Get the Point

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah rapat, dari hati ke hati saya bertanya kepada beberapa kolega, “Apa sih yang salah di perusahaan kita?“ Dan, “Apa yang kurang dari diri saya sendiri?”. Teman – teman ini langsung celingak – celinguk ke kiri dan kanan, lalu secara bercanda mengatakan “Ah, nanti saya dibilang cari muka”. Ada yang mengatakan tidak siap dan akan berpikir – pikir dulu. Seseorang bahkan berkata:”Wah, nanti ibu marah”.

Reaksi seperti ini membuktikan bahwa mengkritik secara terbuka di depan orangnya langsung, dengan berusaha tidak menyakitkan hati, tapi ‘get the point’, bukan hal mudah. Banyak orang memilih menghindar untuk memberi kritik, kuatir dianggap ‘musuh’ atau ‘sirik’ oleh mereka yang menerima kritik. Beberapa orang berkomentar dan mengeluh mengenai atasan dan pimpinan di Indonesia yang kurang terbuka terhadap kritik. Namun, dari pengalaman saya, di perusahaan asing pun orang tetap kikuk, hati – hati dan takut – takut untuk menyampaikan feedback.

Lalu, bagaimana dengan nasib presiden, bekas presiden atau calon presiden yang bila dilihat – lihat, memerlukan pengembangan di sana sini? Sikap kurang pas yang ditampilkan berulang kali kadang membuat kita berkomentar:”Apa iya, tidak ada memberi saran mengenai cara berpakaian nya? cara bicaranya di depan umum? Atau, sikapnya dalam menjawab pertanyaan di ‘kick andy’?” Bila tidak ada yang memberi masukan dan saran mengenai perilaku, bicara, maupun sikapnya, bagaimana seorang pemimpin bisa mengembangkan dirinya lebih lanjut? Bukankah ia juga memerlukan sarana bercermin agar mendapatkan fakta yang obyektif mengenai area pengembangannya?

“My Way” vs Self Awareness

Sementara banyak perusahaan rela membayar mahal untuk bisa menikmati dan mendengarkan feedback dari pelanggan maupun karyawan, seorang teman saya malah menolak, ketika sebuah lembaga pendidikan akan menggunakan perusahaannya sebagai ‘sample’ ‘employee survey’. Ia seolah sudah tahu semua mengenai kekurangan dirinya atau organisasi. Bahkan, ia mengatakan bahwa bila ia memperoleh masukan dan ada yang mengkritiknya habis – habisan, apakah ada yang bisa menggantikan posisinya dengan lebih baik? “buntut-buntutnya, kita jugalah yang perlu berinisiatif untuk melakukan tindakan perbaikan yang diharapkan”, ujarnya.

Memang benar, bahwa ujung – ujungnya diri kita sendirilah yang perlu menimbang – nimbang, mana masukan yang akan kita garap. Kita sendiri yang memutuskan mana yang akan digarap sekarang, mana yang akan dikerjakan nanti, atau bahkan yang perlu dibiarkan saja. Tidak semua masukan perlu dikomentari, direspons, atau dibesar – besarkan. Di mana – mana, yang namanya feedback, sedikit banyak menyakitkan bagi kita yang menerimanya. Namun demikian, jangan sampai perasaan kita terhadap masukan yang masuk, menghalangi kita untuk memanfaatkan saran atau kritik yang kita dapatkan dari orang lain.

Seorang lulusan management trainee yang begitu cemerlang, ditempatkan dibagian dengan anah buah berjumlah relatif banyak. Alasan penempatannya adalah karena ia sangat luwes dalam bergaul, bisa menstrategikan tindakan nyata yang cocok untuk area kerja dan jenis pekerjaannya. Jabatan asisten manajer mendadak yang dipangkunya, kemudian membuat teman kita ini agak sedikit terlalu bangga akan posisinya. Selain mondar mandir dengan fasilitas baru, ia juga mendadak banyak ‘keluar aslinya’ yaitu berbahasa kasar. Orang di sekitarnya jadi bersikap ‘malas’ berhubungan dengannya. Bayangkan saja, bila dalam usia karir seperti ini seorang atasan atau pejabat tidak mempunya saluran untuk mengembangkan “self awareness’ yang baik. Bila mekanisme ini dikubur dan tidak digalakkan, alangkah miskinnya hidup para pemimpin perusahaan maupun pemerintahan.

{mosimage}

Feedback Segala Arah

Jika kita terbiasa mendengar masukan hanya dari orang – orang yang dekat – dekat saja, bisa jadi kita semakin kabur dari fakta dan ‘peta’ yang sebenarnya, bagaimana orang lain menilai kekuatan maupun kelemahan kita. Itu sebabnya mereka yang serius untuk mengembangkan diri, kita lihat sibuk mencari masukan dari berbagai arah: dari atas, bawah, kolega yang sejajar, bahkan dari pelanggan maupun vendor. Beberapa perusahaan pun tak segan – segan untuk merogoh kocek yang tidak sedikit agar bisa menikmati dan mendengar feedback dari pelanggan maupun karyawannya.

Sebuah grup perusahaan klien saya, merasa perlu untuk melaksanakannya program 360° feedback di dalam organisasinya. Setiap atasan akan menilai dirinya sendiri lalu mendapat hasil evaluasi dari rekan kerja yang dilayani dan yang melayaninya, bawahan dan atasannya. Ia pun wajib memberi masukan pada rekan kerja, bawahan atau atasannya. Saat sistem ini di ‘launch’ tidak seorang pun ‘happy’ dan ketegangan dipenuhi rasa curiga mewarnai pertemuan tersebut. Namun suasana berkembang positif ketika hasil sudah di tangan . “Ternyata, banyak fakta baru yang membuka mata saya. Saran yang saya dapatkan pun lumayan positif dan konstruktif. Saya tidak merasa terpukul, tertampar dan terhakimi, karena evaluasinya juga mencantumkan ‘action’ yang bisa diperbaiki.” Reaksi positif seperti ini adalah cikal bakal suasana sehat dalam suatu organisasi. Bila kita bersikeras untuk menjalankannya, baik secara sistem di perusahaan ataupun secara pribadi, maka mekanisme “How am I doing?” akan dinikmati dan menjadi semacam vitamin, untuk menjaga kesehatan dan kebugaran mental.

articles/getthepoint1.jpg|||0||bottom||
articles/getthepoint2.jpg|||0||bottom||