Pemimpin yang Memimpin

 {mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Saya terkesan ketika seorang CEO sebuah perusahaan memberi arahan pada bawahan-bawahannya, bahwa dalam menghadapi krisis sekarang justru program-program yang menyangkut pengembangan kepemimpinan perlu digalakkan. “Nasib perusahaan ada di tangan Anda, di setiap departemen dan semua unsur organisasi. Sekaranglah waktunya Anda membuktikan kepemimpinan.”

 

Pemimpin memang sudah seharusnya: memimpin. “The leaders have to lead”.  Nampaknya memang banyak  kasus, di mana individu yang diharapkan ‘mempimpin’ sekedar melaksanakan tugasnya dan tidak menghadapi secara konfrontatif segala kompleksitas, ambiguitas dan “unpredictabilities”, di samping tentu saja harus me-manage timnya. Terkadang saya jadi bertanya-tanya, bahkan berterimakasih kepada individu-individu yang bersedia, bahkan sangat bersedia, sampai-sampai agak ‘ngotot’ untuk memegang tampuk kepemimpinan suatu lembaga bahkan Negara. Meminjam istilah Karen Agustiawan, mereka pastinya sangat paham dan jago dalam bukan saja “plan the work”, tetapi  juga “work the plan”. Nah dalam ‘working the plan” inilah baru akan teruji daya adaptasi, inovasi, kejelian menangkap peluang, serta kecerdikan dalam mengelola kegiatan operasional dalam situasi yang sangat berubah-ubah dan rumit dengan bimbingan yang sangat minimal.

Tidak Bisa bilang: ‘Tidak Bisa’

Dalam setiap pembahasan mengenai kepemimpinan, para ahli sering menyebutkan bahwa pemimpin yang tidak punya visi dan tidak berpegang pada misi yang diemban  tidak mungkin bisa sukses mengarahkan anak buah. Kita pun banyak membaca bahwa pemimpin yang berhasil adalah mereka yang membuat keputusan – keputusan yang cemerlang. Hal yang tidak banyak disebut-sebut adalah kesulitan pemimpin dalam menghadapi kompleksitas di lapangan.

Bisakah kita berempati pada Obama yang menghadapi musuh-musuh politiknya? Bisakah kita membayangkan Perdana Menteri Australia, menghadapi kebakaran hutan  yang menewaskan paling sedikit 166 orang? Bagaimana dengan Karen Agustiawan yang diberi tanggung jawab memimpin lembaga paling produktif secara finansial di Negara ini, Pertamina, dengan 7 anak perusahaan? Dengan sedikit upaya, kita tentunya bisa membayangkan betapa ‘ribet’-nya kita bila masuk dalam posisi para pemimpin tersebut. Bahkan saya bertanya dalam hati “kok, mau – maunya ya orang masuk dalam situasi sesulit itu?”

Harapan masyarakat terhadap seorang pemimpin tidak pernah memperkirakan dan mempertimbangkan kesulitannya, namun hanya permasalahannya tuntas. Pemimpin diharapkan menjadi tokoh yang selalu “be there” kalau ada kesulitan dan menyediakan solusi. Dalam keadaan yang terjepit secara financial dan perusahaan dituntut untuk menjalankan program, kata-kata ‘tidak ada budget’ bisa diungkapkan oleh departemen keuangan, tapi pemimpin tertinggi tetap tidak bisa mengelakkan kalau program harus dijalankan. The show must go on. Uangnya dari mana, pemimpin-lah yang harus putar otak  dan mengerahkan semua sumberdaya untuk mencari solusi.

Pemimpin dipilih justru bukan karena ia bertugas menjalankan tugas yang manis-manis. Justru dalam menentukan pilihan pada seorang pemimpin, pemegang saham ataupun rakyat sudah membayangkan pe-er yang tidak mungkin mudah, tentang hal-hal yang bukan saja terjadi di masa lalu tetapi juga yang kita tidak tahu di masa mendatang. Pemimpin ini pun tidak pernah diharapkan untuk sedikit-sedikit berkonsultasi, karena secara prinsip itulah bedanya pemimpin dengan bawahan: ia tidak mempunyai atasan  tempat bertanya. Dalam situasi sulit begini, pemimpin juga tidak diharapkan untuk sedikit-sedikit excuse atau mengatakan alasan bahwa ia perlu waktu untuk belajar, mempelajari atau analisa, karena gelombang perubahan yang lebih keras pun akan menyapu kondisi sekarang bila ia tidak menggerakkan organisasinya. “Things are going to go wrong and some crazy things are going to happen.”

 {mosimage}

Kompleksitas yang Menuntut Pengembangan Kekuatan dari Segala Aspek

Dalam merencanakan kegiatan ‘assessment center’, mengurai aspek-aspek kepemimpinan yang dituntut oleh suatu organisasi terkadang bisa menjadi diskusi yang sangat alot. Minimalnya, seorang pemimpin diharapkan bisa menampilkan kemampuan meneropong masa depan (visi), komitmen, akuntabilitas, integritas, fleksibilitas, ketrampilan interpersonal, ketrampilan komunikasi, serta mengelola sumber daya yang memberdayakan tim untuk mencapai sasaran.

Saat mengukur dan memetakan ‘kurang – lebih’-nya keadaan orang yang dinilai dengan aspek kepemimpinan yang diukur,  saya sering membatin, apakah mungkin seorang pemimpin bekerja ‘all out’ bila ia tidak mempunyai kekuatan full spectrum dalam menghadapi kompleksitas yang ada. Tidak jamannya lagi kita menyebut-nyebut peran pemimpin dengan berperan ganda atau beberapa peran sekaligus, karena setiap pemimpin memang diharapkan berperan secara multifacet. Tiada maaf bagi pemimpin yang lemah dalam sisi tertentu, karena seluruh lembaga akan diserang di sisi lemah tersebut.

Bahkan, sambil menggerakkan, seorang pemimpin juga perlu meyakinkan diri dan tim, bahwa pasokan dan kebutuhan tim serta anak buah bahkan rakyat cukup. Bukankah ini yang diharapkan rakyat? Jadi, pemimpin perlu bisa memainkan banyak peran dari penggerak, pemasok, penyemangat, pemecah masalah, pengayom dan masih berpuluh-puluh peran yang memang perlu trampil dimainkan. Kelihatannya tuntutan terhadap seorang pemimpin belum berubah dari  jaman dulu seperti yang dituliskan Mark Twain dalam “Life on the Mississippi”: “the man has got to learn more than any one man ought to be allowed to know” dan  “that he must learn it all over again in a different way every 24 hours.”.

 

articles/leader1.jpg|||0||bottom||
articles/leader2.jpg|||0||bottom||

Confessions of an Unrepentant BlackBerry Addict

{mosimage}

By Scott Gilbertson

I have a confession : I like my BlackBerry.

I like checking my work email at home at all hours. I like reading about what's happening at work when I'm supposed to be decompressing on vacation . It comforts me somehow. I know what's happening. I'm not missing something important, delaying my response to something crucial, or walking back into the office unaware of a brewing crisis.

Now if I'm being honest, almost never IS there a brewing crisis–certainly not one that I can't deal with swiftly when I sit down at my desk first thing in the morning. But somehow it doesn't matter. I've woven my personal and professional lives together in my patterns and habits, and I'm OK with that.

OK, more than OK with it. It partly defines how I think about my life. When I was on maternity leave, colleagues would chastise me for constantly being on email–as if I was so stressed by work that I couldn't stop checking in. What they didn't realize was that checking in to work during that time was essential for my mental well being! Work is stimulating.

Even now, sometimes when I can't sleep, I get up and check email at odd hours of the night. It's not because of stress, it's because it's helps my mind focus on something other than what woke me up. Now I'm not sure I should admit any of this to my husband. He looks at me with sympathy when I pick up the BlackBerry while on vacation–and occasionally it does mean I have to find a quiet corner to call someone and smooth something out. And I don't relish being in touch when technology limitations make it difficult to do so . Or when I am truly, deeply in a family moment and I don't want to think about work. But in reality, most of the time, I want to stay in touch–it's interesting.

So I confess, I have blurred the lines between work and home and I've done it on purpose. One feeds and stimulates the other. How about you? Are those lines sacred or do you, like me, secretly like being at home and at work at the same time?

 

ideapics/0702-01.jpg|||0||bottom||

Smart Lobby-ing

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Setiap kita yang ingin mencapai tujuan, baik karir, memenangkan tender, berjaya di percaturan politik, bahkan pengembangan pribadi, tentunya sangat sadar akan kebutuhan untuk menggenjot ‘power’. Di jaman dulu, jaman para amtenar, jabatan atau kewenangan yang kita miliki sering kita gunakan sebagai kekuatan yang paling utama. Namun, kini semakin kita sadari bahwa pengaruh pribadi, kemampuan persuasi dan ‘lobby’, memberikan power yang juga luar biasa besar.

 

Saya teringat satu kejadian, di mana saya melihat seorang anggota wakil rakyat berusaha untuk mengubah jadual penerbangannya di salah sebuah konter maskapai penerbangan lokal. Dengan suara keras, beliau berusaha meyakinkan petugas:“Anda lihat sendiri ‘kan, siapa saya?”. Petugas yang senyum-senyum tidak berdaya dan menampilkan muka bertanya-tanya itu, mungkin benar-benar tidak mengenal bapak pejabat tersebut. Dalam hati, saya berpikir, ”Ini baru memperjuangkan satu tempat di pesawat, bagaimana kalau beliau meyakinkan orang lain untuk keputusan penting demi Negara?”

Kekuatan pengaruh pribadi, bahkan kekuasaan yang sering menyertai jabatan atau pangkat sebetulnya tidak perlu ‘dipaksakan’ ke orang lain ataupun publik, tetapi juga, tidak bisa datang begitu saja. Setiap individu yang perlu meyakinkan orang lain, terutama bukan sekedar untuk membeli produk atau jasa, tetapi mendukung filosofi, visi dan misi, misalnya saja milik partai, sebenarnya bisa mencari taktik dan strategi yang lebih ampuh lagi. Di saat Indonesia sedang menghadapi pemilu dan percaturan politik, kita sama-sama perlu memandang pentingnya kegiatan ‘lobby’ yang benar.

Menjual Diri Tidak Bisa Instan

Saat menjelang pemilihan umum seperti sekarang, kita menyaksikan foto-foto calon politisi bisa ditebar hampir di semua ruang publik, baik dalam ukuran mini sampai raksasa. Hampir semua mencantumkan, ‘infomercial’ khusus, seperti gelar akademis lengkap atau bahkan keterangan seperti kerabat dari selebriti, pejabat atau bahkan pahlawan revolusi, dengan keyakinan bahwa ‘credential-credential’ ini bisa mempengaruhi publik.

Dalam bukunya, Dig Your Well Before You’re Thirsty, Harvey MacKay mengatakan bahwa sebenarnya, setiap orang mempunyai aspek daya jual, baik itu seputar pengalaman, pengetahuan, ketrampilan, kompetensi, minat, sasaran, maupun visi. Tentunya aspek ini makin besar kekuatan ‘jual’-nya bila telah diimplementasikan dan dipraktekkan secara intensif dalam kehidupan sehari-hari. Pertanyaannya, sudahkan ‘modal’ kita ini dijajakan keliling, justru jauh-jauh hari, sebelum diperlukan?

Kegiatan-kegiatan ‘lobby’, mulai dari kunjungan ke kantor dan lembaga penting, bertukar pendapat, menulis di media, menulis surat dan menelpon orang-orang penting, menghadiri pertemuan,menginisiasi kegiatan kegiatan publik, memang pada akhirnya bersasaran agar kita bukan saja ‘mengenal’, tetapi juga ‘dikenal’ orang lain. Semua upaya ini tentunya perlu dilakukan jauh-jauh hari, sehingga kita tidak terkesan sebagai orang yang hanya mau mendekati orang lain, bila ada maunya. Bila ingin populer, mempunyai ‘fans’ alias dipilih, kegiatan‘networking’ perlu dijadikan kegiatan rutin dan bahkan gaya hidup.

Terkadang orang menyamakan ‘networking’ dengan sekedar kumpul – kumpul, main golf atau bahkan ‘dugem’ bersama saja. Padahal, banyak hal yang bisa kita lakukan demi ‘networking’ dan kita benar-benar bisa terjun dalam kancah pergaulan yang cerdas. Jangan lupa bahwa target networking adalah dimilikinya sebuah jejaring pertemanan yang kuat. Di lingkungan inilah kita perlu secara aktif memberi kontribusi, menolong, menyumbangkan keahlian, memberi saran, pendapat dan dukungan bagi orang – orang dalam lingkungan ‘network’ kita. Sehingga, bila suatu saat kita membutuhkan, dengan sendirinya orang lain, yang sudah berada dalan ‘network’ kita, otomatis memberi dukungan. Hanya bila networking kita kuat, maka kita bisa menyebarkan pengaruh dengan lebih efektif, sekaligus melakukan ‘lobby’ untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Lebih ‘advance’ lagi, di dalam kancah politik targetnya bukan saja dekat dengan teman dan pendukung yang dibutuhkan, tetapi juga dengan musuh-musuh politik kita. Ingat kalimat bijak:“Keep your friends close and your enemies closer.”

{mosimage}

Fleksibel namun Punya Visi Super Jelas.

Sejak jaman reformasi, kita semakin menyadari adanya kekuatan dari kegiatan ’’lobby’’ yang benar. Bahkan di gedung MPR-DPR, kegiatan ‘lobby’ bisa disaksikan oleh rakyat melalui media. Hal yang bisa kita saksikan juga bahwa kegiatan ‘lobby’ bisa sangat efektif bila individu tahu menggunakan pesona dan kualitas pribadinya untuk menyampaikan pendapat dan mempengaruhi orang lain. Kegiatan ‘lobby’ akan makin mantap bila individu mampu menggambarkan isu, gerakan, prinsip beserta solusi dan alasannya dengan tepat dan persuasif. Sulit untuk bisa memukau orang untuk merubah keputusan atau mendukung sebuah tujuan, bila individu yang mempengaruhi tidak kuat bahkan tidak menguasai substansi persoalan, dalam bicaranya. Menyadari bahwa dalam kegiatan ‘lobby’ terjadi pertukaran informasi, pendapat, pengalaman, bahkan kenalan, seorang pelobi, walaupun tampil fleksibel dan berperan sebagai pendengar yang baik, perlu obsesif terhadap prinsip, ideologi serta visi yang disasarnya.

‘Lobby’ing: Butuh Kreativitas
Di dunia maya terpopuler jaman sekarang, Facebook, kita bisa menyaksikan ribuan gerakan kreatif yang dimulai oleh satu orang individu . Asosiasi anti berkendara pada saat mabuk, juga dulu dimulai oleh hanya satu orang, dan akhirnya bisa mempengaruhi pemerintah untuk membuat peraturan ketat bahkan hukuman terhadap orang yang masih melanggarnya. Sebut saja perjuangan perjuangan lain yang bisa mengubah keputusan pemerintah, seperti gerakan anti pekerja anak, penyadaran lingkungan, anti poligami, pengamanan sosial yang berhasil menggerakkan masyarakat dan pemerintah melalui ‘lobby’-’lobby’ yang tidak kenal lelah. Partai politikpun perlu kreatif mencari cara yang ampuh untuk meyakinkan masyarakat dan pemerintah bahwa wakil-wakilnya akan memajukan Negara melalui prinsip yang diembannya.

Kita sering lupa bahwa ‘lobby’ sangat dibutuhkan, sangat demokratis dan juga butuh kreativitas. Justeru dari kegiatan ‘lobby’ yang digerakkan individu pula kita tak jarang bisa menemukan solusi-solusi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

 

articles/lobby01.jpg|||0||bottom||
articles/lobby02.jpg|||0||bottom||

No Wifi? No Problem. Gmail Releases New Offline E-mail Tools

{mosimage}

By Scott Gilbertson

Google has gone a long way toward solving the biggest drawback of web-based e-mail — what do you do when there is no internet connection? Google aims to solve that problem with new offering that will enable Gmail users access from their browsers even when they aren't online.

Of course, using an e-mail client with an IMAP connection, many people have long enjoyed offline access to their Gmail accounts. But for those of you that want offline access, and the web-based interface, the new Offline mode is what you've been dreaming about.

The much-requested offline feature, which allows you to read, star, label, archive and compose new mail even when you don't have an internet connection, will be coming to all Gmail accounts over the next few days. If you don't see it just yet be patient, you may have to wait a day or two.

Like the very similar feature available in Google Reader, Gmail's offline feature relies on Gears, Google's offline web application API. If you haven't installed Gears in your browser, don't worry, Offline Gmail will prompt you to install Gears the first time you try to sync your messages.

Because Offline Gmail is still in the experimental stage (Google warns that there might be "kinks that haven't been completely ironed out yet"), you'll need to enable it through Gmail Labs. To get Offline mode set up, click Settings and then click the Labs tab. Now select the Enable button next to the Offline Gmail feature and then hit the Save Changes button at the bottom of the page.

You should then see a new "Offline" link in the upper right-hand corner of the Gmail window, next to your username. Just click that link and Gmail will start the offline synchronization process. Be patient, the initial sync can take a little while.

Once Offline mode is done with the initial sync, moving between offline and online modes happens automatically in the background. Say you're stuck on a long plane flight and want to catch up on your inbox overload. Just fire up Gmail and compose as many e-mails as you like; when you hit "send" Offline Gmail will store those messages in its outbox and then automatically fire them off the next time an internet connection is available.

There's also a very cool hybrid mode that Gmail calls "flaky connection mode." Flaky connection mode uses the best of both worlds to deal with situations like a weak WiFi signal or (god forbid) a dial up connection. In this hybrid mode Gmail uses the local cache as if you were disconnected, but still synchronizes your mail with the server in the background.

The result is a considerably faster Gmail experience since you only hit the Gmail servers when absolutely necessary — everything else happens by pulling from the locally stored Gears cache.

Now we know what you're thinking, surely Gmail isn't really going to download and keep local stores of all my mail? That could be as much as 7 GB of data for those of you who save every scrap of mail you get.

And the answer is no, Gmail doesn't download everything. In fact it only grabs about 10,000 messages. And Gmail has its own, somewhat mysterious, method of determining which messages it stores.

Todd Jackson, Gmail's product manager, tells CNET that Gmail tries "not to download uninteresting conversations." How does it make that determination? Part of the determination of what to download relies on the date of the conversation. As you would expect Offline Gail ignores the Trash and Spam labels, but Gmail will also ignore any labels that contain mostly unread conversations (more than 99 percent unread).

According to a post in the Gmail Labs Google Group, Gmail will also "download any conversation marked with a label that contains less than 200 conversations, has at least one conversation that has been received in the last 30 days and also has at least one conversation that's outside the estimated time period."

That should cover both the Starred and Drafts labels, but if you're worried about having everything available in Offline mode it might be a good time to do some e-mail housecleaning.

There are two main drawbacks to offline Gmail in this early incarnation. The first and most annoying is that you can't add attachments to new messages composed while offline. You can, however, view attachments that are part of any synced messages.

The other potential problem is that there's no way to access the Contacts section of Gmail.

Still, for most of us, Gmail's Offline mode offers a way to enjoy most the offline benefits of a desktop app while still taking advantage of the web-based interface with its labels, threaded conversations and other tools. 


ideapics/3101-01.jpg|||0||bottom||

Mari Berburu Masukan

{mosimage} 

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Semua orang pasti setuju pentingnya masukan untuk perbaikan. Namun, seberapa baik dan terbukanya kita mendengar masukan, ketika masukan itu datang di depan mata kita? Seorang pebisnis teman saya tahu persis bahwa saat sekarang, kecanggihan pengaturan ‘cashflow’ merupakan kunci pertahanan dan kesuksesan binisnya saat ini. Ia pun menyetujui  direkrutnya seorang eksekutif yang bisa melakukan pengaturan keuangan secara lebih canggih. Saat eksekutif tadi mengemukakan perbaikan dan langkah perubahan yang ia canangkan, pebisnis tersebut langsung berkilah. Dengan daya persuasi yang kuat, ia justru mengarahkan eksekutifnya untuk mengerjakan cara lama saja.

Dalam situasi lain, saya menyaksikan seorang atasan mendengarkan presentasi bawahan yang menyajikan ‘brutal facts’ yang perlu diwaspadai. Lucunya, atasan tersebut tidak me-’welcome’ fakta yang disajikan, mengabaikan untuk menggali fakta dengan sikap skeptis yang sehat, tetapi malah berusaha mempersuasi audiens untuk berpikir bahwa ada kemungkinan data salah, cara pengambilan datanya tidak tepat, dan banyaknya pertimbangan yang tidak dimasukkan. Akhirnya, ‘brutal facts’ yang ditemui dimentahkan lagi, situasi pun tidak berubah, perbaikan bahkan tertolak karena tidak masuk ke benak pemikiran orang-orang yang hadir. 

Kita sering mendengar komentar dari orang-orang yang sedang mengalami ke”ribet’an: ”Anda tidak ngerti duduk persoalannya, sih” Padahal, saat kita berada dalam ketidakpastian dan kompleksitas seperti inilah, masukan pihak lain menjadi sangat penting. Rasanya kita perlu mengadaptasi sikap periset yang selalu mengedepankan sikap kreatif dan kritis dalam memperoleh dan  mengolah data. “Stakes are high, Feedback is a must”, kata orang.

Masukan: Obyektif atau Subyektif?

Berburu masukan itu ibarat berkeliling menanyakan pendapat tetangga tentang masakan yang baru pertama kali kita buat. Perasaan yang timbul memang bermacam macam, mulai dari bertanya-tanya, bangga, tersinggung, atau was-was. Apakah pendapat orang lain obyektif? Bukankah kita yang lebih tahu mengenai apa yang kita tekuni? Apakah mereka cukup ahli dan tidak asal cuap? Sepanjang kita bisa meyakini bahwa masukan itu berguna, kita akan tetap bisa memanfaatkannya. Kita hanya perlu betul-betul mendengar dulu. Kita sering lupa bahwa masukan itu tidak mengenal pangkat, status atau usia. Masukan dari para sesepuh, senior ataupun pegawai rendahan bisa sama berharganya, tergantung seberapa pasnya masukan itu dengan  kebutuhan kita.

Kita juga tidak bisa serta merta meragukan obyektivitas masukan orang. Hampir semua situasi  atau produk yang kompleks dinilai secara subyektif dan tidak mempunyai ukuran yang pas. Sebut saja produk “I-MAC Super-thin “ atau film “Laskar Pelangi”. Kita tidak akan bisa melihat dan menentukan  apakah masukan orang bersifat subyektif atau obyektif, berdasarkan rasa suka atau tidak suka. Lalu, kalau begitu, apakah kita akan berhenti mengejar masukan?

{mosimage}

Transparansi Berharga Mahal

Dalam sebuah tulisan mengenai tren 2009, dikatakan bahwa ini adalah era ‘instant feedback”. Melalui GPS (Global Positioning System), keberadaan dan pembicaraan siapa pun bisa dilacak secara ‘real time’. Orang butuh  memotret kemacetan lalu lintas saat ini juga, ‘polling’ pendapat mengenai popularitas diri sebagai politisi harus akurat dan terkini, bahkan instan. Ini adalah era transparansi. “Corporate governance”pun sebetulnya sudah tidak perlu disosialisasikan karena tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila ada pihak yang menutup-nutupi kecurangan, pasti ada pihak lain yang akan membongkar faktanya. Tengok saja betapa KPK demikian cerdik mendapatkan fakta, demikian pula pers.

Saat sekarang kita memang mesti berlomba adu cepat untuk mendapatkan fakta, baik mengenai situasi pasar, kompetitor, kinerja perusahaan, kebijakan yang baru dibuat, terutama  mengenai diri sendiri. Inilah saatnya kita menciptakan lingkungan dimana setiap orang dimanfaatkan pendapatnya tanpa rasa takut bicara. Kebutuhan terhadap masukan bukan berarti mengombang-ambingkan profesionalisme dan kekokohan prinsip kita, namun kita perlu meyakini bahwa pikiran kita mempunyai keterbatasan dan kita butuh pendapat lain, terutama untuk hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan yang kompleks.

 

Bola Tetap di Tangan Kita

Kita bisa jadi tidak sadar bahwa kita sering mentah-mentah menolak masukan. Padahal, bagi lembaga yang berbisnis servis serta orang-orang yang terbiasa bergerak maju, mereka bahkan rela membayar mekanisme “feedback” dengan harga mahal. Individu yang memberi masukan diberi hadiah, bahkan membeli hasil riset dan survey kepuasan pelanggan berharga miliaran rupiah pun dilakukan. Mengapa kesadaran mengenai perlunya berburu masukan ini tidak merata? Bahkan, pengelola pemerintah pun seolah enggan mendengar fakta di lapangan, mengabaikan saran-saran ahli yang mumpuni, bahkan menolak ‘brainstorming’, yang sesungguhnya bisa menambah wawasan dan khasanah pengetahuan sebelum mengambil keputusan.

Seringkali, tertutupnya pikiran dan hati untuk memburu masukan, disebabkan karena kita tidak bisa memisahkan antara perasaan serta penjiwaan kita dengan permasalahannya secara obyektif. Bila kita terlalu lebur dengan masalahnya, kita bisa merasa ‘diserang’ bila pendapat atau tindakan kita dipertanyakan. Sebaliknya, kita pun sering lupa bahwa kita tidak perlu segera mengubah apa yang sudah ada pada kita atau kebijakan maupun tindakan yang sudah kita buat, kalau kita mendapatkan masukan yang bertentangan ataupun “nyeleneh”. Bolanya tetap di tangan kita.  

Kita perlu secara intensif melakukan evaluasi tindakan kita, dan hanya masukan pihak lainlah yang bisa kita manfaatkan. Bayangkan, betapa ‘basi’-nya sikap keras kepala dan tidak mau menerima ‘feedback’. Hanya orang yang aktif berburu masukanlah yang bisa maju dan mampu menembus unpredictables, ketidakjelasan yang memang ditakuti semua orang.

articles/hunt1.jpg|||0||bottom||
articles/hunt2.jpg|||0||bottom||

How To Comfort an Axed Coworker

The higher-ups just called a special meeting in the conference room; thank God, you weren't invited. But your work pal was. As he boxes up his Star Wars figures and family photos, what can you say? Tough luck? Who needs 'em? Sayonara? Here's how you can help ease the pain. — Tommy Wallach

{mosimage}

Depersonalize. Like a child reeling from an ugly divorce, the recently pink-slipped must be constantly reminded: "This is not your fault."

Contextualize. Don't let your buddy forget that tens of thousands of others are going through the exact same thing.

Don't demonize. Beware the bitchfest. Fostering hate toward the company is always risky (especially since you still work there).

Patronize. Praise your friend's brilliance and talent. Throw out the names of other firms that would be overjoyed to hire your chum. Mention Google.

Philanthropize. Most important, when you meet at the local Olive Garden to hash things out over manicotti, you better pick up the check.ideapics/2601-05.jpg|||0||bottom||

How To Keep Your Job

You can feel it coming. Whispers of doom are rippling across campus. Any day now, the efficiency experts will be circling your workstation. But you're no sitting duck! Bernadette Kenny, chief career officer at HR giant Adecco USA, offers these tips for dodging the ax. — Mathew Honan

 {mosimage}

Self-improve. Use the new year as an excuse to ask your boss for feedback. Hit up your colleagues, too. Then follow their advice: Whether it's to learn a new programming language or learn Mandarin, you (literally) can't afford not to.

{mosimage} 

Get noticed. Now is not the time to keep your head down. Find ways to make yourself appreciated. "In these times, companies need risk takers and innovators," Kenny says. Show initiative by pitching new projects.

{mosimage} 

Don't get noticed. Resist the temptation to post your résumé online (unless the site offers airtight privacy). If your employer gets word that you're browsing, you'll be kicked up to the top of the boot list.

 

{mosimage} 

Make a backup plan. Update your skill set. Network. Research potential employers. If you're in a dying industry like, say, print magazines (huh?), brainstorm how you can apply your experience to a new field.

 

 

 

 

 

ideapics/2601-01.jpg|||0||bottom||
ideapics/2601-02.jpg|||0||bottom||
ideapics/2601-03.jpg|||0||bottom||
ideapics/2601-04.jpg|||0||bottom||

Mari Berburu Masukan

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Semua orang pasti setuju pentingnya masukan untuk perbaikan. Namun, seberapa baik dan terbukanya kita mendengar masukan, ketika masukan itu datang di depan mata kita? Seorang pebisnis teman saya tahu persis bahwa saat sekarang, kecanggihan pengaturan ‘cashflow’ merupakan kunci pertahanan dan kesuksesan binisnya saat ini. Ia pun menyetujui  direkrutnya seorang eksekutif yang bisa melakukan pengaturan keuangan secara lebih canggih. Saat eksekutif tadi mengemukakan perbaikan dan langkah perubahan yang ia canangkan, pebisnis tersebut langsung berkilah. Dengan daya persuasi yang kuat, ia justru mengarahkan eksekutifnya untuk mengerjakan cara lama saja.

Dalam situasi lain, saya menyaksikan seorang atasan mendengarkan presentasi bawahan yang menyajikan ‘brutal facts’ yang perlu diwaspadai. Lucunya, atasan tersebut tidak me-welcome’ fakta yang disajikan, mengabaikan untuk menggali fakta dengan sikap skeptis yang sehat, tetapi malah berusaha mempersuasi audiens untuk berpikir bahwa ada kemungkinan data salah, cara pengambilan datanya tidak tepat, dan banyaknya pertimbangan yang tidak dimasukkan. Akhirnya, ‘brutal facts’ yang ditemui dimentahkan lagi, situasi pun tidak berubah, perbaikan bahkan tertolak karena tidak masuk ke benak pemikiran orang-orang yang hadir

 

Kita sering mendengar komentar dari orang-orang yang sedang mengalami ke”ribet’an: ”Anda tidak ngerti duduk persoalannya, sih” Padahal, saat kita berada dalam ketidakpastian dan kompleksitas seperti inilah, masukan pihak lain menjadi sangat penting. Rasanya kita perlu mengadaptasi sikap periset yang selalu mengedepankan sikap kreatif dan kritis dalam memperoleh dan  mengolah data. “Stakes are high, Feedback is a must”, kata orang.

 

Masukan: Obyektif atau Subyektif?

Berburu masukan itu ibarat berkeliling menanyakan pendapat tetangga tentang masakan yang baru pertama kali kita buat. Perasaan yang timbul memang bermacam macam, mulai dari bertanya-tanya, bangga, tersinggung, atau was-was. Apakah pendapat orang lain obyektif? Bukankah kita yang lebih tahu mengenai apa yang kita tekuni? Apakah mereka cukup ahli dan tidak asal cuap? Sepanjang kita bisa meyakini bahwa masukan itu berguna, kita akan tetap bisa memanfaatkannya. Kita hanya perlu betul-betul mendengar dulu. Kita sering lupa bahwa masukan itu tidak mengenal pangkat, status atau usia. Masukan dari para sesepuh, senior ataupun pegawai rendahan bisa sama berharganya, tergantung seberapa pasnya masukan itu dengan  kebutuhan kita.

 

Kita juga tidak bisa serta merta meragukan obyektivitas masukan orang. Hampir semua situasi  atau produk yang kompleks dinilai secara subyektif dan tidak mempunyai ukuran yang pas. Sebut saja produk “I-MAC Super-thin “ atau film “Laskar Pelangi”. Kita tidak akan bisa melihat dan menentukan  apakah masukan orang bersifat subyektif atau obyektif, berdasarkan rasa suka atau tidak suka. Lalu, kalau begitu, apakah kita akan berhenti mengejar masukan?

 

Transparansi Berharga Mahal

Dalam sebuah tulisan mengenai tren 2009, dikatakan bahwa ini adalah era ‘instant feedback”. Melalui GPS (Global Positioning System), keberadaan dan pembicaraan siapa pun bisa dilacak secara ‘real time’. Orang butuh  memotret kemacetan lalu lintas saat ini juga, ‘polling’ pendapat mengenai popularitas diri sebagai politisi harus akurat dan terkini, bahkan instan. Ini adalah era transparansi.Corporate governance”pun sebetulnya sudah tidak perlu disosialisasikan karena tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bila ada pihak yang menutup-nutupi kecurangan, pasti ada pihak lain yang akan membongkar faktanya. Tengok saja betapa KPK demikian cerdik mendapatkan fakta, demikian pula pers.

 

Saat sekarang kita memang mesti berlomba adu cepat untuk mendapatkan fakta, baik mengenai situasi pasar, kompetitor, kinerja perusahaan, kebijakan yang baru dibuat, terutama  mengenai diri sendiri. Inilah saatnya kita menciptakan lingkungan dimana setiap orang dimanfaatkan pendapatnya tanpa rasa takut bicara. Kebutuhan terhadap masukan bukan berarti mengombang-ambingkan profesionalisme dan kekokohan prinsip kita, namun kita perlu meyakini bahwa pikiran kita mempunyai keterbatasan dan kita butuh pendapat lain, terutama untuk hal-hal yang menyangkut pengambilan keputusan yang kompleks.

 

Bola Tetap di Tangan Kita

Kita bisa jadi tidak sadar bahwa kita sering mentah-mentah menolak masukan. Padahal, bagi lembaga yang berbisnis servis serta orang-orang yang terbiasa bergerak maju, mereka bahkan rela membayar mekanisme “feedback” dengan harga mahal. Individu yang memberi masukan diberi hadiah, bahkan membeli hasil riset dan survey kepuasan pelanggan berharga miliaran rupiah pun dilakukan. Mengapa kesadaran mengenai perlunya berburu masukan ini tidak merata? Bahkan, pengelola pemerintah pun seolah enggan mendengar fakta di lapangan, mengabaikan saran-saran ahli yang mumpuni, bahkan menolak ‘brainstorming’, yang sesungguhnya bisa menambah wawasan dan khasanah pengetahuan sebelum mengambil keputusan.

 

Seringkali, tertutupnya pikiran dan hati untuk memburu masukan, disebabkan karena kita tidak bisa memisahkan antara perasaan serta penjiwaan kita dengan permasalahannya secara obyektif. Bila kita terlalu lebur dengan masalahnya, kita bisa merasa ‘diserang’ bila pendapat atau tindakan kita dipertanyakan. Sebaliknya, kita pun sering lupa bahwa kita tidak perlu segera mengubah apa yang sudah ada pada kita atau kebijakan maupun tindakan yang sudah kita buat, kalau kita mendapatkan masukan yang bertentangan ataupun “nyeleneh”. Bolanya tetap di tangan kita.  

 

Kita perlu secara intensif melakukan evaluasi tindakan kita, dan hanya masukan pihak lainlah yang bisa kita manfaatkan. Bayangkan, betapa ‘basi’-nya sikap keras kepala dan tidak mau menerima ‘feedback’. Hanya orang yang aktif berburu masukanlah yang bisa maju dan mampu menembus unpredictables, ketidakjelasan yang memang ditakuti semua orang.

Are You Making the Most Common Mistakes People Make With Time

Everyone has 24 hours in a day to spend or invest, no more, no less. How you choose to use that time makes a big difference in the quality of your life. It also makes a difference in how long it takes for your goals to materialize.

How we “spend” our time

We spend time when what we do does not benefit us in the future. Watching t.v. for example is “spending time.” After that program is over an hour is gone and you have nothing to show for it except a little enjoyment. The same can be said for occupying yourself with menial tasks that could be handled by another person. You have a small benefit but no lasting effects.

How we “invest” our time

Investing time is when you do something that benefits you in the future. Reading a book on your area of expertise is an example. You are giving up the time to read the book for the reward that the increased knowledge will bring you in the future. Working out is another example of investing your time. That hour on the treadmill has a lasting benefit for you by increasing your health, flexibility, strength and stamina.

Change your activities to investment activities

Once you start to look at activities as either “spending” or “investing” activities you can start to make rapid progress towards your goals. By cutting down on spending your time on unproductive activities and actions, you increase the amount of time you have to really make things happen in your life.

Take an investment / spending audit

The first thing you will want to do is take an investment / spending audit of your time. For an entire week you will write down what you spend or invest your time on, even if you just sit down and watch the news for 15 minutes. Write down everything. The easiest way to do this is to print off a time sheet from Outlook that has 15 minute intervals that encompasses your waking hours. Be honest with yourself and keep an accurate count of your activities.

Trim your “budget”

When you have your time audit completed, go through it and find where you are spending time instead of investing it. Can you cut back on the t.v. watching time, the time you spend on the phone for no real purpose or even on some of the menial chores that could be hired out? Once you have your top time wasters identified think about the activities that would move you closer to your goal in the shortest amount of time.

Convert your schedule

Take an hour and plan out your new schedule and then print it off and hang it everywhere: near the t.v., on the fridge and by your desk. You want to see this new schedule everywhere you look so that it acts as a constant reminder that you have “better” things to do with your time.

Make it happen and take action!

For your new schedule to pay dividends you must act on it and break your old time spending habits. All the good intentions in the world do nothing if you don’t act on them. Everyday make sure that you are checking your schedule and doing what you have planned for that time slot. If you make sure to follow your new schedule and you invest your time instead of spending it you will be amazed at how quickly you move closer to your goals.

When you change your habits, actions and thoughts, your whole life will change. Click on www.GlobalSuccessILG.com to learn about how to increase your income and create wealth in your life. This website covers topics from leadership, to success, to growing your business and many more. Christina Helwig is Vice-President of Wealth Expressions, Inc. and coaches individuals on how to achieve their goals.

Article Source: Are You Making the Most Common Mistakes People Make With Time

Brain Training – The Smart Resolution

If historians are correct, the ancient Babylonians, one of the earliest civilized societies, practiced the art of the New Year’s resolution. To this day, cultures around the world use the turning of the year as a time to reflect on what’s past while looking to the future. This New Year more people than ever before will be making brain fitness training their top resolution.

Many tried and true resolutions take us in the direction of better brain health – physical exercise, dieting, and quitting smoking. But brain training provides a direct and positive approach by which we can stimulate brain plasticity, improving memory, focus, and mental agility. One study published this past year even recorded increases in fluid intelligence for subjects who underwent demanding working-memory training.

A mounting body of research disproves the long-held assumption that the adult brain can’t grow and change. Study after study has found that it’s possible to stimulate new neural growth and for the brain to rewire existing connections to adapt to new conditions. Brain exercise harnesses these concepts so that we can refresh and sharpen our mental processes.

The Advantages of Brain Fitness Training

Education & Problem-Solving: If you’re due to take a standardized test this year, brain training should be part of your test preparation. Established test prep techniques can improve your test scores, but brain training can also increase your general problem-solving ability. And if you suffer from a learning dysfunction, you should know that many learning specialists now use brain exercises to help strengthen particular brain capacities, such as working-memory. While an accommodation can get you through, brain training can tackle the problem directly.

Career: For many of us, the working day requires a good deal of focus and creative problem-solving. Our brains work best when we can dedicate time and attention to the task at hand, but the stresses and demands of the workplace often conspire to make this almost impossible. The right brain training program can help us increase our attention span and train our cognitive skills. By training our brain we can reduce work stress and perform better (something that employers tend to notice and reward).

Long-Term Mental Health And Well-Being: Unless we do something to stop it, by age 40 our brains have begun to decline. With regular mental exercise, however, we can reduce or eliminate memory loss, and lower our risk of developing Alzheimer’s symptoms and dementia. Researchers have even found that depression responds to the kind of stimulated neural growth that brain training can induce.

Self-Improvement: Quite apart from the self-improvement goal of thinking more sharply, brain exercise can also bring about changes that may seem unlikely – such as improved musical ability and increased self-esteem. But when we consider that the brain orchestrates all aspects of thinking and emotion this begins to seem less unusual. If you’re the kind of person who likes to optimize mind, body, and spirit, brain training could open up a whole new realm of possibilities.

Making The Resolution Stick

Unfortunately, statistics indicate that most of us won’t stick to our New Year’s resolutions. Men tend to do much better if they quantify their goals. And women can increase their chances of success by going public and by engaging their friends in the challenge. Fortunately, since many people enjoy the challenge and rewards of brain training, it can be an easier activity to stay with than some. You can measure your progress through the results of the exercises, and in many cases you can share your scores on some form of blog or social network.

The brain training marketplace can be a little confusing at first. There are many products out there and it’s not always clear which ones work. Some training programs provide don’t require much focus and attention and won’t stimulate brain plasticity. Others might work extremely well but cost several hundred dollars and demand a significant time commitment.

It’s important to verify a program’s scientific basis. The vendor should state clearly what improvements the program will bring about and in what time period. And the product should come with a training schedule that will help you judge whether it is right for you.

A brain exercise resolution will reward in equal measure to the effort we invest. Just as we don’t expect to stay physically fit without breaking a sweat – so, too, a truly effective brain training program requires our attention and diligence. The rewards to our mental ability, health, and happiness, however, will repay every ounce of that investment.

Oxford-trained scientist, author, and technologist, Martin G. Walker is a member of The British Neuroscience Association, Learning and The Brain, and MENSA. His company Mind Evolve Software publishes free information on the field of neuroscience and brain training as well as effective and affordable brain training software under the brand name Mind Sparke.

Article Source: Brain Training – The Smart Resolution