Makna Hidup

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Apa jawaban yang Anda berikan pada anak Anda bila mereka bertanya, “Mengapa ayah atau ibu harus bekerja?” Lazim terjadi, kita sebagai orang tua berkata: “Mencari uang!”. Jawaban ini tentu saja memang sangat logis dan masuk akal. Di sisi lain, tidakkah kita kemudian jadi tergelitik dengan jawaban tersebut? Betulkah prioritas dan alasan kita bekerja membanting tulang dan memeras otak semata mencari uang? Bukankah kegiatan mencari uang bisa terdengar sumbang bila asalnya dari jumlah jutaan, milyaran bahkan triliunan rupiah yang dikorupsi atau direkayasa dengan cara “insider trading” dari oknum tertentu? Bila uang diperoleh tetapi kualitas hidup dan karakter pribadi tidak menjadi lebih baik, serta ada pihak-pihak yang dirugikan, masihkah bermakna kerja yang kita lakukan?

Banyak orang tidak bisa membayangkan untuk apa uang milyaran atau triliunan dimiliki dan bagaimana jumlah sebanyak itu dibelanjakan. Meski tidak selamanya makna mencari uang atau mengejar keuntungan sama dari individu yang satu ke yang lain, kita juga sering menyaksikan  betapa orang di jaman sekarang tergila-gila pada uang. Orang yang ‘berada’, bermobil keren, berdandan dengan barang-barang ‘branded’ diperlakukan dengan lebih di respek dan diberi ruang yang lebih terhormat. Orang-orang merasa kekurangan uang terus dan mengeluarkan pernyataan bahwa kebutuhan tidak ada habisnya. Seolah-olah kita mencari ‘excuse’ untuk  bersikap materialis. Kadang-kadang kita bingung sendiri mengapa kita terjebak dalam kultur ‘collective greed’ begini. Seorang ahli filsafat menggambarkan situasi sekarang sebagai berikut: ‘How much is enough, and why are people willing to risk so much to get more? If money is so alluring, how is it that so many people of great wealth also seem so unhappy?’

Di jaman di mana anak anak muda berusia antara 20-30 tahun  dengan mudah menjadi kaya raya, tantangan untuk mencari makna uang atau kepemilikan pun seakan semakin tidak diprioritaskan. Dengan tawaran-tawaran pinjaman tanpa agunan, janji-janji keuntungan reksadana, pinjaman KPR yang semakin dipermudah, gadget teknologi informasi yang selalu baru, orang jadi lupa untuk mempertanyakan keberadaannya di dunia ini, apa misi dan tujuan hidupnya, apa makna hidup dan makna bekerja. Padahal, seperti kita saksikan sendiri, uang bisa menjadi sumber malapetaka, ketimbang sumber daya untuk mengembangkan hubungan interpersonal dan memperkaya makna hidup. Kalau pada saat berkekurangan kita mencemaskan “besok mau makan apa?”, maka pada waktu berkecukupan kecemasannya berbentuk “bagaimana bila uang saya hilang?”. Seorang profesor filsafat, Jacob Needleman mngatakan: “Being rich does not make you smart — especially about things other than money.” Bila kita tidak pernah memahami hubungan kita dengan uang dan harta, maka kita tidak pernah mengenal diri sendiri.

 

{mosimage}

Sukses = Banyak Duit?

Istilah ‘jadi orang’ yang sering digunakan oleh orang-orang tua kita dulu sebetulnya mengandung makna yang dalam. Di jaman dahulu, jelas ‘jadi orang’ tidak selamanya ‘jadi orang kaya’. Jadi guru yang hidup sederhana pun sudah ‘jadi orang’. Sebetulnya, konsep sukses dari dulu dan bahkan sampai sekarang pun tidak bisa kita samakan dengan banyak uang saja. Orang bisa dikatakan sukses bila ia jelas-jelas menyadari dan menggunakan semua fungsi, semua bagian dan seluruh kapasitas dalam dirinya untuk kebaikan orang lain dan masyarakat, bukan semata untuk kepentingan dirinya pribadi. Dalam mengembangkan diri menjadi karakter yang utuh barulah seseorang bisa merasakan kenikmatan, perjuangan dan tantangan dalam bekerja. Teman saya, seorang pengusaha dan pekerja keras yang memiliki perusahaan yang beromzet trilyunan pernah mengatakan:”Saya tidak bisa membayangkan uang bermilyar-milyar dalam bentuk uang kertas. Hal yang saya kejar dan upayakan hanya prestasi.”

Seseorang yang mendapatkan promosi atau kenaikan gaji dengan berjuang keras dan berkompetisi dengan sesama rekan, memiliki pengalaman mengerahkan sumber daya, melatih nyali, bahkan menguji hati nurani. Kenikmatan hasil jerih payahnya ini tentu tidak semata karena akhirnya ia meraih jabatan atau uang, tetapi juga karena terjadi pematangan kepribadian. Lain halnya bila seseorang mendapatkan jabatan ataupun uang dengan cara gampang, bahkan tanpa usaha. Ia melewatkan kesempatan untuk berdialog dengan dirinya. Spiritnya tidak berkembang. Demam masyarakat dalam dunia yang serba instan inilah yang mempengaruhi mental dan spirit kita semua. Kita sepertinya perlu mengembangkan “antibodi” agar tidak dijangkiti “demam” yang mematikan ini.

Kualitas Kerja sebagai Daya Tarik

Kita memang tidak bisa menghindari kebutuhan kita akan uang. Terlepas dari kebutuhan orang untuk memenuhi rasa amannya melalui pemilikan rumah, kendaraan yang memadai untuk mendukung aktivitas sehari harinya, kita juga perlu merancang kualitas perbaikan kualitas hidup sambil jalan. Bila kita selama ini ingin lebih dan lebih, kita perlu memberi penekanan pada kualitasnya. Bukan sekedar berjuang demi bonus, tetapi bekerja demi merasakan kebahagiaan kerja bersama. Bukan sekedar berkompetisi dengan melihat hasil akhir tetapi justru memahami mengapa orang lain lebih bijak, lebih berkualitas kerja dan lebih efisien. Dalam iming-iming mengajak calon pekerja untuk bergabung, bukan gaji besar yang ditonjolkan tetapi bagaimana suasana kerja, hubungan antar karyawan dan apresiasi yang dipentingkan. Kita rasanya tidak perlu merasa kalah bersaing secara finansial, kalau saja kita tahu betul bagaimana mengupayakan agar para pekerja diarahkan untuk melakukan kualitas kerja yang lebih baik. Dalam hal ini pasti upah akan menjadi konsekuensi positifnya.”In tough times, meaningful work seems more than ever to demand attention”

(Dimuat di KOMPAS, 28 Mei 2011)

articles/maknahidup.jpg|||0||bottom||
articles/maknahidup2.jpg|||0||bottom||

Inteligensi Kolektif

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang teman yang bertanggung jawab menangani divisi sumber daya manusia di sebuah universitas, mengeluhkan betapa para ilmuwan, dosen, bahkan profesor sangat sulit bekerja sama. Teman lain, yang bekerja di rumah sakit, ternyata mempunyai keluhan yang sama. Di satu sisi organisasi berjuang keras untuk mendapatkan individu terbaik dan terpintar, namun di sisi lain saat orang-orang pintar ini berkumpul, proses diskusi malah menjadi lebih alot dan bahkan bisa tidak menghasilkan apa-apa. Bukankah kita memang sering merasakan bahwa kerja tim malahan bisa jadi tidak lancar bila beranggotakan orang-orang pintar? Dalam kesebelasan sepak bola, kumpulan para bintang bisa tidak membentuk tim yang hebat. Tim “elit” top manajemen perusahaan yang berisi orang-orang pintar pun seringkali punya masalah untuk bersinergi. Bukankah tim Obama juga disebut sebagai “too many brains team”, namun kerap dikritik karena lamban dalam mengambil keputusan? Bagaimana kita menyikapi dan menyiasati hal ini?

Usaha untuk memperkuat koordinasi, menebalkan kohesi serta sinergi terus menerus kita dengar dan bicarakan. Berbagai program pelatihan, camp dan outbound dilakukan agar individu lebih bersatu dan saling memahami satu sama lain. Namun, tetap banyak yang mengeluhkan betapa sinergi tetap saja seolah tertahan dan tidak terjadi. Tidak jarang terjadi, dalam sesi-sesi ‘brainstorming’ yang dilakukan orang-orang pintar, ide-ide yang muncul seringkali terasa tertahan dan bahkan ‘basi’. Kinerja kolektif yang di atas kertas   semestinya lebih baik dari rata-rata kehebatan masing-masing individu, malahan berkinerja di bawah rata-rata. Sebaliknya, ada kelompok yang anggotanya biasa-biasa saja, namun ketika membentuk tim malah bisa menghasilkan prestasi luar biasa yang bahkan membuat “surprise” anggotanya sendiri. Apa rahasianya sehingga sebuah tim, apalagi tim yang terdiri dari para bintang, bisa menunjukkan kinerja kinclong dan smart? Bagaimana menumbuhkan kekuatan “collective intelligence” yang disebut-sebut bisa melipatgandakan prestasi dan menjadi faktor kunci dari keberhasilan suatu tim dan organisasi?

{mosimage}

Kolaborasi dan Peduli

Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa kinerja sebuah kelompok dalam membuat tugas semacam puzzle, brainstorming, dan negosiasi, lebih baik daripada hasil kerja masing-masing individunya. Ketika diteliti lebih jauh, ternyata “kekuatan” yang dihasilkan oleh kelompok, tidak banyak kaitannya dengan kohesi, kedekatan interpersonal, motivasi maupun kepuasan individu, namun lebih dipengaruhi faktor “care” atau kepedulian. Setiap individu peduli tidak hanya pada keberhasilan tugas dan peran pribadinya, namun ingin rekannya juga berhasil. Bila kegiatan team-building dan outbound yang dilakukan baru semata mempererat kohesi, merekatkan hubungan interpersonal kelompok, namun belum menyentuh suasana hati dan “ego” dari masing-masing individu, kita tidak bisa berharap banyak bahwa kegiatan itu akan betul-betul bisa membawa dampak positif sekembalinya mereka ke tempat kerja.

Orang-orang yang cerdas dan berprestasi kita lihat mempunyai kemauan yang keras. Selain itu, individunya juga sangat percaya pada prinsip dan pendapatnya sendiri. Ini adalah kekuatan, namun sekaligus berpotensi menjadi sumber perpecahan dalam kelompok. Hanya bila individu menyadari kekuatan dan peran dirinya, sambil melihat kekuatan dan peran orang lain, kemudian terbuka mata dan pikirannya untuk berkolaborasi mencapai tujuan bersama, barulah bisa timbul percikan sinergi. Kuncinya adalah kesadaran bahwa “no team member can be successful without ensuring the success of everyone else”. Jadi tugas kita adalah membuat orang lain bisa melakukan perannya dengan baik dan membuat orang lain terlihat baik, bukan malah menjatuhkannya. Ini tentu keyakinan yang perlu dibangun dengan fokus pada tujuan bersama dan keberhasilan bersama.

Terobos Dinding ‘Ego’

Dalam suatu perusahaan, individu-individu yang berkinerja bagus dipromosikan menjadi direksi. Di luar dugaan, tim yang tadinya solid ini malahan tiba-tiba tidak menghasilkan kinerja yang cemerlang lagi. Walaupun tidak berkonflik terbuka, terasa hubungan menjadi dingin dan setiap individu terkesan tetap bersikeras dengan gaya dan keahlian masing-masing. Suasana terasa hambar, bahkan enggan berkomunikasi satu sama lain. Ketika tim menemui jalan buntu dan akhirnya masing-masing berkesempatan membuka hati, barulah hubungan mencair dan komunikasi menjadi lebih tulus untuk bersatu dan menolong satu sama lain. Ternyata, individu yang berprestasi pun perlu juga digelitik kepekaan sosialnya, sehingga kembali bisa melihat lebih obyektif dan lebih mampu mendengar lebih aktif.

Teman saya berkomentar, “Orang-orang pintar, biasanya egonya juga sama-sama kuat.” Benarkah ini? Kita memang kerap melihat bahwa kerasnya ego individu bahkan mewarnai berbagai konflik skala “nasional” yang disorot media, entah itu kisruh PSSI, perseteruan anggota dewan yang terhormat atau juga di jajaran kabinet. Bisa jadi, karena “ego” pribadi masih mendominasi, collective intelligence jadi sulit terwujud. Dari sinilah kita bisa melihat bahwa individu yang inteligen belum tentu bisa membangun inteligensi kolektif. Individu yang mampu menumbuhkan inteligensi kolektif biasanya menjaga kepekaannya, banyak memperhatikan kebutuhan orang lain, berusaha tidak mendominasi pembicaraan walaupun sebenarnya ahli dalam topik pembicaraannya, sambil benar-benar mendekatkan’hati’nya dengan tim.

Dengan individu-individu yang berprestasi, dialog satu sama lain sangat penting, baik itu formal dan informal. Perlu ada keterbukaan yang ‘genuine”. Kita bisa membicarakan tugas atau proyek tertentu, tetapi spirit untuk menjaga kebersamaan perlu berakar di dasar kepribadian individu. Kita tidak bisa lagi memandang aspek emosional sebagai aspek penghambat prestasi. Justru pada orang yang sudah berprestasi, aspek emosilah yang mempengaruhi mental dan spiritnya. Itulah sebabnya pemimpin dari kelompok berprestasi ini selalu menggunakan pendekatan kembar, yaitu tugas dan hubungan interpersonal. Hanya melalui pendekatan yang ‘dalam’ inilah ‘trust’ bisa dikembangkan, berdampingan dengan ‘good-will’ organisasi.

(Dimuat di KOMPAS, 21 Mei 2011)

articles/intelegensi-kolektif_1.jpg|||0||bottom||
articles/intelegensi-kolektif.jpg|||0||bottom||

Budaya Apresiatif

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pernahkah kita memperhatikan bahwa publikasi di media lebih didominasi berita menakutkan, mengerikan, penuh “disaster” dibanding dengan hal-hal terpuji yang dilakukan oleh seseorang? Berita penghargaan, keberhasilan, kerja keras tidak terdengar karena dikalahkan oleh berita kecurangan, kelemahan dan kemalasan. Meskipun kita sendiri sering merasa lelah, kesal, sedih, bahkan marah setelah mendengar hal-hal negatif, namun di sisi lain kita pun tidak secara sengaja menghindari hal-hal yang negatif. Bukankah kita pun menikmati berita dan infotainment yang cenderung menonjolkan kejelekan individu? Di tempat kerja pun sadar tidak sadar kita kerap menyuburkan budaya yang tidak apresiatif, misalnya saja gosip, salah menyalahkan atau tidak berterus terang.

Kita bisa menilai sendiri seberapa sering kita menyalahkan orang yang sedang tidak hadir di suatu pertemuan bila ada kejadian yang tidak menyenangkan. Bukankah banyak atasan yang hanya melihat sisi ‘salah’ dari anak buah dan hanya berkomunikasi dengan anak buah jika ada yang tidak beres. Di sisi lain, tak jarang atasan menganggap bahwa prestasi bagus anak buah adalah keadaan yang wajar dan sudah semestinya, sehingga tidak perlu dipuji. Bayangkan suasana kerja bila seorang atasan cenderung mengkomplain kesalahan anak buah sementara lupa memberi komentar ketika seseorang bisa berpikir kreatif pada saat orang lain sudah menghadapi jalan buntu? Pernahkah kita benar-benar memikirkan bahayanya bila sebuah tim atau suatu lingkungan sosial, partai, perusahaan atau bahkan negara, mempunyai pola pikir pesimis negatif dan tidak segar? Bisakah individu berkinerja optimal bila sering merasa tidak berdaya, tertekan dan terus menerus memikirkan kekurangan dan kelemahan yang ada? Bagai ana perasaan orang atau lembaga lain yang harus berhubungan dengan komunitas seperti ini?

Kita sendiri sebetulnya bisa merasakan bahwa lingkungan kerja yang menyenangkan dan saling menghargai akan memberi kekuatan, peningkatan produktivitas, laba dan juga kepuasaan karyawan dan pelanggan. Di sebuah kantor, bertegur sapa seakan sudah menjadi aturan tidak tertulis yang dilakukan oleh semua orang di semua level jabatan. Ada juga tempat kerja di mana setiap orang otomatis mengucapkan terimakasih pada kolega yang memberi bantuan, bahkan untuk hal yang kecil sekalipun. Sikap peduli teman kerja ini tanpa disadari memiliki “harga” tertentu yang tidak bisa dinilai dengan uang, tetapi justru nyata-nyata meningkatkan bisnis perusahaan. Bila sikap dan tindakan ini dilakukan oleh seseorang secara konsisten, bahkan saat atasan atau pimpinannya tidak ada, maka hal ini bisa katakan menjadi “budaya” di lingkungan tersebut. Saat pimpinan dan atasan sadar akan kekuatan yang ada di balik sikap dan kebiasaan manusia, secara serius menumbuhkan kebiasaan positif dan apresiatif, maka peningkatan produktivitas kerja tentu bukan hal mustahil dicapai.

{mosimage}

Bergulir Tanpa Paksaan

Dalam suatu pelatihan beberapa peserta semula tidak percaya bahwa segala sikap dan perilaku dapat ditumbuhkan dengan apresiasi. Tidak perlu kritik berlebihan atau bicara negatif. Seorang direktur perusahaan yang legendaris dan terkenal mampu membentuk budaya positif di perusahaannya, mengatakan:”Kita hanya perlu jeli menunggu orang berbuat sesuatu yang bisa dipuji. Orang lain yang hadir otomatis akan mencari perilaku apa yang patut dan bisa diterima oleh atasannya dan berusaha melakukannya”. Perilaku positif pun kemudian akan bergulir dengan sendirinya. Kita lihat bahwa pimpinan dan atasan memang berperan penting dalam memberi contoh dan menyuburkan budaya positif yang diinginkan. Itu sebabnya atasan perlu sadar kebiasaan apa yang ingin ditumbuhkan. Saat tingkah laku, sikap dan suasana kerja terjadi secara otomatis tanpa paksaan atau aturan, kita akan bisa melihat budaya organisasi itu sudah merupakan aset lingkungan sosial tersebut.

Di Southwest Airlines, satu-satunya airline yang bertahan pada waktu krisis, manajemen memang secara sengaja mengembangkan kebiasaan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang apresiatif. Mereka tidak secara berlebihan menganalisa kekurangan, kelemahan dan kondisi krisis yang menekan, namun dalam meeting-meeting di perusahaan, mereka berfokus pada pertanyaan: “what works, what matters, what adds value, what makes a difference?” Dengan pendekatan ini, perusahaan memperoleh tambahan energi yang luar biasa. Karyawan menjadi lebih mudah mengkombinasikan berbagai kekuatan yang dimiliki. Karyawan pun bisa lebih mudah merealisasikan sikap yang berfokus pada pelanggan, setia kawan dalam membantu rekan, bahkan juga kreativitas untuk menemukan proses bisnis yang lebih efisien.

Memilih untuk Menghidupkan Semangat

Bayangkan bila seorang atasan membuat pernyataan ini:”Pekerjaan kita membuat kita berkesempatan untuk memperluas wawasan dan belajar dari yang mengalami kesuksesan”. Bandingkan dengan pimpinan yang berulang kali mengatakan hal ini:”Persaingan sudah demikian ketat, namun kita masih bisa bertahan”. Pernyataan pertama merangsang naluri kehidupan, sementara pernyataan selanjutnya lebih dekat pada kegagalan dan mematikan semangat. Kita bisa melihat bahwa cara bicara kita sangat menentukan arah spirit orang di sekitar kita. Tidak pelak lagi, kita memang perlu mengembangkan budaya apresiatif di lingkungan kita. Kita bisa mulai dengan pikirkan perilaku atau situasi apa yang pantas mendapat pujian dan apresiasi? Kita pun perlu bisa menggambarkan ‘poin’ terpenting dari sikap atau perilaku tersebut dan bagaimana perilaku tersebut menguntungkan perusahaan. Hal-hal inilah yang kita kemas sehingga bisa ber-’impact’ dan berpengaruh di rapat atau di pertemuan lain dan memungkinkan semua orang membayangkan kesuksesan. Kata-kata positif, seperti bangga dan ‘happy’ perlu diikutsertakan untuk membangkitkan energi. Bila hal ini dilakukan dengan jitu dalam dialog-dialog yang kontinu dan dianggap sebagai suatu entitas yang hidup. Budaya akan bersinergi dengan inovasi dan  tumbuhnya bisnis. Pasti

(Dimuat di KOMPAS, 14 Mei 2011)

articles/budaya-apresiatif.jpg|||0||bottom||
articles/budaya-apresiatif2.jpg|||0||bottom||

24/7

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Beberapa teman mengeluh mengenai jam kerja yang semakin panjang. Bukan sekedar pulang malam, tetapi juga hampir tidak pernah menikmati akhir minggu di rumah. Alasan kompetisi yang sudah semakin menjerat dan keharusan untuk berkembang, membuat prinsip kerja 24/7 bisa diterima secara rasional, tetapi kenyataannya tetap tidak melegakan. Adanya telpon genggam, blackberry, tablet computer, dan laptop super enteng memang seakan mempermudah hidup kita, namun sekaligus membuat pekerjaan seolah ‘lengket’ dengan diri kita, ikut dengan kita kemana kita pergi. Ada kecenderungan baru yang dialami banyak orang, di mana individu seolah-olah ‘kecanduan’ email, mengecek pesan masuk setiap saat dan bahkan sudah dikejar pekerjaan sejak waktu makan pagi.

“The Long Hours Culture” di banyak perusahaan sukses sudah menjadi tren. Bahkan hal ini dijadikan ukuran  berkinerja tidaknya seorang individu. Seorang teman mengatakan mengatakan dengan bangga :”Kita harus siap dipanggil kembali ke kantor walaupun sudah di rumah”. Banyak alasan yang melatarbelakangi kehidupan yang ‘hectic’ ini, misalnya saja atasan yang tidak memperhatikan, tuntutan pekerjaan terlalu banyak ataupun kesempatan yang sayang untuk dilewatkan. Apapun alasannya, ritual semacam ini telah membuat relaksasi tidak sempurna. Ketika kesempatannya ada, bisa-bisa individu lebih banyak ditemani oleh rasa bersalah dan stress. Rasa bersalah karena pekerjaan menumpuk dan tidak selesai, dicampur dengan rasa bersalah karena merasa tidak mampu mengelola kehidupan pribadi. Kita tentu bertanya-tanya, apakah memang efektif dan produktifkah bekerja penuh 12 jam sehari atau bahkan lebih? Kita tahu bahwa keuntungan bekerja fleksibel dengan segala macam dukungan teknologi adalah meningkatnya produktivitas. Namun, bukankah happiness karena bisa dengan efektif mengelola tanggung jawab kerja dan kehidupan pribadi juga menentukan produktivitas diri kita? Pertanyaannya: bagaimana kita berstrategi dan “menjaga” diri kita agar bisa membagi “timing’ di mana kita perlu ‘hadir’ secara fisik atau tidak? Kita juga perlu memasukkan agenda kehidupan pribadi disela-sela agenda pekerjaan yang memang sudah membuntuti kita secara fisik maupun psikologis. Ini memang tantangan baru dunia kerja masa kini yang tidak dihadapi sepuluh tahun lalu. Pandangan mengenai kerja keras rasanya perlu ditinjau kembali, baik oleh perusahaan maupun individunya sendiri.

{mosimage}

Manusia bukan Mesin

Kita yang “knowledge worker” ini terkadang lupa dan menyamakan diri kita dengan komputer. Bukankah kita kerap merasa semakin “high speed”, semakin panjang jam kerja dan kemampuan mengerjakan beberapa tugas sekaligus membuat kita merasa semakin baik. Hal yang perlu kita ingat adalah manusia hidup menurut ritme tertentu. Jantung berdegup, otot berkontraksi dan berelaksasi. Tentunya kita bisa berfungsi optimal bila kita memanfaatkan enerji dengan optimal dan sempat menyegarkannya. Itulah sebabnya kebanyakan individu berpikiran ‘terang’  pada pagi hari atau setelah sempat ‘tidur’ sejenak. Bayangkan apa yang terjadi bila seorang atlit melakukan ‘sprint’ terus menerus tanpa restorasi enerji. Otak manusia pun mempunyai persamaan dengan kinerja tubuh si atlit itu. Artinya, bila si individu tidak mengatur enerjinya, bekerja terus tanpa henti sepanjang hari, ia pasti akan berproduksi lebih sedikit daripada orang dengan talenta yang sama yang mampu mengatur enerjinya.

Untuk berkinerja optimal kita tidak boleh mengabaikan bahwa kita perlu mengatur ritual kehidupan kita agar disela-sela kehidupan sehari-hari, kita bisa menyegarkan sumber energi kita. Secara fisik kita perlu kebugaran, tidur cukup, gizi dan waktu istirahat. Secara emosional kita pun perlu menghidupkan emosi positif dengan cara berkomunikasi positif dengan orang di sekitar kita. Secara mental kita perlu memperhatikan kekuatan fokus dan menyeimbangkan kerja otak hemisphere kiri dan kanan, sehingga kreativitas terjaga. Sementara secara spiritual kita tetap perlu menjaga pemahaman makna, sasaran dan tujuan pekerjaan kita. Tantangannya adalah banyak individu yang berpendapat bahwa pengaturan tugas bukan ditentukan oleh individu sendiri tetapi oleh atasan. Kita rasanya perlu berpikir ulang, benarkah bahwa sebagai bawahan kita tidak bisa menentukan ‘deadline’ dan ritme kerja kita? Apakah sepenuhnya enerji dan pembagian tugas betul-betul diatur oleh pihak luar dan tidak bisa dilakukan secara mandiri? Perasaan tidak memiliki kontrol atas diri dan waktu kitalah sebetulnya yang kerap menjadi sumber stress dan rasa bersalah. Dalam kehidupan yang kompetitif dan menantang ini, individu juga perlu berkeyakinan bahwa ia adalah pengelola enerji dirinya sendiri. Mindset yang tepat akan memberi enerji bagi kita untuk menyusun prioritas, mengelola mesin pribadi dan mengambil tanggung jawab penuh atas produktivitas diri kita.

Kenali Diri, Kelola Situasi Kerja

Ahli manajemen kawakan Peter Drucker: “the toughest job for knowledge workers is defining the work.” Seabad yang lalu, orang belum mengenal bisnis jasa. Pada waktu itu, bekerja berarti ‘membuat’, memindahkan’ dan ‘merakit’ barang. Lebih lama anda bekerja, lebih banyak barang yang diproduksi. Saat itu seorang pekerja tidak membutuhkan analisa, kreativitas dan pengambilan keputusan. Sungguh sangat berbeda dengan kondisi kerja sekarang, bukan? Kreativitas yang kita asah terus menerus bisa membuat kita bekerja dalam waktu yang lebih singkat dengan produktivitas yang lebih tinggi. Bila kita memahami ritme tubuh dan tahu kapan enerji kita di posisi puncak, “mesin” tubuh kita lebih bisa berdaya guna optimal. Dengan menuliskan semua komitmen, tugas dan sasaran sambil menyesuaikan dengan kekuatan enerji kita, mestinya kita bisa menyikapi tugas yang banyak tanpa perlu merasa tersiksa dan terbebani pekerjaan. Justeru pekerjaan bisa dilakukan dengan ‘fun’ seperti ‘game’ karena kita tidak bereaksi secara primitif terhadap situasinya.

Riset menunjukkan banyak orang memiliki gadget canggih namun sebetulnya hanya sedikit sekali kecanggihannya dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan. Pemanfaatan teknologi sebagai alat bantu kerja, misalnya mencatat agenda, menentukan prioritas, menggunakan reminder otomatis, membuat rumus-rumus dan template standar bukan hanya bisa memangkas waktu kerja menjadi separuhnya, namun juga sekaligus bisa melipatgandakan kualitas dan kuantitas hasil kerja kita. Kerja 24/7 mungkin tidak bisa kita hindari, namun tetap saja manusianyalah yang menjadi sutradara dan bukan korban dari teknologi. Kitalah yang perlu mengelola“the strategic value of clear space” di dalam otak  dan diri kita.

(Dimuat di KOMPAS, 7 Mei 2011)

articles/247.jpg|||0||bottom||
articles/247_2.jpg|||0||bottom||

Will Power

{mosimage}By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Pernahkah anda merasakan efek ‘yo-yo’ dalam program menguruskan badan? Bagi individu yang berbakat gemuk, turun naik berat badan seakan sudah menjadi kenyataan hidup. Biasanya, teman-teman kita ini bersemangat mencoba berbagai program diet yang ada di pasaran dan di awal program dietnya akan berhasil menurunkan berat badan. Namun, disadari atau tidak, beberapa waktu kemudian, lebih banyak orang yang berat badannya kembali naik lagi. Alasan seperti keadaan stres, badan lemas, tidak bisa berpikir, tidak bisa menahan diri karena tubuh butuh unsur gizi tertentu yang perlu dicukupi, menjadi beberapa pembenaran untuk kembali pada pola makan dan gaya hidup yang biasa. Di balik semua itu, kita bisa melihat bahwa seringkali “will-power” untuk menguruskan badan  ‘kempes’ ditengah jalan, bahkan lenyap.

Seorang ahli psikologi mengatakan bahwa “will-power” sering kita ibaratkan dengan berlari “sprint” dan bukan marathon. Kita bersemangat dan mengeluarkan energi besar di awal, namun kerap kita tidak mampu mempertahankannya dalam jangka panjang. Ini sebabnya upaya diet seolah-olah “hangat-hangat tahi ayam”. Kita pun juga pasti pernah mengalami sendiri berbagai situasi yang bisa melemahkan “will-power” untuk melakukan perubahan. Niat untuk rutin berolahraga, tidak kesampaian karena kita kalah dengan rasa malas bangun pagi. Meskipun sangat sadar pentingnya gerakan go-green, bukankah kita kerap tetap tidak mau repot membawa kotak bekal atau keranjang belanja untuk mengurangi sampah plastik. Kita lihat “will-power” ini bukan semata membutuhkan niat dan sasaran yang jelas, tapi juga memerlukan disiplin diri yang kuat dan kemampuan untuk bangkit dari kegagalan. Bila kita tidak mampu memelihara “will-power” dan melawan godaan yang bisa melemahkan “will-power” kita, mustahil kita akan bisa ber-progress ke arah yang lebih baik. Inilah tantangan nyata dalam pengembangan karakter kita.

 

{mosimage}

Pilihan dan Jalan Pintas

Ketimbang harus merubah pola makan dan gaya hidup sehat, banyak orang yang lebih rela merogoh kocek untuk membeli obat-obat pelangsing yang kabarnya bisa menurunkan berat badan secara instan atau juga sedot lemak. Banyak orang yang berniat bersikap jujur dan menghadapi ‘tilang’ polantas dengan sikap konsekuen, tapi kemudian memilih untuk memberi uang pelicin saja daripada harus repot menghabiskan waktu. Ketika kita duduk di bis penuh sesak dan melihat ibu hamil atau orang tua terjepit di tengah orang yang berdiri, apakah kita akan memenangkan “will-power” untuk melindungi orang yang lemah atau lebih sering pura-pura tidak melihat dan berharap orang lain saja yang memberikan tempat duduknya? Dalam keadaan yang penuh konflik, bukankah kita pun terkadang memilih untuk tidak berterus terang, padahal kita sudah sangat meyakini bahwa bersikap jujur adalah sikap yang baik Kita bisa menyaksikan bahwa ‘will-power’ teruji ketika kita berkesempatan memilih. Semakin kita teguh memilih tindakan sesuai dengan prinsip dan tujuan kita, will-power kita semakin kuat sehingga lambat laun akan berbentuk disiplin diri yang tidak perlu dipikirkan lagi

Sejarah membuktikan bahwa will-power adalah kunci dari berbagai keberhasilan dan pencapaian fenomenal. “Will-power”-lah yang menyebabkan jenderal Douglas MacArthur merealisasikan janjinya pada diri sendiri:”I shall return”, ketika menarik pasukan dari Filipina. Tanpa ‘will-power’ yang kuat, pendaratan Normandia tidak akan mampu mengkonsentrasikan semua kekuatan, mengumpulkan semua energi dan mengalahkan semua masalah. Kita pun bisa merasakan getar “will-power” Soekarno-Hatta untuk memerdekakan Indonesia pada saat keadaan di Indonesia jauh dari siap untuk merdeka. Begitu nyata bahwa kita tidak bisa mengesampingkan penguatan will-power dalam kehidupan pribadi, berorganisasi dan politik kita. Visi jangka panjang serta visualisasi akan manfaat yang akan diraih akan menumbuhkan “will-power” yang memberi energi. Gerakan “Indonesia Mengajar” yang tidak kekurangan kandidat pengajar muda menunjukkan bahwa will-power bisa mengalahkan perhitungan untung rugi, rasa takut, rasa lemah, bahkan menutupi kekurangan pengetahuan, pendidikan ataupun talenta. Orang dengan will-power akan tidak sulit menentukan arah. Mereka tidak punya kecenderungan untuk ragu, menengok kiri-kanan, tidak tahan terhadap kritik,. Mereka yakin bahwa ada solusi untuk setiap masalah. Sebagai orang yang ingin sukses atau yang sudah berada di posisi pemegang komando, kita perlu menelaah kembali apakah ‘will-power’ kita dirasakan oleh bawahan atau pengikut kita.

Urgensi Bernapas Panjang

Bila kita memperhatikan individu dengan will-power yang kuat, kita bisa menemukan persamaan mereka dalam hal ‘feel of urgency’-nya. Mereka biasanya  terkesan ‘ngotot’dan ‘keras’ dalam memberi penekanan  pada pendapatnya dan tidak takut untuk berbeda dari orang lain. Pengacara yang berdebat, politisi yang mengumpulkan suara, kampanye organisasi perlu menunjukkan signifikansi pendapat dan kehendaknya. Ini bukan sesederhana memilih tempat makan siang atau penerbangan yang akan digunakan. Will-power biasanya menyangkut nilai-nilai atau strategi politik yang lebih besar. Apa yang akan kita lakukan terhadap ‘global warming’? Apakah kita serius bertekad mengurangi kemiskinan? Apakah kita akan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan secara konsisten? Bisakah kita mendukung pengurangan jumlah pemakaian mobil pribadi? “Will-power” sangat diperlukan untuk merealisasikan sasaran besar yang diikuti.adanya sense of urgency yang ketat dan gaung yang memiliki greget. Semakin jelas dan strategis arah dan fokus yang disampaikannya dan diyakini, setiap rakyat atau anak buahnya bahkan bisa ikut mendukung agar sasarannya tidak melenceng, melempem atau bahkan kempes. Dengan memelihara ‘will-power’ yang kuat, seorang pemimpin tidak akan lagi sulit-sulit mempersuasi anak buah atau rakyatnya.

(Dimuat di KOMPAS, 30 April 2011)

articles/will-power.jpg|||0||bottom||
articles/will-power2.jpg|||0||bottom||

Salah Untuk Menang

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Sering sekali hal-hal yang tidak enak terjadi di luar kesengajaan kita. Dalam dunia ‘real-time’ dan media sosial yang ‘tell-all’ begini, ucapan, sikap, pendapat atau perbuatan yang dinilai tidak pantas bisa segera menjadi bahan diskusi, sindiran, bahkan sampai menempatkan sosok yang menjadi sorotan sebagai “bulan-bulanan”. Komentar negatif yang dilontarkan terhadap sebuah restoran tiba-tiba membuat orang lain terdorong timpal-menimpali membicarakan kejelekan restoran tersebut. Foto “nakal” dari masa lalu yang tersebar luas, bisa membuat individu diberi label negatif untuk masa yang panjang. Komentar yang tidak tepat di saat meeting, bisa membuat seseorang yang tadinya dikagumi menjadi disudutkan. Pejabat yang salah bicara atau tertangkap kamera melakukan perbuatan yang tidak patut, mau tidak mau harus siap “mempertanggungjawabkan” keteledorannya. Kita sangat sadar bahwa nasib kita tidak selalu di atas angin. Kesalahan, yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak, sekejap mata bisa merusak reputasi dan langsung akan berdampak pada daya jual, respek dan penerimaan orang.

Seorang direktur di sebuah perusahaan multi-nasional tadinya berkeyakinan untuk mengabdikan diri sampai akhir masa kerjanya di perusahaan. Saat angka penjualan anjlok, sebagaimana sudah diprediksi dan kerap dikemukakan didalam rapat, yang bersangkutan kemudian disingkirkan tanpa alasan yang jelas. Ada teman yang kerap berkomentar: “Things happen”. Hal-hal yang tak terduga memang bisa saja terjadi. Dalam kepemimpinan maupun bisnis, kejatuhan atau kegagalan sering sekali ‘tidak tertahankan’. Kita lihat banyak orang yang benar-benar merasa terpuruk, malu dan sulit untuk bangkit. Apakah selalu berarti: “sekali lancung ke ujian , seumur hidup orang tak percaya”? Masih bisakah kita merasa “menang” dan tetap “bangkit” di saat kesalahan kita disorot dan kelemahan kita dipertontonkan? Bukankah sangat manusiawi bila orang  sesekali berbuat salah?

{mosimage}

Jangan Sembunyi

Perusahaan pizza yang terkenal dan tumbuh sangat pesat suatu waktu mendapat komentar negatif yang bertubi-tubi di media sosial. Ada yang mengatakan pizzanya keras dan tidak ‘fresh’ lagi. Pelanggan lain menimpali bahwa delivery yang tadinya dijamin 30 menit pasti sampai, sekarang ternyata tanpa malu-malu terlambat sejam lebih. Orang-orang yang menyaksikan hal ini mengatakan, “ Perusahaan pizza ini pasti ambruk”. Kenyataan ini sangat diakui oleh perusahaan tersebut. Bila mereka tidak bertindak dan melakukan sesuatu, maka reputasi, bisnis dan kepercayaan pelanggan menjadi taruhannya. Hal yang kemudian dilakukan perusahaan adalah membongkar kembali resep-resep lama. Mereka pun dengan sungguh-sungguh bereksperimen dengan menu dan kombinasi baru. Hal yang paling mengejutkan adalah bahwa dalam iklannya, perusahaan ini membenarkan bahwa servis dan produknya pernah gagal, tetapi mereka sekarang sudah melakukan perbaikan dan mempersilakan para pelanggan mencobanya. Para pelanggan yang menyaksikan iklan tersebut, memberi komentar positif dan menyatakan respek terhadap komitmen dan kebijakan perusahaan yang jelas dan segar ini. Hal yang paling penting lagi adalah para pelanggan lama mulai lagi mencoba pizzanya dengan rasa baru. Ternyata, keterpurukan perusahaan malah justru menjadi genjotan  baru untuk bangkit.

Kita melihat tidak ada gunanya bersembunyi dari kesalahan dan kegagalan. Dengan sikap ‘gentleman’ perusahaan ini mengakui kesalahannya dan memperlihatkan bagaimana ia pemperbaiki kesalahan tersebut. “Failure point’ ini  malah menjadi titik balik untuk membuat penjualan berlipat ganda. Tidak heran juga bila kita tidak berkometar negatif lagi tentang pejabat yang mengaku salah dan segera mengundurkan diri. Nama baiknya mungkin sempat tercoreng, tetapi paling tidak, untuk ke depannya, ia masih berkesempatan memperbaiki diri, bermodalkan tanggung jawab dan sikap ‘fair’-nya itu. Hubungan interpersonal yang matang berulang kali menjadi obat mujarab bila terjadi “kisruh” dalam kepemimpinan dan bisnis. Bila seorang pemimpin berhasil melewati masa sulit, kita sering melihat malah justru hubungan akan diwarna rasa percaya yang lebih tinggi. Risiko memang ada, namun sering kali bertindak dan bertanggung jawab memberi hasil yang lebih baik daripada ketidakberanian mengambil risiko.

Berstrategi Dalam Menangani Kesalahan

Teman yang sedang juga mengalami keterpurukan pernah berkomentar bahwa mengalami, menghadapi bahkan mengakui kesalahan adalah sebuah tugas yang berat tetapi memang termasuk dalam “upah” kita sebagai pemimpin. Daripada mengerahkan energi untuk menghindari kesalahan, kita lebih baik membangun karakter dan mempersiapkan organisasi yang siap menyikapi kesalahan. CEO baru perusahaan mobil Ford, Alan Mulally, pada rapat pertamanya dengan para eksekutif, menanyakan pendapat para eksekutif tentang keadaan perusahaan. Ia meminta para eksekutif memberi warna hijau untuk situasi mulus, warna kuning untuk waspada dan warna merah untuk keadaan bahaya. Semua orang mengangkat kartu hijau. Beliau kemudian meminta mereka berpikir lebih dalam dan kemudian kembali dengan penilaian baru. Orang pertama yang mengacungkan warna merah kemudian di aplaus oleh si CEO sendiri. Saatnya kita untuk membuka mata: “Create a new culture that could admit when something was going wrong, and do so early enough so that the organization could still have an impact on the outcome.” Dengan demikian tim, terbiasa bersikap waspada dan terbiasa melihat kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Banyak orang mencampuradukkan kesalahan dengan tidak berprestasinya individu atau perusahaan. Padahal kedua hal ini jelas berbeda. Kesalahan memang harus diantisipasi, boleh saja di-“punish”, namun kita perlu berlatih untuk tidak menyerang individu dan memandangnya sebagai ruang untuk menemukan jalan keluar, menjadi lebih kuat dan memberi momentum untuk “naik kelas”.

(Dimuat di KOMPAS, 16 April 2011)

 

articles/salah-untuk-menang.jpg|||0||bottom||
articles/salah-untuk-menang2.jpg|||0||bottom||

“Mata Uang” Baru

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita tentu sangat prihatin menyaksikan beberapa lembaga atau perusahaan yang sekonyong-konyong didera ancaman kredibilitas yang bertubi-tubi. Bisa kita saksikan berbagai reaksi pelanggan, nasabah dan publik menyikapi situasi ini. Ada yang mencemooh, melongo, kecewa, marah bahkan secara emosional tidak lagi mau bekerjasama atau menggunakan jasa lembaga tersebut. Penyelewengan dan penyimpangan, baik di lembaga pemerintah maupun swasta pun sampai-sampai menjadi isu nasional, yang dibahas secara panjang dan mendetil di media, bahkan diagendakan dalam rapat di dewan yang terhormat. Konon, karyawan institusi pemerintah yang mendapatkan nama buruk karena perilaku oknumnya, sampai-sampai tidak mau mengenakan baju seragam bila sedang berkendaraan umum untuk menghindari cemooh publik. “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, demikian kata pepatah.

Media kita yang sedemikian bebas telah menggiring mata kita ke pelaku perbuatan terlarang, mengekspos kesalahannya selama berminggu-minggu dengan segala bumbu dan cerita sampingan. Banyak orang yang kemudian juga mengirimkan lelucon terkait situasi yang berkembang. Hal ini tentu membuat pejabat humas lembaga dan perusahaan tersebut bekerja keras mengemas berita agar dampak kerugian bisnis bisa diredam dan reputasi lembaga tetap terjaga. Ada institusi yang tidak ragu memampang kesalahan dan pelaku di media internal perusahaan, seolah-olah mengatakan:”Ini penjahatnya. Jangan coba-coba meniru perbuatannya”. Di salah satu perusahaan yang tengah mendapat sorotan, karyawannya malah beramai-ramai memasang logo perusahaan di identitas media elektronik dan jejaring sosial yang dimilikinya. Banyak teman dan saudara yanng mempertanyakan kepada para karyawan, ”Bukankah perusahaanmu sedang terpuruk? Kok malah branding?” Jawabannya: ”Ya, kami prihatin dengan penyimpangan yang membuat orang memberi cap negatif. Namun, kami bangga dan meyakini values perusahaan yang dari dulu sampai sekarang kita junjung tinggi”. 

Sebagai pengamat atau penonton, kita memang bisa dengan mudah mencemooh dan mencibir. Namun yang jelas, perasaan tidak nyaman bergumul di hati karyawan bahkan keluarganya. Ada yang kesal pada oknum yang merusak nama baik perusahaan, ada yang bersyukur dan bertekad agar diri sendiri tidak terkena godaan dan ada juga yang merasa terusik hatinya karena teman yang berbuat salah tersebut di-’pajang’ di depan umum. Kita memang tercengang dengan begitu besarnya uang yang dikorupsi dan geleng-geleng kepala mempertanyakan mengapa orang bisa begitu serakahnya. Namun, bukankah masih ada karyawan lain yang bekerja tidak sekedar demi uang namun untuk hal-hal lain yang lebih berharga yang dibelanya? Pertanyaannya, siapa yang menjaga perasaan karyawan “existing” agar ingin tetap bekerja dengan baik, berkarya dan loyal pada perusahaan? Bukankah secara persentase lebih banyak hati yang perlu dijaga dan dikembangkan? Dave Ulrich, pakar manajemen SDM:” leaders have to start thinking longer term about their businesses and the value proposition they offer to employees.” Pimpinan di perusahaan perlu sadar bahwa karyawan tidak hanya ingin membawa pulang gaji, tapi juga ingin merasa bangga pada tempat kerjanya.

{mosimage}

“Sense of Purpose”

Dalam menghitung atau menawarkan remunerasi, hal yang pertama diungkapkan dan selalu akan menjadi daya tarik adalah gaji. Kita bisa bertengkar dan merasa iri serta berjuang untuk kenaikan atau keselarasan gaji kita. Demikian pula aneka tunjangan yang ditawarkan. Di sisi lain, kita bisa melihat banyak orang bertahan dengan gaji yang lebih rendah di sebuah lembaga atau perusahaan, namun tetap termotivasi dan berjuang untuk kinerja yang selalu tumbuh dan berkembang. Bukankah ini mengindikasikan bahwa uang bukan satu-satunya “mata uang” yang tersedia? Karyawan, terutama generasi sekarang sudah tidak lagi senang diam dan menurut pada instruksi atasan. Mereka dibesarkan untuk bersikap kritis dan ingin mengetahui dan mendapatkan “sense of purpose” dari bekerjanya. Banyak anak muda berbondong-bondong mengikuti gerakan yang bertujuan untuk memberi pendidikan dan mengajar ke berbagai wilayah pedalaman Indonesia. Hal yang dicari tentu bukan uang, tapi mereka bangga dengan impact yang bisa mereka berikan pada masyarakat. Itu sebabnya karyawan pun harus tahu bagaimana perusahaan mengembangkan bisnisnya. Dia ingin bekerja sungguh sungguh karenanya alasan bersungguh sungguhnya harus jelas.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa karyawan bisa ‘malu’ bila bekerja di perusahaan yang tidak memberi nilai tambah pada “stakeholder”-nya. Ini tidak hanya berarti perusahaan menguntungkan pemegang saham dan pemilik perusahaan, namun apakah perusahaan juga menunjukkan kepedulian dan membahagiakan pelanggan, karyawan dan masyarakat. Iming-iming gaji memang menggiurkan, namun tanpa emotional benefit yang nyata, karyawan tentu tidak akan rela capek-capek menempuh jalan macet berpuluh kilometer untuk menyumbangkan produktivitasnya. Identitas perusahaan juga penting karena karyawan ingin bangga terhadap apa yang ia kerjakan, apa yang ia bela dan nikmati.

“Return On Values”

Seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa pada akhirnya kita harus menyadari bahwa manusia adalah mahluk sosial. Individu akan lebih produktif, lebih merasa ‘berisi’, bila mereka merasa menjadi anggota dari sesuatu yang lebih direspek dan dihormatinya. Nilai upah berbentuk uang  yang di dekade lalu menjadi daya tarik penting, di masa sekarang semakin akan turun peringkat dibanding dengan kepuasan suasana kerja. Karyawan akan merespek perusahaan yang menjunjung tinggi kreativitas, suasana kompetitif dan kerja kelompok dalam intensitas tinggi. Karyawan ingin bekerja di tempat yang seru, peduli dan membuat mereka ‘’’happy’ dan “excited”. Bila hal ini tersedia dan dikembangkan, karyawan tentu lebih siap menuangkan dan mengembangkan kompetensi mereka tanpa batas dan tidak perlu dipaksa-paksa untuk berkomitmen. Perusahaan pun perlu mempertimbangkan untuk menghitung ROV, “Return on Values”, yang pada akhirnya sangat berkorelasi dengan pertumbuhan laba perusahaan.

(Dimuat di KOMPAS, 9 April 2011)

articles/matauangbaru2.jpg|||0||bottom||
articles/matauangbaru.jpg|||0||bottom||

Menyukseskan Bawahan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Seorang direktur SDM mengaku stres tiap kali ada karyawan senior yang resign atau pensiun. “Kami harus mulai dari awal lagi, mencari karyawan baru yang sudah mumpuni. Hanya sedikit sekali karyawan dari dalam yang siap mengisi posisi senior yang vacant. Sadar begitu besarnya kesenjangan kompetensi antara karyawan junior dengan yang senior benar-benar membuat kami frustrasi”. Ini kenyataan yang bisa kita temui di banyak sekali perusahaan. Sebetulnya, bukan hanya pihak HR dan manajemen yang frustrasi dengan situasi ini. Karyawan yang melihat dirinya tidak diberi kesempatan untuk “naik”, merasa potensi dan kompetensinya di tempat kerja tidak meningkat dan tidak merasa kontribusinya diperhitungkan tentu juga menjadi loyo, frustrasi dan tidak happy. Ini tentu kondisi “lose-lose” untuk kedua belah pihak.

Semua organisasi pasti setuju bahwa lingkungan pembelajaran sangat penting bagi kemajuan tim dan organisasi. Banyak pimpinan perusahaan yang sudah sangat mengerti bahwa hanya melalui pengembangan manusia-lah perusahaan bisa berkembang. Kita lihat juga bahwa manajemen talenta dan ‘capacity building’ sudah menjadi fokus perusahaan-perusahaan besar. Bahkan, semakin banyak perusahaan yang tidak segan-segan melakukan investasi dalam sistem online untuk mengkontrol proses pengembangan karyawan melalui atasan-atasannya. Di sisi lain, kita kerap melihat bahwa slogan dan program yang dikumandangkan di perusahaan mengenai lingkungan pembelajaran dalam organisasi seringkali sebatas campaign, namun dan tidak sampai berbuah hasil yang nyata.

Ada manajer yang mengatakan:”Saya sudah sering memberi umpan balik pada anak buah. Tetapi, sukses atau tidaknya individu kan ada di tangannya sendiri” Manajer lain berkata:”Kadang kita beruntung mendapat bawahan yang potensi belajarnya bagus, ambisius, mau belajar, rajin bertanya, bahkan tidak segan-segan kuliah di malam hari. Kalau kita mendapatkan bawahan dengan kualitas sebaliknya, daripada membuang waktu, bukankah kita lebih baik mencari karyawan dengan potensi yang lebih baik? “ Bila atasan masih memilih-milih karyawan mana yang akan di-coach dan dibimbing, risikonya bukan hanya akan terjadi kekosongan SDM kompeten di masa depan, tapi juga akan membuat individu yang tidak “disentuh” merasa tersingkir. Bila karyawan tidak dibimbing, tidak ditegur, tidak ditantang untuk berkinerja lebih baik, sudah pasti mereka tidak akan happy, meskipun setiap bulan tetap menerima gaji. Hal inilah yang menjadi latar belakang mutlaknya proses mentoring dan coaching  dilakukan para atasan terhadap semua bawahannya.

 

{mosimage}

Memperjelas Sasaran

Banyak atasan menghindar untuk memberi umpan balik karena tidak tega dan takut kritik dan koreksi yang diberikannya akan merusak hubungan yang sudah susah-susah terjalin selama ini. Seorang teman yang dianggap bawahannya pembimbing yang baik, mengatakan bahwa ia semata menggunakan sasaran tugas sebagai landasan dalam membimbing anak buahnya. “Bila bawahan tidak tahu persis apa yang diharapkan oleh kita sebagai atasan dan perusahaan, maka diskusi mengenai pengembangan karir akan bertele-tele dan tidak jelas sasarannya”.

Banyak karyawan terbiasa menjalankan tugas dan tanggung jawab rutinnya, namun tidak sempat memperjelas kontribusi tugasnya. Bisa jadi ini karena ukuran perusahaan yang terlalu besar ataupun karena pimpinan perusahaan dan atasan juga tidak memperjelas sasarannya, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Padahal, dengan tidak jelasnya sasaran ini, perjalanan karir ibarat sebuah upaya yang belum berkoridor. Dengan adanya kejelasan sasaran tugas dan kesamaan persepsi dengan bawahan, sebagai atasan kita bisa lebih mudah dan lebih ‘tega’ mengatakan salah atau benarnya tindakan anak buah kita. Hal inilah yang tidak boleh kita lupakan dalam situasi pengembangan bawahan. Linda Hill, seorang professor di Harvard Business School, menyatakan bahwa seni mengembangkan bawahan adalah tetap mengkontrol semua tugas yang ada dibawah tanggung jawab kita, sambil memberi ruang kepada bawahan untuk merasakan kesuksesan pribadinya.

Berguru Secara Aktif

Kegiatan pengembangan karyawan yang secara rasional bertujuan positif, dalam kenyataannya sering dipandang menegangkan, bahkan dirasa negatif oleh banyak pihak. Atasan sering tidak tahu mau mulai dari mana. Sementara itu, bawahan sering melihat situasi “coaching” sebagai situasi tatap muka yang menghakimi. Di dunia yang sudah sangat dinamis dan mengglobal begini, persepsi mengenai kegiatan bimbingan ini memang perlu diubah. Kegiatan bimbingan seharusnya tidak lagi menjadi kegiatan “one on one” yang menegangkan. Bila kita meyakini esensi positifnya, sebetulnya proses coaching sangat bisa dilakukan dengan situasi yang bersahabat, bahkan bentuknya lebih berupa diskusi dua arah yang seru dan membangun. Jeanne Meister, seorang konsultan yang menekuni kerja masa depan mengatakan:” In today's world, mentoring is "more like Twitter and less like having a psychotherapy session."

Perusahaan kelas dunia, seperti Uniqlo Jepang, bersikeras untuk mempersiapkan para ‘management trainee” menjadi the future business owners. Bisa kita bayangkan betapa besarnya kesenjangan kompetensi antara seorang fresh graduate dan seorang yang menduduki jajaran tertinggi sebuah perusahaan. Hal ini tidak mungkin terjadi bila hubungan atasan dan bawahan tidak berbentuk hubungan coach-coachee atau mentor-mentee. Si coachee atau mentee memang perlu aktif belajar. Dialah yang perlu mempunyai sikap berguru pada setiap orang yang dikagumi kompetensinya. Hubungan pun bentuknya sudah tidak lagi kaku dan tidak selalu berbentuk hubungan “senior membimbing junior”. Di banyak perusahaan, kita sudah sering mendengar “reversed mentoring’, di mana para manajer senior perlu di coach oleh kalangan millenial, usia 20-30 tahun, mengenai media elektronik  dan pemanfaatan web. Hambatan waktu, kekakuan suasana tatap muka, sudah harus menjadi hal yang tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sementara kemauan untuk ‘menjadikan’ bawahan perlu dianggap memegang porsi yang besar dalam kepemimpinan kita.

(Dimuat di KOMPAS, 2 April 2011)

articles/menyukseskann1.jpg|||0||bottom||
articles/menyukseskann2.jpg|||0||bottom||

Kerja Masa Depan

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Penertiban absensi menjadi perbincangan hangat di sebuah kantor. Banyak karyawan protes karena menilai peraturan tersebut sudah basi, apalagi bila absensi dikaitkan dengan penilaian kinerja. “Saya baru tutup laptop jam sembilan malam dan sudah kembali buka laptop untuk bekerja sejak jam 4 pagi. Sepanjang perjalanan ke kantor pun saya terus memikirkan proposal yang tengah saya garap untuk klien. Mengapa saya ditegur dan dinilai tidak berkinerja karena lima belas menit terlambat dari jam 8 pagi?” Ya, bila di waktu-waktu lalu “bekerja” dianalogikan dengan “berada di kantor”, saat sekarang kita lihat hal itu sudah berangsur-angsur berubah. Pertama-tama lalu lintas, terutama di kota besar, yang sudah tidak masuk akal memang menghambat mobilitas dan rutinitas kita pergi ke tempat kerja. Di sisi lain, di dukung kemajuan elektronik, maka kemungkinan bekerja di sembarang tempat pun semakin besar. ”Your mobile device will become your office, your classroom, and your concierge.” Demikian dua orang ahli manajemen Jeanne Meister & Karie Willyerd mengatakan.

Tidak hanya tempat kerja yang menjadi semakin kabur, bergaul pun sudah semakin tidak berbatas. Beberapa perusahaan membatasi akses ke internet dan berbagai situs jejaring sosial bagi karyawan. Namun, tentu saja perusahaan tidak bisa memonitor karyawan yang mengakses jejaring sosial lewat gadget canggih di tangan mereka. Terkadang, lewat jejaring sosial ini servis, produk dan bisnis perusahaan malah dipromosikan. Bila perusahaan sendiri sudah meyakini “on line recruitment’ tidak saja melalui situs-situs spesifik untuk rekrutmen, tapi juga situs gaul seperti Facebook, LinkedIn, YouTube, Twitter bahkan  Second Life, masih mungkinkah kita melarang pegawai melakukan social networking? Apa yang akan dilakukan oleh departemen Human Capital dengan deskripsi jabatan, yang setiap saat berkembang, berubah, bahkan hilang? Mengingat perusahaan sudah bervisi regional bahkan global, bagaimana perusahaan melakukan pelatihan pada pegawai yang tidak bisa ditarik dari tugasnya, berada di lokasi terpencil atau bahkan juga di negara lain? Bagaimana perusahaan mengakomodir kebutuhan para profesional dengan perubahan dunia kerja yang serba cepat? Bagaimana kita menambat hati para ‘knowledge workers’ ber-‘backpack’ yang saat ini bekerja di tempat-tempat publik, seperti café dan mall-mall?

{mosimage}

“Work-Life Flexibility”

Bila di waktu lalu kita sering diusik oleh kesenjangan pengetahuan dan juga kematangan pengalaman antar generasi, maka sepuluh tahun dari sekarang, kita akan melihat bahwa generasi senior yang masih kuat dan awet muda akan berhubungan dengan generasi berusia  di bawah 30 tahun yang siap bekerja dan sudah mengglobal melalui perjalanan-perjalanan virtualnya. Tidak waktunya lagi kita mempermasalahkan salah persepsi atau salah komunikasi antar generasi, karena pengetahuan begitu mudah untuk diakses dan ketrampilan untuk meraihnya terbuka bagi semua orang. Reputasi tidak lagi mengandalkan jam terbang, tetapi lebih kepada “apa karyamu” dan “apa yang sudah kau buktikan di masyarakat”

Kalau di jaman sekarang kita sudah tidak bisa bangga dengan keadaan gaptek (gagap teknologi), di masa depan perusahaan semakin perlu mengupayakan “über connectedness”. Tidak ada tempat untuk sikap kaku dan ‘over focus”. Perusahaan sudah harus mampu mengupayakan media sosialisasi di mana bekerja, bermain, belajar dan berkomunikasi terjadi dalam saat yang bersamaan. Multitasking sudah menjadi keharusan, bahkan pengelolaan rumah tangga perlu bisa dilakukan sekaligus dengan pengelolaan tugas kantor. Agar lebih didengar dan dimengerti jalan pikirannya, tidak ada salahnya seorang pimpinan mengelola “blog”-nya sendiri, di mana kepemimpinannya bahkan bisa terevaluasi dan terkritik setiap saat.

Bila kita sekarang sedang menyibukkan diri untuk mencapai “work-life balance” maka di masa mendatang “work-life flexibility” justru menjadi jawaban terhadap kebutuhan keluarga, belajar dan berkarya para pekerja. Jadi, selain menerima transaksi bahwa sebagai karyawan kita perlu mendatangkan laba bagi perusahaan, karyawan juga akan ‘happy’ bisa ia berkesempatan untuk melakukan hal-hal yang filantropik serta diberi kesempatan bersosialisasi seluas-luasnya.

Memuaskan Berbagai Kebutuhan

Seorang karyawan di perusahaan yang sudah menerapkan gaya kerja fleksibel, pulang dari kantor pukul 15 sore. Ia memasak dan mengurus rumah tangga, kemudian memulai pekerjaan kembali pada pukul 9 malam setelah anak-anak tidur dan mencuci piring. Karyawan ini mempunyai tingkat kepedulian yang setara antara hidup sehat, makanan sehat dan bekerja. Tantangan untuk menunjukkan produktivitas masih bisa dicapai sambil tetap memperhatikan lingkungan sosial, keluarga dan kehidupan pribadi. Kita sudah dan akan semakin memasuki era ROWE (Results Oriented Work Environment), di mana setiap karyawan, tua atau muda perlu menawarkan “Rx”  ( result/ hasil) nya secara kongkrit dan terukur .  Generasi termuda  yang sudah sangat memperhatikan tanggung jawab sosial, tanggung jawab berkeluarga, dan lingkungan perlu  menukarnya dengan produktivitas yang menarik perusahaan pula.  Para pria juga merasa wajib memikirkan kegiatan domestik di rumah tangga, dan merasa berhak mendapat ijin tinggal di rumah kalau anak sakit. Sebaliknya jaminan kesuksesan, pertumbuhan bisnis , ketepatan waktu produktivitas juga harus disediakannya.

Kalau kita sampai saat ini bisa mengkaitkan sikap disiplin kita dengan hal-hal yang sangat rutin seperti absensi dan lembur maka nantinya disiplin justru perlu diarahkan pada hal-hal  seperti ‘discovery’, inovasi, pembentukan kelompok, memimpin, menjual dan belajar. Hal-hal yang rutin perlu kita otomasi sehingga tidak membutuhkan pengawasan dan membuang energi manusia. Contohnya, kita bisa mengganti sesi sosialisasi dengan membangun situs sebagai ajang komunikasi. Bila proses penjualan memang tidak bisa digantikan oleh mesin apapun, maka kita  bangun kapasitas manusia yang melakukan proses penjualan. Bila pemecahan masalah sering memakan waktu yang cukup lama terutama dengan adanya birokrasi, maka ‘adhocracy” yaitu kebiasaan membentuk tim sementara untuk proyek tertentu perlu dijadikan tren. Inilah mentalitas yang perlu kita bangun dan jalan yang perlu kita rintis menuju kerja masa depan.

(Dimuat di KOMPAS, 26 Maret 2011)

articles/kerjamasadepang1.jpg|||0||bottom||
articles/kerjamasadepang2.jpg|||0||bottom||

Quick Response

{mosimage}

By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Kita sudah biasa membicarakan kecanggihan Jepang dalam kualitas produk, efisiensi proses, inovasi, teknologi, juga keteguhannya melestarikan nilai-nilai budaya timur secara turun-temurun. Dengan bencana gempa dan tsunami yang melanda Jepang baru-baru ini, Jepang sang raksasa Asia memang berduka, namun tidak terpuruk. Jepang malahan kembali membuka mata dunia untuk mengakui betapa mereka memang layak mendapat pengakuan dan pantas menjadi contoh dalam begitu banyak hal. Selain karakter dan kekuatan mental manusianya dalam menghadapi bencana, satu hal yang juga begitu nyata kelihatan adalah responsiveness atau kecepatan bertindak yang luar biasa.

Selain rangka gedung yang lebih kokoh, pondasi karet anti gempa yang terkenal itu, sepuluh menit setelah terjadinya gempa, sudah ada helikopter yang terbang untuk memantau situasi gempa dan mengumandangkan instruksi pada penduduk serta mengingatkan  petunjuk menyelamatkan diri. Masyarakatnya pun terlihat sudah begitu terlatih untuk patuh pada “Standard Operation Procedure” saat gempa. Pengunjung di Disney, misalnya, dikumpulkan dan diminta menunggu sampai dengan jam 8 malam. Mereka berbaris rapi dan patuh keluar arena Disney dan di pintu keluar telah dibagikan peta jalur kereta yang bisa digunakan bergiliran pada jam tersebut. Dalam keadaan tidak bersandang pangan ini tidak seorang pun menjarah  makanan dari tempat-tempat yang tidak dijaga penghuninya. Mereka percaya pada gilirannya untuk mendapatkan pembagian logistik. Cerita ini baru segelintir dari begitu banyak contoh kekuatan mental manusia dan kesigapan bertindak yang ditunjukkan oleh Jepang.

Ya, tentunya Jepang tidak bisa disamakan dengan negara-negara lain yang tidak mengalami bencana seperti mereka. Jepang mengalami gempa dahsyat tahun 1923 yang membunuh 100.000 jiwa. Gempa Kobe, tahun 1995, meluluhlantakkan seluruh kota dan menewaskan 6.000 orang. Pengalaman ini membuat Jepang menerapkan dan menyediakan mekanisme quick response yang siap setiap saat. Seakan-akan tidak ada orang yang “bengong” dan menunggu. Dalam kondisi bencana yang datang tiba-tiba dan tidak bisa diantisipasi pun, setiap individu seakan otomatis tahu apa yang harus dilakukan. Para petugas pemerintah segera bergerak memberi bantuan, sebanyak 80.000 tentara, pelaut, penerbang dan ditambah pasukan cadangan semua turun tangan. Jelas negara ini terbukti maju dan membuktikan state-of-the-art dari quick response yang bisa dibuktikan oleh dan untuk  setiap rakyatnya. “No country may be better prepared for a major earthquake than Japan” demikian tulis “TIME”.

Situasi ini tentu memaksa kita bercermin pada diri kita sendiri. Kita pun mengalami sendiri bertubi-tubinya gempa di berbagai daerah, baik dalam skala kecil sampai yang mahadahsyat seperti gempa di Aceh. Pertanyaannya, apakah kesiagaan kita sudah bertambah? Pemahaman terhadap penanganan gempa masih begitu minim sosialisasinya. Apakah kita tidak ingin menanamkan kesiapan pada setiap anggota keluarga, karyawan dan lingkungan kita? Kita tentu tidak hanya bicara gempa, namun begitu banyak aspek di sekitar kita, misalnya saja hujan deras yang menimbulkan banjir, kemacetan yang terus meningkat, bahkan teror bom yang datang silih berganti. Tidakkah kita bisa belajar dari keadaan orang lain? Haruskah kita mengalami bencana, “kena batu”-nya dulu, baru kemudian menyusun sistem ‘alertness’?

 

{mosimage}

Berlatih untuk Responsif

Tidak banyak orang yang sadar bahwa kualitas seorang pemimpin atau atasan dinilai dari bagaimana ia berespons terhadap suatu situasi. Begitu gempa terjadi, semua mata tertuju kepada Naoto Kan, Perdana Menteri Jepang, menunggu apa respons yang dilakukannya. Segera setelah gempa, pengumuman dikeluarkan, beliau pun keesokan harinya melakukan kunjungan ke lokasi. Dalam kondisi penyelamatan yang belum sepuluh hari ini, beliau sudah menyerukan rekonstruksi sekolah, distribusi pasokan ikan ke seluruh negara dari pelabuhan Hachinohe, pembangunan 32,800 rumah sementara, prioritas pembagian bahan bakar dan pasokan listrik, serta melakukan komunikasi yang sejelas-jelasnya mengenai bahaya pencemaran nuklir. Respons individu dinilai berkualitas bila ia melakukannya dengan mempertimbangkan kebutuhan orang lain di samping dirinya, menunjukkan kemampuan bekerja sama dan selalu memfokuskan untuk berkomunikasi sejelas-jelasnya, kemudian menindaklanjuti tindakan demi tindakan sampai tuntas.

Sebetulnya kita bisa menguji respons dari berbagai situasi. Bila ada barang jatuh, apakah individu yang punya posisi lebih tinggi mau bergerak mengambil barang tersebut atau menunggu sampai bawahan atau orang yang lebih rendah “derajat”-nya untuk “turun tangan”? Bila ada kegagalan proses kerja, apakah sikap kita cenderung menyelamatkan diri sendiri atau berusaha menyelamatkan orang lain, tim, organisasi dan situasi dari kegagalan yang lebih besar? Kembali belajar dari Jepang, kita melihat bahwa untuk menjadi seorang yang responsif juga dibutruhkan latihan-latihan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus berlatih untuk lebih mendengar aktif, berempati, fokus pada pemecahan masalah, juga disiplin dalam antrian atau kesediaan menggunakan dan merawat fasilitas umum di sekitar kita.

Peduli pada Hal di luar Diri

Tidak mudah memelihara kesigapan berespon bila kita lalai mengevaluasi cara kita memproses tugas dan bagaimana selama ini pelayanan yang kita berikan pada orang lain. Kebutuhan dan keadaan orang di sekitar kita sering berubah. Respons kita pun perlu disesuaikan terus-menerus. Kita memang harus berlatih untuk selalu mengikutsertakan kepentingan orang lain bersamaan dengan kepentingan kita. Bila  kita membiasakan ‘mindset’ peduli pada hal-hal di ‘luar’ diri kita, maka tenaga kita pun akan terdistribusi dan tidak terpusat pada diri sendiri saja. Seperti bangsa Jepang, kita pun perlu bercita-cita untuk menjadi contoh, acuan, dan terbiasa untuk melakukan hal-hal yang lebih bernilai daripada sekedar menjalankan tugas, menyelamatkan diri atau berebut fasilitas.

(Dimuat di KOMPAS, 19 MAret 2011)

articles/quick-response2.jpg|||0||bottom||
articles/quick-response1.jpg|||0||bottom||