Paham

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Teman saya tidak suka membaca buku teks. Sebelum sosial media berkembang, ia banyak berlangganan majalah. Dari majalah, hal-hal praktis saja yang dimanfaatkannya, seperti resep masakan dan beberapa tips yang sering tertera dalam  headlines. Namun sekarang, tiba-tiba ia mendapat begitu banyak pencerahan dari media sosial. Twitter yang dikemas dalam tulisan 140 karakter, seolah-olah membuat dia tahu banyak, bahkan merasa tahu semua. Tanpa kita sadari proses pemahaman sudah mengalami perubahan. “Instant knowledge” berkembang pesat di era multimedia dan internet ini. Dari internet, bukan saja kita bisa belajar bahasa, merajut produk, namun pemecahan masalah yang kompleks maupun strategis sekali pun bisa didapat. Pertanyaannya, cukupkah pengetahuan berkembang dengan medium seperti ini? Apakah kita memang tidak memerlukan fokus, pendalaman latarbelakang suatu gejala, untuk memahami sesuatu dengan benar dan tepat?

Pemahaman adalah kapabilitas individu untuk memperoleh pengertian dari sesuatu yang sedang dipelajari. Dengan pengetahuan yang sepotong-sepotong atau pemahaman yang setengah-setengah, kita kerap melihat orang bisa bertindak seolah dirinya sangat pakar dan kemudian memberi komentar ini-itu dengan sangat fasih. Pemahaman yang mengambang sebetulnya bisa berbahaya, terutama bila isunya kritikal, banyak pihak terlibat dan efeknya bisa membuat orang salah bertindak. Ini sebabnya, kita juga sering mendengarkan komentar-komentar orang yang dilontarkan berbalas-balasan, sehingga seringkali emosilah yang lebih dominan, ketimbang materi yang dibicarakan. Seberapa pahamkah kita dengan apa yang menjadi sasaran kerja kita? Seberapa besar kita meluangkan waktu untuk menjadi lebih ahli dan lebih memahami seluk-beluk permasalahan di seputar profesi dan pekerjaan kita? Tanpa pemahaman, sudah jelas kita tidak bisa bergerak maju.

{mosimage}

Menyetel Radar dan Mengatur “Kewaspadaan”

Dalam suatu rencana perubahan di suatu organisasi, konsultan yang mempresentasikan rencana perubahan menghadapi muka-muka kosong dari peserta rapat. Selain rencana perubahan memang rumit, sang konsultan juga tidak berusaha mengecek apakah peserta rapat paham, tidak paham atau tidak mau paham dengan apa yang dipresentasikan. Disadari ataupun tidak, dalam berkomunikasi, kita kerap tidak mempedulikan proses pemahaman. Apakah itu pemahaman lawan bicara terhadap ‘point’ yang kita kemukakan atau bahkan pemahaman kita sendiri terhadap materi yang sedang kita bicarakan. Kalau kita tidak mengundang argumentasi, respons, atau elaborasi dan eksperimen, maka pemahaman kita pun hanyalah monoton, ibarat pohon natal tanpa hiasan dan lampu lampu.

Pemahaman adalah hasil dari kerja kognitif otak yang sudah lebih canggih daripada sekedar mengindra, memirsa, membaca, karena sudah melibatkan proses persepsi, membuat atribut, mengecek dengan memori, membayangkan, menggolongkan, dan menyimpan informasi di dalam kelompok pengetahuan yang ada di dalam memori sebelumnya. Kita perlu sadari bahwa cara kerja otak kita ibarat lampu yang bisa kita setel dengan dimmer. Kita bisa membuatkan terang sekali, tapi kita juga bisa menyetelnya untuk bersinar redup-redup saja. Kita bisa memikirkan suatu informasi ibarat orang yang sedang meriset, yaitu mengaktifkan bagian otak untuk mempertimbangkan, membandingkan, menilai, merefleksi dan mengendapkan. Keadaan mental pun bisa kita pasang dalam keadaan waspada dengan “WATT” (Willingness and Ability to Think) tinggi atau dalam keadaan setengah aktif. Dengan begitu banyaknya agenda dan informasi yang kita terima, kita memang perlu dan harus bisa memilih, apakah mau berpikir keras, biasa-biasa, ringan bahkan mengambang. Untuk menjadi profesional yang canggih, kitalah yang harus memasang radar untuk menemukan dan mengolah informasi yang bisa membantu kita memperoleh pemahaman yang mendalam di area expertise kita. Sebaliknya, informasi “sampah” kita sortir, sehingga tidak membebani proses kognitif kita, seperti halnya kita mensortir surat penting atau brochures produk yang tidak penting.

Knowing is Not Enough

Di saat-saat perubahan sikap, kebiasaan dan tingkah laku sangat diperlukan, maka mengangguk-angguk tanda mengerti saja sungguh tidak cukup. Pemahaman bahwa minyak jelantah tidak bisa dicerna dan sangat berbahaya bagi tubuh sudah diketahui banyak orang, namun berapa persenkah orang yang menghentikan jajan gorengan?  Kita sadar organisasi harus diubah, bahkan tahu tidak ada pilihan untuk berubah, namun berapa persen di antara kita yang mulai bangkit, mengubah perilaku dan belajar hal baru? Pemahaman bahwa “manusia” adalah aset terpenting perusahaan sudah tidak diperdebatkan, namun seberapa jauh kita serius menggarap program coaching, mengimplementasikan worklife balance, mengembangkan program pelatihan yang berbobot dan talent management yang mumpuni? Paham saja sungguh tidak cukup, apalagi bila pemahaman terus ditindaklanjuti dengan keraguan, ketidakpercayaan diri dan bolak-balik saja antara hitungan untung dan rugi untuk melangkah lebih jauh. Kita perlu mempertanyakan suatu informasi, mengolahnya, memikirkan penerapannya, melengkapinya dengan eksperimen, sampai menindaklanjutinya dengan perubahan. Hanya dengan cara inilah pemahaman bisa menjadi nilai tambah kognisi dan perbuatan kita.

(Dimuat di KOMPAS, 10 Desember 2011)

articles/paham2.jpg|||0||bottom||

articles/paham1.jpg|||0||bottom||

Individu

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam sebuah pertemuan di perusahaan berskala besar, diketahui bahwa seluruh uang perusahaan, baik itu pembelian, keluar-masuk uang, pencatatan dan akunting, semuanya bekerja di bawah komando  satu orang. Konsultan yang hadir mengatakan ia tidak bisa membayangkan betapa sibuk dan ruwetnya pikiran teman kita ini. Bagaimana pressure dan tuntutan untuk mengelola uang sebanyak itu dikerjakan oleh satu orang? Saat ditanya apakah ia butuh anak buah, dengan santai ia menjawab bahwa ia memang butuh tetapi tidak urgen. Bapak ini bahkan masih bisa bermain tenis di sore hari dan tidak membawa pekerjaan ke rumah. Berarti, ia cukup santai berada di ‘dalam dirinya’ untuk memangku jabatan tersebut. Benarkah ada orang yang demikian brilian dan sanggup mengambil keputusan dan mengkontrol berbagai proses  sendirian? Tanpa mengecilkan peran sinergi kelompok, kita memang harus mengakui bahwa individu yang hebat seringkali bisa memberi nilai yang lebih besar daripada sekelompok orang dengan kinerja biasa-biasa saja.

Mark Zuckerberg, CEO Facebook, dengan tim yang terkenal kreatif mengatakan: “A great engineer is worth 100 average engineers.” Tampak betul ia ia lebih menghargai 1 individu yang hebat ketimbang tim yang terdiri dari individu berkinerja sedang. Ini tidak hanya menunjukkan pentingnya mencari dan merekrut individu yang bermutu, namun sekaligus juga menantang kita untuk memikirkan apakah individu dalam tim sudah diakomodir untuk tumbuh dan berkembang menjadi kontributor yang hebat dan tidak hanya menjadi penggembira yang memberatkan kelompoknya. Dalam sebuah seminar, yang bertujuan mendekatkan dan membuat para supervisor dan manajer buka mulut untuk menceriterakan kendala-kendala yang terjadi di antara mereka, pada saat merger, tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa mereka pun perlu mempertimbangkan tantangan pada tingkat individu. Sebagai akibat, seminar itu hanyalah mencatat semua kendala, termasuk perbedaan budaya kerja, cara kerja, sentimen kelompok, dan tidak mempertanyakan hasrat, motivasi dan keyakinan individunya untuk menyatukan diri dalam kelompok.

{mosimage}

Individu Cemerlang

Sejak dulu, kita sering mendengar kepiawaian tokoh-tokoh dalam sejarah, apakah dia negarawan, olahragawan ataupun ilmuwan dengan karya, prestasi dan keputusan-keputusan yang umumnya dihasilkan sendiri, tidak dalam kelompok. Hal ini juga menyadarkan kita bahwa dalam bisnis keputusan sering diambil oleh  individu, dan kita tidak bisa melulu memandang negatif situasi “one-man show”. Di sisi lain, misalnya dalam pemerintahan, kita menyaksikan betapa pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama-sama, melalui sidang-sidang panjang, terkadang malah hasilnya sedemikian “poor”. Bisa kita lihat bahwa kontribusi yang cuma setengah-setengah akan menyebabkan seluruh tim tidak terorganisasi dan akhirnya terkadang mengalah dan menunggu keputusan atau pencerahan individu tertentu. Betapa menakjubkan perbandingan antara satu orang yang ditunggu-tunggu dibanding dengan kekuatan masing-masing anggota tim yang disinergikan.

Pekerjaan programmer, artis, chef, dan banyak pekerjaan lain merupakan pekerjaan mandiri, di mana karya yang dihasilkan betul-betul bergantung pada satu individu yang “bermutu”. Buku Wired of Thought menceritakan betapa besarnya kapasitas berpikir seseorang. Otak yang diasah dan berkembang, bila semua bagian digunakan dan dihubung-hubungkan akan meninggalkan memori-memori yang ujungnya berbentuk inteligensi. Inteligensi Kasparov, kabarnya sedemikian tinggi, sehingga ia tidak pernah membutuhkan partner, apalagi bila pendampingnya baru menggunakan sebagian saja dari otaknya. Kita lihat bahwa bila memang satu orang sudah bisa menyelesaikan tugas dan menyediakan solusi, sebetulnya kita tidak perlu membayar lebih mahal dan membuang waktu untuk menyediakan penggembira-penggembira di sampingnya.

Bahayanya Penyeragaman

Sering kita menyaksikan upaya kelompok untuk menyamakan derap langkah dengan cara penyeragaman, dari baju sampai model rambut, dan kalau bisa cara berpikir. Bisa saja kita tidak menyadari, namun ini adalah bentuk praktik-praktik membunuh kekuatan masing-masing individu, sehingga tidak ada kesempatan individu untuk berkontribuasi secara cemerlang melalui ide dan inovasi yang unik. Justru keberbedaannyalah yang dipangkas.

Dalam kelompok di mana peran, akuntabilitas dan tanggung jawab tidak ditegaskan betul, maka kelompok justru bisa menjadi ajang sembunyi orang-orang yang tidak memberi kontribusi. Ada individu dalam kelompok bahkan  mengucapkan “tidak tahu” terhadap masalah yang sebenarnya teknis dan begitu jelas bisa dilakukan. Sekarang ini banyak orang juga mengeluhkan rapat-rapat yang terlalu panjang dan melelahkan dalam kelompok. Komunikasi dan diskusi dalam kelompok, bila tidak ada sasaran jelas akan membuat waktu habis termakan oleh tanya jawab, diskusi dan omong-omong lain sebelum implementasi. Too much talking, not enough doing. Bisa juga waktu bekerja akan termakan untuk mendamaikan anggota kelompok yang masih mempunyai keyakinan berbeda, padahal waktu untuk berkontribusi sudah didepan mata. Kita memang tidak bisa menghalangi orang untuk membentuk tim, karena memang fungsi tim juga penting. Namun, bila tidak kuat dalam menentukan peran dan sasaran, bisa-bisa kita tidak lagi bisa melihat yang mana harus dipuji dan yang mana perlu ditegur. Betapa ruginya bila kita baru menyadari setelah individu yang cemerlang kemudian hengkang.

(Dimuat di KOMPAS, 3 Desember 2011)

articles/individu2.jpg|||0||bottom||

articles/individu.jpg|||0||bottom||

Poco Poco

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dalam masa kampanye, begitu sering kita dengar pemimpin ataupun calon pemimpin menjanjikan perubahan-perubahan yang akan dilakukan. Pada kenyataannya, meskipun sudah diupayakan dengan berbagai cara, perubahan kerap belum bisa memberi hasil seperti yang diharapkan. Korupsi malah semakin merajalela di tengah upaya-upaya pemberantasan korupsi. Penjara sudah menjadi pusat kegiatan kejahatan lain, bahkan para penegak hukum kerap menjadi pesakitan di dalam pengadilan itu sendiri. Fakta mengenai pembodohan bangsa sering diungkapkan dan semakin menguatkan anggapan bahwa bangsa ini kerap mengalami kemacetan dalam bergerak maju. Situasi ini memicu orang untuk berkomentar, “Kapan bangsa ini mau maju?”. Ya, kita memang kerap merasa frustrasi dan menemui jalan buntu, seolah “poco-poco”, maju-mudur dan jalan di tempat, tidak bisa berubah. Mengapa perubahan sulit terjadi? Bukankah selain tumbuh pesatnya para profesional, kita juga menyaksikan kecerdasan anak anak yang sudah sangat berbeda dengan keadaan 50 tahun yang lalu. Apa yang salah?

Perubahan di dalam perusahaan pun kita saksikan sama alotnya. Para atasan sering berjaji untuk lebih banyak mendengar pendapat anak buahnya, namun dalam kenyataannya tetap saja arogan dan mau menang sendiri. Di dunia olah raga, para coach juga sulit mempengaruhi para pemain untuk berlatih lebih keras dan lebih sering. Semakin diarahkan untuk memikirkan perubahan, kita malah sering merasa “melawan” perubahan. Dalam sebuah pelatihan, ketika dilakukan ‘drilling’ untuk memperkenalkan suatu produk, instruksi dari pelatih untuk tidak menata kata-kata melalui pikiran, justru membuat seorang peserta pelatihan lebih lancar dalam menyampaikan deskripsi produknya. Seorang ‘coach’ di lapangan olah raga juga kerap melarang coachee-nya untuk terlalu banyak ‘berpikir’ pada waktu melancarkan pukulan. Mungkinkah pikiran justru menghambat orang untuk berubah?

{mosimage}

Knowing-Doing Gap

Jeffrey Pfeffer, pengarang buku “The knowing-Doing Gap” membuktikan dalam berbagai risetnya, bahwa ide-ide cemerlang memang banyak sekali diungkapkan, diusulkan, direncanakan, baik di buku-buku, presentasi maupun di rapat kerja perusahaan. Namun, pada kenyataannya rencana-rencana tersebut sangat minim implementasinya. Peter Drucker pun mengungkapkan bahwa:”The problem in my life and other people’s lives is not the absence of knowing what to do, but the absence of not doing it’. Hampir semua orang tahu bahwa pembuatan laporan memudahkan pengambilan keputusan dan diperlukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Namun, berapa persen individu di perusahaan yang terlambat menyetor laporan, bahkan tidak membuatnya sama sekali? Penyebab kesenjangan antara “knowing’ dan “doing” ini adalah penyakit mental.

Bila kita kebetulan sedang mengalami kesuksesan , katakanlah sesudah presentasi dan akhirnya  diluluskan permintaannya. Kita langsung akan melihat kegiatan itu sebagai kegiatan yang ‘fun’, tidak perlu banyak tenaga. Pada saat itu pikiran kita tenang, otot-otot kita  terasa relaks. Apa yang terjadi bila kita tidak berhasil? Semua yang kita lakukan akan memenuhi isi pikiran kita dan kita pun otomatis mengevaluasi dan ‘memikirkan’ apa yang salah dan bagaimana perbaikannya. Semakin dipikirkan, semakin tubuh tidak bisa relaks dan semakin sulit untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik. Situasi “underpressure” inilah yang membuat pengetahuan semakin kuat dalam pikiran individu, namun di saat yang sama membelenggu kekuatan internal dalam diri individu. Betapa kita sering menyaksikan individu yang bila berada dibawah tekanan, gagal mengulang instruksi, dan lupa cara melakukan tugas yang diberikan kepadanya. Apa yang kita tahu, bahkan terlalu kita tahu, justru bisa merusak keyakinan, melemahkan motivasi dan membuyarkan fokus kita. Jadi, pengetahuan bisa menghambat individu dalam bergerak. Ini berarti menjejali pengetahuan tanpa membangun rasa percaya diri dan emosi positif membuat perubahan menjadi sulit terjadi.

G.R.O.W

Tekanan mental yang menghambat individu untuk melakukan tindakan perubahan perlu kita bongkar agar kita bisa memfokuskan pikiran kita ke tingkah laku yang kita harapkan. Bila kita rajin melatih fokus kita pada tindakan, tanpa kita sadari kita sudah di rel yang tepat untuk berubah. Dalam ilmu coaching, kita tentu mengenal skema “Goal-Reality-Opportunity dan Way Out (GROW)”, yang bisa membantu kita untuk lebih fokus. Pertama, fokus hanya mungkin terjadi bila kita jelas akan sasaran (Goal) yang ingin kita raih Setelah itu, kita perlu melihat kenyatannya (Reality) secara obyektif. Bila kita tidak sadar tingkah laku mana yang perlu diubah, berarti kesadaran akan realitas yang perlu kita pertajam. Langkah selanjutnya adalah membaca situasi (Opportunity) untuk menemukan cara untuk bergerak dari realitas saat ini ke sasaran (Goal) yang kita inginkan.  Dan terakhir adalah penentuan ‘action’ (Way Out) yang akan kita lakukan, beserta timing dan ‘deadlines’-nya. Proses ini sepertinya sederhana, namun tantangannya adalah kita cenderung “poco-poco” atau mundur maju antara Goal dan Reality, sehingga tidak maju-maju. Kritik, gosip, celaan adalah bentuk  realitas yang sebenarnya perlu ditindaklanjuti, bukan dierami. Rasa tidak puas kita terhadap karir, suasana kantor atau realitas apapun, perlu digerakkan maju, sesuai dengan sasaran kita. “There are many ways of allowing your thinking to get in the way of your performance and learning, but they all amount to conversations you are having with yourself within your own head” Timothy Gallwey.

(Dimuat di KOMPAS, 26 Nov 2011

articles/poco-poco1.jpg|||0||bottom||

articles/poco-poco2.jpg|||0||bottom||

Budaya Bertanya

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

“Ada pertanyaan?”, demikian kita sering mendengar atasan, presentan ataupun fasilitator pelatihan menutup topik pembicaraannya. Tidak jarang kita menemui, situasi hening, tanpa ada orang yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Beberapa orang yang berusaha menganalisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang pemalu, sehingga ‘mohon maklum’ jika tidak banyak respon terhadap presentasi yang sudah berlangsung. Benarkah tidak adanya pertanyaan ini di latarbelakangi oleh budaya malu? Atau justru, di budaya kita berkembang kebiasaan mematikan pertanyaan sehingga individu memang tidak menyuburkan kebiasaan bertanyanya? Kita melihat kadang peserta meeting atau pelatihan memasang ekspresi “Cape deh” atau “Emang Gue Pikirin”, bila kebetulan ada orang yang berminat mengajukan pertanyaan. Orang yang sering bertanya dan mengajukan pertanyaan bahkan kerap dicap sebagai orang yang ‘rese’.

Meskipun seolah mendorong orang untuk mengajukan, namun tak jarang ada pemimpin rapat atau atasan yang malah memasang wajah tidak senang atau bahkan menyerang jika ada orang yang bertanya atau mempertanyakan informasi yang diberikan. Ada pendapat bahwa mengajukan pertanyaan dianggap sebagai tindakan yang kurang merespek. Terkadang, jawaban atas pertanyaan yang muncul berupa jawaban singkat seperti “tidak mungkin” atau “tidak bisa”, tanpa mengolah atau menganalisis pertanyaannya lebih lanjut. Hal seperti ini tentu seketika mematikan pertanyaan produktif. Individunya malas bertanya karena merasa bahwa pertanyaan harus sudah mengandung jawaban di dalamnya. Individu takut dianggap dungu dan ‘innocent’. Padahal di dalam pendidikan kemiliteran yang terkenal sangat instruksional dan otoriter, para serdadu dilatih untuk mengajukan pertanyaan.

Kita seharusnya sangat prihatin dengan keadaan ini, karena masyarakat seperti ini terdorong tumbuh menjadi masyarakat yang tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan, penemuan inovasi, bahkan pengembangan. Bila kebiasaan ini tumbuh, maka masyarakat bisa berkembang menjadi masyarakat yang tidak menyadari lagi asumsi dan motivasinya. Matinya kebiasaan bertanya ini, bisa tidak disadari sebagai matinya inisiatif kita sebagai anggota masyarakat Bayangkan bila dalam suatu rapat tidak ada pertanyaan: ”Apakah….itu?” Mengapa terjadi…?”, “Apa yang melatarbelakangi gejala itu…?”, “Mengapa tidak…?”. Terasa sekali bahwa tim atau lembaga tersebut hanya menjalankan apa yang sudah digariskan. Tidak ada sikap kritis terhadap praktik yang sedang berjalan.

{mosimage}

Pertanyaan identik kontribusi

Apapun bentuknya, kita bisa menganggap bahwa setiap pertanyaan yang diajukan ke perusahaan, lembaga atau pemerintah adalah kontribusi individu. Misalnya, individu yang mempertanyakan mengapa gajinya tidak naik sesuai harapan, bisa memberi indikasi ketidakpuasan, ketimpangan penilaian, kurangnya informasi dan masih banyak hal lain yang mungkin bisa dikembangkan. Tony Hsieh, CEO Zappos perusahaan sepatu on line yang sangat sukses, berpendapat bahwa kelompok di perusahaan perlu memformulasikan pertanyaan secara berkala. Menurut Tony, pertanyaan menimbulkan pembicaraan. Pembicaraan membangun spirit memikirkan masa depan dan perbaikan bersama. Bahkan Zappos, kemudian menerbitkan pertanyaan-pertanyaan karyawan sebagai buku budaya mereka yang mengemukakan: "true feelings, thoughts, and opinions of the employees,", di mana karyawan jadi merasa sebagai ‘pemilik’ perusahaan yang bertanggung jawab.

Budaya bertanya sebetulnya bisa membantu kita untuk tidak selamanya melihat masalah sebagai keterpurukan, tapi langsung sebagai materi ‘problem solving’ yang perlu digarap. Dengan mempertanyakan tindakan yang hampir menetap sebagai habit, kita pun bisa lepas dari belenggu rutinitas. Bahkan kita pun bisa dengan toleran melihat keberbedaan dan mencari ‘power’ dalam keberbedaan. Mengapa kita tidak mengambil manfaat dari keberbedaan? Mengapa kita tidak melakukan “combine forces”? Pertanyaan bisa diibaratkan seperti ‘turbo-charger’ yang merupakan katalis menuju wawasan wawasan kreatif..

Terbuka terhadap segala kemungkinan

Eric Schmidt, CEO  perusahaan Google, mengatakan: "We run the company by questions, not by answers". Banyak hal yang harus dipertanyakan oleh Google sebagai perusahaan yang sudah sukses itu. Misalnya saja: Apa yang harus kita lakukan dengan uang ‘cash’ yang ada? Upaya apa yang paling efektif? Jane Harper, tokoh pengembangan SDM di IBM yang sudah bekerja selama 30 tahun, saat angka ‘turnover’ melonjak tinggi-tingginya, mempertanyakan kembali, mengapa dulu orang enjoy bekerja di IBM? Ternyata hasil survey kecilnya mengatakan bahwa orang menikmati bekerja dalam tim kecil, di mana tantangannya jelas, komunikasinya intensif dan impact-nya pun terasa kuat. Inilah cikal bakal pengembangan program ‘Extreme Blue’ yang kemudian berkembang menjadi wadah inovasi dan mengembangan talenta.

Kita memang perlu berlatih untuk mengajukan pertanyaan yang berbobot dan bukan sekedar pertanyaa “asbun” atau melemparkan teka-teki konyol seperti banyak kita saksikan di berbagai media sosial, yang membuat orang mengerenyitkan wajah. Kita pun perlu menyimak pertanyaan, menganalisis atau bahkan mengendapkannya dulu sebelum menjawab, daripada memberi jawaban atau komentar yang tidak jelas atau asal-asalan. Bila kita masih mengalami rapat-rapat yang “garing”, kita bisa melihat betapa kita masih jauh dari kondisi di mana orang sudah menerapkan ‘questionstorming’. Kita masing-masing bertanggung mengisi setiap pertemuan dengan sebanyak mungkin pertanyaan agar ide ataupun praktik yang sedang berlangsung bisa dikembangkan lebih lanjut. Tentunya kekuatan bertanya ini perlu dilengkapi dengan kekuatan observasi, bergaul, bereksperimen, yang terlatih pula.

(Dimuat di Kompas, 19 November 2011)

articles/budaya-bertanya1.jpg|||0||bottom||
articles/budaya-bertanya2.jpg|||0||bottom||

Budaya Bertanya

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

“Ada pertanyaan?”, demikian kita sering mendengar atasan, presentan ataupun fasilitator pelatihan menutup topik pembicaraannya. Tidak jarang kita menemui, situasi hening, tanpa ada orang yang mengacungkan tangan untuk bertanya. Beberapa orang yang berusaha menganalisa mengatakan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang pemalu, sehingga ‘mohon maklum’ jika tidak banyak respon terhadap presentasi yang sudah berlangsung. Benarkah tidak adanya pertanyaan ini di latarbelakangi oleh budaya malu? Atau justru, di budaya kita berkembang kebiasaan mematikan pertanyaan sehingga individu memang tidak menyuburkan kebiasaan bertanyanya? Kita melihat kadang peserta meeting atau pelatihan memasang ekspresi “Cape deh” atau “Emang Gue Pikirin”, bila kebetulan ada orang yang berminat mengajukan pertanyaan. Orang yang sering bertanya dan mengajukan pertanyaan bahkan kerap dicap sebagai orang yang ‘rese’.

Meskipun seolah mendorong orang untuk mengajukan, namun tak jarang ada pemimpin rapat atau atasan yang malah memasang wajah tidak senang atau bahkan menyerang jika ada orang yang bertanya atau mempertanyakan informasi yang diberikan. Ada pendapat bahwa mengajukan pertanyaan dianggap sebagai tindakan yang kurang merespek. Terkadang, jawaban atas pertanyaan yang muncul berupa jawaban singkat seperti “tidak mungkin” atau “tidak bisa”, tanpa mengolah atau menganalisis pertanyaannya lebih lanjut. Hal seperti ini tentu seketika mematikan pertanyaan produktif. Individunya malas bertanya karena merasa bahwa pertanyaan harus sudah mengandung jawaban di dalamnya. Individu takut dianggap dungu dan ‘innocent’. Padahal di dalam pendidikan kemiliteran yang terkenal sangat instruksional dan otoriter, para serdadu dilatih untuk mengajukan pertanyaan.

Kita seharusnya sangat prihatin dengan keadaan ini, karena masyarakat seperti ini terdorong tumbuh menjadi masyarakat yang tertutup terhadap kemungkinan-kemungkinan, penemuan inovasi, bahkan pengembangan. Bila kebiasaan ini tumbuh, maka masyarakat bisa berkembang menjadi masyarakat yang tidak menyadari lagi asumsi dan motivasinya. Matinya kebiasaan bertanya ini, bisa tidak disadari sebagai matinya inisiatif kita sebagai anggota masyarakat Bayangkan bila dalam suatu rapat tidak ada pertanyaan: ”Apakah….itu?” Mengapa terjadi…?”, “Apa yang melatarbelakangi gejala itu…?”, “Mengapa tidak…?”. Terasa sekali bahwa tim atau lembaga tersebut hanya menjalankan apa yang sudah digariskan. Tidak ada sikap kritis terhadap praktik yang sedang berjalan.

 

{mosimage}

Pertanyaan identik kontribusi

Apapun bentuknya, kita bisa menganggap bahwa setiap pertanyaan yang diajukan ke perusahaan, lembaga atau pemerintah adalah kontribusi individu. Misalnya, individu yang mempertanyakan mengapa gajinya tidak naik sesuai harapan, bisa memberi indikasi ketidakpuasan, ketimpangan penilaian, kurangnya informasi dan masih banyak hal lain yang mungkin bisa dikembangkan. Tony Hsieh, CEO Zappos perusahaan sepatu on line yang sangat sukses, berpendapat bahwa kelompok di perusahaan perlu memformulasikan pertanyaan secara berkala. Menurut Tony, pertanyaan menimbulkan pembicaraan. Pembicaraan membangun spirit memikirkan masa depan dan perbaikan bersama. Bahkan Zappos, kemudian menerbitkan pertanyaan-pertanyaan karyawan sebagai buku budaya mereka yang mengemukakan: "true feelings, thoughts, and opinions of the employees,", di mana karyawan jadi merasa sebagai ‘pemilik’ perusahaan yang bertanggung jawab.

Budaya bertanya sebetulnya bisa membantu kita untuk tidak selamanya melihat masalah sebagai keterpurukan, tapi langsung sebagai materi ‘problem solving’ yang perlu digarap. Dengan mempertanyakan tindakan yang hampir menetap sebagai habit, kita pun bisa lepas dari belenggu rutinitas. Bahkan kita pun bisa dengan toleran melihat keberbedaan dan mencari ‘power’ dalam keberbedaan. Mengapa kita tidak mengambil manfaat dari keberbedaan? Mengapa kita tidak melakukan “combine forces”? Pertanyaan bisa diibaratkan seperti ‘turbo-charger’ yang merupakan katalis menuju wawasan wawasan kreatif..

Terbuka terhadap segala kemungkinan

Eric Schmidt, CEO  perusahaan Google, mengatakan: "We run the company by questions, not by answers". Banyak hal yang harus dipertanyakan oleh Google sebagai perusahaan yang sudah sukses itu. Misalnya saja: Apa yang harus kita lakukan dengan uang ‘cash’ yang ada? Upaya apa yang paling efektif? Jane Harper, tokoh pengembangan SDM di IBM yang sudah bekerja selama 30 tahun, saat angka ‘turnover’ melonjak tinggi-tingginya, mempertanyakan kembali, mengapa dulu orang enjoy bekerja di IBM? Ternyata hasil survey kecilnya mengatakan bahwa orang menikmati bekerja dalam tim kecil, di mana tantangannya jelas, komunikasinya intensif dan impact-nya pun terasa kuat. Inilah cikal bakal pengembangan program ‘Extreme Blue’ yang kemudian berkembang menjadi wadah inovasi dan mengembangan talenta.

Kita memang perlu berlatih untuk mengajukan pertanyaan yang berbobot dan bukan sekedar pertanyaa “asbun” atau melemparkan teka-teki konyol seperti banyak kita saksikan di berbagai media sosial, yang membuat orang mengerenyitkan wajah. Kita pun perlu menyimak pertanyaan, menganalisis atau bahkan mengendapkannya dulu sebelum menjawab, daripada memberi jawaban atau komentar yang tidak jelas atau asal-asalan. Bila kita masih mengalami rapat-rapat yang “garing”, kita bisa melihat betapa kita masih jauh dari kondisi di mana orang sudah menerapkan ‘questionstorming’. Kita masing-masing bertanggung mengisi setiap pertemuan dengan sebanyak mungkin pertanyaan agar ide ataupun praktik yang sedang berlangsung bisa dikembangkan lebih lanjut. Tentunya kekuatan bertanya ini perlu dilengkapi dengan kekuatan observasi, bergaul, bereksperimen, yang terlatih pula.

(Dimuat di Kompas, 19 November 2011)

 

articles/rasa-percaya1.jpg|||0||bottom||

articles/budaya-bertanya2.jpg|||0||bottom||

Rasa Percaya

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita sering kecewa karena tidak adanya sinergi. Padahal, begitu banyak hal yang harus dibenahi dan tantangan untuk memperbaiki kinerja terus digaungkan sebagai urgensi. Tidak jarang kita melihat pejabat atau orang-orang penting di satu perusahaan menolak untuk bicara lebih dalam mengenai konflik yang terjadi. Padahal, di sisi lain, mereka bisa dengan santainya makan siang bersama-sama. Keterbukaan yang digembar-gemborkan para atasan sebagai “my door is open” kerap berupa slogan saja, namun tidak serius dijalankan. Ketika atasan menyadari bahwa ide-ide, protes-protes, bahkan kekecewaan tidak “mengalir” ke mereka, para atasan ini tidak berusaha memperbaiki situasi. Bila keterbukaan tidak tumbuh di dalam tim dan antar individu, jangan heran bila kemudian yang tumbuh adalah atmosfir sindir menyindir, salah menyalahkan, kelelahan, ‘loneliness’, apatis, bahkan hilangnya inisiatif. Padahal, kita sangat menyadari, bahwa perbaikan prosedur dan proses bisnis tercanggih di dunia pun tidak bisa lancar tanpa adanya ‘rasa percaya’ antar tim  yang berakar secara mendalam pada masing-masing individu

Dunia kita makin kompleks, di mana tim dituntut bersinergi dalam rangka globalisasi dan desentralisasi. Di dunia kerja, makin maraknya ‘outsourcing’ dan posisi pada setiap fungsi organisasi yang kerap berjauhan menjadikan setiap manajer ditantang untuk memimpin tim dari jarak jauh. Alat-alat monitoring, komunikasi secara cyber, dan segala macam elektronik tetap tidak bisa menggantikan hubungan tatap muka, sehingga kita menyadari kemungkinan tidak terkuaknya masalah, adanya kesalahan, salah pengertian dan tercampur aduknya masalah yang ujung-ujungnya tidak gampang untuk mengurainya kembali. Di satu pihak ada atasan yang mengatakan, “Jangan terlalu percaya pada anak buah. Anda harus turun tangan dan melakukan inspeksi sendiri”. Namun sebaliknya, kita sangat menyadari bahwa ‘rasa percaya’ harus kita tumbuhkan bila ingin mengembangkan tim virtual begini.

Begitu pentingnya rasa percaya, sehingga berbagai disiplin ilmu, baik para neuroeconomist,  behavioral economists dan para psikolog sosial mempelajari berbagai teknik dan cara untuk mempelajari tumbuhnya rasa percaya. Namun, kita bisa menemui individu yang walaupun  sangat berniat untuk mengembangkan rasa percaya ini, tetap tidak mudah mempercayai orang disekitarnya. Bisa saja ia tidak percaya pada ‘fairness’ dan keterbukaan atasannya sendiri, maupun tidak mempercayai apa yang dilaporkan anak buahnya. Bila saja separuh karyawan di sebuah organisasi mempunyai perasaan yang sama, bisa dibayangkan betapa tidak nyamannya atmosifr kerja di lingkungan tersebut.

{mosimage}

To Trust is Human

Pada mahluk lain, rasa percaya itu beroperasi secara intuitif, namun manusia mengembangkan rasa percara sebagai fungsi otak. Segera setelah dilahirkan, bayi sudah bisa membaca mimik pengasuh atau ibunya, bahkan sudah memalingkan muka ke arah suara yang dikeluarkan ibunya. Seorang psikolog sosial mengatakan: “We’re born to be engaged and to engage others, which is what trust is largely about.” Meskipun para ahli juga menemukan bahwa ada zat tertentu yang secara rutin di produksi kelenjar tubuh kita yang berfungsi menghubungkan kondisi emosional dengan hubungan sosial yang positif, yaitu oksitosin, para ahli tetap berkeyakinan bahwa rasa percaya memang tumbuh secara rasional.

Hal lain yang perlu kita pahami juga adalah dari sebuah penelitian terhadap sejumlah mahasiswa, didapatkan bahwa, manusia mempunyai kecenderungan untuk menganggap bahwa penilaiannya benar. Dengan demikian, setiap individu cenderung tidak mengkonfirmasi ulang penilaiannya. Selain itu, manusia juga sering didominasi oleh ilusi semacam unrealistic optimism di mana keyakinan bahwa semua hal yang baik-baik akan terjadi pada dirinya. Hal ini kadang menghambat pikiran kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap penilaian yang kita buat. Disadari atau tidak, kita memang sering mempunyai kecenderungan yang menetap. Apakah terlalu curiga atau sebaliknya terlalu percaya. Tantangan kita adalah secara sadar menjaga, mengevaluasi dan menuntut penilaian kita untuk mengolah, bekerja keras dan tidak mengambang.

Kirimkan Sinyal

Pada tahun 1980-an, ketika komputer masih dianggap barang mahal, Hewlett Packard membuat kebijakan, bahwa karyawannya diijinkan membawa pulang laptopnya masing masing untuk bekerja di rumah. Pesannya jelas. Perusahaan percaya pada karyawannya. Signal ini langsung mewarnai kayakinan karyawan akan perusahaannya dan seketika berdampak pula pada keyakinan karyawan pada anggota tim lain, seperti atasan dan teman kerjanya.

Rasa percaya memang beresiko. Bila kita melancarkan kritik, kita malah bisa ‘dipukul balik”. Bila kita menyampaikan “brutal facts”, tak jarang malah bernasib: “messenger get killed”. Curhat pada teman yang salah bisa berakibat gosip beredar. Namun untuk maju, kita tidak punya pilihan kecuali menumbuhkan rasa percaya pada rekan, atasan, perusahaan dan juga negara. Sikap menghindar dan menjauhi orang yang tidak kita percaya, hanya akan berakibat turunnya kinerja tim dan ketidaknyamanan situasi kerja. John F. Kennedy pernah membuktikan bahwa mengembangkan sikap saling percaya berhasil menumbuhkan kolaborasi positif. Dalam pidatonya di sebuah universitas di Amerika pada tahun 1963, ia mengemukakan tentang sifat baik orang Rusia dan betapa ia ingin bekerja sama dengan pemerintah Rusia dibidang persenjataaan nuklir. Pernyataan ini membuat Nikita Khrushchev terkesan dan akhirnya membuka hubungan diplomatik. Dari sini kita belajar bahwa pesan dan sinyal bahwa kita bisa dipercaya dan bisa mempercayai orang lain perlu dilakukan secara sengaja dan juga penuh kesadaran sehingga pihak lain pun sadar bahwa kita tidak ‘main-main” ingin membangun rasa percaya.

(Dimuat di KOMPAS, 12 November 2011)

articles/rasa-percaya1.jpg|||0||bottom||

articles/rasa-percaya2.jpg|||0||bottom||

It’s Complicated

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mendengar atau membaca berita di media massa belakangan ini, seringkali malah membuat kita jadi tidak bisa melihat apa permasalahannya dengan jelas. Sebut saja, asal muasal pengeroyokan wartawan yang simpang-siur, sampai-sampai kita sulit menggambarkan situasi yang ada dengan jelas. Belum lagi masalah korupsi yang saling tuding, saling menghindar, saling terkait dan komentar berbagai pihak yang saling timpal-menimpali, sehingga kita tidak tahu lagi siapa yang benar, apa yang salah, bahkan sampai-sampai tidak bisa melihat bagaimana masalah tersebut harus diselesaikan. “Kompleksitas” situasi, saat ini memang sudah menjadi kata yang populer di dunia  politik, binis maupun pergaulan. Kerap orang menggambarkan kerumitan permasalah yang ada dengan meminjam istilah populer di akun facebook, mengenai status hubungan pribadi:”it’s complicated”.

Situasi yang membingungkan, disadari ataupun tidak, sering dijadikan ‘excuse’ bagi para eksekutif yang gagal. “Bagaimana saya bisa fokus, bila setiap pos berkaitan satu sama lain?”, “Bagaimana saya mempertanggungjawabkan suatu kegagalan, bila kesuksesan saya sangat tergantung pada orang atau bagian  lain?”. Ya, situasi yang kompleks memang dihadapi oleh hampir semua orang. Bila kita tidak bisa berpikiran jernih dengan mudah kita melihat permasalahan seperti ‘lingkaran setan’, tidak bisa kita uraikan lagi. Masalah banyak dan ‘challenging’, jawabannya seolah yang tidak ada. Ada orang yang kemudian menjadi dengan enteng mengemukakan: “Masalahnya terletak di…”, tanpa merasa berkewajiban mengemukakan solusinya. Ada pula atasan yang merasa tidak perlu bertanggung jawab apalagi mengundurkan diri, bila bawahannya berbuat kesalahan. Kompleksitas sesungguhnya bukan sekedar merupakan keadaan yang perlu kita hadapi, tetapi kita jugalah yang memegang peranan dalam menciptakan situasinya. Dengan demikian, kita sebetulnya juga punya tanggung jawab untuk mengurai dan menemukan esensi serta solusinya.

Banyaknya keberbedaan di masyarakat, apakah itu pendapat, nilai maupun pandangan, menyebabkan orang yang berusaha mensimplifikasikan masalah kerap sulit mendapatkan solusi, bahkan ujung-ujungnya bisa dianggap tidak responsif. Di sisi lain, kita sadar bahwa respons yang tidak berhati hati, sering mengakibatkan kita tidak mampu memprediksi hasilnya. Standar yang sebenarnya dibuat untuk menyamakan “bahasa”, sekarang malah muncul dalam berbagai versi. Standar profesi, yang dikeluarkan oleh negara di Eropa, belum tentu diakui di Amerika, demikian pula sebaliknya. Jadi situasi yang:”ever-increasing uncertainty” dan sulit dibaca ini memang terjadi dimana-mana dan menyebabkan para analis keuangan atau politik pun sulit mengambil kesimpulan. Logika sebab-akibat sudah tidak bisa digunakan lagi. Solusi yang kita gunakan hari ini, mungkin sekali basi dalam waktu yang dekat. Pertanyaanya, sampai kapan kita akan membiarkan diri tenggelam dalam kompleksitas situasi, tanpa urgensi untuk menghadirkan solusi?

 

{mosimage}

Berpegang pada Fakta

Beberapa pimpinan perusahaan, entah disadari atau tidak, sering mengambil kebijakan yang merugikan karena tidak sabar melihat perkenbangan perusahaan, misalnya saja mengadu 2 divisi atau channel distribusi. Dalam industri manufaktur, terkadang ada kebingungan untuk mengikuti standar internasional versus respons terhadap pasar lokal. Pejabat yang mengajukan ide pemberantasan korupsi secara tidak lengkap atau individu yang memberi komentar “asal-asalan” mengenai cara penanggulangan kemacetan, tak jarang menuai caci maki habis-habisan di media. Itu sebabnya kita memang perlu senantiasa belajar berpegang pada fakta yang mendukung sebelum menyikapi kompleksitas yang ada.

Tidak salah bila dalam tahap awal kita mengeluarkan berbagai hipotesa penyebab masalah yang ada. Dalam berbagai metode perbaikan kualitas pun kita diajarkan untuk mengidentifikasi semua hal yang bisa menjadi penyebab masalah. Namun, jangan lupa bahwa ujungnya tetap kita harus memilih satu-dua akar masalah yang paling mendasar dan mencurahkan energi dan fokus kita untuk menyelesaikan hal-hal yang mendasar itu.

Keyakinan Diri sebagai “Guiding Star”

Bersikap kalang kabut dan menjawab kompleksitas dengan kompleksitas sudah pasti bukan solusi yang baik. Perusahaan ABB pernah membuat struktur organisasi berbentuk matriks yang bersisi 6, tak lama sesudahnya kembali menyederhanakannya. Bila kompleksitas ini tidak bisa diurai, maka kita perlu kembali menelaah diri kita sendiri yang justru adalah pos yang bisa kita kontrol. Bila saja kita tetap mengacu pada sebuah “guiding star” yang jelas, maka kita bisa mempunyai cakrawala yang lebih jelas dan paling tidak bisa menentukan prioritas. Seorang ahli manajemen menyatakan : “Ramalan cuaca juga tidak pernah benar 100 %. Tetapi adanya ancaman bencana tetap  banyak dimonitor oleh ramalan tersebut juga”. Ada masanya memang kita tidak perlu kejelasan yang benar benar factual. Kita cukup mempunya Dos dan donts yang jelas, sehingga tidak terperosok ke hal hal yang tidak termasuk jalur aman. Selebihnya kita tentunya tetap maju menuju sasaran yang sudah kita canangkan.

Ketika di perjalanan kita mendapatkan ‘warning’ bahwa situasi sedang tidak ‘aman’ maka kita memang perlu menentukan plan B. Namun, “Purpose and values” yang kuat akan membuat kita kokoh, dan lebih tahan banting menghadapi kompleksitas ini. Pada akhirnya kita akan tampil sebagai orang yang berkeyakinan tinggi dalam menghadapi segala macam situasi.

(Dimuat di Kompas, 24 September 2011)

articles/its-complicated1.jpg|||0||bottom||

articles/its-complicated2.jpg|||0||bottom||

It’s Complicated

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Mendengar atau membaca berita di media massa belakangan ini, seringkali malah membuat kita jadi tidak bisa melihat apa permasalahannya dengan jelas. Sebut saja, asal muasal pengeroyokan wartawan yang simpang-siur, sampai-sampai kita sulit menggambarkan situasi yang ada dengan jelas. Belum lagi masalah korupsi yang saling tuding, saling menghindar, saling terkait dan komentar berbagai pihak yang saling timpal-menimpali, sehingga kita tidak tahu lagi siapa yang benar, apa yang salah, bahkan sampai-sampai tidak bisa melihat bagaimana masalah tersebut harus diselesaikan. “Kompleksitas” situasi, saat ini memang sudah menjadi kata yang populer di dunia  politik, binis maupun pergaulan. Kerap orang menggambarkan kerumitan permasalah yang ada dengan meminjam istilah populer di akun facebook, mengenai status hubungan pribadi:”it’s complicated”.

Situasi yang membingungkan, disadari ataupun tidak, sering dijadikan ‘excuse’ bagi para eksekutif yang gagal. “Bagaimana saya bisa fokus, bila setiap pos berkaitan satu sama lain?”, “Bagaimana saya mempertanggungjawabkan suatu kegagalan, bila kesuksesan saya sangat tergantung pada orang atau bagian  lain?”. Ya, situasi yang kompleks memang dihadapi oleh hampir semua orang. Bila kita tidak bisa berpikiran jernih dengan mudah kita melihat permasalahan seperti ‘lingkaran setan’, tidak bisa kita uraikan lagi. Masalah banyak dan ‘challenging’, jawabannya seolah yang tidak ada. Ada orang yang kemudian menjadi dengan enteng mengemukakan: “Masalahnya terletak di…”, tanpa merasa berkewajiban mengemukakan solusinya. Ada pula atasan yang merasa tidak perlu bertanggung jawab apalagi mengundurkan diri, bila bawahannya berbuat kesalahan. Kompleksitas sesungguhnya bukan sekedar merupakan keadaan yang perlu kita hadapi, tetapi kita jugalah yang memegang peranan dalam menciptakan situasinya. Dengan demikian, kita sebetulnya juga punya tanggung jawab untuk mengurai dan menemukan esensi serta solusinya.

Banyaknya keberbedaan di masyarakat, apakah itu pendapat, nilai maupun pandangan, menyebabkan orang yang berusaha mensimplifikasikan masalah kerap sulit mendapatkan solusi, bahkan ujung-ujungnya bisa dianggap tidak responsif. Di sisi lain, kita sadar bahwa respons yang tidak berhati hati, sering mengakibatkan kita tidak mampu memprediksi hasilnya. Standar yang sebenarnya dibuat untuk menyamakan “bahasa”, sekarang malah muncul dalam berbagai versi. Standar profesi, yang dikeluarkan oleh negara di Eropa, belum tentu diakui di Amerika, demikian pula sebaliknya. Jadi situasi yang:”ever-increasing uncertainty” dan sulit dibaca ini memang terjadi dimana-mana dan menyebabkan para analis keuangan atau politik pun sulit mengambil kesimpulan. Logika sebab-akibat sudah tidak bisa digunakan lagi. Solusi yang kita gunakan hari ini, mungkin sekali basi dalam waktu yang dekat. Pertanyaanya, sampai kapan kita akan membiarkan diri tenggelam dalam kompleksitas situasi, tanpa urgensi untuk menghadirkan solusi?

 

{mosimage}

Berpegang pada Fakta

Beberapa pimpinan perusahaan, entah disadari atau tidak, sering mengambil kebijakan yang merugikan karena tidak sabar melihat perkenbangan perusahaan, misalnya saja mengadu 2 divisi atau channel distribusi. Dalam industri manufaktur, terkadang ada kebingungan untuk mengikuti standar internasional versus respons terhadap pasar lokal. Pejabat yang mengajukan ide pemberantasan korupsi secara tidak lengkap atau individu yang memberi komentar “asal-asalan” mengenai cara penanggulangan kemacetan, tak jarang menuai caci maki habis-habisan di media. Itu sebabnya kita memang perlu senantiasa belajar berpegang pada fakta yang mendukung sebelum menyikapi kompleksitas yang ada.

Tidak salah bila dalam tahap awal kita mengeluarkan berbagai hipotesa penyebab masalah yang ada. Dalam berbagai metode perbaikan kualitas pun kita diajarkan untuk mengidentifikasi semua hal yang bisa menjadi penyebab masalah. Namun, jangan lupa bahwa ujungnya tetap kita harus memilih satu-dua akar masalah yang paling mendasar dan mencurahkan energi dan fokus kita untuk menyelesaikan hal-hal yang mendasar itu.

Keyakinan Diri sebagai “Guiding Star”

Bersikap kalang kabut dan menjawab kompleksitas dengan kompleksitas sudah pasti bukan solusi yang baik. Perusahaan ABB pernah membuat struktur organisasi berbentuk matriks yang bersisi 6, tak lama sesudahnya kembali menyederhanakannya. Bila kompleksitas ini tidak bisa diurai, maka kita perlu kembali menelaah diri kita sendiri yang justru adalah pos yang bisa kita kontrol. Bila saja kita tetap mengacu pada sebuah “guiding star” yang jelas, maka kita bisa mempunyai cakrawala yang lebih jelas dan paling tidak bisa menentukan prioritas. Seorang ahli manajemen menyatakan : “Ramalan cuaca juga tidak pernah benar 100 %. Tetapi adanya ancaman bencana tetap  banyak dimonitor oleh ramalan tersebut juga”. Ada masanya memang kita tidak perlu kejelasan yang benar benar factual. Kita cukup mempunya Dos dan donts yang jelas, sehingga tidak terperosok ke hal hal yang tidak termasuk jalur aman. Selebihnya kita tentunya tetap maju menuju sasaran yang sudah kita canangkan.

Ketika di perjalanan kita mendapatkan ‘warning’ bahwa situasi sedang tidak ‘aman’ maka kita memang perlu menentukan plan B. Namun, “Purpose and values” yang kuat akan membuat kita kokoh, dan lebih tahan banting menghadapi kompleksitas ini. Pada akhirnya kita akan tampil sebagai orang yang berkeyakinan tinggi dalam menghadapi segala macam situasi.

(Dimuat di Kompas, 24 September 2011)

articles/its-complicated1.jpg|||0||bottom||
articles/its-complicated2.jpg|||0||bottom||

Isi Ulang

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Bila kita bertanya pada individu yang terlihat begitu happy, produktif dan berprestasi dalam pekerjaannya, sering kita mendengar bahwa bagi mereka kuncinya adalah “passion” pada pekerjaannya itu. Namun bagi sebagian orang, pekerjaan yang dilakukan dengan ‘misi’ dan ‘hati’ pun, adakalanya bisa juga membosankan, apalagi bila kita berada di organisasi yang relatif besar, dengan banyaknya anak tangga karir dan rutinitas kerja. Prinsip ‘worklife balance’ ternyata tidak selalu merupakan jalan keluar. Ada orang yang kemudian mencoba untuk menjauhi pekerjaan itu, namun semakin dijauhi malah makin dihantui rasa bersalah dan tidak menemukan solusinya. Ada orang yang berusaha mencari kambing hitam terhadap sumber kebosanannya, bahkan yang lebih berat, mulai merasa sakit-sakitan karena menahan rasa bosan yang begitu kuat. Rasanya tidak mungkin ada orang yang beranggapan bahwa posisi seperti ini adalah “comfort zone”, karena rasa bosan ini pastilah tidak nyaman. Namun, individu yang tidak berusaha mengubah situasinya, mungkin memang tidak tahu caranya.

Kakak ipar saya adalah seorang ibu rumah tangga yang selalu menyatakan bahwa memasak adalah pekerjaan yang paling tidak dia sukai. Namun nyatanya, ia survive selama 40 tahun lebih memasak untuk seluruh keluarga. Rasa masakannya hebat dan menjadi favorit teman dan keluarga. Ia selalu keluar dengan resep-resep baru. Adakalanya ia memasak sesuatu yang sangat simpel, namun tak jarang juga yang canggih. Bila ada individu yang merasa ia tidak menyukai pekerjaannya, tetapi ia bisa bertahan sekian lama, maka tentu ada hal yang bisa kita lakukan untuk memerangi rasa bosan dalam bekerja. Dalam keadaan ekonomi yang relatif sepi begini, banyak spekulasi yang mengatakan bahwa bila keadaan membaik, individu dengan sendirinya dapat meningkatkan gairah kerjanya. Sementara ada pihak lain yang beranggapan, bahwa bila rasa bosan sudah mengakar dalam sikap mental kita, individu menjadi tidak siap untuk ‘bounce back’. Tentunya keadaan tanpa gairah ini membahayakan, terutama bila kita masih berada di usia produktif. Perusahaan maupun diri sendiri pasti menghendaki kita untuk tetap ‘alert’, produktif dan berkembang secara personal maupun professional

{mosimage}

 Inventarisasi diri

Ibarat keadaan tubuh yang sudah lama tidak berolahraga, kita bisa merasa tidak peka terhadap kekuatan, gerak dan fleksibilitas kita. Dalam pekerjaan pun orang bisa merasa “tidak bugar”, apalagi bila sudah mengerjakan pekerjaan tertentu selama bertahun-tahun tanpa ada perubahan tantangan, baik dari pelanggan eksternal ataupun secara internal organisasi. Saat-saat seperti ini sebetulnya adalah saat yang paling tepat untuk kita mulai mendata ulang apa saja ‘lesson learnt’ serta ketrampilan-ketrampilan yang sudah kita pelajari dari pengalaman yang lalu.  Menginventarisasi diri adalah kegiatan yang bisa membangun kesadaran kita sekaligus membantu kita melihat sejauh apa pertumbuhan nilai diri, bagi diri sendiri, tim, maupun organisasi. Akan sangat bermanfaat bila lesson learnt yang kita punya kemudian kita gunakan untuk menyiapkan bahan-bahan pelatihan bagi para junior dan melakukan ‘coaching’ pada mereka. Dengan melakukan ‘coaching’ atau ‘mentoring’, tanpa disadari kita pun sudah me’remaja’kan pengetahuan kita, bahkan menguji kemampuan kita melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan si junior.

Secara otomatis, inventarisasi diri akan membawa kita memeriksa hafalan dan intuisi, sekaligus mempertanyakan apakah cara kerja saya sudah efisien? Apakah ada cara lain yang lebih praktis?  Banyak penelitian membuktikan bahwa alat-alat baru dan cara cara yang lebih praktis justru ditemukan oleh orang-orang yang merasa bosan pada pekerjaannya. Seorang kepala cabang di sebuah bank tiba-tiba menemukan adanya pengulangan kerja terhadap sebuah dokumen yang menyebabkan perbedaan memproses sampai 2 x 24 jam. Dengan memeriksa ulang pekerjaan rutin, kita bisa menemukan efisiensi dan simplisiti yang luar biasa. Terkadang, kita juga butuh pandangan orang lain dan memanfaatkan persepsi orang lain terhadap pekerjaan kita. Dengan adanya “second opinion”, baik dari orang dalam, rekan sendiri, ataupun konsultan maupun orang luar, kita bisa mendapatkan masukan berharga.

Efek Interaksi & “Benturan”

Banyak orang menyarankan untuk menjauh sementara waktu dari hal rutin yang kita lakukan untuk mengusir kebosanan, misalnya mempelajari hal di luar pekerjaan secara jangka pendek. Hal ini sebetulnya ada benarnya dan ternyata sangat berpengaruh pada sikap mental kita. Kita mengenal fenomena “medici effect”, di mana seseorang justru menemukan jalan keluar dari masalahnya, setelah mengalami hal lain di luar pekerjaannya. Hal ini juga dilakukan para atlit yang selalu juga melakukan latihan di luar keahliannya. Efek interaksi ini bukan hal yang misterius. Persepsi dari ‘dalam‘ pekerjaan tentunya akan berbeda dengan persepsi dari luar. Bila sesekali kita mengerjakan pekerjaan lain, maka kita akan memperkaya diri kita.

Kita tidak perlu alergi terhadap rasa bosan, karena rasa bosan terhadap pekerjaan sebetulnya juga merupakan alarm bahwa kita siap untuk memperkuat diri. Kita bisa menambah ketrampilan tertentu atau sekedar menambah kegiatan olah raga baru. Kita bisa mendapatkan teman-teman baru atau memulai kegiatan media sosial seperti twitter, facebook dan linked-in yang bisa membawa kita ke lingkungan kerja yang lebih luas dan lebih maju. Yang jelas, semangat kerja kita memang memerlukan gizi pembugar. Bentuknya bisa berupa asupan-asupan teman baru, pengetahuan dan ketrampilan baru, ataupun latihan-latihan keras dan sulit sehingga urat syaraf kita terlatih untuk menghadapi tantangan baru.

(Dimuat di KOMPAS, 5 November 2011)

articles/isi-ulang1.jpg|||0||bottom||

articles/isi-ulang2.jpg|||0||bottom||

Menata Karir

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Di jaman sekarang, banyak orang yang usianya di bawah 30 tahun, tapi sudah menyandang jabatan manajer. Bukan manajer rekayasa ataupun sekedar titel saja, tetapi manajer betul. Artinya, anak-anak muda ini bisa bertanggung jawab terhadap pekerjaan dengan volume besar dan mempunyai anak buah yang lumayan banyak. Kita tentu saja bisa kagum dengan kondisi ini. Saya pun jelas bisa membandingkan bedanya jalan karir saya dengan teman-teman yang masih muda ini. Pada usia sedemikian, saya masih berada di ranking paling bawah di organisasi. Bayangkan, bila seseorang sudah mempunyai jabatan tinggi di organisasi dan ia masih memiliki masa berkarir 25 tahun sampai mencapai usia pensiun, bagaimana ia akan mengisi kehidupan karirnya?

Kita lihat dunia kerja sudah begitu berubah. Di banyak organisasi, kesempatan untuk maju terbuka luas bagi mereka yang berpotensi serta cakap atau kompeten. Persaingan untuk maju ke jenjang berikut menjadi lebih kompetitif, bahkan sampai sikut-sikutan. Di sisi lain, ada orang yang dengan sinis mengatakan bahwa perusahaan sengaja membuat jenjang kepangkatan dan struktur organisasi yang berlapis-lapis, sehingga membuat karyawan seolah bisa mendaki terus. Padahal, tidak ada perubahan dalam bobot kerja maupun mutu di jenjang yang lebih tinggi itu, sehingga karyawan secara mental merasa lelah dan melihat masa kerja berjalan lambat. Di kalangan organisasi pemerintahan, perjalanan karir sering diibaratkan sebagai upaya menabung dan kesabaran menanti. Menabung dalam karir bisa diartikan sebagai menabung ijazah, sertifikat yang kemudian bisa di-‘trade off’ dengan kenaikan pangkat. Di lingkungan semacam ini, kegiatan menunggu diartikan dengan rasa bahwa nasib kita dalam berkarir ditentukan oleh pihak eksternal, bukan diri kita. Bagaimana kita memandang perjalanan karir kita? Seberapa jauh kita melihat diri kita bisa aktif merencanakan dan menata karir kita?

{mosimage}

Promosi bukan Kado

Ungkapan ‘naik pangkat’ nampaknya sudah bisa ditinggalkan di jaman yang sudah berubah ini. Dengan kemajuan teknologi, gaya kerja yang lebih fleksibel, globalisasi dan struktur organisasi yang semakin pipih, tidak berjenjang banyak, maka kemajuan karir sudah tidak bisa disamakan dengan kegiatan mendaki tangga. Gerakan karir sudah lebih mengarah pada gerakan lateral. Kita tidak bisa lagi pasrah pada batasan, aturan, pembagian wilayah atau pengkotak-kotakan organisasi yang konvensional. Sudah semakin jarang orang yang bekerja tanpa inisiatif untuk menentukan karirnya. Keberhasilan projek, bertambahnya ketrampilan, tidak bisa disimpan baik-baik, melainkan perlu di-”jembreng” agar dijadikan bahan pertimbangan manajemen untuk penugasan yang lebih berbobot, lebih berkontribusi dan memberi nilai tambah

Sikap rendah hati dan pasif dalam berkarir boleh dikatakan merupakan satu paket dalam cara berkarir konvensional. Sebaliknya, bila kita melihat karir sebagai sesuatu hal yang bisa kita tata sendiri, maka kita memang perlu mampu mengekspresikan ambisi, bahkan kegelisahan kita. Di saat sekarang ini, individu perlu menjadi “a known quantity” yang terlihat pencapaian kinerjanya, terutama di hadapan orang-orang yang mengambil keputusan promosi, antara lain atasan. Saat seseorang tahu ambisi karirnya, ia bisa lebih mudah mengajukan diri untuk mendapat mentoring secara terarah. Sebuah penelitian membuktikan bahwa 4 dari 5 promosi dalam sebuah organisasi dicapai oleh orang yang tekun mendapat mentoring. Tanpa disadari, kegiatan mentoring adalah kegiatan networking juga. Kita mendapat kesempatan untuk dikenal dan mengenal senior kita, serta teman-temannya. Selain itu, dari seorang mentor ataupun atasan langsung, bila hubungan kita baik, kita mendapat kesempatan untuk melihat cara dan di mana kesempatan berkembang itu ada.

Jangan Alergi dengan Tanggung Jawab

Seorang teman berkomentar mengenai CEO-nya yang mempunyai beban mental sedemikian berat, karena para direktur dibawahnya enggan mengambil keputusan dan bertanggung jawab. Ya, betapa sering kita melihat orang ingin memangku sebuah jabatan bergengsi  tanpa mengecek apa dan seberapa besar wewenang dan tanggung jawab yang harus diemban dan dipertanggungjawabkannya. Apakah karir akan berarti bila hanya berupa jabatan kosong, namun tidak diimbangi dengan kinerja dan nilai tambah yang terasa, terukur dan terlihat? Individu yang ingin berkembang perlu memikirkan dan menunjukkan apa yang bisa ditambahkan agar bobot pekerjaannya meningkat. Sikap seperti ini tentu menguntungkan tidak hanya bagi individu, tapi juga bagi atasan dan organisasi. Individu dengan ambisinya ingin berkembang, sementara perusahaan menginginkan penyelesaian tugas.

Dengan keadaan organisasi yang kompetitif dan semakin tidak berjenjang, kita bisa merasa khawatir, jangan-jangan kita tidak mempunyai tempat di dalam organisasi. Ya, kita memang harus mawas diri bahwa organisasi pun tidak luput dari keharusan untuk menjadi fleksibel. Hal ini berarti kita harus ingat juga melihat kiri dan kanan, yaitu pekerjaan-pekerjaan dengan ekspertis yang berbeda. Kita tidak bisa alergi dengan pindah bagian atau divisi, karena hal ini sangat dimungkinkan. Hal yang kritikal sesungguhnya adalah mengasah kemampuan komunikasi, kepemimpinan, perencanaan, yang kesemuanya langsung bisa diterapkan di tempat kerja manapun.

(Dimuat di KOMPAS, 22 Oktober 2011)

articles/menata-karir1.jpg|||0||bottom||

articles/menata-karir2.jpg|||0||bottom||