Manajemen Batin

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mencetak pemimpin handal adalah tantangan di setiap organisasi, bahkan di tingkat negara. Begitu besar harapan dan kompleksnya tuntutan yang diletakkan di bahu seorang pemimpin, sehingga program pengembangan kepemimpinan yang didesain paling canggih pun mustahil digarap secara instan. Ya, mau tidak mau, pemimpin memang harus siap dan terbuka untuk dipoles dan memoles dirinya ‘luar –dalam’. Harus siap untuk berkeringat. Seperti halnya para calon perwira yang musti selalu siap menjalani “kawah candradimuka” satu ke yang lainnya, diterjunkan ke berbagai ‘medan’ dan tantangan, dalam kurun waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan.

Dalam suatu latihan kepemimpinan, saya memperhatikan seseorang yang tampak tidak segera mendapatkan manfaatnya. Teman kita ini, cepat memahami aturan main, patuh pada instruksi dan sepintas lalu tidak terlihat menonjol, baik pemberontakannya maupun perubahannya. Namun, dalam dirinya tampak tidak terlihat upaya untuk mempertanyakan, mengolah pertentangan, menggarap dilema kerja tim maupun mencerap doktrin. Sementara teman-temannya ‘menikmati’ refleksi diri dan secara serius mengolah berbagai proses batin yang terasa, baginya semua ini hanya bagaikan angin lewat saja. Tentu saja ini adalah ‘waste’ besar, bila sebuah pelatihan yang dijalani tidak dipandang dan diolah dengan sungguh-sungguh. Bagaimana mungkin individu bisa jadi pemimpin handal tanpa upaya untuk betul-betul menggarap aspek-aspek batin dalam dirinya? Bukankah tantangan terbesar pemimpin bukan ujian terhadap pengetahuan atau knowledge-nya, namun justru datang dari kehebatannya dalam mengelola aspek emosi dan psikologi diri dan timnya?

{mosimage}

 

Kembali Pada Diri Sendiri

Kita lihat banyak  pemimpin yang cepat  naik darah, tidak bisa menahan emosi. Kita juga bisa memahami betapa situasi terjepit ataupun krisis seperti yang kita hadapi ini membutuhkan ketahanan  dan ketekunan. Hanya orang orang yang optimis yang mampu menghadapi turbulensi politik, ekonomi dan sosial di masa sekarang ini. Di lain pihak, penyeimbangan antara optimisme dan realitas ini memang bukan hal yang mudah. Tidak selamanya seorang pemimpin berani  membuka ‘brutal facts’ dan realitas  buruk kepada anak buahnya karena tidak ingin anak buah merasa pesimis dan turun semangat, bahkan balik badan meninggalkan dirinya yang sedang kepayahan.

Seorang pemimpin memang teruji dan diujinya dari situasi yang menempatkannya pada posisi maju kena mundur kena, terjepit antara manajemen dan bawahan, terdesak antara kesempatan dan keterbatasan. Inilah sebabnya banyak juga kita temui pemimpin yang plin-plan, tidak bisa mengambil keputusan atau menentukan arah yang jelas, bahkan tidak jarang seolah terkesan pengecut. Pertanyaannya, dalam menghadapi situasi sulit ini, pada siapa seorang pemimpin bersandar? Pada siapa pemimpin belajar? Pada siapa ia bertumpu? Tentu saja, ia musti kembali pada dirinya sendiri. Jelas, bila dalam diri seorang pemimpin tidak terjadi pengolahan batin yang intensif, segala pengetahuan, keahlian bahkan karisma yang dimilikinya, pada suatu saat bisa jadi sumber daya yang usang.

Membangun Keberanian Moral

“Drive”, energi, keterarahan, disiplin diri, ‘willpower’ serta kekuatan saraf perlu ditempa, dilatih dan ditingkatkan. Bisa dibayangkan bagaimana kacaunya bila seseorang tiba-tiba diposisikan sebagai pemimpin, dituntut untuk mempraktekkan pengambilan keputusan dan pemberian arah yang jelas, sementara ia tidak memiliki dan tidak mengasah kualitas-kualitas batinnya dengan sungguh-sungguh. Seorang ahli manajemen mengungkapkan: “Courage – not complacency – is our need today. Leadership not salesmanship”. Tidak heran pasukan-pasukan khusus yang melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa berlatih berjalan kaki sejauh 600 km dan berenang menyeberangi selat Sunda. Hanya dengan ketahanan fisik dan mental seperti ini jiwa berani, tidak kenal lelah dan kekuatan menghadapi segala kemungkinan bisa tumbuh.

Latihan kepemimpinan yang melelahkan, menekan moral, bahkan kadang membosankan, sebenarnya membawa individu kepada “moral courage” untuk menghadapi manusia, anak buahnya. Hanya dengan keberanian moral, seorang pemimpin bisa bergerak dari otoritas formalnya, menuju yang lebih informal seperti membangun collective intelligence, lalu memobilisasi anggota tim untuk memecahkan masalah dan tidak mengandalkan isntruksi ‘dari atas’ saja. Fleksibilitas dan kesejajaran ini hanya bisa diterapkan oleh pemimpin yang sudah ‘lulus’ berlatih mental. “ Leadership success is a marathon, not a sprint. “

Pentingnya Melihat ke Dalam Diri

Latihan kepemimpinan yang keras, penuh deraan baik fisik dan mental, sebenarnya tidak jauh dari dorongan pada individu untuk melihat ke dalam dirinya sendiri. Bila seorang pemimpin bisa melihat ke dalam dirinya, barulah ia bisa merefleksinya pengetahuan kemanusiaannya ke orang lain. Orang yang tidak memulai dari diri sendiri akan tampil sebagai pemimpin yang tidak peka, ‘sensing’ sering meleset, terutama karena ia tidak mengenal contoh manusia yang paling dekat , yaitu dirinya sendiri.

Sebagai pemimpin, individu perlu memikirkan strategi bagaimana mengendalikan pikiran pribadi dan emosinya. Salah satu caranya adalah dengan secara sadar mengembangkan “inner dialogue” yang jujur dan terbuka dengan dirinya. Misalnya saja, bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya menuntut terlalu banyak? Apakah usaha yang terlalu keras ini akan menjadi bumerang? Apakah nada bicara saya memotivasi atau justru menjatuhkan mental anak buah?”. Hanya dengan keterbukaan dan kejujuran pada diri sendiri, seorang pemimpin mampu mengembangkan ‘passion’ pada kelompok, tanpa kehilangan sisi manusiawinya. Hanya dengan kepekaan yang kuatlah, arahan dan instruksi seorang pemimpin akan lebih “make sense”.

articles/Manajemen Batin 1.jpg|||0||bottom||
articles/Manajemen Batin 2.jpg|||0||bottom||

Kekuatan Komunitas

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang pimpinan bank mengeluhkan sulitnya menggerakkan anak buahnya untuk terlibat secara ‘all out’ dalam program peningkatan servis dan efisiensi di cabangnya. “Kenaikan target dan berbagai kegiatan yang diadakan atau diusulkan, ditanggapi dengan dingin, bahkan dikomentari sinis. Enerji yang dikerahkan lebih banyak digunakan untuk membela diri, menyalahkan orang lain bahkan berkelompok dan saling bermusuhan.”

Dengan ancaman krisis yang kita hadapi sekarang, ada perusahaan atau organisasi yang terasa sekali bahu membahu satu sama lain memperkuat perusahaan. Namun, ada juga organisasi yang individunya malah kehilangan ‘sense of belonging’, bahkan main sikut antar karyawan. Gerakan ‘short term management’ yang melahirkan strategi downsizing, outsourcing dan program pemangkasan biaya sumber daya manusia, tak pelak membuat perusahaan seringkali harus membayar mahal akibatnya, dengan menerima kenyataan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi ‘place of engagement’ yang nyaman. Komitmen individu begitu rapuh atau tumbuh hanya sekedarnya saja.

Kita lihat, ternyata “depresiasi” tidak selalu berkenaan dengan hal-hal finansial, tapi juga bisa terjadi pada rasa kebersamaan. Padahal, sebagai makhluk sosial, proses sosial dan ikatan kekuatan dalam kelompok adalah hal yang sangat penting. Menurunnya spirit komunitas ini, sebetulnya adalah kegagalan manajemen yang cukup monumental, tapi sering kali tidak terasa. Dalam kondisi seperti ini, masihkah seorang pemimpin mampu membangkitkan semangat dan mendapatkan dukungan dari anggota kelompoknya?

Komunitas itu Sakti!

Kita bisa amati bagaimana ensiklopedia Web Wikipedia, serta berkembangnya system operasi komputer Linux, mengandalkan komunitas terbuka. Siapa saja boleh berpartisipasi, tidak banyak batasan untuk bergabung, memberi masukan, menyuarakan pendapat dalam komunitas tersebut. Hasilnya, kumpulan pikiran, perasaan dan tindakan ini bagaikan bola salju yang berkembang dan menyebar pesat secara positif. Manfaatnya langsung bisa dirasakan banyak orang. Kita juga tahu betapa kesaktian komunitas sudah dinikmati Barack Obama, yang tadinya bukan siapa-siapa, namun karena dukungan komunitas teman, jaringan facebook, lalu bisa memanfaatkan energi luarbiasa.

IBM juga dimotori oleh komunitas informal ketika memasuki dunia ‘e-business’. Seorang programmer yang sangat antusias, mengumpulkan rekan-rekan yang sama-sama meyakini kesempatan ini. Mereka memulai kegiatannya tanpa budget sama sekali. Lou Gerstner, CEO yang mengetahui adanya buah pikiran komunitas ini, segera memberi dukungan, dan akhirnya, IBM menikmati bisnisnya.

Komunitas juga sering berkembang tanpa disengaja. Sebut saja, komunitas makan siang, pulang bersama, atau kegiatan agama yang karena secara rutin berkomunikasi lalu membangkitkan kesamaan rasa secara sosial. Dalam banyak situasi, komunitas dalam perusahaan punya kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan pemimpinnya sendiri. Dalam buku terbarunya: “Community: The Structure of Belonging”, pakar konseling Peter Block, mengatakan bahwa perubahan akan dengan mudah terjadi bila kelompok manusia di dalam sebuah organisasi, lembaga bahkan pemerintah menyadari dan menemukan kekuatannya sendiri, sehingga tidak ada sikap menunggu gebrakan dari pemimpin atau top manajemen, yang kadang tidak dapat menguasai emosi atau mendapatkan kepercayaan komunitas sepenuhnya.

{mosimage}

“Care”: Landasan Komunitas

Kita tentunya sangat familiar dengan berbagai komunitas, seperti komunitas jantung sehat, makanan organic atau bike to work. Jarang sekali, kita menangkap kesan negatif pada komunitas ini. Komunitas selalu mempunyai greget yang positif, kepedulian, respek dan ‘care’, sehingga mempunyai kekuatan inspiratif yang kuat.

Merangsang individualisme, mengadu domba, merangsang kompetisi di dalam perusahaan memang bisa berguna untuk pendorong prestasi. Namun sebaliknya, kita juga perlu memanfaatkan emosi sosial yang beredar di sebuah organisasi. Toyota, bahkan Pixar, dengan slogannya “make the community a magnet for talented people” jelas-jelas menghidupkan “sense of belonging” terhadap perusahaan melalui komunitas yang “mengikat” individu didalamnya, layaknya sebuah ‘keluarga’.

Visi yang Luhur: Memperkuat Organisasi

Semua orang sadar bahwa mencetak keuntungan adalah sasaran utama perusahaan. Bagi karyawan, cara mencari untung dan kualitas dalam menjalankan usahalah yang sesungguhnya bisa menumbuhkan semangat kebersamaan dan komitmen yang tidak ada matinya. Secara sederhana , dalam sebuah perusahaan nasional klien saya, rasa ‘nasionalisme’, cinta Indonesia digaungkan di kalangan insinyur insiyur muda yang perlu berhadapan dengan klien yang kebanyakan lebih senior dan berkebangsaan lain. Misi dan budaya yang luhur seperti inilah yang membuat karyawan seolah siap ‘berjuang’ bersama perusahaan. Sebaliknya, tanpa visi yang menarik, perusahaan bisa jadi hanya bergerak bagaikan manusia tanpa kepribadian, seperti tulang dan daging tanpa nyawa dan jiwa.

”Sense of community” biasanya memang berakar di tengah-tengah organisasi. Adanya “sense of community” ini biasanya menjadikan karyawan lebih aktif secara sosial, bertanggung jawab dan siap menguatkan organisasi. Bila pemimpin bisa menangkap dan memanfaatkan kekuatan sosial ini, tantangan untuk menggerakkan dan mengarahkan kelompok tentu bisa jadi lebih mudah. Inilah sebabnya, pengembangan ‘sense of community’ tidak bisa diabaikan dan perlu dilakukan sejalan dengan pengembangan kepemimpinan.

articles/kekuatan komunitas 1.jpg|||0||bottom||
articles/kekuatan komunitas 2.jpg|||0||bottom||

ABS (Asal Bapak Senang)

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saya terpana ketika seorang pimpinan perusahaan mengatakan bahwa salah satu kriteria utama yang ia cari saat akan mempromosi seorang eksekutif adalah orang yang pintar membuat dirinya ‘senang’. Padahal, kita tahu betapa kita ‘alergi’ terhadap sikap-sikap tidak terpuji yang diperlihatkan seorang karyawan seputar ‘menyenangkan atasan’ , cari muka atau ‘apple polishing’ itu. Konotasi negatif ini muncul karena membuat atasan senang, banyak dikaitkan dengan kegiatan berpolitik yang justru membuat atasan pada akhirnya tidak berkinerja secara realistis.

Jika dipikirkan lebih jauh, kehadiran bawahan di dalam tim memang sebetulnya adalah untuk memudahkan hidup atasannya, bukan? Atasan tentu saja lebih suka dengan bawahan yang membawa solusi daripada bawahan yang sedikit-sedikit datang membawa masalah. Tidak salah bila atasan lebih memilih bawahan yang aktif memberi suport daripada bawahan yang sibuk mengkritisi dan cuma bersikap jadi pengamat. Kita sadar bahwa atasan memang bergantung pada bawahan, dan bawahan yang suportiflah yang akan membuat tim yang dipimpin seorang atasan bisa berproduksi dengan optimal.

Kita sering, bahkan hampir selalu, tidak bisa memilih atasan. Beruntunglah kalau kita mendapatkan atasan yang baik hati, jago mengembangkan bawahan bahkan menjadi ‘coach’ bagi kita. Sebaliknya, kalau tidak beruntung, kita bisa mendapatkan atasan yang bisa membuat hidup kita tidak leluasa, menuntut tanpa mengembangkan dan tidak memberi kesempatan untuk maju. Masalahnya, apakah kita mau terjebak dalam paradigma mengharap atasan menentukan nasib kita? Bukankah hidup kita bisa lebih nyaman bila berada di posisi aktif, responsif, bertujuan, dan siap memberi dukungan ‘all out’ bagi atasan dan organisasi?

No “Yes-man”

Dalam pemikiran masyarakat, membuat atasan senang dikonotasikan dengan sikap ‘Yes-Man’. Apapun yang dikatakan atau diinginkan atasan, harus di-iya-kan, alias “kumaha juragan wae” . Tentu saja, sikap seperti ini sudah sangat basi jika masih dilakukan di jaman serba dinamis dan kompetitif seperti sekarang. Atasan perlu menyadari bahwa dia bisa kehilangan banyak informasi penting untuk mengambil keputusan yang tepat, bila dikelilingi bawahan dengan sikap mendukung yang ‘semu’. Bawahan yang melulu bersikap ‘Yes-man’ juga lambat laun akan kehilangan kredibilitas dirinya.

Seorang teman saya, malahan sangat senang memilih bawahan yang menurut persepsinya ‘bisa melawan’. Dalam kacamatanya, ia butuh ‘sparing partner’ dan orang yang mempunyai persepsi berbeda, sehingga bisa melengkapi keputusan keputusannya. Jelas hidup si atasan justru dipermudah dengan adanya pendapat, masukan dan koreksi dari bawahannya. Dengan mencurahkan pikiran terhadap ‘concern’ atasan, seorang bawahan bisa memperoleh kredibilitas lebih, melalui perdebatan dan perbedaan pendapat yang didasari analisa yang lebih mendalam.

{mosimage}

Tidak Selamanya ‘Problem Solving’

Persepsi kita bahwa lingkup kerja atasan adalah menghadapi hal-hal sulit sering membawa kita pada pendapat bahwa ia tidak perlu dibantu untuk tugas-tugas yang ‘tidak bermasalah’. Mendukung atasan sebetulnya banyak mengacu pada mengerjakan pekerjaan yang tidak diperhatikan orang, tidak menjadi fokusnya, rutin namun krusial. Kita tidak selalu perlu menyenangkan atasan dengan beramai-ramai mengeroyok tugas-tugas yang menjadi fokus dan prioritasnya, justru karena perhatiannya sudah tumpah ke sana. Seorang ahli manajemen mengatakan tentang dukungan atasan :” “if you don’t want a no, give him/her a hand. “

Kita lihat, betapa capres dan cawapres tidak terpilih sebetulnya bisa menjadi kekuatan yang sakti bagi presiden terpilih, bila masing-masing mendekat, mengkontribusikan pemikiran, keahlian, tenaga dan profesionalisme mereka serta menyatakan dukungannya. Sepertinya, akuntabilitas mendukung atasan ini dipandang orang bukan sebagai kegiatan menyenangkan atasan. Sejauh ini, bawahan lebih bersikap sekedar mengambil tanggung jawab dan men-’deliver’ hasil sesuai yang ditargetkan. Dari sini terlihat, bahwa kita sering melupakan bahwa memberi dukungan pada atasan adalah ketrampilan penting yang perlu dikembangkan seperti halnya ketrampilan lainnya.

Pikirkan Anda Berada di Posisi Atasan

Dalam banyak situasi saya menyaksikan ketidakpuasan terhadap atasan disikapi dengan menjauhinya, berbicara di belakang, mencemooh dan pada akhirnya, tidak melakukan apa yang diharapkannya. Pernah saya bertanya pada seorang bawahan dari atasan yang kurang populer: “Apakah pernah terpikir untuk menggantikan posisinya?”. “Apakah pernah terpikir bagaimana rasanya menjadi atasan bersangkutan?” Dengan tidak memikirkan bahwa kitalah suatu saat nanti yang akan menjabat sebagai atasan, kita memang bisa kehilangan ‘kedekatan’ dengan posisi tersebut dan secara otomatis kita jadi seperti alergi terhadap individu yang berada di posisi itu.

Para ‘new agers’ sering berslogan “Visualize yourself as you want to be and you’ll find yourself moving closer to your goal.”. Ber- ‘mind set’ ‘jika saya jadi…”adalah hal positif yang akan meyakinkan kita untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi tantangan, berani meraup lebih banyak tanggung jawab dan “walk the extra mile”dan mulai untuk berperan sebagai bawahan yang professional dan lebih suportif.

articles/abs 1.jpg|||0||bottom||
articles/abs 2.jpg|||0||bottom||

Memancing Terus Terang

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang teman kerja, saat mendapat kesempatan untuk berbicara rileks dengan saya, mengeluarkan berbagai komentar tak terduga-duga mengenai situasi lingkungan kerja di bagiannya. Saya sungguh terkejut, karena dari luar, tampak tidak ada masalah dengan divisi tersebut. Ternyata, ia dan teman kerja satu divisi punya berbagai keluhan tentang atasannya. Si atasan tampaknya tidak menyadari bahwa teman-teman yang dipimpinnya mempunyai unek-unek dan berbagai masukan untuk pengembangan dirinya. Padahal, bila ditanya, semua orang berkata mereka lebih suka hubungan interpersonal yang diwarnai suasana terus terang. Ini berarti ada sesuatu yang mengganjal, membuat macetnya komunikasi, terutama bila komunikasi itu bersifat kritik pribadi, walaupun sebenarnya tidak diinginkan.

Gejala tidak berani usul, diam saja saat ketika mendapat perlakukan kurang fair atau melihat ketidakberesen, saya lihat terjadi juga pada beberapa bagian dan di banyak organisasi. Meskipun nyata-nyata tidak ideal dan tidak produktif bagi tim, organisasi bahkan bangsa, namun ketidakterusterangan seakan sudah membudaya. Kita tahu, tumbuh subur pendapat: “Sebaiknya tidak berkomentar, kalau mau “selamat” di organisasi”. Bisa jadi, reaksi negatif dari bapak dan ibu atasan saat dikritik juga membuat kita jadi tidak nyaman mengkritik. Individu yang berasal dari keluarga yang terlalu sopan, juga diajarkan sejak kecil untuk “tutup mulut” daripada dicap kurang ajar. Tak jarang, budaya ketimuran kita sebagai orang Indonesia, dijadikan kambing hitam atas sulitnya membangun budaya keterbukaan. Padahal, apakah karena kita orang Indonesia, kita tidak butuh menggarap organisasi, manajemen atau bahkan pemerintahan yang menanggapi informasi secara cermat, ‘on time’ dan dalam? Pertanyaan kita semua, bagaimana kita membangun budaya di mana setiap orang berani berterus terang  sehingga informasi bermanfaat bisa beredar dengan leluasa dan dikembangkan?

Apakah kita Akan terus Menghindar?

Secara naluriah, manusia memang inginnya menghindar dari konflik maupun kenyataan yang ‘pahit’. Kita semua tahu bagaimana sakit perutnya menghadapi keluhan pelanggan. Perasaan yang sama juga kita rasakan saat menghadapi realitas adanya hubungan interpersonal yang tidak harmonis. Melihat para politisi atau negarawan saling berseteru saja kita bisa merasa tidak nyaman. Bila ada 2 rekan kerja terdekat berseteru atau saling mendiamkan, pastilah kita juga merasa terganggu. Ketidakcocokan antar divisi yang sudah menjadi masalah klasik, kalau mungkin dihindari, rasanya ingin kita hindari. Rasa tidak nyaman tentunya akan mengganggu, bila kita sendiri yang tengah mengalami tidak harmonisnya hubungan interpersonal dengan orang lain. Ini adalah mekanisme yang wajar.

Walaupun usaha dilakukan mati-matian pun, keterbukaan adalah juga pilihan yang sangat pribadi. Ada orang yang dari ‘sana’-nya memang sudah tidak mau terbuka. Menghadapi kenyataan ini sekali pun, lebih baik memulai membenahinya daripada diam saja.

{mosimage}

Pentingnya “Campur Tangan” Manajemen

Kita bisa bertanya pada diri sendiri, apakah tempat kerja kita benar-benar telah menerapkan ‘open door policy’ yang sering didengung-dengungkan. Ini tentunya tidak berarti bahwa top manajemen ber’kuping tipis’ dan menyikapi langsung semua informasi mentah yang diterima. Kita perlu mempertanyakan apakah feedback dan masukan itu mengalir dengan lancar dan sejuk, tidak memanaskan suasana. Bila manajemen puncak tidak bersikukuh untuk mendorong terbukanya jalur-jalur komunikasi, tidak mungkin keterbukaan secara tiba-tiba turun dari langit.

Kita lihat bahwa organisasi yang secara sungguh-sungguh menggalakkah perbaikan komunikasi menyeluruh, menunjukkan persentase kesuksesan yang lebih besar, ketimbang bila individu yang mengupayakan keterbukaan ini sendiri-sendiri. Di sebuah organisasi, upaya ini diterjemahkan dalam ‘buddy program’ yang cerdas. Individu, dipasangkan dengan ‘buddy’ atau mentor dari divisi lain. Dengan demikian, karyawan yang berada di ‘grassroot’ merasa lebih bebas untuk bersuara, karena ‘buddy’-nya bukan penentu nasibnya secara langsung, bisa lebih dipercaya dan tidak terlalu beresiko. Ini hanya salah satu upaya untuk memperlebar telinga, sambil berbesar hati sekaligus berpikir kreatif mencari solusi.

Kembangkan Ritual Komunikasi

Memancing keterusterangan, tak pelak akan membuat berbagai masalah menjadi lebih kelihatan. Atasan yang terlihat sanggup menggerakkan teman-temannya, ternyata tidak disukai anak buah. Tim yang saat bertemu tampak harmonis dan rukun-rukun saja, ternyata bersaing tidak sehat. Bila kita sudah komit untuk memancing keterusterangan, kita pun perlu sama-sama berniat mencari solusi yang bisa diterapkan, tepat saat berbagai masalah dan kenyataan terbuka. Solusi yang ditunda sama saja menguburkan masalah ke area yang lebih sulit digali lagi.

Sebagai orang yang sadar bahwa ada masalah dan berniat untuk memperbaikinya, kita tidak bisa menuntut ataupun menghukum orang lain, namun kita bisa menciptakan sistem yang bisa mendorong pembenahan hubungan secara menyeluruh. Lingkungan kerja harus diciptakan sedemikian rupa sehingga orang-orang harus secara kontinyu merasa bebas bersuara. Kita bisa secara kontinu menjalankan program umpan balik 360 derajat, melakukan perbaikan program komunikasi internal, atau merubah lay out ruangan. Pembenahan juga tidak ada artinya bila kita tidak betul-betul berniat untuk menjaga suasana di masa depan. Program sharing tentunya harus lebih sering dilakukan, perkembangan perusahaan perlu terus di-update dan berbagai ritual komunikasi harus senantiasa disuburkan. Komunikasi terbuka ini harus diupayakan sepenuh energi.

articles/memancing terus terang 1.jpg|||0||bottom||
articles/memancing terus terang 2.jpg|||0||bottom||

Rasa Memiliki

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah rapat di perusahaan klien, terjadi ketegangan menghadapi kerugian yang tidak bisa terelakkan. Pelanggan menuntut ganti rugi, sementara perusahaan harus mengeluarkan banyak uang bila meluluskannya. Saat tanggung jawab terasa tidak seratus persen di tangan diri pribadi atau divisi, semua orang diam, tidak berinisiatif mengambil risiko. Tidak ada yang berusaha mengambil kendali yang pada dasarnya adalah akuntabilitas bersama.

Pada saat-saat seperti ini, barulah terasa bahwa seringkali  ada beban tanggung jawab yang lebih besar dan lebih luas menghadang di depan mata. Kita punya pilihan: Apakah akan diam di saat perusahaan terancam? Apakah pada saat perusahaan krisis, kita sekedar ingin menjadi komponen atau berdiri di depan? Apakah anak buah korupsi, ada atasan muncul dan mengakuinya sebagai kesalahan dirinya yang kurang pengawasan? Apakah saat terjadi ambruknya jembatan, ada pejabat yang tidak sekedar membuat alasan dan penjelasan, tapi langsung menyatakan rasa bersalah? Kekuatan memilih untuk memperbesar beban tanggung jawab dan memperluas jangkauan akuntabilitas inilah yang sering disebut-sebut orang sebagai ‘rasa memiliki’ atau ‘sense of belonging’.

 

Menguji Sense of Belonging

‘Rasa memiliki’ bisa terasa dan teruji dalam banyak situasi. Melalui kampanye dan kelompok-kelompok yang punya kesamaan rasa dan pemikiran misalnya, kita lihat beramai-ramai orang mendukung aksi: “Aku bangga jadi orang Indonesia”. Di perusahaan, untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas, banyak pihak bersuara lantang dalam meeting dan brainstorming mengenai solusi, inovasi, kebijakan dan cara bagi tim dan perusahaan untuk bisa tetap kompetitif. Ini memang ekspresi rasa memiliki. Namun, rasa memiliki yang lebih jauh, justru teruji bila kesalahan, kerugian, resiko besar juga “dimiliki” individu secara konkrit, dalam bentuk tindakan.

Slogan-slogan  perlu teruji dengan realita betapa kita langsung menyingsingkan lengan baju membantu korban bencana tanpa banyak analisa dan komentar. Dalam situasi keuangan perusahaan yang seret, apa reaksi kita saat gaji dipangkas dan fasilitas dipotong? Saat dibutuhkan untuk berkorban, misalnya anggaran unit dipotong, fasilitas dipangkas, terkadang keluar pernyataan: ‘Kenapa Saya?’. Individu yang punya ownership yang baik, sebetulnya akan spontan berkata: ‘Kalau bukan saya, siapa lagi?’ Di sinilah kebesaran jiwa, keberanian akan tercermin dalam akuntabilitas yang otomatis, tanpa pikir panjang.

{mosimage}

Haruskah Menyalahkan Cuaca?

Sebuah perusahaan yang sedang menggalakkan program kepemimpinan, mengeluhkan macetnya program pengembangan karyawan. Saat didiskusikan akar permasalahannya, banyak karyawan menyebutkan bahwa pimpinan perusahaan yang sangat dominan, cerdas, jeli namun tidak banyak mengayomi-lah yang menyebabkan buruknya situasi. Banjir keluhan bahkan komentar sinis yang sedikit-sedikit ditujukan ke pimpinan perusahaan, akhirnya berdampak buruk terhadap pengembangan individu  sendiri. Dengan berfokus pada buruknya situasi, pusat kontrol dalam diri individu terhambat. Individu cepat merasa tidak berdaya. Sebagai akibat, motor yang menggerakkan diri untuk merasakan ‘sense of urgency’ serta ambisi untuk menjadi lebih baik, lumpuh.

Kita memang bisa menyalahkan cuaca, membaca ‘angin’ dan mencium atmosfir, tetapi motor penggerak dalam diri kita sebagai individu perlu kita hidupkan bahkan kita optimalkan agar tidak aus. Mencari kambing hitam dalam situasi bekerja ataupun dalam hubungan suami isteri, justru menutup kemungkinan kita untuk mengembangkan diri secara jangka panjang.

Mengaku Salah, bukan Mengaku Kalah

Saat Alan Greenspan didesak di hadapan Kongres Amerika dan secara langsung ditanya: “Apakah Anda bersalah?” atas terjadinya krisis global, ia menjawab: “Ya, sebagian saja”. Kita lihat betapa pamornya yang bertahun-tahun dikagumi dunia karena pemikiran-pemikirannya yang cemerlang, sirna karena jawabannya yang seakan berusaha tidak mengalokasikan kesalahannya lebih lebar daripada tindakan kongkritnya. Andaikan saja seorang bernama  besar seperti itu bisa mengambil tanggung jawab dan menganggap bahwa krisis sebagian besar adalah kesalahannya, dunia justeru akan lebih bersimpati dan menghormatinya. Pengakuan atas kesalahan pribadi atau kelalaian, tidak sekonyong-konyong menjatuhkan pamor, malahan bisa menjadi tindakan ksatria yang bisa membangun kredibilitas, rasa percaya dan bisa membawa tim untuk mengambil tindakan perbaikan diri bersama. Rasa memiliki bukan saja terasa kalau lembaga atau Negara sedang aman-aman saja, tapi justru pada saat seseorang memilih untuk  maju dan mengatakan :”Ini salah saya”.

Mengaku salah, kadang berat karena seolah-olah mengaku kalah. Namun, pasang badang mengaku salah, sebenarnya sangat erat hubungannya dengan ‘sense of belonging’ yang sering didengung-dengungkan orang. Kita lihat betapa banyak pimpinan atau mantan pimpinan berlomba-lomba mengklaim sukses yang ia buat di masanya, namun saling lempar tanggung jawab bila diangkat mengenai kesalahan kebijakan atau pengambilan keputusan yang ia buat.

Bila seseorang bisa mengakui kesalahan, ia secara otomatis akan lebih berupaya mengambil tindakan atas masalah yang berada dalam ‘jangkauannya’, lebih bebas mengalokasi perbaikan dan mengganti arah untuk sukses selanjutnya. Tentu saja permintaan maaf juga tidak kita harapkan tanpa penghayatan, tanpa ketulusan atau bahkan sebagai suatu alat untuk menghindari terbukanya kesalahan yang lebih dalam. Permintaan maaf, terutama yang keluar dari seorang pemimpin adalah bukti atau praktik penalarannya. Dibuka dengan pernyataan pengakuan atas tanggung jawabnya, seorang pemimpin sebetulnya lebih mudah mengelola resiko, membuka pikiran orang di sekitarnya, membuka diskusi yang lebih dalam, terbuka dan jujur demi “corrective actions”.

articles/rasa memiliki 1.jpg|||0||bottom||
articles/rasa memiliki 2.jpg|||0||bottom||

Komplain

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Setiap hari, di surat pembaca, internet, milis, facebook, bisa kita temukan pelanggan komplen terhadap produk atau jasa yang mereka bayar. Mulai dari yang sekedar kecewa, sampai yang betul-betul murka. Dari yang berbahasa halus, sampai yang memaki-maki. Pelanggan dan penyedia jasa, kita tahu tidak selamanya berangkulan mesra dan berdampingan akrab seperti selalu digambarkan di iklan. Kenyataannya, tak jarang kita kita lihat, pelanggan dan penyedia jasa berdiri berseberangan, saling memandang sebagai ancaman, bahkan saling melawan.

 

Pelanggan Biasanya “Sudah” Dirugikan

Kiriman salah alamat, pesanan datang terlambat, produk tidak berfungsi, manfaat tidak dirasakan, hanyalah beberapa contoh kerugian yang kerap dialami pelanggan.  Kita tahu bahwa salah diagnosa dan  malpraktek  bukan saja dilakukan oleh dokter atau rumah sakit, tetapi juga bisa terjadi di bengkel atau usaha jasa lainnya. Banyak penyedia jasa yang punya reputasi baik dalam memberikan servis, masih tetap dinilai pelanggan sebagai lembaga yang ‘buruk’ dalam menghadapi keluhan.  Sebutlah, nasabah yang berjanji untuk membayar sebuah transaksi pada rekan bisnisnya di malam hari. “Malam ini juga saya transfer pembayarannya”, dengan harapan akan melakukan pembayaran melalui M-banking, dengan menggunakan ponsel. Apa lacur, jasa tersebut off-line. Transaksi batal, pelanggan rugi.

Oleh penyedia jasa, hal ini dipersepsi sebagai kesalahan prosedur. Padahal, pelanggan biasanya tidak mau tahu dengan prosesnya, tetapi lebih peduli pada ‘hasil’-nya. Inilah yang sering menyebabkan pelanggan mencak-mencak bila tidak mendapatkan solusi dari keluhannya. Situasi ini juga yang membuat pelanggan kerap dipandang sebagai ancaman oleh para penyedia jasa.

Kita sama-sama mengerti  bahwa penyedia jasa tidak mungkin mengganti kerugian yang diderita pelanggan akibat keterlambatan atau kemacetan servis. Sementara, kerugian pelanggan sering sulit dinilai dengan nominal angka rupiah, mulai dari hilang kesempatan, hilang kepercayaan, rugi suku bunga atau penyakit yang bertambah parah. Bila tidak berhasil melampiaskan kemarahan secara tatap muka, internet-lah yang lalu menjadi saluran kemarahan. Bagi penyedia layanan, komplen yang dipublikasikan bagaikan menerima vonis di pengadilan. Nama baik tercoreng. Bila sudah terjadi kerugian, memang sulit rasanya terjadi saling empati antara pelanggan dan penyedia jasa. Pertanyaannya, masakan tidak ada jalan keluar dalam menghadapi situasi seperti ini?

{mosimage}

Siapkan Enerji Dobel

Sebuah restoran yang sedang rajin mencari pelanggan, membuat forum di berbagai blog di internet. Lewat media ini, komplen pelanggan terpublikasikan. Nama mereka kadang tercoreng habis-habisan. Hebatnya, semua keluhan seperti ‘two thumbs down’ atau pernyataan kapoknya pelanggan ditanggapi dengan enerji luar biasa. Si penulis komplain diundang, dikirimi voucher, diwawancara dan dirangkul. Meskipun tidak semua pelanggan ‘patah hati’ kembali, namun beberapa di antara mereka bahkan menjadi teman. Dan, yang terpenting, masukan dianggap sebagai data terpenting untuk perbaikan sistem, produk dan sikap manusia pelayannya.

Kita lihat bahwa manajemen komplen yang hati-hati sebenarnya bisa menghindari ‘unwanted cost’ yang tidak disangka-sangka. Salah langkah dalam penanganan komplain, malahan bisa menjatuhkan reputasi, merogoh kocek yang tidak sedikit untuk pemasangan iklan pemulihan nama baik, bahkan bisa sampai menguras waktu dan biaya pengacara di pengadilan.

“Magic Words” dalam Penanganan Keluhan

Baru-baru ini saya menyaksikan, seorang tamu restoran menunjukkan batu kerikil dengan diameter sekitar 0,5 cm, di dalam nasi gorengnya  kepada pelayan. Tamu itu hanya mengatakan: ”Masih untung tidak tertelan!”. Pelayan yang panik, memanggil GM restoran. Sayup-sayup terdengar,  baik GM maupun pelayan  secara bersahut-sahutan berusaha menerangkan bagaimana hal tersebut terjadi di dapurnya. Sambil menyaksikan, saya merasa berdebar-debar, khawatir akan terjadinya konflik yang lebih meruncing. Bisa saja si tamu saking kesalnya meninggalkan restoran. Untungnya, 1 porsi nasi goreng baru sudah disediakan dan suasana kembali normal.

Seorang ahli servis menyebutkan manajemen penanganan komplen sebagai “Service Memory Management“. "It is not how satisfied you keep your customers, it's how many satisfied customers you keep." Tidak pelak lagi, pelanggan yang marah karena kerugiannya berhak mendengar kata-kata:”Maaf Pak/Bu, kami memang salah”, sebelum penyedia jasa melakukan penanganan dan memberi solusi lebih lanjut. Penjelasan ngalor-ngidul mengenai penyebab kejadian tidak akan berguna, kecuali bila pelanggan memang betul-betul berminat mendengarkannya.

Pelanggan yang komplen, bila menerima sikap mengaku salah akan merasa seolah disiram air es. Marahnya pun pasti mereda. Tentunya permintaan maaf yang tulus dan dalam, perlu secara kreatif dikompensasikan segera. Imbalan atau kompensasi mungkin tidak mempunyai nilai yang sama, tetapi perlu memberi ‘wow’ kepada pelanggan kecewa. Bila imbalan yang diberikan tidak signifikan, pelanggan tetap akan merasa dilecehkan dan mungkin akan menyerang kembali. Kita tidak boleh lupa bahwa setiap orang marah punya radar perasaan dan daya ingat yang lebih tajam. Ia pun akan cepat tanggap dan ingat apakah permintaan maaf ditindaklanjuti dengan komitmen dan solusi.

Buktikan Komitmen dalam “Manajemen Keluhan”

Dalam wawancara televisi saya menyaksikan betapa tumpulnya  seorang pejabat penyedia jasa menerangkan mengenai manajemen penanganan keluhan di lembaga yang dipimpinnya. Yang diterangkan justru hanya proses, prosedur dan posisi ‘counter’ penanganan keluhan, tanpa menyadari bahwa sebenarnya yang diharapkan publik justru niat untuk mencari solusi dan seberapa puas pelanggan setelah mengeluh. Kesalahan pasti dilakukan oleh oknum tertentu dan bukan atas arahan perusahaan. Sikap defensif bahkan cuci tangan perusahaan dan mengajak pelanggan atau publik berkonsentrasi pada oknumnya, sekedar membuat pelanggan semakin tidak sabar, tidak tahu dan samar mengenai solusi yang ia dapatkan. Padahal pada saat inilah justru lembaga atau perusahaan perlu memamerkan reputasinya sebagai perusahaan yang penuh komitmen dan paham arti ‘servis’ yang sebenarnya.

articles/komplain 1.jpg|||0||bottom||
articles/komplain 2.jpg|||0||bottom||

Beli Pendapat

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah rapat, dari hati ke hati saya bertanya kepada beberapa kolega, “Apa sih yang salah di perusahaan kita?“ Dan, “Apa yang kurang dari diri saya sendiri?”. Teman – teman ini langsung celingak – celinguk ke kiri dan kanan, lalu secara bercanda mengatakan “Ah, nanti saya dibilang cari muka”. Ada yang mengatakan tidak siap dan akan berpikir – pikir dulu. Seseorang bahkan berkata:”Wah, nanti ibu marah”.

Banyak orang datang pada kami dengan keluhan ‘tidak di dengar’. “Kalau saya yang bicara, sering tidak didengar, bu.”, “Lebih baik orang luar atau pakar saja yang bicara…”. Biasanya yang langsung saya pertanyakan adalah kemampuan presentasi atau persuasinya. Sudahkah kita mempresentasikan pendapat dan ide dengan taktis, dalam ‘timing’ yang tepat?

Di sisi lain, memang kita juga melihat sendiri, sekeras-kerasnya dan sejago-jagonya seseorang ‘menjual’ pendapatnya, si pendengar bebas 100% untuk memilih apakah akan ‘membeli’ atau ‘mengacuhkan’ pendapat yang ia dengar. Tak jarang kita lihat, orang heboh berdemo, menulis di media, memasang iklan dan spanduk atau kampanye habis-habisan, namun tetap saja si pendengar, meskipun manggut-manggut, tidak bergeming, tidak mengambil keputusan, cuek saja. Persis peribahasa, Anjing mengonggong, Kafilah berlalu. Pertanyaannya, bisakah kita hidup happy dengan menutup telinga atas pendapat, usulan dan masukan orang lain? Sejauh mana kita perlu mem-“buy-in” pendapat orang lain?

 

Keyakinan itu Manusiawi

Pemberitaan mengenai korupsi atau perkara pidana yang demikian berbelit-belit, terbolak-balik, sering kali memang membuat kita jadi begitu sulit untuk ‘buy-in’ atau percaya pada fakta yang dipaparkan, baik di media masa atau bahkan diungkapkan secara resmi oleh otoritas. Tingginya angka ‘golput’ juga seakan menggambarkan betapa individu makin sulit untuk digugah dan sulit diajak ‘bergerak’. Orang semakin sulit diyakinkan dan sulit diajak untuk percaya pada orang lain. Ketidakyakinan terhadap ide, ajakan atau kampanye ini dilatarbelakangi oleh logika individu. Ini terjadi ketika kita sudah dewasa,terutama setelah mengalami naik-turun dalam memupuk keyakinan kita. Padahal sejak baru lahir, manusia dibekali baik secara emosional maupun secara biokimia, kemampuan untuk meyakini dan mempercayai individu yang ada di dekatnya.

Hasil riset menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih meyakini orang yang punya kualitas dan latar belakang sama dengan dirinya. Individu juga cepat mempercayai orang yang mempunyai pendapat sesuai dengan harapan atau ramalannya. Orang ternyata juga cenderung sangat meyakini penilaiannya sendiri. Dalam suatu penelitian yang dibuat  terhadap sekelas mahasiswa MBA, ditemukan bahwa 77% populasinya meyakini bahwa pendapat dirinya mengenai kualitas rekan sekelas dinilainya 90% benar. Ini berarti, individu cenderung sangat meyakini penilaiannya sendiri. Sekali ia percaya pada sesuatu, ia tidak mau repot-repot mengecek keyakinannya kembali. Sebaliknya, begitu ia tidak percaya pada sesuatu, ia juga cenderung tetap pada pemikirannya. Keadaan seperti ini, sebetulnya dapat kita golongkan dalam kesalahan persepsi. Bayangkan, apa jadinya situasi kerja, dinamika politik, perkembangan tim bisa berjalan dengan baik, bila kita mempunyai hambatan dalam mempersepsi pendapat dan pikiran orang lain? Bukankah  di masa di mana koalisi, kerja sama, kerja tim sudah demikian memburuk kita perlu bersama-sama berpikir keras untuk membuat keyakinan kita pada orang lain “back on track”? Bila rasa percaya tidak kita pupuk, bagaimana kita mau mendelegasi, bekerja sama, mengambil tindakan beresiko, membina hubungan bisnis bahkan memilih presiden?

{mosimage}

Uji Obyektivitas

Teman saya sangat jago berbisnis. Orang-orang mengatakan ia punya indera ke enam dalam menjalankan bisnis. Namun, dalam mengembangkan tim, bahkan organisasi, ia banyak sekali mementahkan dan tidak percaya pada pendapat orang lain. Bila sudah tidak suka pada seseorang, hampir pasti ide orang tersebut, meskipun bagus, akan ditolaknya. Banyak proposal yang ‘mental’, sebelum selesai dipresentasikan. Lama-kelamaan orang-orang tidak berminat untuk mengemukakan ide dan gagasannya. Bukankah hal ini merugikan dirinya sendiri?

Untuk menumbuhkan rasa percaya, memupuk keyakinan, kita perlu sesekali memeriksa diri dan mengevaluasi siapa saja orang yang selama ini kita percaya dan siapa yang tidak kita percaya. Keyakinan kita ini bisa saja salah. Untuk itu, kita perlu mengecek pada orang yang ‘netral’, untuk melihat apakah penilaian dan keyakinan kita cukup obyektif.

Orang yang secara ekstrim “tidak percaya-an” pasti lebih sulit maju daripada orang yang bisa bersikap terbuka terhadap masukan. Pada tahun 80-an, perusahaan komputer, Hewlett Packard (HP), mulai memberi fasilitas pada karyawan untuk membawa pulang peralatan kerja ke rumah, termasuk hari sabtu dan minggu. Hasilnya, selain produktivitas karyawan meningkat, uang lembur tidak membengkak, HP pun jadi dikenal sebagai perusahaan yang mengembangkan ‘rasa percaya‘ di lingkungan karyawannya. Kehidupan yang dibumbui sikap terbuka akan keberbedaan dan keinginan untuk memahami pendapat orang, pastilah lebih menyenangkan dibandingkan kehidupan yang belum-belum sudah  tidak ‘buy-in’ pendapat orang.

Kritis Mempertanyakan

Sikap menutup diri, tidak mau percaya, tidak mau berpihak, memilih untuk ‘golput’, sebenarnya adalah pertanda bahwa hidup kita sudah tidak berkembang lagi. Bayangkan, apa jadinya bila kita sudah tidak mau susah-susah mempertanyakan fakta, pendapat atau dilema untuk diolah ke dalam pemikiran kita? Ini seperti hidup, tapi sudah tidak punya rasa lapar lagi.

Individu yang ingin senantiasa aktif dalam kehidupan sosial, terutama di dunia kerja, perlu menjaga kebugaran mentalnya dengan selalu mempertanyakan apa yang ada di depan matanya. Dengan mempertanyakan dan mengolah informasi yang kita terima, kita punya bahan untuk mempertebal keyakinan. Inilah yang membuat kita tidak merasa sendirian di lingkungan sosial dan memperkokoh pendirian kita. Bukankah mempertebal keyakinan adalah proses untuk menjadi lebih dewasa dan bijaksana?

articles/beli pendapat 1.jpg|||0||bottom||
articles/beli pendapat 2.jpg

Get the Point

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah rapat, dari hati ke hati saya bertanya kepada beberapa kolega, “Apa sih yang salah di perusahaan kita?“ Dan, “Apa yang kurang dari diri saya sendiri?”. Teman – teman ini langsung celingak – celinguk ke kiri dan kanan, lalu secara bercanda mengatakan “Ah, nanti saya dibilang cari muka”. Ada yang mengatakan tidak siap dan akan berpikir – pikir dulu. Seseorang bahkan berkata:”Wah, nanti ibu marah”.

Reaksi seperti ini membuktikan bahwa mengkritik secara terbuka di depan orangnya langsung, dengan berusaha tidak menyakitkan hati, tapi ‘get the point’, bukan hal mudah. Banyak orang memilih menghindar untuk memberi kritik, kuatir dianggap ‘musuh’ atau ‘sirik’ oleh mereka yang menerima kritik. Beberapa orang berkomentar dan mengeluh mengenai atasan dan pimpinan di Indonesia yang kurang terbuka terhadap kritik. Namun, dari pengalaman saya, di perusahaan asing pun orang tetap kikuk, hati – hati dan takut – takut untuk menyampaikan feedback.

Lalu, bagaimana dengan nasib presiden, bekas presiden atau calon presiden yang bila dilihat – lihat, memerlukan pengembangan di sana sini? Sikap kurang pas yang ditampilkan berulang kali kadang membuat kita berkomentar:”Apa iya, tidak ada memberi saran mengenai cara berpakaian nya? cara bicaranya di depan umum? Atau, sikapnya dalam menjawab pertanyaan di ‘kick andy’?” Bila tidak ada yang memberi masukan dan saran mengenai perilaku, bicara, maupun sikapnya, bagaimana seorang pemimpin bisa mengembangkan dirinya lebih lanjut? Bukankah ia juga memerlukan sarana bercermin agar mendapatkan fakta yang obyektif mengenai area pengembangannya?

“My Way” vs Self Awareness

Sementara banyak perusahaan rela membayar mahal untuk bisa menikmati dan mendengarkan feedback dari pelanggan maupun karyawan, seorang teman saya malah menolak, ketika sebuah lembaga pendidikan akan menggunakan perusahaannya sebagai ‘sample’ ‘employee survey’. Ia seolah sudah tahu semua mengenai kekurangan dirinya atau organisasi. Bahkan, ia mengatakan bahwa bila ia memperoleh masukan dan ada yang mengkritiknya habis – habisan, apakah ada yang bisa menggantikan posisinya dengan lebih baik? “buntut-buntutnya, kita jugalah yang perlu berinisiatif untuk melakukan tindakan perbaikan yang diharapkan”, ujarnya.

Memang benar, bahwa ujung – ujungnya diri kita sendirilah yang perlu menimbang – nimbang, mana masukan yang akan kita garap. Kita sendiri yang memutuskan mana yang akan digarap sekarang, mana yang akan dikerjakan nanti, atau bahkan yang perlu dibiarkan saja. Tidak semua masukan perlu dikomentari, direspons, atau dibesar – besarkan. Di mana – mana, yang namanya feedback, sedikit banyak menyakitkan bagi kita yang menerimanya. Namun demikian, jangan sampai perasaan kita terhadap masukan yang masuk, menghalangi kita untuk memanfaatkan saran atau kritik yang kita dapatkan dari orang lain.

Seorang lulusan management trainee yang begitu cemerlang, ditempatkan dibagian dengan anah buah berjumlah relatif banyak. Alasan penempatannya adalah karena ia sangat luwes dalam bergaul, bisa menstrategikan tindakan nyata yang cocok untuk area kerja dan jenis pekerjaannya. Jabatan asisten manajer mendadak yang dipangkunya, kemudian membuat teman kita ini agak sedikit terlalu bangga akan posisinya. Selain mondar mandir dengan fasilitas baru, ia juga mendadak banyak ‘keluar aslinya’ yaitu berbahasa kasar. Orang di sekitarnya jadi bersikap ‘malas’ berhubungan dengannya. Bayangkan saja, bila dalam usia karir seperti ini seorang atasan atau pejabat tidak mempunya saluran untuk mengembangkan “self awareness’ yang baik. Bila mekanisme ini dikubur dan tidak digalakkan, alangkah miskinnya hidup para pemimpin perusahaan maupun pemerintahan.

{mosimage}

Feedback Segala Arah

Jika kita terbiasa mendengar masukan hanya dari orang – orang yang dekat – dekat saja, bisa jadi kita semakin kabur dari fakta dan ‘peta’ yang sebenarnya, bagaimana orang lain menilai kekuatan maupun kelemahan kita. Itu sebabnya mereka yang serius untuk mengembangkan diri, kita lihat sibuk mencari masukan dari berbagai arah: dari atas, bawah, kolega yang sejajar, bahkan dari pelanggan maupun vendor. Beberapa perusahaan pun tak segan – segan untuk merogoh kocek yang tidak sedikit agar bisa menikmati dan mendengar feedback dari pelanggan maupun karyawannya.

Sebuah grup perusahaan klien saya, merasa perlu untuk melaksanakannya program 360° feedback di dalam organisasinya. Setiap atasan akan menilai dirinya sendiri lalu mendapat hasil evaluasi dari rekan kerja yang dilayani dan yang melayaninya, bawahan dan atasannya. Ia pun wajib memberi masukan pada rekan kerja, bawahan atau atasannya. Saat sistem ini di ‘launch’ tidak seorang pun ‘happy’ dan ketegangan dipenuhi rasa curiga mewarnai pertemuan tersebut. Namun suasana berkembang positif ketika hasil sudah di tangan . “Ternyata, banyak fakta baru yang membuka mata saya. Saran yang saya dapatkan pun lumayan positif dan konstruktif. Saya tidak merasa terpukul, tertampar dan terhakimi, karena evaluasinya juga mencantumkan ‘action’ yang bisa diperbaiki.” Reaksi positif seperti ini adalah cikal bakal suasana sehat dalam suatu organisasi. Bila kita bersikeras untuk menjalankannya, baik secara sistem di perusahaan ataupun secara pribadi, maka mekanisme “How am I doing?” akan dinikmati dan menjadi semacam vitamin, untuk menjaga kesehatan dan kebugaran mental.

articles/getthepoint1.jpg|||0||bottom||
articles/getthepoint2.jpg|||0||bottom||

Koalisi

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Teman saya, single mother dengan seorang anak, tengah sibuk mencari jodoh. Saat teman-temannya berniat memperkenalkannya pada seorang 'duren' (duda keren) yang punya dua orang anak, serta-merta ia menolak. “Saya bawa satu anak, dia bawa dua anak, waaah ribet”, begitu komentarnya. Loh, baru ‘koalisi’ antara 5 orang begitu saja sudah merasa ribet. Sementara, sekarang ini kita lihat partai-partai politik, bisa dengan mudahnya menyeberangi visi, misi, bahkan dikhawatirkan mengingkari  ideologinya sendiri, untuk memenangkan 'jumlah kursi'.

Menyaksikan koalisi partai-partai Indonesia, mungkin rasanya sama seperti melihat produsen mobil Fiat, Italia, yang berencana mengakuisisi Chrysler dan Operasional General Motor (GM) di Eropa, sementara GM dan Chrysler juga tengah dalam pembicaraan untuk mengawinkan dua nama besar dalam industri otomotif Amerika yang tengah mengalami kesulitan keuangan itu. Sulit rasanya membayangkan Fiat, manajemen perusahaan yang yang berorientasi efisiensi dengan produksi terpopuler Fiat Cinque Cento, mobil keluarga mungil berkekuatan ‘hanya’ 500cc, mengelola perusahaan yang memproduksi mobil ’tangguh’ dan ‘boros’, seperti Impala, Cadillac dan Chevrolet Nova. Tentunya ‘koalisi’ ini perlu betul-betul dicermati, dianalisa, dibuatkan action plan dengan sangat cerdas dan teliti, agar saling menguntungkan dan saling melengkapi. Pihak yang tadinya berprinsip ‘either-or’ menjadi ‘both-and’. Pastilah kedua belah pihak sudah mempertimbangkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: Apakah mereka akan berkooperasi atau bersaing? Apakah akan berhemat atau melakukan diferensiasi? Apakah akan membunuh beberapa produk? Produk mana yang akan ‘dikalahkan”?Apakah kuat melakukan “management without tradeoffs”? 

Membangun Kekuatan Baru

Situasi koalisi atau bahasa sederhananya berkawan dengan lawan, terasa baru di dunia politik kita, namun sebetulnya sudah biasa kita lihat dalam dunia bisnis. Mega merger di Indonesia antara bank-bank milik pemerintah yang remuk, menjadi Bank Mandiri yang gagah perkasa sudah membuktikan bagaimana sebuah koalisi bisa menghimpun kekuatan, membuang kelemahan, bahkan menyatukan sumberdaya sehingga menjadi kekuatan baru yang begitu indah.

Tengok juga bagaimana aliansi marketing antara United, Lufthansa, Singapore Airlines dan berbagai maskapai penerbangan lainnya bisa mengalahkan bahkan mematikan beberapa maskapai lainnya. Strategi aliansi ini sering begitu tidak diduga-duga, proaktif dan ‘smart’, sehingga sudah mempertimbangkan bagaimana ideologi masing-masing perusahaan, saling berpengaruh pada industri masing-masing, tetapi menguntungkan setiap perusahaan. Berlandaskan ‘platform’ IT yang sama, perusahaan-perusahaan raksasa berideologi beda ini kemudian berhasil merangkul pelanggan bahkan memberi servis yang ‘wow’ kepada pelanggan agar tidak ‘lari’. Dalam dunia bisnis, tidak ada ‘magic’ yang bisa membuat perusahaan bertahan bila pelanggan lari. Cara-cara curang semacam ‘kartel’ pun sudah dibuktikan tidak akan bisa mempertahankan bisnis.

Tidak ada salahnya bila partai politik yang saat ini sedang giat-giatnya melakukan koalisi, belajar dari pemain-pemain dunia bisnis yang berhasil  menyatukan dan memerangi keberbedaan, melakukan diferensiasi dan memanfaatkan ‘bargaining power’ dari setiap pihak, menanggulangi ancaman-ancaman persaingan dan permusuhan satu sama lain, bahkan menyambut kebutuhan masa depan, menciptakan kebutuhan baru secara proaktif, sehingga bukan saja perusahaan ataupun partai politik yang diuntungkan, tapi juga pelanggan, negara dan rakyat bisa ikut merasa ‘menang’.

{mosimage}

Setia pada Tujuan

Dari literatur ilmu perang kuno Sun Tzu (500 BC), kita belajar bahwa ‘lesson no.1” untuk memenangkan sebuah peperangan adalah: “Know the situation, know the circumstances”, yaitu “kenali dirimu, kenali musuhmu, kenali situasi”. Kita hanya bisa menyusun strategi dan menang, saat kita jelas betul apa yang kita perjuangkan, tahu luar-dalam kekuatan sekaligus kelemahan yang kita miliki. Sebaliknya, bagaimana kita bisa menang jika kita tidak paham apa kesamaan dan perbedaan kita dengan lawan, serta kelemahan dan kekuatannya?

Dengan menjual sebagian sahamnya kepada Fiat, Chrysler mendapatkan teknologi atau ‘resep dapur’ Fiat untuk memproduksi mobil keluarga yang lebih hemat energi, sekaligus memanfaatkan jalur distribusi penjualan Fiat untuk mobil-mobil yang diproduksinya. Perusahaan untung, begitu pula pelanggan. Dalam politik maupun bisnis, kesemua unsur yang bisa digabungkan atau menyebabkan konflik perlu dipertimbangkan masak-masak, apakah itu senjata, ‘shared goals’ keterlibatan, ekspertis, positioning psikologis dari kekuatan masing-masing, logistik, serta iklim yang mempengaruhi semua operasi, perlu cermat dihitung dan dikembalikan kepada moral yang seragam dan harus disetujui bersama, yaitu kemanusiaan

Filosofi Sun Tzu juga telah menyebutkan, “The supreme art of war is to subdue the enemy without fighting”. Kemenangan terbesar bukanlah keberhasilan menaklukkan, tapi mengelola konflik untuk menciptakan suasana yang lebih baik bagi keseluruhan humanitas. Kalau hitungan tidak pas atau landasan tak jelas, maka yang ada kelak hanyalah disharmoni yang menyebabkan tidak berkinerjanya sebuah koalisi. Kegiatan-kegiatan bermain "kingmaker" pun wajar dalam kegiatan koalisi maupun beroposisi ini. Tarik menarik kekuatan, negosiasi, diskusi keras, debat, bahkan pemaksaan pendapat memang perlu dilakukan untuk menemukan kata sepakat. Dalam bisnis, pihak yang bernegosiasi pun akan secara keras mempertanyakan ‘Apa untungnya bagi saya?’ Dan, “Apa untungnya bagi Anda?”

Hal yang justru mengkhawatirkan adalah bahwa kegiatan negosiasi menjadi  terlalu sederhana dan hanya berfokus pada pembagian kekuasaan atau lebih kongkrit lagi pembagian kursi, sementara hal-hal yang penting demi kelangsungan ideologi partai apalagi kepentingan negara tidak terpikirkan. Kesetiaan pada ideologi, yang diterjemahkan dalam bentuk kesetiaan pada partai, sangat dihormati oleh siapa pun. Bukankah kita sendiri menyaksikan bahwa orang yang setia pada ideologinya akan dikenang sebagai pahlawan? Bukankah pada akhirnya ideologinya pun bermuara pada panggilan untuk setia pada kemanusiaan, bangsa dan Negara: What’s in in for the nation?

 

articles/koalisi1.jpg|||0||bottom||
articles/koalisi2.jpg|||0||bottom||

Think Big

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Maraknya karyawan berdagang di kantor, membuat sebuah perusahaan menetapkan larangan berdagang kecil-kecilan, melalui surat edarannya. Kemudian, timbul olok-olok karyawan yang mengatakan, “kalau berdagang besar-besaran, boleh dong?”

Di antara karyawan yang berdagang kecil-kecilan, ada seorang karyawan yang rajin sekali berdagang ‘bumbu pecel’. Yang tadinya hanya di seputar teman kantor, lalu berkembang menjadi temannya teman atau tantenya teman dan akhirnya menjadi buah bibir dan dipesan secara teratur oleh banyak orang. Kalau tadinya pesanan menggunakan ‘aiphone’ kantor secara diam-diam, dengan berkembangnya komunikasi kantor, pesanan datang melalui intranet.

Beberapa saat absen dari pembelian bumbu pecel, saya ‘surprised’ saat mengetahui bahwa teman pedagang bumbu pecel itu sudah tidak bekerja lagi di perusahaan lama. Teman-teman menyarankan untuk membeli bumbu pecelnya di supermarket. Kini, hampir di semua supermarket menjual bumbu pecelnya, dengan rasa dan kualitas sama. “Jadi, si penjual bumbu pecel ini, kini sudah berdagang besar-besaran, ’kah?”, komentar saya.  Ternyata benar. Ia pun sudah menyiapkan ‘branding’ yang mantap, memiliki website yang simpel namun elegan, bahkan sekarang sangat fokus pada produksi dan pemasaran bumbu pecelnya.

 

Bermental ”Multimillion Dollar Brand”

Sikap ‘low profile’ yang mendominasi bangsa kita bisa jadi membuat kita sulit untuk membangga-banggakan karya kita, entah karena kita sendiri tidak yakin akan kualitasnya ataupun karena belum dikenal atau belum terbukti kehebatannya. Kalau dipikir-pikir, bila bukan upaya keras kita untuk melakukan ‘marketing’, siapa lagi yang akan melakukannya? Bukankah ‘tak kenal maka tak sayang’?

Dalam iklim persaingan yang keras, bahkan curang, kita tidak bisa berbisnis tanpa bermain impresi. Siapa mau berbisnis atau menjadi pelanggan dari penjual jasa ataupun produk yang tidak mengesankan kualitas, keseriusan dan kapabilitas kita? Apakah mungkin menunggu ‘ditemukan’ orang lain yang akan mengangkat nama kita? Mungkin saja mutu dan kualitas produk kita sangat baik, tetapi untuk tidak dipandang enteng oleh publik, kita perlu mensejajarkan produk dan usaha kita sama dengan pemain besar kalau perlu, kelas nasional, regional bahkan dunia, terlepas bahwa kantor atau pabrik kita masih sangat sederhana. 

Tidak seperti di jaman orang tua kita dulu, di mana memoles produk dan jasa yang mengesankan kualitas dan pengalaman harus merogoh kocek mahal, di jaman sekarang, kita bisa cerdik memanfaatkan teknologi milis, facebook, sedikit ‘business intelligence’ melalui website. Bila kita melakukan ‘browsing’ di internet, bisakah kita membedakan situs web perusahaan baru dari yang kawakan, yang besar dan kecil, atau yang berpengalaman atau tidak? Perusahaan kecil tidak berarti harus punya website yang asal-asalan dan tidak jelas, bukan? Kita tetap bisa membuat kesan profesional dan berkelas, tanpa harus mencantumkan reputasi, seperti “Berdiri sejak 1950”, misalnya.

Tanpa menunggu besar dan sukses, dengan biaya terbatas, kita memang perlu membuat diri kita ‘besar’. Bila dihitung-hitung, sebuah kotak kartu nama yang  indah, dibuat dari kertas terbaik, dan dicetak dengan cara yang paling bermutu, akan berharga 4 kali lipat daripada kartu nama yang sangat standar, kadang-kadang miring-miring bahkan luntur cetakannya. Kartu nama hanya akan diberikan kepada 1 atau 2 calon pelanggan yang akan mendatangkan bisnis. Mengapa tidak kita membuat kemasan se menarik mungkin , kartu nama yang ‘representatif’yang membuat orang yang melihat langsung ‘jatuh cinta’ bahkan kagum?

{mosimage}

Hampiri Pelanggan

Saat memulai usahanya, seorang teman rela bersusah – payah melakukan perjalanan yang sangat jauh dan sulit, sekedar untuk ‘menjajakan’ produknya.  Ia membawa ‘sampel’ produknya dan berusaha menemui pemilik perusahaan untuk mencoba produknya. Ia yakin bahwa pelanggan sulit menolak transaksi bisnis bila ia secara pribadi menemui calon pelanggannya. Hasilnya sangat memuaskan. Ada pelanggan yang terkesan karena produknya, ada juga yang terkesan karena kegigihannya dan ada pula yang bersimpati  dengan ‘salesmanship’-nya. Ini memang terbukti dari ungkapan terkenal: "If Mohammad can't go to the mountain, let the mountain come to Mohammad."

Generasi sekarang memang diuntungkan dengan taktik ‘mendatangi pelanggan’ yang lebih praktis. Kita mengenal banyak akal untuk mendatangi pelanggan secara pribadi tanpa harus bertatap muka . Bukankan pelanggan lebih banyak bergaul dengan ponselnya daripada membaca iklan? Melalui teknik teknik sms-blast, milis,bahkan facebook., kita bisa menyasar  target pelanggan kita  secara lebih fokus dan menghampirinya sebelum kita melakukan ‘sales call meeting’ secara tatap muka. Kegiatan ini ternyata menghemat banyak sekali uang dan enerji, dan paling – paling mengambil waktu 2-3 jam sehari dan bahkan bisa kita lakukan sendiri di warnet terdekat.

Tidak banyak orang yang menyadari bahwa pemerintah pun akhir-akhir ini menggalakkan pameran gratis untuk produsen produk  lokal. Tentu saja partisipasi dalam pameran-pameran akan memperbesar kemungkian kita ‘dikenal’ orang dan membina kontak bisnis. Untuk itu kita perlu siap dengan paket pameran seperti backdrop , brosur  yang update dan representatif. Semua upaya ini, bisa kita lakukan dengan cermat tanpa berhutang ke bank, asalkan direncanakan dengan  matang, kreatif, professional  dan penuh kehati hatian.

‘Buah Bibir’

Bukankah kita semua setuju bahwa kita lebih happy belanja di warung yang ibu pemiliknya melayani dengan manis, membantu mencarikan barang dan bahkan kadang-kadang memberi’bonus’ permen kepada anak kita? Bukankah saat sekarang kita menyaksikan betapa produk-produk makanan menawarkan sampel produk secara ber’murah hati’ di pasar-pasar swalayan. Kesemuanya itu tentunya berlatar belakang pada keyakinan bahwa dengan sedikit bermurah hati menawarkan pertolongan, memberi jasa gratis dan mengijinkan calon pelanggan menguji coba produk kita, membuat kita punya kemungkinan yang lebih besar untuk menjadikan orang terkesan. 

Rahasia dapur tentu saja perlu kita pertahankan. Namun, kita perlu menunjukkan bagaimana kita ‘percaya’ pada produk kita sendiri dan bagaimana ‘hati dan pikiran’ kita tercurah di dalamnya. Bagi kita yang baru memulai usaha, sulit jika kita membiarkan produk dan jasa kita terbungkus dan tertutup rapat sampai orang membayar. Kita mengenal betapa ‘word of mouth’ marketing sekarang dirasakan paling ampuh ketimbang cara-cara pemasaran lainnya. Nah inilah kesempatan kita untuk tampil sebagai pemrakarsa yang tahu betul mengenai produk dan jasa, ramah, baik, inovatif dan penolong sehingga menjadi ‘buah bibir’ orang.

 

articles/thinkbig1.jpg|||0||bottom||
articles/thinkbig2.jpg|||0||bottom||