menegakkan disiplin keras, tidak hanya disiplin waktu namun sampai ke cara berpakaian siswa. Setiap anak harus menjaga agar baju atasan selalu rapi dan dimasukkan. Apa hubungannya disiplin sekolah dengan mempersiapkan siswa untuk pekerjaan di masa depan? Sang kepala sekolah mengatakan, “Kami menjaga komunikasi intensif, memperkuat dan mengembangkan cara pandang global, nilai, karakter, keyakinan dan cara menilai dari anak didik kita. Ini semua demi persiapan mereka menghadapi masa depan, karena kita para pendidik dan orang tua tidak pernah bisa tahu apa bentuknya masa depan.”

Ya, dua puluh tahun lalu, kita tidak pernah berpikir akan ada pekerjaan seperti computer programmer, network engineer, wedding organizer atau financial consultant. Nandan M. Nilekani managing director Infosys Technologies bahkan memperkirakan akan terciptanya 20.000 jabatan baru di tahun 2015! Bagaimana kita yang sudah “nyemplung” di dunia kerja mempersiapkan hal ini? Sekolah seperti apa yang perlu kita cari? Training apa yang perlu kita ikuti? Bagaimana sekolah mempersiapkan lulusan “siap pakai”, sementara jenis pekerjaan di masa depan belum jelas bentuk dan variasinya?

Kalau sebelum ini, kita mengkhawatirkan bahwa dengan globalisasi, tenaga asing akan menguasai pekerjaan pekerjaan yang sebetulnya bisa dikerjakan orang lokal, sekarang kita perlu melihat ancaman dalam pekerjaannya sendiri. Apakah dalam model bisnis di masa depan pekerjaan saya masih perlu dikerjakan secara manual? Inovasi perbankan telah menciptakan ATM sehingga orang tidak perlu lagi repot antri di bank untuk menarik, mentransfer, bahkan menyetor uang. Bagaimana kalau kita bekerja di bidang seperti “investment banking’ yang tiba-tiba punah dalam setahun? Apa yang akan terjadi bila mahasiswa memilih bidang yang populer dan tiba-tiba terjadi surplus pada tenaga kerja, karena pekerjaannya menyusut? Kita juga perlu mempertanyakan, apakah industri tempat kita bekerja masih diperlukan masyarakat? Apakah kehadiran saya di kantor memang memberikan konstribusi yang signifikan?

{mosimage}

 Siaga dalam Bekerja

Kita memang tidak hidup di generasi orang tua kita di mana pendidikan dan pekerjaan seperti garis linear, bisa diprediksikan dan mantab. Bukankan kita sadar bahwa pendidikan pertanian di negara kita menghasilkan sarjana ahli pertanian dan perikanan yang handal tetapi kemudian bekerja sebagai bankir, analis ‘finance’ atau pekerjaan yang sama sekali bertolak belakang dengan pendidikannya misalnya manajer marketing susu formula? Terlepas dari tanggung jawab berprofesinya dan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang menjanjikan, dari sini sebetulnya kita bisa memahami bahwa kemampuan belajar dan beradaptasi adalah kunci keberhasilan di masa depan.

Seorang jagoan IT direkrut sebagai manajer di sebuah perusahaan besar. Bawahan yang trampil dan akuntabel membuat manajer ini bisa sedikit bersantai dan tinggal me-’manage’ anak buah saja. Tanpa disadari, dalam perkembangannya, manajemen merasa bahwa manajer ini sudah tidak mampu membuat terobosan-terobosan baru dalam ‘knowledge management’ dan teknologi informasi, sehingga terpaksa menggantikannya dengan seseorang yang dianggap lebih ahli dan kreatif. Kemampuan teknis yang kita rasakan cukup dalam waktu singkat bisa tidak memadai lagi. Manajer ini lupa bahwa kita tidak bisa puas dengan apa yang sudah kita miliki. Banyak hal baru yang perlu dipelajari. Bukan hanya paham, tapi juga harus mendalam. Bukan hanya terkait keahlian teknis, tapi juga kreativitas, wawasan dan interpersonal. Ini tentu membangkitkan kewaspadaan kita agar selalu bisa cair beradaptasi, fleksibel dan siap menerima perubahan dengan cepat. “Careers will come and go, as do businesses and industries View a job as a temporary gig and learn how to springboard to the next emerging opportunities and needs” demikian ungkap seorang futuris. 

Ubah Paradigma terhadap Pekerjaan

Dulu kita sering terpukau dengan titel pekerjaan, seperti dokter, insiyur, banker, manager, bahkan direktur. Namun dalam dunia kerja yang kompleks ini, kita tahu titel pekerjaan menjadi tidak terlalu berarti lagi. Kita perlu melihat pekerjaan sebagai ‘set of skills’ yang diaplikasikan dengan kombinasi yang berbeda-beda terhadap situasi kerja yang berbeda. Seorang dokter perlu memilih apakah ia akan menjadi ahli jamur, parasit ataupun hal yang lebih spesifik lagi. Seorang insinyur juga perlu memilih bidang automotif, mekatronik atau bidang spesifik lainnya. Bila kita bekerja di sebuah perusahaan besar, kita lebih baik mulai melihat tugas kita sebagai proyek-proyek atau kontrak-kontrak yang harus tuntas dan bernilai tambah.

Tidak peduli pada bagian lain, alias ‘cilo’-ing, sebenarnya adalah sikap bunuh diri yang sudah tidak bisa diterapkan lagi. Dengan melakukan networking secara kontinu, di dalam maupun di luar perusahaan, kita justru mendapat kesempatan untuk membuka wawasan dan melihat kesempatan untuk perbaikan. Kita juga perlu berhati-hati agar tidak terjebak semata menjalankan tugas sesuai job description karena pedoman kerja itu juga bisa menjebak kita memandang pekerjaannya sebagai tugas dan bukan ajang ‘value creating’ yang fresh, unik dan bisa berkembang sesuai dengan tantangan dan tuntutan pasar. Gejala mengejar jabatan dan merasa lega ketika mencapainya justru sekarang sudah dianggap sebagai  paradigma kuno, bahkan merupakan awal dari stagnasi karir. Jabatan perlu disikapi secara entrepreneurial untuk menciptakan kesempatan lebih lanjut.

(Dimuat di KOMPAS, 30 Oktober 2010)

articles/kerja-masadepan-2.jpg|||0||bottom||
articles/kerja-masadepan-1.jpg|||0||bottom||

Manusia : Aset atau Biaya?

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Bila dalam perusahaan ada wacana mengenai cost center dan profit center, beberapa divisi tentu akan merasa sedikit kecil hati, karena dianggap sebagai cost center dan bukan ‘breadwinner‘ perusahaan. Misalnya saja, divisi IT yang hampir  eksis  di setiap perusahaan, meskipun “jasa”-nya tidak sedikit, biasanya dianggap sebagai “orang belakang”, karena kontribusinya tidak langsung terlihat dalam mencetak keuntungan. Bagaimana dengan divisi sumber daya manusia? Jelas-jelas dalam neraca, ‘cost’ terbesar dari perusahaan adalah gaji. Bahkan, tak jarang biaya sumber daya manusia bisa mencapai 65% dari keseluruhan biaya perusahaan. Tentunya tidak mungkin biaya-biaya pengembangan sumberdaya manusia, mulai dari gaji, rekutmen, training dan fasilitas karyawan dimasukkan dalam ‘profit center’, bukan? Dengan kondisi ini, di mana letak HRD? Apakah lebih dipandang sebagai “beban”? Atau, sudah berperan sebagai “pahlawan” penggerak produktivitas? Dengan besarnya biaya yang dikelola oleh divisi HR, kita tentu berharap divisi ini bisa secara nyata memberi, bahkan melipatgandakan “keuntungan” yang telah dikeluarkan, bagi kemajuan individu dan pertumbuhan organisasi.

Di satu sisi, semua orang setuju bahwa “manusia adalah aset terbesar perusahaan”. Tanpa manusia, perusahaan tidak akan jalan. Mari kita evaluasi, apakah divisi HRD di organisasi kita sudah diperlakukan sebagai pusat strategi perusahaan? Apakah perusahaan meletakkan kebijakan dan strategi pengembangan sumber daya manusia di atas strategi dan manuver lain? Apakah dalam visi pimpinan perusahaan digambarkan tipe manusia dan perilaku manusianya di 10 tahun mendatangnya? Bagaimana bisa menjamin inovasi, pengembangan ketrampilan dan pengetahuan bila divisi SDM hanya dianggap sebagai divisi yang mengurus ketertiban, gaji dan kenaikan pangkat? Betapa kita sering mengalami, seorang yang sedang berada di kelas pelatihan, “dipaksa” meninggalkan kelas karena urusan ‘urgent’ menyangkut soal bisnis. Bukankah pelatihan juga sering dianggap sebagai upaya menghabiskan budget di akhir tahun  dan bukan sebagai upaya utama di awal tahun? Kita juga bisa melihat bahwa ketidakmampuan manajer untuk melakukan ‘coaching’ tidak dianggap sebagai hal yang krusial untuk diperbaiki dibandingkan dengan menghasilkan angka penjualan. Apa yang menyebabkan pernyataan dan  keyakinan bahwa “manusia adalah aset terbesar di perusahaan” sering tidak dibarengi dengan sikap terhadap pengembangan sumberdaya manusianya sendiri?

 

{mosimage}

 Manusia Pencipta “Values”

Sudah demikian banyak teori manajemen dan pemasaran yang menekankan pentingnya menciptakan ‘value’ dalam bisnis, bila kita tidak mau tergilas. Kita sendiri pasti juga menghargai betapa hasil pemikiran yang sekarang sering disebut sebagai ‘software’ dihargai dengan mahal. Sepintar-pintarnya  komputer, kita sendiri sangat sadar bahwa yang mengadakan inovasi dan manuver baru tetap manusia. Berarti manusia  adalah value-producing asset yang perlu menjadi fokus bisnis dan bukan dianggap sebagai beban. Ini tentu prinsip yang senantiasa perlu dipegang dan diterjemahkan dalam strategi, sistem, prosedur, inisiatif dan perilaku sehari-hari, tidak hanya oleh divisi SDM, tapi juga pimpinan perusahaan dan para manager. Kita pun perlu senantiasa mengecek dan mengevaluasi, apakah perusahaan dan HRD sudah berhasil menciptakan “values” dari manusia yang ada.

Kemampuan organisasi berkreasi, mencari jalan lain yang berbeda dengan yang ‘biasa’, hanya mungkin dilakukan oleh sumberdaya manusia yang ‘tidak biasa’. Inilah pekerjaan divisi Sumber Daya Manusia.  Para eksekutif di divisi SDM perlu tahu apa visi dan masa depan perusahaan dan sekaligus perlu sering memantau perkembangan kondisi manusia di lapangan, sehingga bisa membentuk dan mengasah manusia di organisasi, demi masa depan tersebut. Eksekutif SDM harus bisa membuktikan bahwa mereka betul-betul serius menjadi ‘strategic partner‘ yang paling utama dari manajemen puncak perusahaan. Berpikir strategis ke masa depan dan sekaligus menterjemahkan strategi ke dalam tindakan tindakan pengembangan yang efektif. Sudah tidak masanya lagi divisi SDM hanya berfokus mengurus administrasi personalia karyawan. Divisi HRD memang harus diisi oleh orang-orang yang profesional dan ahli, serta memiliki “passion” terhadap people dan juga bisnis, karena para ahli human capital ini perlu me-“re-engineer” business process dan aktif mendengarkan aspirasi karyawan, sehingga komitmen dan kapabilitas karyawan tersalur dengan positif. 

Bukan “Embel-embel”

Bila ada karyawan bermasalah, baik itu kinerja maupun sikap kerjanya, tak jarang yang ditunjuk bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah ini adalah HRD, bukan? Berapa banyak orang yang masih berpandangan divisi HRD ibarat guru BP (Bimbingan Penyuluhan) yang ada di sebuah sekolah menengah? Jika HR masih semata dituntut untuk berkutat menterapi atau memberi rasa “comfort” kepada karyawan, tentu saja perusahaan akan segera memanen masalah, baik itu moral dan produktivitas, karena fungsi penting HR modern tidak dijalankan.

Perusahaan dan karyawan, perlu sadar bahwa divisi HRD tidak bisa hanya berpikir “here and now” saja, tapi perlu jeli untuk meramalkan kebutuhan manusia dalam menjawab tantangan bisnis berpuluh tahun ke depan. Dengan demikian, yang diciptakan bukan sekedar kekuatan sumber daya manusia, tetapi justru kekuatan intelektual  dan mental manusianya. Kita tahu, menurut Dave Ulrich, peran HR yang perlu diperkuat di organisasi adalah menjadi “change leader”. Namun, tentu saja HR sendiri pertama-tama perlu bisa menggerakkan dan menjalankan perubahan di tubuhnya sendiri lebih dulu. Bila dulu manajemen bisa dipuaskan dengan program-program training dan rekrutmen yang dikelola oleh divisi SDM, maka yang sekarang perlu dihasilkan adalah kekuatan hubungan interpersonal dan spirit manusianya. Bila dulu substansi yang digarap adalah disiplin, tunjangan atau remunerasi karyawan, di masa sekarang tuntutannya adalah mengelola mindset dan prespektif karyawan. Tanpa terobosan, cara-cara baru dan perubahan, mustahil peran ini bisa dimainkan dengan optimal. Bila divisi keuangan sering dianggap sebagai urat nadi perusahaan, kini saatnya divisi HRD membuktikan peran sebagai “otak” perusahaan dan bukan lagi sekedar beban dan embel-embel di perusahaan.

(Dimuat di KOMPAS, 23 Oktober 2010)

 

 

articles/manusia-aset-1.jpg|||0||bottom||
articles/manusia-aset-2.jpg|||0||bottom||