Mentalitas Elang

{mosimage}By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Dunia kita memang penuh ketidakpastian. Seperti halnya cuaca yang belakangan ini sulit ditebak, apakah akan cerah, mendung, hujan atau badai, sepak terjang dalam dunia ekonomi, bisnis, politik maupun dinamika di tempat kerja pun kerap sulit diramal. Seorang teman bercerita, ia pernah menghadapi “badai” dalam karir bekerjanya. Ketika ia baru saja dinobatkan sebagai “the best employee” untuk yang kesekian kalinya, tiba-tiba ia dipanggil oleh atasan dan mendapat vonis yang membuat ia “shock”, yaitu dibebastugaskan dari posisinya yang sekarang dan diminta standby untuk penugasan berikutnya. Di saat ia berharap diganjar promosi atas prestasinya yang baik, kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Di saat rekan lain yang berprestasi mendapat jabatan baru, ia malah merosot. Siapa yang tidak terpuruk menghadapi kenyataan seperti itu?

Dalam situasi seperti ini, sangat wajar bila kita merasa frustrasi. Ada yang mengklaim bahwa mereka sudah lelah dan tidak bisa melihat titik terang lagi. Kita juga bisa saja mencari alasan pembenaran diri atau memilih untuk berhenti dan tidak melakukan sesuatu. Dalam situasi gagal dan terpuruk tak jarang juga kita melihat ada orang yang menyalahkan kebijakan dan peraturan yang ada, menyalahkan atasan, pemegang saham ataupun situasi monopoli yang dihadapi. Teman saya yang “dijegal” karirnya mengatakan bahwa atasan barunya merasa tidak terlalu cocok dengan dirinya. Meski sempat jatuh terpuruk, namun ia kemudian memberi batas waktu pada masa meratapnya. Teman kita ini kemudian berusaha menelaah ke dalam diri pribadinya. “Saya banyak bermawas diri. Saya sadar saya mempunyai beberapa kekuatan, tetapi kelemahan saya pun ada. Mungkin selama ini saya terlalu congkak dan tidak siap menghadapi benturan”, demikian ujarnya. Ketika 6 bulan kemudian, ia diberi penugasan baru, ia sudah siap dengan sikap mental yang lebih rendah hati, tetapi semangat yang berlipat ganda. Sekedar karena ia sudah menggarap dirinya dan  siap menggenjot kapasitasnya lagi

Individu dengan mentalitas seperti teman kita ini, kondisinya bisa kita samakan dengan seekor elang. Pada saat ia merasa bahwa bulu-bulunya tidak kuat lagi, ia akan berdiri tegak di sebuah batu karang, di mana angin bertiup kencang merontokkan bulu-bulunya. Sesudah itu, ia akan bersembunyi di antara batu-batu dan menunggu sampai bulu baru tumbuh kembali.

 

{mosimage}

Terbang “di Atas” Badai

Badai karir, badai ekonomi atau badai rumah tangga, bisa dialami siapa saja. Situasi seperti ini pasti tidak disukai oleh kita. Namun, kita bisa belajar dari seekor elang, yang justru bisa memanfaatkan badai. Situasi yang sama ada di dalam filosofi Cina, di mana kata “krisis” mengandung makna yang sama dengan “kesempatan”. Jadi, badai adalah kesempatan. Bagi elang, hewan pemangsa berdarah panas yang mempunyai sayap dan tubuh diselubungi bulu pelepah, badai dianggap sebagai ‘kendaraan’ untuk maju. Ia bisa terbang sama cepat dengan badai, sehingga akhirnya angin badai bisa mengusung dirinya untuk terbang lebih tinggi lagi. Di dalam dunia kerja ,bisnis dan politik, kita tahu bahwa kemampuan untuk ‘terbang tinggi’ memberi kita kesempatan untuk melihat situasi dari atas, sehingga kita bisa mempunyai visi yang lebih jelas dan kuat.

Tentunya tidak mudah untuk kita mulai mengganti paradigma untuk memandang masalah sebagai titik awal dari suatu kemenangan. Padahal seninya terletak pada pengaturan enerji dan menjaga kestabilan kekuatan justru pada saat orang lain atau kompetitor sedang kehabisan nafas atau bahkan sudah tidak berniat mengejar lagi. Dari elang, kita bisa belajar untuk mengatur energi  dan kewaspadaan  kita dalam menghadapi segala situasi, bahkan “make things happen” dan melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Seekor elang mempunyai hobi terbang tinggi, tidak kenal lelah, tidak pernah menunggu, dan tetap mencari kesempatan. Orang bermental elang adalah orang yang bisa menghempaskan kinerjanya dan memberi kontribusi yang berdampak besar, tidak tanggung-tanggung.

Obsesi pada Peluang

Banyak dari kita terbiasa terpaku pada kelemahan diri (weaknesses) atau pada ancaman (threat) yang ada di sekitar kita. Keinginan untuk membuka bisnis baru atau melakukan langkah terobosan tak jarang terhambat karena kita sudah dipenuhi kekhawatiran tidak bisa bersaing dengan kompetitor, kekurangan modal, terhambat oleh policy atau tidak punya SDM yang handal. Jadi, kita memang perlu berhati-hati agar tidak berkutat dengan melihat kekurangan demi kekurangan sehingga kemudian merasa lemah dan tidak berdaya. Menganalisis kelemahan dan menghitung risiko memang diperlukan, namun yang lebih penting lagi adalah mengidentifikasi dan memfokuskan kekuatan diri dan peluang yang bisa menghasilkan energi dan daya dorong yang lebih besar bagi diri kita.

Orang dengan mentalitas elang, terobsesi pada kesempatan demi kesempatan yang ada. Ia pun sangat mengandalkan kekuatannya. Bila dulu kita familiar dengan konsep SWOT analysis (Strength – Weakness – Opportunity – Threat), kita juga perlu mulai berlatih untuk berpikir dengan konsep SOAR: Strengths – Opportunity – Aspiration – Result. Konsep yang ditawarkan oleh Stavros, Cooperrider, dan Kelly ini berorientasi “appreciative inquiry”, yaitu menghargai dan menggali hal-hal positif dan kekuatan yang terlihat maupun tersembunyi dalam diri kita. Para ahli ini berpendapat:”Allow your thoughts to take you to heights of greatness”. Dengan pola pikir ini, kita mengisi diri kita dengan obsesi terhadap aspirasi dan kesempatan sehingga dengan sendirinya akan membawa kita dipenuhi optimisme untuk terus maju.

(Dimuat di KOMPAS, 6 Agustus 2011

articles/Mental-elang1.jpg|||0||bottom||
articles/Mental-elang2.jpg|||0||bottom||

Menghadapi Ketidakjelasan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Siswa SD di jaman sekarang mungkin sudah tidak diperkenalkan lagi pada pembagian waktu yang tegas antara musim penghujan dan musim panas. Dulu kita bisa memastikan bahwa di bulan-bulan terakhir awal tahun selalu hujan, sementara di pertengahan tahun, seperti Agustus, matahari sedang bersinar terik-teriknya. Sekarang ini, kita tidak bisa lagi memprediksi cuaca. Tidak jarang musim kemarau panjang sekali atau sebaliknya kita mengalami hujan sepanjang tahun. Tanpa kita sadari kita pun sudah tidak mendengarkan ramalan cuaca lagi, seperti yang masih dikerjakan oleh orang-orang yang tinggal di tempat bermusim 4. Kita sudah bisa beradaptasi dengan ketidakjelasan cuaca.

Bagaimana dengan keadaan politik, sosial dan ekonomi? Lalu lintas yang sudah  hampir tidak pernah lancar di Jakarta, menyebabkan kita sulit membuat waktu pertemuan yang fix, kecuali datang jauh lebih awal. Situasi ini membuat kita butuh waktu lebih banyak untuk sebuah pertemuan saja. Pertengkaran dan saling tuduh yang kita saksikan di media antara satu kelompok dengan yang lain, meninggalkan tanda tanya yang semakin lama semakin menumpuk dibenak tiap individu. Ketidakjelasan yang kita telan setiap kali membaca berita kerap menimbulkan apatisme dan keengganan untuk ikut memikirkan dan meninjau kembali nilai–nilai dan idealisme kita. Dalam dunia bisnis, mau tidak mau kita pun harus selalu memikirkan, mempersiapkan diri dan berstrategi untuk masa depan karena kita dihadapkan pada banyak situasi ketidakjelasan. Apakah ada peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah? Apakah nilai tukar rupiah turun? Apakah suku bunga meningkat? Apakah daya beli masyarakat meningkat? Kita bisa lihat bahwa kejelasan yang perfek memang tidak pernah akan ada. Kita tidak pernah bisa 100% mengkontrol situasi atau menunggu semua informasi lengkap. Ketidakjelasan memang harus kita hadapi dan tidak boleh menyetop kita untuk maju dan bertindak.

 

{mosimage}

Tegaskan Siapa Kita dan Apa yang Kita Cari

Saat ini kita menghadapi lingkungan yang jauh lebih berat, berbeda dengan jaman orang tua kita dulu, di mana jalan raya lengang dan pegawai pulang kantor pukul dua siang hari. Kerumitan sekarang tidak terjadi di satu bagian persoalan, tetapi saling kait-mengait dan terhubung satu sama lain. Perbaikan servis untuk meningkatkan loyalitas pelanggan tidak hanya bisa dilakukan oleh frontliners saja, tapi juga produknya harus dipikirkan dan dievaluasi proses apa yang menjadi “bottle neck”. Pebisnis harus jeli membaca kebutuhan pelanggan dan memikirkan fitur-fitur seperti apa yang bisa menarik pelanggan. Ya produknya, prosesnya, organisasinya harus diperhatikan secara menyeluruh. Kita tahu bahwa kebijakan pemerintah sudah tidak mungkin di sentralisasi lagi. Kenyataan ini sudah pasti membuat organisasi pemerintahan menjadi semakin kompleks, walaupun kita juga mengerti bahwa pemerintah tidak mempunyai pilihan lain. Menghindari kerumitan sudah tidak mungkin. Kita menyaksikan atau mengalami sendiri keadaan di mana kita kemudian kalang kabut dan hanyut pada kompleksitas yang ada, tanpa kemampuan untuk menarik benang merah dari situasinya. Padahal orang yang bisa tetap melihat dengan jernih situasi yang dihadapi, berdiri di atas kompleksitas ini, barulah bisa melihat celah kesempatan, bahkan berinovasi.

Banyak orang mengatakan bahwa bila kita jelas terhadap nilai dan “purpose” yang kita sasar, kita akan tetap bisa menarik the best from the rest, meskipun dalam keadaan terburuk sekalipun. Dengan mengenal diri kita dengan baik, kita bisa menentukan posisi dan memantapkan pondasi untuk menghadapi kesulitan di saat sekarang, maupun hari-hari mendatang. Lingkungan di sekitar kita boleh saja tidak jelas, tapi bila prinsip yang kita pegang jelas, tahu apa yang kita inginkan, otomatis kita akan mampu berkomunikasi dengan lebih baik dan akan tetap dikelilingi dukungan dari orang lain yang akan senantiasa kita butuhkan dalam situasi tidak menentu.

Hindari Gosip dan Spekulasi

Gosip akan di re-organisasinya sebuah lembaga pemerintah menyebabkan para karyawannya resah, tidak menentu, selalu bertanya-tanya dan sangat sensitif terhadap kabar angin. Beberapa orang bahkan berspekulasi untuk mendekati tokoh yang kelihatan akan berpengaruh di masa depan. Andaikata saja kita bisa tetap fokus pada proses bisnis atau kegiatan rutin yang sedang kita jalani dan menjaga kegiatan yang menunjang profesionalisme, kita sebetulnya tanpa sadar mengangkat diri untuk kuat bertahan menghadapi ketidakpastian. Di satu sisi, informasi memang perlu kita kejar untuk memperkuat dasar kita bertindak, namun kita tidak boleh lepas dari fokus tanggung jawab dan kesadaran untuk selalu memoles profesionalisme diri.

Justeru pada saat-saat yang tidak jelas ini, sangat tepat waktu untuk melakukan fixs-ups dan clean-ups. Bila pekerjaan berkurang, tidak ada salahnya kita membenahi komputer dan file-file di dalamnya, sehingga kita lebih ‘siap tempur’ dengan komputer yang sudah lebih sehat. Daripada  khawatir akan di PHK, kita justru bisa menjalani ‘checkup’ kesehatan dan kalau perlu mengikuti program peningkatan kebugaran. Dalam keadaan sepi order, seorang CEO justru bisa mengajak pada salesman untuk banyak melakukan pertemuan dengan pelanggan. Kegiatan yang tadinya ditujukan untuk sekedar menghidupkan tali silaturahmi, seringkali malah bisa memberi masukan untuk perbaikan, bahkan menghasilkan order yang memang diharap-harapkan.

(Dimuat di Kompas, 30 Juli 2011)

Menghadapi1.jpg|||0||bottom||
Menghadapi2.jpg|||0||bottom||

“Pemain ” atau “Korban”

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebagai seorang pemula atau junior dalam sebuah tim, seorang teman kerap berolok-olok, bahkan menyebut dirinya “kacung kampret”.  Ia yang menyiapkan presentasi, namun atasan yang “mendapat nama”. Ia begadang sampai tengah malam, sementara atasan pulang cepat dan tinggal memetik hasilnya. Singkatnya ia merasa semua “dirty-work”, “leg-work” harus dikerjakannya, sementara wewenang dan pengambilan keputusan tidak ia miliki “privilege” jabatan pun sering belum ia rasakan. Dalam situasi yang berbeda, teman saya yang lain pun merasakan hal yang sama. Ia tidak lagi junior dalam organisasi, bahkan direspek benar kompetensinya. Namun, setiap kali harus bergerak, melakukan pekerjaan besar atau kecil, bahkan ketika orang-orang lain mengandalkan dirinya, ia merasa diperbudak oleh situasi. Ia menggerutu dan tidak happy, karena seolah “dia lagi, dia lagi” yang harus maju mengerjakan sesuatu.

Kita lihat bahwa sikap merasa diri sebagai bulan-bulanan situasi bisa dialami dan dimiliki tidak hanya oleh orang dengan posisi rendah, tapi juga mereka yang kompeten dalam posisi tinggi. Si kompeten yang merasa sebagai ‘victim’ situasi, justru diam-diam merasa diri lebih daripada orang lain. Ia tidak tidak bisa melihat orang lain sebagai support melainkan sebagai beban. “Mengapa harus saya yang pergi presentasi?” “Mengapa harus saya yang menghadap atasan, mewakili teman teman?” Ia tidak melihat bahwa posisi terdepan adalah kekuatan yang akan mendorong dia kearah kesuksesan. Sementara orang-orang yang merasa ‘kecil’ dibandingkan orang di sekitarnya seperti para senior maupun atasan, juga memandang dirinya selalu berada  pada posisi ‘victim”  yang perlu dikasihani. Teringat seorang ahli manajemen John W. Gardner: “Self-pity is easily the most destructive of the nonpharmaceutical narcotics; it is addictive, gives momentary pleasure and separates the victim from reality.”

Bila individu kerap menyalahkan lingkungan kerja, keluarga, peraturan atau kebobrokan mental masyarakat, otomatis ia tumbuh menjadi orang yang mudah menggerutu, sekaligus melepaskan tanggung jawab dalam mengembangkan diri dan mengoreksi diri. Bahayanya, mindset sebagai korban ini mudah menular dan bisa menjadi penyakit dalam tim, organisasi dan masyarakat. Pertanyaannya, kalau mentalitas “korban” ini menyebar, tim dan masyarakat akan terdiri dari orang-orang yang merasa dirinya ‘innocent’ dan tidak berdaya. Lalu, siapakah yang akan diandalkan untuk mengubah situasi?

 

{mosimage}

Responsibility = response-ability


Sekolot-kolotnya ayah saya, ia selalu mengingatkan bahwa manusia, hampir di semua situasi mempunyai pilihan, bahkan dalam situasi genting sekali pun. Akal budi membuat kita mampu berlatih untuk merespons apa yang kita hadapi sehingga tidak merasa bahwa semua situasi adalah nasib yang jatuh dari langit. Bila kita berlatih, stimulus yang datang kepada kita diolah sebagai informasi yang perlu direspons dengan kemauan kita sendiri. Dengan demikian kita tidak lagi merasa sekedar obyek atau ‘victim”, namun menjadi subyek atau sutradara untuk mengendalikan situasi. Hal inilah yang juga diajarkan pada pemain-pemain bola atau dalam latihan bela diri. Kita tidak asal bereaksi, tetapi kita memilih gerakan berdasarkan informasi tertentu.

Sikap mental ini tidak selalu harus dimiliki oleh individu dengan posisi tinggi ataupun jenderal jenderal besar seperti Mc Arthur atau LB Moerdani. Kita pun sebagai “wong cilik”, yang masih belum mempunyai jabatan bisa mempunyai “player mentality”, mengambil peran dan tanggung jawab penuh atas situasi yang terjadi. Di dalam pekerjaan, bila informasi yang dimiliki tidak cukup, bisa saja kita menyalahkan pihak yang memberi data tidak lengkap, namun kita pun sebetulnya bisa mengembangkan sikap bertanggung jawab dan proaktif untuk mencari informasi lebih banyak. Seorang pemelihara tanaman di kantor pun bisa mengambil inisiatif, misalnya sepenuh hati memberi pupuk, membuat larangan dan peraturan agar tanaman yang dirawatnya tidak rusak dan bisa tumbuh subur. Kenapa kita tidak bisa?

Bergerak Mengejar Sasaran

Latihan untuk menganggap bahwa apapun yang terjadi dihadapan kita adalah ‘informasi’, akan membuat kita terbiasa untuk memikirkan langkah apa yang kita ambil. Seorang “korban” dengan mudah menyalahkan situasi, sementara “pemain” selalu mampu memahami situasi. Seorang pemain sepak bola handal pun selalu paham tentang situasi yang dihadapinya dan mampu mengarahkan tendangannya sambil sekaligus meramalkan ke mana bola itu akan pergi. Jadi ia bukan berespons secara impulsif. Meski respons ini terjadi dalam hitungan detik, tetapi individu bermentalitas pemain sudah mempunyai kontrol terhadap situasi. Di situasi kerja kita pun perlu mempertanyakan, apakah kita hanya mengikuti perintah atau berusaha mempersiapkan, berpartisipasi dan mengkontrol situasi? Apakah kita mengambil peran pasif atau aktif? Apakah kita membuat keputusan karena terdesak ataukah kita membuat keputusan dalam keadaan sadar dan jernih? Individu dengan mentalitas pemain biasanya tidak sulit untuk bergerak dan mengarahkan diri ke masa depan dan “make things happen”. “They don’t sit around waiting for answers to appear; they stand up, put one foot in front of the other, and find the answers”. 

Pelecehan psikologis, seperti menyebut diri “kacung kampret”, sebetulnya lebih sering dilakukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh orang lain. Kitalah yang perlu menyuburkan penghargaan diri, rasa percaya diri untuk maju dan mengembangkan karir. Dengan demikian, kita menumbuhkan, karakter diri yang kuat dan bisa bangga karena nyata-nyata memberikan kontribusi optimal.

(Dimuat di KOMPAS, 23 Juli 2011) 

articles/pemain-korban1.jpg|||0||bottom||
articles/pemain-korban2.jpg|||0||bottom||

Gotong Royong

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Memotivasi individu dan tim untuk bersemangat dalam bekerja, selalu haus berprestasi dan siap mencetak karya terbaik sudah menjadi tantangan dari masa ke masa. Pimpinan perusahaan dan eksekutif di divisi HRD senantiasa sibuk mencari akal dan berstrategi untuk bisa menyulut spirit dalam diri individu, sambil menjaganya agar tetap loyal pada perusahaan. Strategi yang paling umum kita lihat, tidak lain dan tidak bukan adalah mencari cara yang tepat untuk bermain ‘stick and carrot’ dengan karyawan. Kalau ingin membuat orang bekerja keras, buatkan iming-iming yang pas. Bila ingin direktur mencetak keuntungan, berilah saham. Bila ingin dokter bekerja dengan sungguh-sungguh, berilah ancaman pengaduan malpraktek. Bila ingin tenaga sales mencapai target, berikan komisi dan bonus. Disadari atau tidak, Kita sudah menjadikan jargon WIIFM (“What’s in it for me/him/her/us?”) menjadi sebuah kiat manajemen, sehingga setiap orang merasa benar, bila mengambil keputusan atau tindakan yang didasarkan tentang selfishness individu.

Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa saat di mana kreativitas dan inovasi merupakan kondisi utama untuk bisa maju seperti sekarang, kerap terasa bahwa kerja sama, penghayatan tujuan bersama dan pembelajaran sulit dikembangkan dan dikedepankan. Seorang CEO berkata: “Kita butuh individu yang tidak terobsesi pada gaji, tetapi mempunyai ambisi untuk belajar, beradaptasi, maju dan berfokus pada kontribusinya.”. Namun, saat kita bertanya bagaimana ia menerapkan sistem insentifnya, lagi-lagi terlihat bahwa sistem insentif bersifat individual. Hanya yang berprestasi tinggi saja yang mendapat pendidikan ke luar negeri. “Mereka adalah ‘crème de la crème’ perusahaan”, demikian komentarnya. Ini tentu bisa kembali berujung pada selfishness. Karyawan mengejar prestasi asalkan bisa disekolahkan di luar negeri.

Di satu sisi, pendekatan ini memang efektif, namun di sisi lain kita melihat gejala manusia menenggelamkan diri pada “selfishness” yang universal, termasuk dalam bentuk paling negatif, misalnya saja korupsi, sikap serakah dan upaya memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan etika dan kepentingan umum. Akankah kita melanjutkan pendekatan yang bisa berdampak sedemikian buruk? Tidakkah kita ingin beralih ke cara-cara lain dan pendekatan yang lebih menumbuhkan spirit positif, misalnya kebersamaan, kooperasi dan pendekatan yang lebih bisa mengangkat harkat manusia sebagai mahluk sosial?

 

{mosimage}

Spirit Kooperasi & Kolaborasi

Era teknologi dan globalisasi memang telah memunculkan tren baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Terkadang kita masih bertanya-tanya, dari mana perusahaan yang menservis informasi ini menimba keuntungan. Wikipedia, misalnya, adalah situs milik ‘komunitas terbuka’ yang dikunjungi tidak kurang dari 300 juta pengunjung per bulan. Mereka beroperasi dengan dasar partisipasi dan kontribusi dari ribuan, bahkan jutaan penggunanya. Dengan memanfaatkan semangat “open source”, segera saja situs ini disaingi oleh berbagai perusahaan, seperti linux dan apache, juga situs-situs lain yang mengandalkan partisipasi pengunjungnya, seperti “Tripadvisor” dan Yelp. Perusahaan seperti Google, Facebook dan Craiglist juga sangat meyakini diperolehnya keuntungan dari sekedar menghubungkan orang dengan orang lain. Hal seperti ini membuktikan bahwa kita bisa mencari keuntungan dari keadaan alamiah manusia, yaitu keinginan untuk berkooperasi.

Kekuatan media sosial memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Kita lihat betapa komunikasi di komunitas virtual, misalnya twitter dan google, bisa menjadi demikian “powerful”. Sharing informasi dilakukan sedemikian cepat, tidak hanya sekedar untuk meng-update informasi, namun juga menggalang dukungan atas suatu issue, menyuarakan kepedulian untuk go-green, bahkan menyuarakan penolakan terhadap keputusan lembaga negara yang dinilai tidak adil. Alangkah ruginya bila masih ada perusahaan yang belum memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk menyuburkan dialog, kebersamaan serta kebutuhan akan koperasi dan kolaborasi. Masih banyak hal yang memang bisa diperhatikan bila kita benar-benar ingin meningkatkan kualitas kooperasi di sebuah kelompok.

Ilmu Gotong Royong

Kita tentu masih bisa melihat di kampung pada berbagai daerah, individu yang sakit atau mendapat musibah akan dikunjungi para tetangga silih berganti. Ada yang mengatakan sekedar menengok, ada juga yang memberi sumbangan ala kadarnya. Pada situasi ini jarang sekali kita melihat individu bersikap hitung-hitungan, namun sikap kemanusiaan dan kebutuhan sosialnya yang menggerakkan tindakan dan memotivasi. Di masyarakat tradisional kita, ternyata harkat kemanusiaan sering lebih terangkat. Pertanyaannya, bagaimana masyarakat modern juga bisa mengembangkan koordinasi dan kooperasi melalui hakekat kemanusiaannya?

Sepertinya kita memang perlu menemukan kembali kekuatan ilmu gotong royong dan membawanya ke korporasi, terlebih seorang ahli mengatakan:” In fact, systems based on self-interest, such as material rewards and punishment, often lead to less productivity than an approach oriented toward our social motivations.” Ternyata, untuk menumbuhkan passion, individu perlu menumbuhkan “social conscience” dan  rasa humanitas yang tinggi, bersih dari interes pribadi. Untuk mempunyai tim yang termotivasi dari ‘dalam’, berani mengemban misi yang berat untuk mencapai visi perusahaan, dibutuhkan ‘kedalaman’ yang tidak berasal dari motivasi untuk mengejar iming-iming semata. Penekanan pada aspek kemanusiaan sama sekali bukan berarti bahwa kita bersikap Samaritan seperti Bunda Teresa. Namun, kita cukup meyakinkan diri bahwa manusia memang mahluk sosial yang memang ingin berkooperasi, berempati, saling bersimpati, berinteraksi dari hati, dipercaya dan ingin memberi. Bukankah hal ini yang membedakan kita dari mahluk lain dan membawa kita ‘beyond technology?”

(Dimuat di KOMPAS, 16 Juli 2011)

 

 

articles/gotong-royong1.jpg|||0||bottom||
articles/gotong-royong2.jpg|||0||bottom||

Profesional Berintegritas

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Isu integritas memang sangat penting dan krusial. Rasanya tidak satu hari pun kita bisa lepas dari perbincangan mengenai penguatan integritas. Saya teringat terus komentar seseorang yang menceriterakan betapa sebuah lembaga dipenuhi pegawai yang korupsi dan bahkan nyata-nyata di upah oleh orang-orang yang sebenarnya harus mereka awasi. Hal yang memancing keheranannya, pada saat waktunya beribadah, terlihat hampir semua karyawan di lembaga tersebut tertib beribadah. Pertanyaan yang muncul di benaknya adalah, apakah teman-teman kita ini tidak pernah merasa bahwa penyimpangan dan korupsi yang dilakukan di pekerjaan telah melanggar integritas pribadinya? Dari situasi ini kita bisa jelas melihat kesenjangan antara upaya  penguatan nurani pribadi dengan penguatan integritas profesi.

Besarnya tantangan mengatur distribusi bahan bakar bagi golongan tidak mampu, mendorong keluarnya himbauan, bahkan fatwa, yang mengaitkan larangan memakai subsidi bahan bakar ini dengan integritas pribadi. Dasar pemikirannya adalah bila seseorang berpegang pada integritas pribadinya, maka ia pun akan menjaga kepentingan umum. Hal ini membuktikan bahwa ada keyakinan integritas pribadi lebih mudah dikuatkan daripada integritas profesi. Benarkah itu? Dari pengalaman di bangku sekolah, murid yang tidak mau menyontek banyak teringat pada pesan-pesan dari orang tua rumah. Integritasnya di sekolah, dibawanya dari rumah. Namun, tidak jarang pula anak yang soleh di rumah melakukan kenakalan-kenakalan remaja bersama dengan teman-temannya. Mengembangkan integritas memang bukan hal yang mudah, apalagi mensinkronkan integritas pribadi, professional dan memperkokohnya di lingkungan yang begitu kompleks, penuh godaan dan kesulitan ini. 

{mosimage}

Integritas selalu "On the Line"

Apa yang Anda lakukan bila atasan menginstruksikan untuk menandatangani dokumen yang sebenarnya tidak memenuhi syarat dan tidak Anda loloskan? Pada saat itu integritas pribadi dan integritas profesi yang anda junjung berperang dengan integritas atasan. Secara professional Anda tahu itu salah, secara pribadi Anda tidak mau berbuat curang. Namun, kenyataannya Anda bisa dipecat sementara mencari pekerjaan dan nafkah untuk anak-istri di saat sekarang sangatlah sulit. Integritas anda berperang dengan situasi realistis. Dalam dunia bisnis, pertentangan nilai akan selalu menggoda kita, misalnya atasan yang menyuruh melakukan jalan pintas atau mitra kerja yang memberikan “tanda terimakasih” atas bantuan yang Anda berikan. Saat Anda bersiap meninggalkan kantor di sore hari, telpon di meja Anda tiba-tiba berdering. Anda pasti membatin, “Kalau tidak saya angkat telpon ini, tidak ada orang yang tahu juga. Tapi, bagaimana bila ini mengenai hal yang sangat genting?” Dalam kesendirian pun, peperangan batin ini sering terjadi.

Kita bisa rasakan sendiri, baik dalam situasi di komunitas, korporasi, dunia politik maupun masalah kemanusiaan, kita akan tertantang untuk mencari keutuhan karakter yag lebih berharga dari diri kita sendiri. Akankah kita membela orang yang jelas-jelas salah, padahal hati nurani anda ingin mencercanya? Bagaimana menghindari pembayaran pajak yang terlalu besar dan tak jelas penggunaannya oleh negara, sementara di sumpah profesi, Anda sudah berjanji untuk membukukan semua pemasukan? Sesekali hati nurani kita menang, sesekali juga kita mengalah pada situasi. Orang yang dalam banyak, bahkan hampir semua kasus memenangkan integritasnya, tentu bisa menegakkan kepala dan menghargai karakternya. Keutuhan nilai yang dihayati dari hari keharilah yang menguatkan integritas pribadi seseorang, menjauhkan kita dari jebakan kemunafikan, bahkan ketidakjujuran.

Risiko dan Keberanian

Masih banyak orang yang merasa bahwa orang yang berintegritas adalah orang yang berdisiplin mati, memandang hidup seolah-olah dunia terbagi dua, antara hitam dan putih, benar dan salah. Padahal, mengejar integritas bukan selalu berarti bahwa kita tidak berkompromi. Bila nilai di sebuah perusahaan tidak sejalan dengan integritas pribadi yang kita pegang, kita sebetulnya bisa mengadakan dialog baik di dalam diri sendiri maupun secara terbuka dengan pihak perusahaan. Integritas berkembang dan bersifat dinamis bukan monolitik dan statis.

Dalam kondisi di mana hampir di semua instansi terjadi suap menyuap, seorang CEO menyerukan kepada karyawannya, bahwa mulai sekarang perusahaan tidak  akan membayarkan semua bentuk ‘under table money’ yang pada masa sebelumnya bahkan diresmikan dan tercatat di pembukuan perusahaan. Keputusan ini tentu mengundang banyak protes. Salesman yang sudah terbiasa dengan praktik ini, merasa perang “tanpa bekal peluru” sehingga perusahaan mendapatkan cercaan yang lumayan menyakitkan. Dalam kondisi seperti ini, setiap individu, baik yang mewakili manajemen atau dirinya sendiri perlu berpikir ulang, mengenai konsekuensi dan akibat potensial yang bisa terjadi bila keputusan ini tidak dijalankan. Siapkah kita menghadapi KPK? Apakah integritas lebih penting daripada risiko yang mungkin terjadi? Apakah aturan baru ini justru bisa menjunjung harkat kita sebagai warganegara yang baik dan manusia?

Tidak selamanya integritas pribadi yang harus dikalahkan. Bila seorang individu memprotes praktik-praktik yang dinilai bertentangan dengan integritas pribadinya, perusahaan atau komunitas pun sebetulnya dapat menghargai, bahkan terdorong untuk mengolah kembali nilai-nilai yang dianutnya. Orang yang berintegritas, tidak perlu merasa ‘sendirian’ dan terisolasi. Konflik integritas pribadi, profesi, budaya perusahaan pasti terjadi. Namun kita semua pasti setuju bahwa dengan menjunjung tinggi integritas dan secara konsisten membelanya, kita pun akan ditunnjang oleh teman-teman,  lingkungan sosial dan juga tempat kerja yang kondusif.

(Dimuat di KOMPAS, 9 Juli 2011)

articles/profesional1.jpg|||0||bottom||
articles/profesional2.jpg|||0||bottom||

Memotret Individu

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sebuah perusahaan properti mencari seorang akuntan senior. Dari 100 calon, tersaring 2 orang. Dan, akhirnya calon yang satu ini dipilih secara aklamasi. Ia tampak perfek, banyak referensi positif, bahkan lebih dari bagus. Semua orang puas dan merasa paling tidak karyawan  baru ini akan membawa perbaikan. Beberapa bulan kemudian, setengah departemen akunting terpaksa bekerja lembur untuk  memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi karena ulah akuntan senior ini. Bila kita mendapatkan orang yang salah dalam tim, tiba-tiba kita berada dalam kesulitan besar. Kesalahan merekrut seorang sales manajer akan membuat angka penjualan menurun drastis. Kesalahan merekrut seorang spesialis komputer membuat manajemen informasi tidak terbaca pada waktunya. Kesalahan meluluskan bankir “nakal”, bahkan bisa merusak perekonomian negara.

Kita tentu sudah sering mendengar pernyataan ini: “Do you have the right people on the bus?”, “Getting the right talent is everything.” Siapa sih yang tidak mau mempunyai anggota tim dengan talenta yang terbaik? Kita tahu bahwa kita mengejar kesesuaian kompetensi yang kita butuhkan. Meskipun kompetensi yang kita inginkan nyata-nyata ada pada calon yang bersangkutan, tetap saja seringkali kita mengalami ketidakcocokan. Mengapa upaya ini lebih mudah dikatakan daripada dilakukan? Proses seleksi memang bagaikan meramal. Tes yang tajam dan kepiawaian dalam melakukan interview memang kita butuhkan untuk bisa meramalkan keberhasilan kandidat di pekerjaannya dengan tepat. Dalam proses wawancara yang berlangsung selama paling banyak satu setengah jam, kita sudah harus cepat memotret dan membuat penilaian apakah seorang kandidat benar orang yang kita cari atau tidak.

 

{mosimage}

Permainan Interviu: Pewawancara vs Kandidat

Dari segala macam sumber, kita bisa melihat betapa banyaknya panduan untuk menghadapi interviu maupun untuk menginterviu. Pewawancara dan kandidat seolah beradu ketrampilan diajang pembicaraan singkat ini. Untuk pelamar, ini adalah penentuan nasib, harga diri dan masa depannya. Buat perusahaan, sukses dan gagal menginterviu tidak hanya berarti milyaran rupiah tetapi juga situasi kondusif dan moral dalam tim dan organisasi. Jadi, setiap perkiraan yang meleset berarti kekalahan. Si calon bisa gagal menyesuaikan diri padahal sudah meninggalkan pekerjaan terdahulu, hanya karena alasan-alasan yang tadinya dianggap sepele ketika proses wawancara, misalnya kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di perusahaan atau juga kulturnya. Perusahaan bisa melihat calon sebagai seorang yang sangat kompeten di bidangnya, tetapi misalnya, lupa mengecek caranya dalam  menghadapi orang luar yang tidak merepresentasi perusahaan.

Bila ternyata kinerja calon ini mempengaruhi kinerja perusahaan secara signifikan, kita bisa mengatakan bahwa kedua belah pihak memenangkan permainan. Tetapi, bila prestasinya ternyata biasa-biasa saja, maka perusahaan kalah karena tidak membayar sesuai yang diharapkan, sementara si karyawan yang di rekrut menang karena mendapatkan  tawaran yang dia ajukan. Di sinilah pihak yang menginterviu harus benar-benar sadar akan harapan, agendanya dan toleransinya terhadap derajat kelulusan seorang kandidat. Kita perlu meyakinkan pada diri kita sendiri bahwa seorang calon memang akan membawa perubahan yang signifikan di perusahaan. Keadaan ekonomi atau persaingan sering bukan menjadi hambatan berprestasi tetapi bisa menjadi alasan bagi individu untuk tidak berprestasi. Ini lagi-lagi merupakan alasan mengapa kita perlu meramal sikap dan kekuatan mental seseorang, sebelum merekrutnya.

Memotret yang Terlihat dan Tersembunyi

Bila kita analogikan kandidat sebagai sebuah mobil, maka kita akan lihat bahwa motivasi adalah bahan bakarnya. Mobil tanpa bahan bakar bisa berjalan mulus di turunan. Namun, untuk menempuh tanjakan, dibutuhkan bahan bakar. Untuk menghadapi pekerjaan yang sulit, kita tidak bisa mengandalkan orang yang biasa-biasa saja. Orang yang tergolong “high performer” adalah orang yang mampu menghadapi situasi jalan yang mulus, turunan dan juga tanjakan, dengan tetap sanggup menghasilkan kinerja yang luar biasa. Itu sebabnya pengetahuan, ketrampilan, bahkan pengalaman kerja tidak bisa semata menjadi penentu sukses dan gagalnya kandidat. Kita perlu meletakkan bobot yang sama besarnya terhadap aspek ‘sikap’, karakter kepribadian dan “passion” si kandidat. Hambatan di dalam pekerjaan ada di mana-mana, seperti rewelnya pelanggan, konflik dengan teman sekerja, tidak cukupnya pengetahuan, bahkan kemacetan tidak terduga. Tugas pewawancara adalah menyelidiki, seefektif apa kandidat dalam menghadapi hambatan.

Banyak diantara pewawancara yang sudah terlatih pun terjebak ke dalam gejala-gejala ‘halo efek’, yaitu terpengaruhnya pewawancara oleh kesan pertama, stereotype, resume kandidat yang memukau atau kualitas tertentu dari si kandidat. Seringkali impresi yang tumbuh berdasarkan ‘gut feeling’ ini menjadikan pewawancara tidak sempat menyusun pertanyaan yang terstruktur. Padahal, untuk menggali dorongan, kreativitas, rasa ingin tahu, keraguan dan keyakinan kandidat, seorang pewawancara, tidak saja harus menyusun pertanyaan yang jitu sekaligus menguasai teknik-teknik interviu dan menciptakan  suasana kondusif sehingga kandidat dengan sukarela membuka diri dan menampilkan kekurangan dan kelebihannya. Terlalu mahal biaya yang harus ditanggung jika dalam proses seleksi kita masih menggandalkan “feeling”, apalagi trial dan error saja.

(Dimuat di KOMPAS, 2 Juli 2011)

 

articles/memotret-individu1.jpg|||0||bottom||
articles/memotret-individu2.jpg|||0||bottom||

Mentalitas

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Merosotnya kinerja di sebuah perusahaan membuat manajemen perusahaan tersebut berteriak-teriak menghimbau karyawan untuk lebih bersatu, lebih mendekatkan hati dan lebih memperkuat kerjasama dan koordinasi. Para pimpinan menggerutu: “Kenapa sih, orang kok sulit bekerjasama?”, padahal yang berkomentar pun kadang dikomplain oleh bawahannya karena tidak berkomunikasi dan hanya memberi instruksi dari balik meja. Semua orang seakan sadar bahwa permasalahannya sama sekali tidak berhubungan dengan pengetahuan atau ketrampilan, tetapi lebih pada “Silo Mentality” yang mendorong kelompok bersikap ekslusif, tidak berbagi informasi, bekerja secara isolatif dan bahkan saling menyalahkan antar departemen. Kita lihat bahwa selama kelompok dan individu menyuburkan mentalitas yang kontra-produktif, suasana kerja dan kinerja pun sudah pasti mandek, bahkan bisa membawa kehancuran.

Ketika media elektronik mengekspos berbagai kekurangan, penyimpangan dan kelemahan terkait kondisi politik, moralitas, kepemimpinan atau kemiskinan, kerap kita juga mendengar “mentalitas” atau cara pikir kolektif menjadi salah satu kendala sulitnya mencari jalan keluar atas permasalahan yang ada. Kita memang tidak bisa menutup mata bahwa mentalitas sangat memberi warna pada cara kita menginterpretasi dan merespons situasi yang sedang kita alami. Di perusahaan, individu yang terbiasa memupuk mentalitas sebagai “korban”, saat tidak mencapai target kerja yang diberikan, cenderung akan menyalahkan situasi, mencari-cari alasan pembenaran dan melepas tanggung jawab atas rendahnya kinerja yang dia tunjukkan. Tak jarang, kita mendengar kelakar: “Kumaha juragan waelah….”, saat individu bersikap tidak maju mengambil tanggung jawab. Padahal, mentalitas terbukti cepat menular. Bila mentalitas “korban” ini menular ke individu lain kemudian tumbuh subur di dalam tim atau organisasi di organisasi kita, bayangkan betapa sulitnya kita mendorong perbaikan.

Kemajuan teknologi menunjukkan pada kita betapa mentalitas memang bisa dibentuk dan dengan cepat menular. Bukankah iklan-iklan di berbagai media elektronik ampuh memperkuat mentalitas konsumerisme dan keinginan untuk membeli barang, sehingga pikiran kita seolah disetir untuk membeli berbagai barang-barang, bahkan yang sebetulnya tidak terlalu diperlukan. Pelajaran berharga yang lain, kita peroleh ketika mengetahui penduduk sekampung memusuhi individu yang protes tentang pencontekan masal. Ternyata, mental yang kuat belum menjadi preferensi untuk bertindak. Semakin cepat kita sadar untuk menumbuhkan dan menularkan mentalitas yang kuat, semakin kita bisa lebih produktif, lebih memiliki daya dobrak untuk kemajuan dan sekaligus lebih happy dengan diri dan lingkungan kita.

{mosimage}

Mentalitas “pemain”

Berada di sekitar korban tabrak lari, korban ketidakadilan hukun, korban keteledoran, korban kelambanan penguasa, tentu membuat kita merasa dan membenarkan bahwa memang kita tidak bisa berbuat apa-apa. Otomatis yang kita lakukan adalah mengeluh. Secara fisiologis, orang yang mengeluarkan aura negatif seperti mengeluh dan meratap tidak punya metabolisme untuk mengeluarkan energi, membakar emosi dan membuatnya bergairah. Dalam situasi kerja, orang dengan mentalitas korban seperti ini, tidak akan mampu menunjukkan intrapreneruship dan entrepreneurship yang diperlukan untuk mendobrak dan membuat terobosan. Para manager dan pimpinan, perlu senantiasa melihat bahwa mentalitas korban ini tidak tumbuh di dalam timnya, sebaliknya secara konsisten memberi contoh untuk membangun “mentalitas pemain”, yang senantiasa mengambil tanggung jawab baik dalam proses maupun output yang dihasilkan.

Dalam sebuah perusahaan yang sedang mengalami penciutan, ada sekelompok orang yang mengeluh karena ketidakbijaksanaan manajemen dan mengungkapkan bahwa mereka hanya menunggu kapan waktu mereka terkena PHK. Padahal bila dipikir lebih jauh, perusahaan  yang tetap akan jalan dengan separuh ‘crew’-nya tetap membutuhkan pemain yang tangguh, yang bermental baja dan sanggup menjalankan bisnis dengan tenaga dobel. Mengapa bukan kita yang menempatkan diri kedalam kelompok pemain ini?

Sukses adalah "state of mind”

Sampai saat ini, jarang sekali ada pimpinan perusahaan, atau manajemen yang sangat percaya pada kekuatan hubungan interpersonal dan menumbuhkan potensi tersembunyi dari kekuatan kolektif tersebut dan menterjemahkannya dalam sistim ‘reward’ yang komprehensif. Di pihak lain, kita sadar juga bahwa teknologi ‘performance management’ selalu difokuskan pada proses, kinerja  individu, bagian ataupun divisi. Padahal, membangun mentalitas yang produktif juga menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab seorang pemimpin.

Kita memang bisa terlarut pada pemberitaan mengenai utang negara, korupsi, dan curangnya beberapa oknum. Namun, kita perlu sadar agar tidak menjadikan kita terjebak pada perangkap mentalitas tidak berdaya yang bisa menghantui kesuksesan kita. Kita sebenarnya tetap perlu berkaca pada beberapa tokoh yang dengan tenaganya sendiri bisa menjadi ‘multiplier’ dari nilai tambah yang bisa diupayakan. Kita pun juga masih bisa menemukan orang-orang yang kreatif berburu ide dan kesempatan dan akhirnya bisa mencetak ‘quantum growth’ untuk perusahaannya. Hanya dengan  keyakinan dan sikap optimis tentang masa depan, serta kemampuan untuk melihat gambaran yang lebih jauh dan besar ke depan , kita bisa mencetak kesuksesan. Semua bentuk tingkah laku kita digerakkan oleh pola pikir kita. “Everything you think about, repeatedly will manifest one day or another. So why not think of what you want, instead of what you don’t want?”

(Dimuat di KOMPAS, 25 Juni 2011)

articles/mentalitas1.jpg|||0||bottom||
articles/mentalitas2.jpg|||0||bottom||

Mental Block

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sekelompok eksekutif di divisi penjualan pada sebuah perusahaan dengan nama besar mengeluhkan berbagai kesulitan yang dihadapi untuk bersaing, survive dan menembus pasar. Tim yang menjadi ujung tombak untuk mencetak profit ini pun ketar-ketir dengan masa depan perusahaan. Kompetitor yang begitu agresif dengan berbagai terobosan, telah merebut pasar mereka. Kini mereka seakan tertampar karena menyadari selama ini alpa mendorong kreativitas sebagai sumber energi di dalam tim dan organisasi. Kita lihat, bukan lagi perlombaan modal yang kita hadapi sekarang, tapi perlombaan kreativitas-lah yang akan menentukan siapa yang melesat ke depan.

Kita memang tidak lagi bisa terlena menjalankan “business as usual”. Istilah “think out of the box” bahkan sudah tidak relevan lagi, karena saat sekarang kita dituntut untuk tidak berada dalam “kotak” lagi. Kita lihat betapa absensi di banyak perusahaan kini tidak relevan lagi, digantikan dengan flexitime yang lebih mampu mendorong produktivitas dan membuat karyawan happy. Ini adalah salah satu contoh dari lenyapnya “box” yang sering disebut-sebut itu. Bisakah kita membayangkan, pola kerja yang telah menerapkan kebebasan absensi, namun tetap menggunakan cara kerja dan kerangka pikir lama? Cepat atau lambat, semua keterikatan, peraturan atau standar operasi yang tadinya ada, harus berubah sesuai tuntutan situasi, perlu ditinjau kembali dan diperbaharui. Siapa penggeraknya? Bukankah kita sendirilah yang harus setiap saat berpikir ‘beda?

Sadar tidak sadar, kita kerap membangun tembok-tembok, benteng atau “kotak” yang membuat pandangan dan pikiran kita terbatas. Bukan saja menyadari, namun kita justru kerap menerima  bahwa kita sudah terkungkung dengan paham konvensional, birokrasi dan rutinitas yang menyebabkan diri kita tidak kreatif. Bila upaya kita mencari jalan keluar dirasa mentok, dengan cepat kita berpikir, “Mungkin saya memang tidak kreatif…”. Terobosan, pembaruan, inovasi adalah tuntutan kerja jaman sekarang. Kita tidak lagi bisa menganggap bahwa semua terobosan yang kita hasilkan adalah hasil kreativitas yang istimewa. Secepatnya, kita harus segera berpikir bahwa ‘box’ yang kita rasa mengurung diri kita hanyalah paradigma yang perlu dicabut dari benak kita. Di saat sekarang, setiap orang harus secerdik kancil, tidak pernah boleh berhenti dan tidak bisa merasa berada di titik ‘kepuasan’ atau ‘comfort’.

 

{mosimage}

Berpikir = Saat Bergembira

Kita sering merasa sudah menggunakan daya pikir kita secara “all out”, apalagi setelah rapat brainstorming atau rapat evaluasi yang sampai membuat kita merasa stres dan lelah. Seorang teman berkomentar: “Kalau dibombardir seperti ini oleh atasan, bagaimana kita bisa berpikir kreatif?”. Ada anggapan bahwa suasana kantor yang tegang membuat orang berhenti berpikir dan seakan menjadi ‘robot’ saja. Rasa takut salah, anggapan bahwa ‘berpikir’ adalah kegiatan yang sangat serius, menyebabkan otak kita membentuk semacam rem yang bisa menghentikan kegiatan berpikir. Sementara, ada orang yang tetap berpikir dalam tidurnya, pada saat melakukan segala macam kegiatan dan kemudian memunculkan ide baru tanpa peduli tempat dan waktu, “The brain is a wonderful organ. It starts the moment you get up and doesn’t stop until you get into the office.”

Marilah kita memperhatikan bagaimana seorang anak sampai pada pemikiran-pemikiran yang unik dan tidak terpikirkan oleh kita. Pertama-tama, ia tidak memaksa dirinya untuk mendapatkan jawaban segera. Pikirannya mengembara tanpa ada batas-batas jam kerja atau situasi tertentu. Ia tidak pernah berpikir apakah ia seorang yang pintar, logis ataupun rasional. Berpikir seakan menjadi kegiatan mental anak yang bagaikan permainan, tidak membuatnya ‘stres’ bahkan membuatnya bahagia. Bagaimana dengan kita dalam situasi kerja? Bukankah kita sering merasa mentok saat kita memaksakan diri untuk berpikir sesuai dengan aturan tertentu atau berusaha se-rasional mungkin? Kita pun kerap membatasi berpikir hanya di saat meeting atau pada saat jam kerja. Belum lagi, kita sering menginstruksikan diri kita untuk tidak memikirkan urusan orang lain, divisi lain, perusahaan lain. Dari sini kita melihat bahwa “mental block” sebenarnya tidak terjadi, namun kita sendiri yang menciptakan benteng dan membatasi kemampuan berpikir kita. Kita yang sudah memblok mental, tentunya akan mati langkah.

Asik Berpikir dan Mengamati

Seorang teman mengatakan bahwa saat sekarang orang sudah tidak perlu susah-susah ‘mencari tahu’ lagi. Dengan bantuan search-engine, semua informasi tersaji di depan mata dalam waktu sekejab. Tantangan pada kegiatan berpikir kita justru saat harus memilih dan memilah informasi yang sudah tergelar secara terbuka dan ‘real time’. Bila kita sibuk membatasi pikiran dan menciptakan batasan-batasan, apa bedanya kita dengan orang yang hidup di era 30 tahun yang lalu?

Seorang teman selalu berkeyakinan bahwa solusi tidak datang begitu saja. Itu sebabnya dia piawai dalam proses mencari jalan keluar. Ia terbiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaa, mengisi titik-titik pemahaman yang kosong dan tidak malu-malu belajar pada orang yang lebih junior mengenai sesuatu yang tidak ia ketahui. Ia pun terbiasa menikmati film, memperhatikan gambar, bahkan menunda rapat untuk “mengendapkan” masalahnya semalaman. Banyak tokoh yang kita kenal luas dengan karya kreatif dan inovasinya memiliki kebiasaan berpikir yang membebaskan diri dari “mental block”, misalnya saja Einstein. Sebelum menemukan teori relativitas, Einstein mempunyai kebiasaan melakukan pengamatan kemana saja ia pergi. Tidak ada hal yang luput dari perhatiannya. Ia memasang telinga, hidung dan matanya tajam-tajam dan menyerap semua gejala yang dialaminya. Ia membaca, bermimpi serta hidup dengan pertanyaan-pertanyaan dibenaknya. Bukankah ini kebiasaan-kebiasaan yang sangat bisa ditiru dan juga mudah untuk kita lakukan?

(Dimuat di KOMPAS, 18 Juni 2011)

 

articles/mental-block2.jpg|||0||bottom||
articles/mental-block1.jpg|||0||bottom||

Tahu Saat Berhenti

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Orang tua kita dulu sering menasehati untuk berhenti makan sebelum kenyang. Ini sebetulnya nasihat penting yang bisa berlaku untuk banyak hal. Kita tahu ada orang yang begitu sulit untuk menghentikan kecanduannya pada rokok, kopi atau obat-obatan, meskipun tahu hal itu merusak kesehatannya. Ada pakar manajemen yang baru-baru ini mengutip slogan sebuah merek furniture: “Sudah Duduk, Lupa Berdiri”, untuk menggambarkan orang yang kecanduan pada kekuasaan. Hal ini memang kita lihat menggejala pada para penguasa, yang belum-belum sudah memikirkan bagaimana melanjutkan tampuk kekuasaannya untuk  periode yang akan datang, daripada memikirkan kepentingan kelompok atau bangsa yang lebih luas dan mulia. Kecanduan didahului dengan gejala tidak mampunya seseorang untuk berhenti sejenak, mengevaluasi, menentukan arah kembali dan menetapkan langkahnya.

Kemampuan untuk “berhenti” erat kaitannya dengan kekuatan mengontrol dan mawas diri. Sebelum sebuah situasi mencapai klimaks, menurun atau menjadi destruktif, setiap orang perlu memikirkan cara untuk menghentikan prosesnya. Mesin yang dipacu terus-terusan tanpa henti akan meledak dan lebih cepat rusak ketimbang yang secara teratur menjadualkan berhenti untuk maintenance. Kita perlu waspada kapan harus menghentikan gaya hidup tidak sehat sebelum menyesali diri saat mengetahui penyakit yang mematikan tahu-tahu sudah mengerogoti. Orang perlu tahu kapan saatnya berhenti memarahi orang yang jelas-jelas salah, sebelum kemarahannya jadi merusak hubungan, bahkan menghancurkan esteem dan kepercayaan diri yang bersangkutan. Kita sendiri pun rasanya perlu mawas diri dan mengecek kapan kita merasa “cukup” dengan kekuasaan dan uang yang kita kejar.

 

{mosimage}

Berhenti adalah Sebuah Langkah

Ketika 25 Mei yang lalu, Oprah menayangkan pertunjukan terakhirnya setelah berkiprah selama 25 tahun, banyak orang menyayangkan kejadian tersebut. Penggemar yang jumlahnya berjuta-juta begitu sedih karena akan kehilangan ‘show’-nya. Mengapa Oprah menghentikan show-nya manakala tayangan itu saat sedang top-topnya dan bukan saat rating mulai turun? Apakah sekedar tidak mau mengalami “post power syndrome”? Atau justru menganggap bahwa jalan yang terus menanjak ini berbahaya bagi perkembangan pribadi maupun kesehatannya?

Ternyata, Oprah tidak berhenti, namun menyusun rencana masa depan yang lain. Keputusan menghentikan Oprah show sudah direncanakan jauh-jauh hari. Dalam salah satu episodenya di tahun 2009, Oprah mengumumkan bahwa ia akan menghentikan tayangan televisinya di tahun 2011 karena ia akan berkonsentrasi pada jaringan televisinya yang baru. Oprah menjelaskan bahwa ia dan timnya akan melakukan brainstorming agar dapat memberikan pertunjukkan terbaik pada 18 bulan sisa masa tayangnya. Kesadaran ini membuat mereka bekerja keras membuat pertunjukan-pertunjukan terbaik dan masterpiece yang akan selalu dikenang orang. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan untuk berhenti dari sebuah posisi puncak bukanlah keputusan emosional atau keputusasaan, namun keputusan matang yang diambil oleh mereka yang berjiwa besar.

Dari Oprah kita belajar bahwa kita harus siap menghentikan hal yang lama dan terus memikirkan pembaharuan untuk masa mendatang. Berhenti dari yang lama artinya kita memiliki kesempatan untuk menantang diri kita naik ke kelas berikutnya, maju kepada tantangan yang lebih sulit untuk membuktikan beragam potensi yang belum kita miliki. Kita bisa menggunakan pengalaman – pengalaman di masa lalu sebagai referensi, namun tidak membiarkan pengalaman tersebut menjadi mental block yang membuat kita tidak berani keluar dari comfort zone.

Sadari dan Tentukan “Deadline”

Banyak sekali pasien-pasien penyakit kronis merasa sisa hidupnya menjadi begitu bermakna setelah mereka mendapatkan vonis dokter mengenai sisa hidup mereka. Mereka yang tahu kapan saatnya harus berakhir malahan merasa diri lebih beruntung dibandingkan mereka yang tidak tahu kapan akhir akan menjumpainya. Dengan pemahaman adanya “deadline”, mereka terpacu membuat perencanaan secara menyeluruh sehingga yang ditinggalkan tidak mengalami masa gamang, di samping mereka sendiri juga jadi lebih menghargai setiap detik yang tersisa. Kakek salah seorang teman saya malah sampai memilih sendiri peti matinya, mendesign obituarinya dan membuat proses kematiannya menjadi sesuatu yang berjalan sangat indah dan natural.

Sebagai pemimpin dalam organisasi di mana pun juga, bilamana kita menyadari dan sudah menentukan kapan kita akan lengser dari posisi kita, tentunya kita akan mempersiapkan sebaik-baiknya penerus yang akan menggantikan posisi kita di dalam organisasi serta memastikan bahwa keseluruhan fungsi organisasi akan tetap dapat berjalan sebagaimana mestinya sepeninggalan kita. Kesadaran ini mendorong kita untuk lebih keras mencari dan melatih talent-talent terbaik, sehingga mereka siap melanjutkan “perjuangan” kita, terutama mempersiapkan mental dan karakter agar mampu menghadapi beragam situasi yang tidak terduga, mengingat tidak ada orang yang yang dapat memperkirakan tantangan apa yang akan dihadapi di masa depan, namun sudah pasti tantangannya tidak akan sama dengan yang telah kita alami.

Kita memang perlu mulai meningkatkan kontrol diri dan meluangkan waktu untuk memikirkan hal-hal apa saja yang akan kita lakukan secara berbeda bilamana kita harus meninggalkan posisi kita ini dalam kurun waktu tertentu. Apa kebiasaan lama yang basi, tidak konstruktif dan perlu kita hentikan sebelum kebiasaan itu menjadi bumerang bagi kita dan orang lain? Situasi nyaman, jabatan, ketenaran, keberhasilan, memang sangat bisa membuat kita terlena. Hanya individu yang siap keluar dari comfort zone yang akan mampu merasakan nikmatnya pembaharuan yang merangsang adrenalin dan perubahan yang memacu kematangan pribadi dan membawa kebaikan untuk diri dan orang lain.

(Dimuat di KOMPAS, 11 Juni 2011)

articles/tahu-saat-berhenti.jpg|||0||bottom||
articles/tahu-saat-berhenti2.jpg|||0||bottom||

Mencerna Kritik

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Apa reaksi pertama kita saat pelanggan komplain karena proses kerja kita yang dinilainya lambat? Apa respon pertama kita saat atasan mempertanyakan hasil kerja yang menurutnya belum sesuai harapan? Bagaimana sikap kita mendengar orang lain menjelek-jelekkan kita, menjatuhkan reputasi kita, padahal kenyataannya tidak demikian? Kritik yang ringan maupun berat, yang pedas maupun yang konstruktif, yang benar adanya ataupun fitnah, sedikit banyak pasti akan membuat darah kita bergejolak. Terkadang kita merasa sudah bekerja “all out”, tapi orang dengan entengnya melancarkan kritik. Rasa kecewa, sedih, sakit hati, bahkan marah bisa muncul sampai ke ubun-ubun. Bila kita tidak pandai-pandai mendinginkan hati dan kepala, berlatih untuk menyikapi kritik dengan taktis, bisa-bisa reputasi kita malah betul-betul merosot.

 Kritik memang sudah pasti akan ada ke mana pun kita melangkah. Orang yang paling pintar, paling hebat, paling ahli dan paling bekerja keras pun tidak luput dari kritik. Bila kita ada di tahap belajar, tahap mencoba, tahap memulai, di mana hasil kerja kita masih jauh dari sempurna, sudah sewajarnya kita mengantisipasi kritikan deras yang kita bakal kita terima dan membuang jauh-jauh rasa sakit hati. Teman saya memang dikenal bertemperamen tinggi, apalagi bila ia diberi masukan. Setelah mengetahui kecenderungan ini, banyak sahabat karib yang akhirnya berhenti memberi masukan. Teman-teman yang mengkritik sebetulnya juga mengakui kehebatannya, mengagumi kerja keras dan usahanya yang pantang menyerah, angkat topi akan kemauan belajarnya yang tinggi. Mungkin karena merasa sudah berusaha sangat keras, maka kritik diterima teman kita ini sebagai sesuatu yang menyakitkan, sehingga ia tidak menjadikan kritik sebagai salah satu bentuk perbaikan dan ajang pembelajaran bagi dirinya.

 Di satu sisi kita sadar bahwa umpan balik dan kritik penting untuk terus meningkatkan kinerja. Bukankah kita rela membayar mahal sekali dari perusahaan riset untuk mengetahui di mana posisi perusahaan kita dibanding dengan kompetitor, sudah baguskah ‘image’ perusahaan di mata pelanggan atau aspek apa saja dari produk atau layanan apa yang perlu diperbaiki. Bila hasil riset menunjukkan posisi kita di urutan buncit, akankah kita marah pada pihak yang melakukan riset? Di sini kita melihat kritik memang seperti pedang bermata dua: berguna, tapi sekaligus menyakitkan. Di dunia politik pun kita melihat sendiri tidak banyak orang yang bisa betul-betul memanfaatkan kritik sebagai bahan pembelajaran. Hal yang lebih menonjol adalah merespon kritik dengan penuh emosi, menyalahkan orang lain, membantah dan mempertanyakan niat pemberi kritik, bahkan malah menyerang balik pemberi kritik. Akankah kita terus menyuburkan sikap yang tidak tepat dalam mencerna kritik?

{mosimage}

Kuping Tipis, bolehkah?

Teman saya, seorang CEO sebuah perusahaan besar, terkenal berkuping tipis. Semua masukan menjadi perhatiannya, baik yang tertuju bagi dirinya maupun bagi orang lain. Kritik membuatnya sangat moody, uring-uringan dan bereaksi segera. Padahal sikap reaktif ini diakuinya sendiri melelahkan dan menjadikan dirinya tidak produktif. Kita bisa lihat bahwa kecenderungan untuk merasa tersinggung sering disebabkan karena kita tidak bisa memisahkan situasi atau sikap yang dikritik dengan diri kita pribadi atau istilahnya:“take it personally”. Bila setiap kritik kita sikapi secara “personal” dan seakan menyerang inti kepribadian kita, maka bisa jadi kita akan dilihat sebagai orang yang kurang matang dan temperamental.

Dalam sebuah pelatihan servis, para frontliners muda mengeluh tidak tahan dengan sikap pelanggan yang sering melontarkan kata-kata kasar dan makian kepada jajaran frontliner bila mereka tidak puas dengan produk dan layanan yang diberikan oleh perusahaan. Bila para frontliners tidak berlatih untuk membangun “benteng” yang memisahkan diri pribadi dan peran sebagai pemberi servis profesional, kemudian berpikir jernih untuk melihat kejadian dengan objektif dan proporsional sudah pasti diri pribadi akan menjadi korban dari kritik yang menjadi makanan mereka sehari-hari. Agar tetap bisa mendapat manfaat dari kritik yang dilontarkan, kita lihat bahwa berkuping tipis sangat perlu, tetapi cara menangkapnya perlu kita pelajari dan latih, agar suasana tetap ‘clear’ dan kondusif.

Aksi, bukan Reaksi

Apa yang akan Anda lakukan bila kritik ternyata sangat memalukan dan tidak benar? Apa yang kita lakukan bila kritik sudah menyangkut hal yang paling pribadi dan melanggar privacy?  Apakah kita bersabar saja dan bahkan memberikan “pipi kanan” kita? Bersabar memang butuh kekuatan mental, namun kita bisa mengingat pepatah cina kuno ini: “Bila anjing menggigit, apakah anda akan balas menggigit?” Binatang akan menyerang bila teritorinya diganggu. Tetapi kita, manusia, mempunyai inteligensi untuk menahan diri dan bersikap lebih taktis.

Tindakan ‘tidak pikir panjang’ atau bersikap defensif, biasanya akan membawa hasil yang tidak positif. Akan lebih baik bila kita tenangkan diri dan menganalisa siapa yang bicara. Apakah orang yang memberi kritik kredibel atau tidak? Sudahkah kita menerka apa maksud kritikannya? Apakah asal bunyi saja atau memang membuka mata kita akan sesuatu yang tidak kita sadari? Bukankah kita juga perlu milih musuh yang ‘tepat’ untuk dimusuhi? Terkadang kita perlu meyakini bahwa berdiam diri bisa jadi tindakan yang tepat. Reaksi defensif bisa tidak produktif karena menghabiskan tenaga tanpa hasil. Dengan banyaknya pertimbangan seperti ini, hal yang perlu kita lakukan  ketika dikritik adalah menahan reaksi pertama kita. Bila kita mampu mendinginkan kepala dan kemudian menanggapi secara taktis, maka kita mendapatkan impresi positif dari orang lain. Sementara, kita pun akan ‘feel good’ karena berhasil mengontrol diri dan terhindar dari reaksi yang tidak pada tempatnya. Inilah tantangan kita bersama, mengubah ‘mindset’ untuk bersahabat dengan kritik, baik itu yang membangun atau menyakitkan dan berterimakasih serta bersikap terbuka.

(Dimuat di KOMPAS, 4 Juni 2011

articles/mencerna-kritik.jpg|||0||bottom||
articles/mencerna-kritik2.jpg|||0||bottom||